XXX
Tahun 2489. Dunia telah sunyi. Kota-kota besar seperti New York, Tokyo, Paris—semuanya kini hanya puing-puing bisu, dihuni oleh makhluk-makhluk yang dulunya manusia. Zombie, hasil mutasi virus buatan yang tersebar tanpa ampun, telah memakan peradaban hidup. Namun, di tengah kehancuran itu, satu negara tetap berdiri: Federasi Sosialis Goryeo.
Berkat kebijakan isolasi besi yang telah berlangsung lebih dari satu abad, negeri itu terkunci rapat dari dunia luar. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar. Dan ketika virus menguasai dunia, pagar-pagar itu menjadi benteng keselamatan.
Kini, Goryeo tak lagi sekadar negara. Ia adalah satu-satunya peradaban manusia yang tersisa di bumi. Dan pemimpinnya, The Big Brothers, cucu dari pemimpin agung legendaris, telah menobatkan dirinya sebagai Tuhan Hidup.
Selama hampir seribu tahun, dunia telah berubah, begitu pula gadis rubah berekor sembilan ini. Dari hutan yang dulu dipenuhi bunga dan cahaya matahari, hingga reruntuhan kota-kota besar yang kini dipenuhi kesunyian dan kehancuran—ia telah melihat dunia ini berubah, perlahan memudar, dan akhirnya runtuh dalam kegelapan. Namun satu hal tetap abadi dalam hatinya: pencariannya.
Gadis rubah ini, yang berusia 10000 tahun, telah berkelana ke seluruh dunia, melintasi negara-negara yang kini hanya menyisakan kenangan. Ia mencari satu sosok—seorang lelaki yang pernah menjadi cintanya di kehidupan sebelumnya. Lelaki itu, manusia yang melindunginya, yang menyayangi dan memahaminya meskipun dia bukan manusia, adalah segala-galanya baginya.
Namun, dunia tidak pernah memahami mereka. 800 tahun lalu, sebagai siluman rubah berekor sembilan, seorang makhluk yang tak bisa diterima di dunia manusia. Cinta mereka berkembang di tengah kesulitan dan ketakutan, karena manusia takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Mereka hidup dalam bayang-bayang ancaman, hingga akhirnya, lelaki itu, yang telah mengorbankan segalanya untuk melindunginya, dibunuh oleh penduduk desa.
Hari itu adalah hari yang akan ia kenang selamanya. Penduduk desa yang marah dan takut akan keberadaannya, yang menganggapnya sebagai makhluk jahat, mengusir dan membunuh lelaki yang telah menyelamatkannya dari bahaya. Lelaki itu terjatuh di tanah, darahnya mengalir, sementara dia berlutut di sampingnya, tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, dengan suara lemah namun penuh tekad, dia berkata, "Aku ingin terlahir kembali, bukan sebagai manusia, tapi sebagai siluman rubah... agar kita bisa hidup bersama selamanya. Jangan biarkan aku pergi... Aku akan kembali padamu."
Kata-kata itu menghantui gadis rubah hingga hari ini, meskipun hidupnya telah berlanjut jauh setelah kematian kekasihnya. Ia percaya bahwa lelaki itu benar-benar akan kembali—bahwa takdir akan membawa mereka bersama lagi. Dan dengan keyakinan itu, ia menjelajahi dunia, mencari petunjuk, mencari dia yang akan kembali padanya.
Ia bernyanyi di tengah gelapnya alam semesta.
"Sudah berapa kalikah menyerah pada setiap tekanan hingga mati?
perasaan yang tidak punya tempat membangunkan mata
senyum yang kejam itu setara dengan
berpisah pada keberadaan yang berjauhan
Luka yang tidak dapat sembuh hanya menggerogoti hati padahal
di dalam kegelapan ini bahkan perasaan yang menetap saat ini tidak dapat kukendalikan
Ke batas mimpi dari mimpi
telah pertemuan takdir itu mulai berputar
tidak seorang pun mengetahui rahasia kejatuhan hatiku
tanpa ragu bahkan mengukir dosa yang tidak dapat kembali
Berjalan di kedalaman kesepian seraya diselamatkan
mata yang nyata tak kan pernah berubah bagaimanapun keadaannya
tapi semakin menyilaukan sinar semakin bayangan itu dapat terlahirkan
warna pekat dari dalam hati yang mendekat tanpa disadari
Dua detak jantung seperti halnya cermin yang saling berhadapan
serupa tapi rasa sakit yang berbeda terus berlanjut tanpa batas. "
Berkeliling dari hutan ke padang gurun, dari gunung yang tinggi hingga lembah yang dalam, ia tak kenal lelah. Namun, dunia yang ditinggalkannya kini berbeda. Virus buatan telah menyebar, mengubah umat manusia menjadi makhluk zombie yang menyeramkan, sementara yang tersisa hanya reruntuhan dan kehancuran. Dunia yang pernah dikenalnya telah lama hilang. Namun di tengah semua ini, gadis rubah itu merasakan sesuatu—sebuah kekuatan yang aneh namun familiar, seperti angin yang membawa bau yang dikenalnya.
Di antara kabut mitos Asia Timur, manusia mengenal Gumiho sebagai siluman rubah berekor sembilan—cantik, berbahaya, penggoda jiwa. Mereka dianggap pemakan hati manusia, penggoda lelaki yang lalai. Namun legenda itu hanyalah tirai tipis yang dipasang Dei Vulneris, agar manusia membenci makhluk yang sebenarnya paling suci di antara ciptaan.
Gumiho sejatinya bukanlah yokai ataupun iblis. Mereka adalah makhluk suci dari lapisan terdalam mimpi Ylmorrath, serpihan cahaya yang terlahir ketika penderitaan manusia pertama kali menjerit ke langit. Jika iblis adalah kristalisasi luka, maka Gumiho adalah kristalisasi harapan.
Konon, siapa pun yang menatap Gumiho dalam wujud sejatinya akan melihat bayangan dirinya yang sempurna—bukan tubuh fana, melainkan bentuk abadi yang seharusnya ia miliki setelah kematian.
Mata mereka menyimpan pantulan bintang yang tak pernah ada.
Senyum mereka membuat manusia merasa pulang ke rumah yang tak pernah mereka kenal.
Rambut mereka adalah malam itu sendiri, panjang dan berkilau oleh rahasia kosmos.
Manusia yang disentuh oleh Gumiho bisa melihat sekilas jalan menuju surga—jalan yang tak tergambar di kitab, tak terucap oleh nabi, melainkan cahaya murni kebangkitan kesadaran.
Legenda menyebut mereka sudah punah. Namun kebenarannya adalah: Gumiho disembunyikan. Dei Vulneris, para dewa luka, tahu bahwa hanya Gumiho yang memiliki kekuatan untuk membangunkan Ylmorrath dengan cara yang benar—bukan dengan kekacauan, melainkan dengan nyanyian pengampunan.
Karena itu mereka menyebarkan dongeng bahwa Gumiho jahat, agar manusia memburunya, agar darahnya mengering di tanah, agar harapan sirna.
Namun tak semua terbunuh. Beberapa Gumiho bersembunyi dalam wujud manusia, hidup di antara manusia biasa, menunggu saat panggilan kosmik tiba.
Peran mereka bukanlah untuk memimpin kerajaan, bukan pula untuk menghancurkan musuh. Misi sejati Gumiho adalah membangunkan monster yang bermimpi—Ylmorrath.
Namun, kebangkitan ini bukan berarti kiamat, melainkan pencerahan.
Bila Ylmorrath bangkit oleh nyanyian Gumiho, ia akan bangun dengan tenang, dan mimpi penderitaan manusia akan usai. Dunia fana akan runtuh, namun kesadaran manusia akan dituntun ke surga yang abadi.
Del Vulneris berusaha menjaga agar Ylmorrath tetap tidur untuk menjaga alam semesta di dalam kekacauan dan kerusakan.
Itulah rahasia yang ditakuti. Iblis ingin dunia bertahan agar penderitaan berlanjut,
Gumiho ingin dunia berakhir agar penderitaan berhenti.
Karena itu Gumiho disebut lambang keabadian. Mereka tidak bisa mati kecuali dibunuh oleh kebencian manusia. Namun, selama masih ada harapan sekecil apa pun, seekor Gumiho akan lahir kembali, dengan sembilan ekornya menyala bagaikan obor di kegelapan.
XXX
Di balik segala hukum kosmos, di balik bintang, nebula, dan suara hampa, ada sesuatu yang lebih tua dari waktu. Ia bukan Dewa, bahkan bukan jiwa. Ia adalah monster purba yang bermimpi.
Merah yang terbakar
Merah kemerahan yang bergoyang
Kemerahan yang menumpahkan darah dan tangisan
Menghapus segalanya
Ilusi yang tidak terwujud mulai menggerakkan
Malam yang sementara dengan kuat
Melampaui bahkan menenggelamkan dosa
Tidak dapat ada yang lari darinya dengan pasti
Namanya adalah YLMORRATH, Sang Rahim Tidur.
Ia tak pernah lahir, tak pernah mati. Tubuhnya membentang melampaui galaksi, suaranya tidak pernah terdengar, namun setiap getaran mimpinya menjadi hukum realitas.
Alam semesta yang kita kenal—manusia, planet, bintang, bahkan hukum fisika—hanyalah dongeng samar yang Ylmorrath dengungkan pada dirinya sendiri saat terlelap.
Namun Ylmorrath tidak tidur tenang. Setiap dentum mimpi bisa mengguncangkan fondasi realitas. Untuk menjaga agar mimpi itu tetap mengalir, muncullah para entitas yang lahir dari luka mimpi:
Sebelum ada bintang pertama, sebelum kosmos punya bentuk, yang ada hanyalah Nyanyian Luka, gema dari penderitaan yang belum terjadi. Dari gema itu lahirlah makhluk-makhluk maha purba yang disebut Para Dewa Luka (Dei Vulneris). Mereka bukan dewa dalam arti manusia, melainkan luka kolektif manusia yang menjadi sadar.
Alam semesta kita sesungguhnya bukan nyata, hanya dongeng yang dituturkan oleh Eresh-Gorath kepada Ylmorath. Setiap sejarah, setiap perang, setiap kerajaan hanyalah lapisan tipis dari narasi yang ditulis ulang tanpa akhir.
Eresh Gorath mengendalikan waktu seperti pasir yang ia genggam.
Membaca pikiran kolektif manusia seperti membuka buku tipis.
Menulis ulang kenyataan sebagaimana seorang dalang mengubah lakon.
Eresh-Gorath, Sang Penulis Mimpi, yang menenun narasi realitas agar mimpi tetap terjaga.
Nir-Athora, Sang Rahim Gelap, yang melahirkan iblis, siluman, dan roh, agar drama mimpi terus berjalan.
Iblis lahir dari pusaran kebencian, rasa iri, dan amarah manusia. Mereka adalah percikan Khalthorion yang menjelma wujud.
Siluman lahir dari sisi liar manusia yang bercampur dengan alam: binatang, hutan, sungai. Mereka tidak sepenuhnya jahat, tapi juga bukan sahabat. Mereka adalah anak-anak Nir-Athora, penjaga batas antara dunia nyata dan gaib.
Veyth-Zorath, Sang Luka Abadi, yang meneteskan penderitaan, karena mimpi tanpa derita akan membuat Ylmorrath gelisah.
Khalthorion, Sang Pengukir Nestapa, yang mengukir peperangan, ambisi, dan kebencian agar kisah tetap bergerak.
Dan kini, Mak Lampir, setelah menyatu dengan Cincin Solomon, menjadi Dei Vulneris Kelima, Sang Luka Hidup, pengatur ngeri dalam skala kosmik.
Mereka bukan sekadar dewa. Mereka adalah dongeng pengantar tidur bagi monster itu. Kekacauan, perang, kematian, penderitaan, adalah lullaby yang membuat Ylmorrath tetap terlelap.
Seluruh kosmos hanya bertahan karena ia tidur. Jika ia membuka mata—hanya sepersekian detik—semua bintang akan runtuh, planet meleleh, dan hukum realitas akan terhapus, seperti anak kecil yang menutup buku dongeng dan meletakkannya di meja.
"Jika ia terbangun, maka kita semua hanyalah tinta yang menguap," bisik Eresh-Gorath.
"Dan tidak akan ada lagi mimpi setelah itu."
---
Mak Lampir, yang dulunya sekadar penyihir Jawa yang dikutuk, kini melihat kenyataan dengan mata baru. Ia menyadari bahwa segala penderitaan manusia—perang, wabah, pengkhianatan—adalah lagu nina-bobo kosmik.
Dan ia, kini sebagai Dei Vulneris, harus menjaga lagu itu agar terus bernyanyi.
Dengan Cincin Solomon yang ternyata bagian dari tubuh Ylmorrath, Mak Lampir kini bisa menulis ulang mimpi. Ia dapat memanjangkan penderitaan, menyalakan perang baru, membangkitkan iblis, bahkan membengkokkan waktu—semata agar sang monster terus terlelap.
---
Alam semesta ini, semua peradaban, semua doa dan keputusasaan manusia, hanyalah dongeng murahan yang diceritakan kepada bayi raksasa buta. Dan Dei Vulneris adalah pendongeng gila yang memastikan dongeng itu tidak pernah berhenti—sebab keheningan berarti kebangkitan.
Maka dunia ini tidak pernah mengenal damai.
Sebab damai adalah ancaman terbesar.
Dan penderitaan adalah satu-satunya nyanyian yang menjaga kita tetap ada.
XXX
Kabut ungu menyelimuti Lembah Tiga Bulan, tempat yang selama ratusan tahun menjadi medan pertumpahan darah antara para Cindaku dari Sumatra dan Gumiho dari Semenanjung Timur. Tulang belulang prajurit siluman masih bertebaran di tanah lembah itu, menjadi saksi permusuhan abadi mereka.
Namun malam itu berbeda. Di bawah cahaya bulan merah yang menggantung bagaikan luka di langit, dua pasukan datang tidak dengan raungan perang, melainkan dalam diam penuh kewaspadaan.
Para Cindaku, bertubuh setengah manusia setengah harimau, berderap dengan mata menyala keemasan, bulu-bulu bergetar oleh amarah yang terpendam. Pemimpin mereka, Datuk Belang Hitam, menghunus keris bercakar harimau, namun menancapkannya ke tanah sebagai tanda ia datang bukan untuk bertarung.
Dari arah timur, para Gumiho turun perlahan. Wujud mereka cantik namun berbahaya: perempuan dengan sembilan ekor berayun di belakang, mata bersinar biru seperti api dingin. Pemimpin mereka, Lady Hyeonhwa, melangkah maju sambil membawa lentera roh, yang berkilau dari ribuan jiwa manusia yang pernah ia telan.
Suara angin terhenti. Kedua pihak menatap satu sama lain, seolah sejarah dendam panjang hendak meledak kembali. Tapi Lady Hyeonhwa lebih dulu berbicara:
“Kita sudah terlalu lama saling mencabik. Namun kini, kabar yang kuterima dari roh utara membuktikan—Mak Lampir telah bangkit.”
Raungan rendah terdengar dari barisan Cindaku. Datuk Belang Hitam menggeram, suaranya berat bagaikan guruh:
“Jangan main-main, rubah berekor sembilan. Nama itu sudah ratusan tahun kami dengar sebagai dongeng. Mana mungkin ratu kegelapan itu kembali?”
Lady Hyeonhwa mengibaskan salah satu ekornya. Api biru meletup, membentuk bayangan seorang perempuan tua berselendang hitam dengan mata api merah menyala. Bayangan itu terkekeh, suaranya memecah udara lembah hingga bebatuan bergetar.
“Aku kembali, wahai anak-anak malam. Tunduklah, atau musnah.”
Cahaya itu lenyap, menyisakan keheningan mencekam.
Para siluman dari kedua pihak saling menatap—untuk pertama kalinya, tidak dengan kebencian, melainkan dengan rasa takut yang sama. Datuk Belang Hitam menghela napas panjang, lalu mencabut kerisnya dari tanah.
“Jika benar Mak Lampir kembali, maka bukan hanya darah rubah yang ia inginkan. Ia akan menghisap jiwa harimau, naga, bahkan dewa sekalipun.”
Lady Hyeonhwa mengangguk, lalu mengangkat lentera rohnya ke langit.
“Mulai malam ini, aku dan sembilan ekorku menyatakan gencatan senjata. Cindaku dan Gumiho harus bersatu, dan kita akan mengirim kabar ke seluruh bangsa siluman— bahkan roh pohon yang tertua—bahwa dunia berada di ambang kegelapan.”
Seruan panjang bergema dari pasukan Cindaku, bersahut-sahutan dengan nyanyian mantra para Gumiho. Dua musuh bebuyutan itu kini berdiri sejajar, dan dari lembah yang selama ini hanya mengenal perang, kini terbit sebuah aliansi kelam demi menghadapi musuh yang lebih besar.
Dan jauh di balik bayangan gunung, Mak Lampir menyeringai. Ia tahu, sekalipun para siluman bersatu, semuanya pada akhirnya hanya akan menjadi bidak dalam permainan kekuasaannya.
XXX
Kepulauan Nusantara kini menjadi salah satu Koloni Federasi Sosialis Goryeo, dengan Nama Airstrip One. Selama hampir seabad Nusantara diperintah dari Pyongyang.
Wilayah Airstrip One menjadi daerah konflik yang sangat berbahaya antara kelompok separatis dan Pasukan Federasi Sosialis Goryeo maupun ancaman dari berbagai mahluk aneh termasuk para zombie yang kadang masuk ke Zona demiliterisasi.
Kota Airstrip One diguncang oleh suara tembakan. Sekelompok kriminal bersenjata merampok bank dan menakut-nakuti warga. Dari bayangan sebuah gedung, seorang remaja muncul — mata merah muda samar, napas berat tapi tenang.
Violante, superhero baru yang hangat diperbincangkan mengangkat bunga mawar yang berdenyut di tangannya. Satu hembusan, dan cahaya atom menyambar ke arah para kriminal. Senjata mereka meledak di tangan sendiri, dan mereka terlempar ke udara. Saat mereka terkapar, Violante merasakan tubuhnya bergetar—jari-jari yang dulu lemah kini kembali sempurna, kaki yang pincang semakin kuat.
"Satu ancaman… satu kemenangan," bisiknya.
Beberapa minggu kemudian, sebuah monster raksasa muncul di pelabuhan, menghancurkan kapal-kapal dan menakut-nakuti penduduk. Violante berdiri di dermaga, bunga mawar berputar di udara.
Monster itu mengaum, mengejar Violante. Ia menembakkan napas atom melalui bunga, cahaya meledak tepat di dada monster, membuatnya terhuyung mundur. Monster itu kembali menyerang, tetapi Violante bergerak gesit, menghindar sambil menembakkan serangan atom satu demi satu. Setiap kali monster itu jatuh, tubuhnya semakin utuh—otot yang dulu lemah kini mengeras, kulitnya menjadi normal.
"Semakin banyak musuh… semakin lengkap aku."
Di kawasan industri, sebuah robot raksasa lepas kendali. Logamnya memantulkan cahaya neon, setiap langkahnya menghancurkan jalanan. Violante berdiri di atap gedung, bunga mawar di tangannya berputar cepat.
Ledakan cahaya atom menghantam robot, menghancurkan salah satu kaki dan tangan logamnya. Saat robot roboh, tubuh Violante bergetar lagi—lengan yang dulu kurang kuat kini penuh tenaga, dada yang tak sempurna kini kembali.
Ia meloncat dari gedung ke gedung, menembakkan serangan atom satu demi satu sampai robot itu akhirnya terjatuh dan hancur berkeping-keping.
Suatu malam, langit Jakarta terbuka oleh pesawat alien hijau yang menembakkan laser biru ke jalanan. Warga berlari ketakutan, dan Violante muncul dari kegelapan atap gedung.
Bunga mawar berputar di tangannya, cahaya atom meluncur menghantam pesawat alien satu demi satu. Saat alien jatuh dan meledak, tubuhnya bergetar lagi—kaki dan tangan yang belum sempurna kini utuh sepenuhnya.
Pada saat itu, Violante tersenyum sendiri, merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam tubuhnya. “Setiap musuh yang kuhadapi… membawa aku lebih dekat menjadi manusia seutuhnya,” gumamnya.
Violante berdiri di tepi hutan dekat kaki Merapi, napasnya berat. Kabut lava yang tersisa dari letusan beberapa hari lalu masih menempel di udara. Di depannya, segerombolan iblis Mak Lampir muncul, mata merah menyala, cakar dan taring siap menyerang. Grandong adalah cucu tiri Mak Lampir. Meskipun bukan anak kandung, Grandong adalah salah satu pengikutnya yang setia, yang muncul dan memiliki wujud mirip genderuwo dengan taring.
Ia menutup mata sejenak, merasakan energi yang mengalir dari tangannya. Dari telapak tangannya muncul sebuah bunga mawar berwarna merah menyala, berputar-putar di udara seolah hidup. Napasnya yang panjang mengalir melalui bunga itu, dan tiba-tiba bunga itu meledak menjadi cahaya atom, menghancurkan salah satu iblis menjadi debu bercahaya.
Namun, setiap kemenangan itu membawa konsekuensi. Violante merasakan sakit halus, seperti ada bagian tubuhnya yang hilang. Tangannya bergetar, kakinya lemas. Ia tersadar: setiap kali ia membunuh iblis Mak Lampir, satu bagian tubuhnya yang belum sempurna kembali menjadi manusia seutuhnya.
Ia menatap tangannya sendiri yang mulai normal kembali—jari-jari yang dulu cacat kini utuh. Kakinya kembali sempurna. Dada dan lengannya mengeras, kulitnya kembali mulus. Violante tersenyum tipis, merasakan energi kehidupan yang perlahan kembali ke tubuhnya.
“Ternyata ini… caranya menjadi manusia seutuhnya,” gumamnya. “Setiap pertarungan membawa aku lebih dekat ke diriku sendiri.”
Tiba-tiba, sebuah iblis lebih besar muncul dari bayangan pohon bambu. Mata iblis itu menatapnya tajam, dan dengan suara yang menggeram, ia berlari menerjang. Violante menarik napas dalam-dalam, bunga mawar di tangannya berputar lebih cepat, cahayanya memancar seperti ledakan mini atom. Saat cahaya itu menyapu iblis, tubuhnya bergetar lagi—lengan yang dulu lemah kini penuh tenaga, kaki yang pincang kembali sempurna.
Di kejauhan, Cindaku muncul, melompat gesit di atas pohon. “Kau bisa melakukannya, Violante! Jangan biarkan Mak Lampir menang!” teriaknya, menembus kabut.
Violante mengangguk, menatap bunga mawar yang berdenyut dengan cahaya atom. “Ini baru permulaan,” bisiknya. “Aku akan membunuh setiap iblisnya… dan aku akan menjadi manusia… sepenuhnya.”
Dan dari puncak Merapi, Mak Lampir mengamati dengan mata penuh kemarahan. Senyumnya berubah menjadi taring dingin: “Kau akan membayar… Violante… satu per satu, dan aku akan mengambil semua yang kau cintai!”
XXX
Ratusan tahun lalu, Mak Lampir dikurung dalam sebuah peti mati bertuliskan ayat suci oleh Kyai Ageng Prayogo, murid Sunan Kudus. Perintah ini datang dari Sultan Raden Patah, yang ingin membasmi bid’ah dan menghancurkan Mak Lampir yang terkenal jahat. Namun, sebelum terkunci, Mak Lampir bersumpah bahwa ia akan kembali menguasai tanah Jawa lima ratus tahun kemudian.
Mak Lampir sebenarnya adalah seorang putri dari kerajaan kuno Champa—nama yang berasal dari bahasa Vietnam, Chiem Thanh, yang berarti “kerajaan yang pernah menguasai wilayah Vietnam Tengah dan Selatan” sekitar abad ke-7 hingga 1832. Ia dikenal sebagai perempuan cantik jelita, putri bangsawan, namun hidupnya berubah drastis karena patah hati. Hubungan cintanya dengan seorang pria bernama Datuk Panglima Kumbang tidak mendapat restu keluarga, menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam.
Dalam kesedihannya, sang putri pergi bertapa di Gunung Marapi. Di sana ia bertemu seorang guru sakti yang kemudian mengajarinya ilmu gaib hingga setara dengannya. Warga sekitar gunung, yang ketakutan mendengar namanya, kemudian menyebutnya Mak Lampir. Meski tidak direstui, Mak Lampir tetap mencari Datuk Panglima Kumbang. Namun, takdir mempertemukan mereka di medan pertempuran, dan sayangnya, Datuk Panglima Kumbang tewas.
Kesedihan Mak Lampir begitu dalam hingga ia mencoba menghidupkan kembali sang pujaan hati. Namun, ada satu syarat: wajahnya akan berubah menjadi buruk rupa. Demi harapan bersatu dengan Datuk Panglima Kumbang, ia rela melakukannya. Sayangnya, usahanya berakhir tragis—Datuk Panglima Kumbang tidak mengenalinya, malah menganggapnya sosok setan yang menebarkan malapetaka di desa. Kecewa dan marah, Mak Lampir benar-benar berubah menjadi sosok jahat yang memerangi kebaikan.
Legenda cincin Raja Solomon tidak pernah benar-benar padam. Dari balik dunia gaib, Mak Lampir—sang ratu hitam—mengetahui rahasia keberadaan cincin tersebut. Ia percaya bahwa dengan cincin itu, ia bisa menjadi penguasa tunggal bangsa siluman, jin, dan roh halus di seluruh dunia.
Mak Lampir pun memulai perburuannya. Ia membangkitkan pasukan gaib dari berbagai belahan bumi, menyingkap reruntuhan kuno, hingga berusaha menembus dasar laut tempat cincin itu pernah hilang. Dunia manusia yang tak sadar mulai diguncang teror aneh, dari fenomena mistis hingga perang gaib tak kasatmata.
Legenda manusia mengatakan cincin itu adalah pemberian Tuhan.
Namun kenyataan yang lebih purba dan mengerikan adalah: cincin itu sebenarnya kuku patah dari Eresh-Gorath.
Cincin itu disebut Anulus Tenebris, atau Cincin Luka Abadi
Bukan alat untuk menundukkan iblis, melainkan jangkar realitas: benda yang memastikan dunia manusia tetap terjebak dalam siklus penderitaan, agar Para Dewa Luka tidak pernah mati kelaparan.
Raja Solomon hanyalah penjaga ilusi, bukan pemilik kuasa sejati. Ia sendiri tak pernah sadar bahwa cincin itu adalah serpihan dewa.
XXX
Sanghyang Wenang adalah putra dari Sanghyang Nurassa. Sejak muda, ia dikenal berbakat dan mewarisi seluruh ilmu kesaktian ayahnya. Karena kecakapannya, Wenang dipilih sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Seperti kakeknya, ia gemar bertapa, mendatangi berbagai tempat keramat, serta menjalani beragam laku spiritual. Dari hasil lelaku itu, Wenang berhasil membangun sebuah istana melayang di puncak Gunung Tunggal, gunung tertinggi di Pulau Dewa. Setelah 300 tahun berkuasa, ia bahkan dipertuhankan oleh seluruh jin penghuni pulau tersebut.
Namun kejayaan Wenang membuat Raja Solomon curiga. Solomon mendapati jumlah pasukan jinnya berkurang drastis, dan laporan menyebut banyak di antara mereka berpindah mengabdi kepada Sanghyang Wenang. Tak tinggal diam, Solomon memutuskan menaklukkan Wenang.
Ia mengirim pasukan jin yang dipimpin oleh senapati bernama Sakar. Pertempuran besar pun pecah di Pulau Dewa. Awalnya pasukan Solomon unggul, tetapi keadaan berbalik ketika Sakar justru terpikat oleh kesaktian Wenang dan memilih berkhianat, mengabdikan diri padanya. Wenang yang terkesan pada kemampuan Sakar, bahkan menjadikannya murid dan mengajarkan berbagai ilmu gaib.
Pada suatu hari, Wenang bertanya tentang rahasia kekuatan Raja Solomon. Sakar menjawab bahwa Solomon memiliki pusaka suci pemberian Tuhan bernama Cincin Anulus Tenebris, atau Cincin Luka Abadi, cincin yang menjadi sumber kekuasaan atas manusia, jin, dan alam semesta. Mendengar itu, Wenang sangat ingin memilikinya. Ia pun mengutus Sakar untuk mencuri cincin tersebut.
Dengan penyamaran, Sakar berhasil masuk ke istana Bani Israil dan menukar identitasnya dengan Solomon. Cincin sakral itu berhasil ia curi, membuat Raja Solomon jatuh sakit parah dan kehilangan wibawanya. Dalam keadaan itu, Sakar sempat berkuasa sebagai “Solomon palsu”. Namun pada akhirnya, cincin tersebut terlepas dari genggamannya dan jatuh ke dasar lautan, hilang entah di mana.
Solomon yang masih terbaring sakit mendapat wahyu dari Tuhan tentang pencurian itu. Setelah cincin ditemukan kembali, ia pulih dan mempersiapkan pembalasan. Pulau Dewa dikepung pasukan manusia dan jin, lalu dihancurkan dengan kekuatan besar—bagaikan ledakan nuklir purba. Pulau besar Lakdewa dan Maldewa hancur tercerai-berai menjadi ribuan pulau kecil. Sanghyang Wenang bersama keluarganya akhirnya mengungsi ke dasar bumi, lalu beberapa tahun setelah kematian Solomon, ia kembali muncul dan mendirikan kahyangan baru di puncak Gunung Tengguru, Himalaya.
Raja Solomon, manusia dengan kebijaksanaan yang dikagumi dari timur ke barat, pernah menjadi simbol keadilan. Ia menimbang perkara dengan hati jernih, ia menundukkan bangsa-bangsa dengan diplomasi, bukan pedang. Namun di balik tahtanya, ada rahasia yang kelak merobek dirinya sendiri: sebuah cincin yang tak berasal dari Tuhan, melainkan dari mimpi gelap Ylmorrath.
Cincin itu dikenal sebagai Segel Solomon. Umat manusia percaya itu adalah lambang kuasa ilahi, pemberian Surga. Namun kebenarannya jauh lebih ngeri: cincin itu adalah serpihan kuku Ylmorrath, dipahat menjadi lingkaran agar dapat menempel pada daging fana.
Setiap bisikan di cincin itu bukanlah suara malaikat, melainkan dengung mimpi Ylmorrath yang diterjemahkan oleh Dei Vulneris. Dengan cincin itu, Solomon memerintah jin, siluman, bahkan iblis. Dunia tunduk. Alam gaib patuh. Namun harga dari semua itu adalah penderitaan yang harus ditanggung dalam jiwa sang raja.
---
Makin lama Solomon mengenakan cincin itu, makin ia mendengar gema yang tidak dimengerti oleh manusia lain:
Tangisan bayi yang belum lahir.
Jeritan ribuan orang yang mati dalam perang jauh di masa depan.
Doa orang-orang yang tak pernah sampai ke surga.
Setiap malam, ia duduk di ruang takhtanya, menutup telinga, namun bisikan itu tetap menembus tulang.
"Wahai manusia mulia, engkau hanyalah alat pengantar tidur. Jagalah mimpiku, atau semesta akan punah."
Itulah suara Ylmorrath, yang mengguncang jantungnya.
Solomon, dengan segala kebijaksanaannya, sadar ia bukanlah makhluk yang cukup kuat untuk menanggung beban kosmik itu. Hatinya mulia, tapi justru itulah kelemahannya. Ia tak tega menukar penderitaan manusia hanya demi menjaga monster tetap tidur.
Maka pada suatu malam, di bawah langit Yerusalem yang dipenuhi bintang—bintang yang sesungguhnya hanyalah noktah cahaya dalam mimpi Ylmorrath—Solomon menanggalkan cincin itu. Namun cincin itu menempel pada dagingnya, membakar jarinya, merasuk ke dalam nadinya.
Tubuh Solomon bergetar, darahnya mendidih. Ia mencoba melempar cincin ke laut, namun sebelum sempat, jantungnya pecah. Darah mengalir ke tanah suci, dan dari luka itu lahirlah makhluk-makhluk pertama yang disebut iblis, jelmaan penderitaan yang tak lagi bisa ia tampung.
Jasad Solomon dikubur, namun ruhnya tercerai-berai, tertelan ke dalam lapisan mimpi Ylmorrath. Ia mati bukan karena pedang, bukan karena usia—melainkan karena jiwanya remuk dihantam bisikan kosmik yang tak bisa ditanggung manusia manapun.
Cincin itu hilang. Tak ada satu pun manusia yang tahu kemana ia pergi setelah jatuh dari jari Solomon. Namun Dei Vulneris tahu: cincin itu tidak hilang, ia hanya menunggu tuannya berikutnya.
Ribuan tahun kemudian, cincin itu akhirnya ditemukan kembali… oleh Mak Lampir.
Dan kali ini, ia tidak hancur karenanya—ia justru bangkit sebagai Dei Vulneris Kelima, penguasa kegelapan kosmik.
Sementara itu, Sanghyang Wenang yang sejak lama bersembunyi di bawah Himalaya, merasakan kembalinya aura cincin itu. Ia tahu, jika cincin jatuh ke tangan Mak Lampir, maka akan lahir era kegelapan baru yang mengancam keseimbangan dunia.
Berabad abad kemudian, di Airstrip One, tahun 2088, seorang anak laki-laki lahir saat Gunung Merapi meletus. Mak Lampir menuntut tumbal dari darah daging anak itu untuk membangkitkan kekuatannya. Sang ayah, seorang ilmuwan biologi, mendapat nasihat dari guru spiritual untuk membuang anaknya. Namun ia menolak. Sebagai gantinya, sang ayah memodifikasi genetik anaknya, menggabungkan mutasi akibat radiasi nuklir dengan gen tanaman mawar, dan sebagian gen dirinya sendiri. Hasilnya adalah anak yang memiliki kekuatan luar biasa bernama Violante, yang ditakdirkan untuk melawan Mak Lampir.
Ayahnya, menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Nasihat guru spiritualnya terngiang: “Buanglah… atau dia akan menjadi tumbal Mak Lampir.”
Ia menggenggam tangan bayinya erat-erat. “Aku tidak akan membuangmu,” gumamnya. Di laboratoriumnya, ia merancang sesuatu yang mustahil: menyambungkan DNA bayinya dengan gen hasil radiasi nuklir, ditambah energi dari tanaman mawar, agar ia mampu bertahan dan menentang kegelapan yang akan datang. Anak itu akan menjadi Violante — harapan satu-satunya melawan Mak Lampir.
Bertahun-tahun kemudian, Violante tumbuh menjadi remaja pendiam. Tubuhnya lebih kuat, lebih gesit, dan matanya selalu bersinar aneh, seolah memantulkan letusan Merapi lima tahun sebelumnya.
Suatu sore, di pasar tradisional, ia melihat seorang anak perempuan yang berbeda dari yang lain: gerakannya luwes seperti harimau, mata kuningnya menatap tajam. Rambutnya berkilau saat tertimpa sinar matahari.
Selama bertahun-tahun, Violante tumbuh menjadi pendiam. Hidupnya berubah saat bertemu seorang anak perempuan—seorang Cindaku, manusia harimau keturunan Datuk Panglima Kumbang—yang nyawanya kini diincar Mak Lampir. Anak itu bersumpah untuk melindunginya, memulai perjalanan baru yang penuh bahaya dan takdir.
XXX
Berabad-abad cincin Tenibris hilang, jatuh ke tangan-tangan yang salah, hingga akhirnya tiba di genggaman Mak Lampir, perempuan yang tubuhnya dipenuhi kutukan dan dendam.
Saat cincin itu menyatu dengan dirinya, ia tidak lagi sekadar dukun sakti. Ia dilihat dan dipeluk oleh Eresh-Gorath sendiri.
Tubuhnya pecah menjadi kosmik. Kulitnya berkilau seperti kaca obsidian,, matanya memantulkan ledakan bintang yang mati, suaranya bergema menembus lapisan dimensi.
Ia menjadi entitas baru, setara dengan Sang Luka Hidup.
Mak Lampir tidak puas hanya menjadi ratu kegelapan.
Ia berkata:
"Para Dewa Luka lahir dari penderitaan manusia.
Kalau begitu, apa jadinya bila aku yang menulis penderitaan itu?
Aku bukan lagi bidak.
Aku akan jadi dalang.
Aku akan menjadi Luka yang Mutlak."
Dengan cincin sebagai pena, ia mulai menulis ulang realitas.
Perang, sejarah, bahkan mimpi manusia — semua mulai retak.
Di malam bulan merah, Mak Lampir berdiri di Gunung Selamet. Cincin di jarinya berputar, menulis simbol yang hanya bisa dibaca oleh Para Dewa Luka.
Ia berbisik — tapi gaungnya terdengar sampai ke inti bumi dan ke tepi galaksi:
"Alam semesta hanyalah mimpi dari Eresh-Gorath.
Kini, aku yang akan bermimpi.
Kalian semua adalah bayanganku.
Dan aku… adalah Luka yang Abadi."
Mak Lampir berambisi menjadi Penguasa Kegelapan Mutlak, melampaui bahkan Para Dewa Luka yang menciptakan cincin itu.
Ia ingin menghapus batas antara dunia nyata, dunia mimpi, dan dunia siluman, menjadikan segalanya satu: sebuah kosmos abadi di mana hanya ada dirinya sebagai pusat.
Berabad-abad cincin itu hilang, jatuh ke tangan-tangan yang salah, hingga akhirnya tiba di genggaman Mak Lampir, perempuan yang tubuhnya dipenuhi kutukan dan dendam.
Bintang-bintang pun gemetar.
Dan di kejauhan, bahkan Para Dewa Luka sendiri terdiam — apakah mereka sedang tersenyum, atau mulai takut pada ciptaan mereka sendiri?
XXX
Cincin Solomon berputar di jarinya. Permata hitam di tengahnya berdenyut seperti jantung yang berdetak lambat, namun setiap detaknya memantulkan cahaya bintang yang jauh. Mak Lampir menatap permata itu, dan sesuatu dalam dirinya terhubung ke ruang di luar semesta.
Aku melihat waktu bukan sebagai garis, tetapi sebagai lingkaran yang retak.*
Aku melihat kelahiran dan kematian manusia bagai kelopak bunga yang mekar lalu membusuk dalam satu tarikan napas.*
Aku mendengar jeritan anak-anak yang belum lahir, tangisan orang tua yang belum mati, dan doa-doa yang belum pernah diucapkan.*
Ia berbicara pelan, tapi gaungnya terdengar ke seluruh dunia.
---
Kulitnya tak lagi menyerupai daging manusia. Ia kini berkilau bagai kaca obsidian, memantulkan cahaya biru yang tak berasal dari bulan. Matanya memancarkan letupan bintang yang mati jutaan tahun lalu, namun masih menyala dalam dirinya. Rambutnya, yang dahulu kusut seperti sulur-sulur hutan tua, kini melayang bagai kabut kosmik, menyatu dengan langit malam.
Setiap langkah yang ia ambil memecahkan tanah, namun tanah itu menutup kembali, seolah tunduk pada keinginannya.
Di hadapannya, realitas bergulung-gulung. Pohon-pohon berubah menjadi debu lalu kembali lagi, gunung runtuh lalu berdiri tegak kembali. Ia melipat waktu seperti melipat kain tipis.
Mak Lampir tersenyum tipis. Bukan senyum manusia, melainkan senyum dari sesuatu yang telah menatap wajah para dewa dan tidak lagi merasa kecil.
---
Ia melihat dirinya di tiga tempat sekaligus:
Di masa lalu, ketika ia hanyalah perempuan desa yang ditolak dan dipermalukan.
Di masa kini, ketika cincin itu berputar di jarinya.
Di masa depan, ketika seluruh semesta telah hanyut dalam mimpinya.
Baginya, tidak ada lagi waktu. Masa lalu dan masa depan hanyalah cermin yang saling menatap.
"Aku adalah luka yang menulis dirinya sendiri," bisiknya.
---
Di kedalaman laut, naga-naga tua terbangun dari tidur mereka, merasakan retakan pada hukum alam.
Di hutan Sumatra, Cindaku meraung, bulunya berdiri, sadar bahwa ada kekuatan yang bahkan siluman tertua tak bisa lawan.
Di semenanjung Korea, para Gumiho berhenti menari; ekor-ekor mereka bergetar, karena dunia tempat mereka menyamar sebagai manusia sudah mulai terurai.
Bahkan di luar bumi, di antara bintang-bintang, Para Dewa Luka — Eresh-Gorath, Nir-Athora, Veyth-Zorath, Khalthorion — terdiam. Mereka menatap ke arah bumi, ke arah sosok yang kini memegang cincin itu.
Apakah mereka melihat seorang anak yang akhirnya belajar melawan?
Atau mereka melihat ancaman, sesuatu yang bisa merenggut peran mereka sebagai penguasa penderitaan?
---
"Aku melihat dunia kalian," katanya, suaranya kini bergema di kepala semua makhluk hidup, "dan aku melihat satu pola: penderitaan yang abadi. Kalian adalah boneka, diciptakan untuk menangis agar dewa-dewa lapar tidak mati. Tapi aku… aku sudah kenyang dengan tangisan."
Ia mengangkat tangannya. Langit terbelah. Bintang-bintang bergetar seakan hendak jatuh.
"Aku tidak lagi sekadar Mak Lampir. Aku adalah luka yang bermimpi. Dan kini, aku akan menjadi mimpi itu sendiri. Kalian semua akan hanyut dalam ceritaku, dan aku akan menjadi satu-satunya penguasa kegelapan."
---
Sejenak, semesta terdiam.
Gunung Selamet tidak lagi tampak seperti gunung, melainkan menara hitam yang menjulang menembus kabut bintang.
Cincin Solomon berputar begitu cepat, hingga akhirnya lenyap — menyatu dengan tubuh Mak Lampir.
Dan pada saat itu, batas antara dunia nyata, dunia siluman, dan dunia dewa retak.
Realitas berubah menjadi kaca tipis.
Dan Mak Lampir adalah palu yang siap memecahkannya.
XXX
Di balik kemegahan Pyongyang Baru, tersembunyi kegelapan yang lebih dalam dari malam. Kamp-kamp kerja paksa membentang di utara, tempat para tawanan dikurung bukan hanya karena pemberontakan, tetapi karena warisan. Salah satu tahanan itu adalah Ibu Siluman—seorang perempuan bermata emas, cantik namun kelam, yang diketahui adalah Gumiho, makhluk legenda berkekuatan magis, penjaga Daun Keabadian.
Kamp kerja paksa tiga generasi di Federasi Sosialis Goryeo adalah bagian dari sistem penahanan politik paling kejam di dunia, dikenal dengan istilah kwan-li-so (penjara politik). Sistem ini tidak hanya menghukum individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap negara, tetapi juga menghukum hingga tiga generasi keluarganya. Ini berdasarkan prinsip "kesalahan kolektif" (yeon-jwa-je) yang dianut oleh rezim Korea Utara.
"Di mana daun itu?" tanya seorang jenderal dengan suara dingin.
Perempuan itu menatap lurus ke matanya. "Kalau aku memberitahumu, dunia ini tak akan menuju surga... tapi ke neraka yang kekal."
Ia menolak. Maka ia dikutuk. Dibuang ke Kamp Tiga Generasi—tempat para tahanan dan keturunannya hidup dan mati dalam rantai besi tanpa akhir.
Tapi ia hamil.
Di tengah malam yang beku, di barak kayu yang retak, ia melahirkan seorang anak laki-laki. Ia memeluk bayinya yang kecil, yang tubuhnya hangat seperti bara dan matanya bersinar seperti cahaya bulan.
"Aku tak akan membiarkanmu mati di sini," bisiknya. "Kau adalah harapan terakhir dunia."
Sebelum dia akan dibawa untuk menjalani eksekusi mati, dengan air mata yang beku di pipi, ia membungkus anak itu dengan kain merah tua, lalu menghanyutkannya di sungai Taedong yang mengalir melewati reruntuhan kota. Ia berdoa agar air membawanya ke takdir lain.
Takdir itu menjelma dalam sosok yang tak terduga: Istri Kim Jong Un II.
Wanita agung itu, yang tak pernah dikaruniai anak, memaksa untuk mengambil bayi itu saat ditemukan oleh pasukan penjaga. "Lihat matanya," katanya, "Ini pertanda. Anak ini dikirim oleh langit."
Kim Jong Un II mengernyit. "Itu anak siluman."
"Atau malaikat," jawab istrinya tajam.
Pemimpin itu nyaris mengangkat tangan untuk memerintahkan kematian sang bayi. Tapi sesuatu dalam sorot mata anak itu menahannya. Cahaya yang aneh. Kekuatan yang belum ia pahami.
"Baik," katanya akhirnya. "Ia akan hidup. Tapi dalam pengawasanku."
Maka anak itu tumbuh, di istana Tuhan, dikelilingi oleh kemegahan... dan bahaya. Tak tahu bahwa ibunya masih hidup dalam penderitaan. Tak tahu bahwa ia adalah kunci menuju Daun Keabadian.
Dan saat ia mulai bermimpi tentang serigala putih, api abadi, dan suara ibu yang memanggil dari kejauhan, dunia pun bersiap untuk berubah sekali lagi.
XX
Planet Nova Terra, 2323 M
Layar holografik di pusat komando koloni manusia memancarkan gambar Bumi dari satelit yang masih aktif. Permukaannya dipenuhi bangunan-bangunan runtuh, hutan yang telah menjadi liar, dan gerombolan hitam—mayat hidup yang masih bergerak lamban di antara puing-puing peradaban.
"Masih ada aktivitas di sana," bisik Kapten Aria Veyra, matanya menyipit menatap data yang muncul. "Tapi tidak mungkin... Itu sudah 300 tahun. Bagaimana mereka bisa bertahan?"
Sersan Rian menyilangkan tangannya. "Kecuali jika mereka benar-benar mengisolasi diri secara sempurna. Tapi siapa yang bisa melakukan itu selain—"
"Korea Utara," potong Aria, suaranya tegas.
Dinding setinggi 30 meter, diperkuat dengan baja dan kawat berduri, masih berdiri kokoh. Di belakangnya, menara pengawas dengan senjata otomatis terus memindai gerakan apa pun yang mendekat. Di dalam, kota itu hidup—tidak seperti kota mati di luar.
Seorang prajurit Korea Utara dengan seragam usang tapi terawat baik mengangkat teropongnya. Di kejauhan, sekelompok zombie terhuyung-huyung mendekat. Dia tidak khawatir. Tembok itu telah bertahan selama tiga abad.
"Komandan," lapor prajurit itu melalui radio. "Gerombolan ke-17 minggu ini mencoba mendekat. Instruksi?"
Suara berat terdengar di sisi lain. "Hancurkan. Seperti biasa."
Sirene berbunyi, dan senjata otomatis di atas tembok mulai berputar. Satu tembakan, lalu ledakan—zombie-zombie itu berantakan menjadi daging dan tulang yang hancur.
Tapi sesuatu yang tidak biasa terjadi. Di antara mayat-mayat yang bergerak, ada sesuatu... lain.
Seorang manusia.
Dia mengenakan pakaian yang bukan berasal dari zaman ini—jaket kulit sintetis dengan emblem koloni Nova Terra.
Prajurit itu membeku.
"Komandan... Kita punya tamu."
Orang asing itu pingsan, tapi pernapasannya stabil. Di tangannya, tergenggam sebuah perangkat holografik yang memancarkan pesan:
"Kami kembali. Bumi masih milik kita?"
Komandan Park, pemimpin tertinggi Korea Utara yang ke-15 sejak Karantina Besar, mengerutkan kening. Selama 300 tahun, mereka bertahan. Tanpa bantuan. Tanpa kabar dari luar.
Dan sekarang... manusia dari planet lain datang.
Dengan senyum tipis, dia berbisik,
"Selamat datang di bumi, saudara-saudara. Kami masih di sini."
XXX
Bab 3: Kebangkitan Siluman Rubah
Tahun demi tahun berlalu, dan anak yang dulu ditemukan oleh istri Kim Jong Un II tumbuh menjadi remaja yang kuat dan penuh tanda tanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dapat ia jelaskan—sebuah kenangan samar, sebuah suara yang terus memanggil dari kegelapan. Ketika ia beranjak dewasa, mimpi-mimpi aneh mulai menghantuinya. Dalam mimpi itu, ia melihat bayangan seorang wanita dengan mata yang berkilau seperti emas, dan sosok seekor serigala putih yang selalu mengawasinya dari kejauhan.
Suatu malam, saat ia merenung di kamarnya, tatapannya tertuju pada cermin, dan untuk pertama kalinya, ia melihat wajahnya berubah. Ekor panjang dan berbulu muncul di belakang tubuhnya. Matanya berubah menjadi lebih tajam, penuh dengan kekuatan yang tidak ia pahami. Ciri-ciri siluman rubah—gumiho—muncul kembali, membangkitkan ingatan tentang dirinya yang sebenarnya.
"Ini bukan mimpi," bisiknya, sambil menyentuh ekornya yang mulai tumbuh.
Ia menyadari bahwa dirinya bukanlah manusia biasa. Dalam dirinya mengalir darah siluman rubah, makhluk legendaris yang telah lama terpinggirkan oleh peradaban manusia. Secara perlahan, ingatan tentang kehidupannya yang lama mulai kembali. Ia ingat bagaimana ia pernah mencintai seorang lelaki, dan bagaimana dia berjanji untuk terlahir kembali agar dapat bersamanya. Dan sekarang, takdirnya telah membawa dirinya kembali ke titik ini—ke dalam tubuh seorang siluman rubah yang terlupakan.
Namun, di tengah kebingungannya, kenyataan yang lebih besar menantinya.
Pada suatu malam yang kelam, Kim Jong Un II memanggilnya ke ruang singgah pribadinya. Istrinya, dengan tatapan tajam, berdiri di sampingnya, seperti menunggu jawaban dari pertanyaan yang belum diungkapkan.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya," ujar istrinya, suara penuh amarah yang terpendam. "Kau adalah siluman rubah. Anak yang ditemukan di sungai itu adalah satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkan umat manusia. Dan aku ingin tahu di mana letak Daun Keabadian."
Anak itu menatap sang ibu angkat, matanya penuh kebingungan. "Saya tidak tahu apa yang kalian inginkan dengan daun itu. Manusia selalu serakah. Jika daun itu jatuh ke tangan manusia, dunia ini hanya akan hancur lebih cepat."
Kim Jong Un II menyeringai dengan kejam. "Kau berani menentangku? Kita bisa menguasai dunia dengan Daun Keabadian itu! Semua yang ada di sini—aku yang akan mengendalikan segalanya!"
Namun, anak itu tetap menolak. "Kalian tidak tahu apa-apa. Manusia akan menghancurkan segalanya jika mereka mendapatkan kekuatan seperti itu. Saya tidak akan memberitahumu."
Keputusannya membuat Kim Jong Un II marah. Dalam kemarahannya, dia memutuskan untuk mengirim anak itu ke kwan-li-so, kamp konsentrasi yang paling kejam di Korea Utara, di mana ia bisa menderita seumur hidup tanpa bisa mengubah nasibnya.
Di kamp konsentrasi itu, anak itu tidak sendirian. Ia bertemu dengan tiga anak laki-laki yang juga tampak seperti dirinya—berbeda dari manusia biasa. Ketiga anak itu memiliki ekor yang samar, tampak seperti siluman rubah yang terkurung dalam tubuh manusia.
Mereka segera menjalin persahabatan yang erat. Meskipun mereka tidak tahu mengapa mereka berada di sana, mereka merasa ada ikatan yang tak terpisahkan di antara mereka. Mereka tahu bahwa orangtua mereka, yang sebelumnya terlibat dalam pengungkapan rekayasa genetika pemerintah Korea Utara, telah mencoba untuk melawan sistem yang ada. Namun, mereka semua ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke dalam kamp itu.
Suatu hari, keempat anak itu mendengar suara gemuruh yang datang dari luar. Di tengah kabut tebal, muncul sesuatu yang tidak pernah mereka duga: sebuah monster kaiju bernama Pulgasari yang keluar dari fasilitas nuklir Korea Utara. Monster itu sangat suka memakan besi, mengeluarkan napas nuklir yang mematikan dan semakin kuat dan besar setiap dia memakan satu besi, menghancurkan segala yang ada di sekitarnya dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya. Ia semakin kuat dengan setiap serangan, merobek tanah dan bangunan di sekelilingnya.
Gadis rubah yang telah dibebaskan oleh kebangkitan kekuatan monster itu, mengenali kekuatan yang ada. Dia tahu bahwa monster ini, meskipun hancur, memiliki potensi besar. Monster itu tidak hanya akan menghancurkan Korea Utara, tetapi akan membawa mereka ke arah kebebasan—dan ke arah yang lebih besar. Ia berusaha membebaskan seorang remaja laki laki yang merupakan kekasihnya di kehidupan sebelumnya.
"Ayo, kalian semua," katanya pada teman-temannya, "ini adalah kesempatan kita untuk melarikan diri. Kita harus menuju perbatasan di Siberia. Di sana, kita bisa bebas dari kejaran mereka."
Dengan keberanian yang tak terukur, mereka semua melarikan diri, mengikuti monster kaiju yang mengamuk. Kejar-kejaran epik dimulai. Angkatan bersenjata Korea Utara mengejar mereka dengan segala cara—pasukan elit, tank, dan pesawat tempur—tetapi monster itu menghalangi mereka, membalikkan setiap serangan yang diarahkan kepadanya. Sementara itu, keempat anak itu berlari melalui hutan, melintasi tanah tandus, dan mendaki gunung di Siberia yang dingin dan keras.
Di tengah pelarian mereka, di bawah langit yang dingin dan penuh salju, gadis rubah itu akhirnya menjelaskan kepada mereka yang bersama dalam perjalanan ini.
"Kalian semua adalah Gumiho terakhir di bumi ini," katanya dengan suara serak, penuh beban. "Kalian adalah keturunan dari siluman rubah yang telah ada sejak zaman para dewa. Dan kita memiliki misi—misi untuk menemukan Putri Matahari, pelindung para siluman rubah yang akan membimbing kita menuju akhir zaman, menuju surga yang sesungguhnya. Kita juga harus selalu menjaga daun keabadian yang diamanahkan oleh Dewi Kwan IM pada kita, jangan sampai jatuh ke tangan yang salah, jangan sampai ada manusia yang mengetahuinya."
Mereka bertiga hanya bisa terdiam mendengar penjelasan itu. Semua yang mereka tahu tentang diri mereka, tentang dunia ini, tiba-tiba berubah. Mereka bukan hanya anak-anak yang terperangkap dalam dunia yang kacau, tetapi mereka adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang akan membawa mereka ke seluruh dunia, dari Siberia hingga ke ujung dunia yang lain.
Namun, mereka juga harus melawan zombie yang berkeliaran di seluruh dunia, makhluk-makhluk buatan manusia yang kini menjadi ancaman terbesar bagi setiap kehidupan. Namun, dalam perjalanan ini, mereka menemukan lebih dari sekadar perlindungan dan kebebasan—mereka menemukan takdir mereka sebagai pemimpin yang akan melindungi dunia yang semakin rusak ini.
Dengan monster kaiju yang menghancurkan apa pun di jalannya, dan pasukan Korea Utara yang tak henti-hentinya mengejar mereka, perjalanan ini menjadi lebih dari sekadar pelarian—itu adalah perang untuk masa depan.
Dunia yang telah lama hancur, yang telah dipenuhi oleh kematian dan kehancuran, kini mulai menantikan kebangkitan baru. Keempat anak itu, para Gumiho terakhir, adalah satu-satunya harapan yang tersisa untuk mengubah dunia—untuk membawa manusia dan siluman rubah kembali bersama, menuju surga yang jauh di Horizon, dan mengatasi kehancuran yang sudah dekat.
XXX
Pulgasari adalah monster kaiju buatan Korea Utara yang memiliki kemampuan unik dan mematikan. Diciptakan oleh pemerintah Korea Utara sebagai senjata biologis, Pulgasari tumbuh semakin kuat setiap kali memakan besi. Dengan tubuh yang terbuat dari logam dan kemampuan regenerasi luar biasa, monster ini bisa menjadi lebih besar dan lebih kuat seiring waktu, menjadikannya ancaman besar bagi siapa saja yang ada di jalurnya.
Pulgasari adalah monster pemakan logam yang besar, sering digambarkan dengan tanduk dan sisik,wajahnya terlihat seperti banteng pemarah tapi tubuhnya seperti manusia yang kekar dan mampu melakukan kehancuran yang sangat besar. Sosok ini seperti kaiju, berdiri setinggi 164 kaki dan beratnya 3000 ton.
Namun, kehebatan Pulgasari tidak berhenti di situ. Selain kekuatannya yang semakin meningkat, ia juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menembakkan napas atom yang dapat menghancurkan bangunan, kendaraan, dan pasukan dengan mudah. Ketika monster ini meluluhlantakkan Pyongyang, kota ibu kota Korea Utara, kerusakan yang ditimbulkan sangat besar, namun pemerintah Korea Utara berhasil mengendalikannya.
Pulgasari akhirnya diprogram untuk tujuan yang lebih spesifik: mencari daun keabadian, yang dipercaya bisa memberikannya kekuatan yang tak terbatas. Untuk mencapai tujuan ini, monster tersebut diberi misi untuk mengejar para remaja gumiho (makhluk mitologis setengah manusia setengah rubah) yang melarikan diri dari negara tersebut. Para remaja gumiho ini memiliki kekuatan magis yang bisa memberikan akses kepada daun keabadian yang dicari oleh Pulgasari.
Di tengah pengejaran ini, Pulgasari bukan hanya menjadi senjata, tetapi juga simbol dari perjuangan antara kekuatan dunia nyata dan dunia mitos. Pemerintah Korea Utara yang menggunakan Pulgasari berusaha mengendalikan monster ini untuk mencapai kekuasaan abadi, namun monster itu sendiri, dengan kemampuannya yang semakin hebat, menjadi ancaman yang tak dapat diprediksi.
Konflik ini menciptakan ketegangan antara kekuatan militer yang mengendalikan Pulgasari dan ancaman besar yang timbul dari para gumiho yang melarikan diri, serta misteri seputar daun keabadian yang menjadi kunci untuk mendapatkan kekuatan abadi.
XXX
Malam yang dingin menusuk di perbatasan Goryeo-Rusia. Salju tipis mulai berjatuhan, membekukan tanah yang gelap. Sekelompok bayangan bergerak cepat di antara pepohonan pinus, mata mereka bersinar seperti kunang-kunang dalam kegelapan—sembilan ekor rubah berekor sembilan, para gumiho, menyamar dalam wujud manusia dengan mantel tebal.
Zona demiliterisasi (DMZ) adalah area pemisah antara Goryeo dan dunia luar yang kini dikuasai Zombie. Wilayah ini membentang sepanjang 250 kilometer dengan lebar sekitar 4 kilometer dan dijaga ketat oleh kedua negara. Ribuan tentara dari kedua belah pihak ditempatkan di sana.
DMZ dibentuk setelah Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata pada 1953. Melintasi zona ini sangat berisiko bagi warga sipil karena dipenuhi ranjau darat, kawat berduri, kamera pengawasan, dan pagar listrik. Pembelot dari Korea Utara juga menghadapi ancaman tembakan dari tentara mereka sendiri.
Menariknya, beberapa tentara Korea Utara yang bertugas menjaga perbatasan justru menggunakan DMZ sebagai jalan untuk melarikan diri ke Korea Selatan. Misalnya, pada 2012, seorang pembelot bahkan terpaksa membunuh komandannya sebelum melarikan diri.
Korea Selatan ratusan tahun lalu umumnya memberikan kewarganegaraan kepada pembelot Korea Utara untuk mencegah mereka dipulangkan.
Laut Kuning menjadi batas maritim antara Korea Utara dan Korea Selatan, dengan kedua negara saling mengklaim kedaulatan atas perairan tersebut.
Meskipun jaraknya relatif dekat, menyeberangi Laut Kuning sangat berbahaya karena diawasi ketat oleh angkatan laut kedua negara. Militer Korea Utara tidak segan menangkap atau menembak pembelot yang mencoba melarikan diri. Namun, beberapa warga yang mahir berenang berhasil kabur dengan memanfaatkan malam hari sebagai perlindungan.
Selain Laut Kuning, Laut Jepang (Laut Timur) juga menjadi alternatif pelarian ke arah barat Samudra Pasifik. Perairan ini lebih tenang karena dikelilingi daratan—seperti Rusia, Pulau Sakhalin di utara, Semenanjung Korea di barat, serta kepulauan Jepang (Hokkaido, Honshu, dan Kyushu) di timur.
Namun, untuk melarikan diri melalui rute ini, para pembelot memerlukan perahu atau kapal guna menempuh perjalanan panjang menuju Jepang atau Korea Selatan.
Berikut hasil parafrase dari teks yang Anda berikan:
Untuk bisa melarikan diri dari Korea Utara ke China dengan selamat, para pembelot biasanya perlu bekerja sama dengan warga Tiongkok atau orang kepercayaan mereka.
Salah satu yang berhasil adalah Dzhon Khen-mu (nama samaran). Menurut The Guardian, awalnya dia berbisnis di pasar gelap dengan mengimpor pakaian, sepeda, dan berbagai barang dari China.
Khen-mu kemudian sukses secara finansial. Namun justru semakin kaya, dia semakin merasa tidak aman.
Dengan membayar $50, dia membuat dokumen palsu yang menyatakan dirinya telah tewas dalam kecelakaan mobil.
Setelah itu, dia menyebrangi perbatasan ke China dan bersembunyi selama empat bulan sebelum akhirnya meminta suaka di kedutaan Korea Selatan.
"Jika partai mengetahui saya masih hidup dan berada di Korea Selatan, keluarga saya akan mendapat masalah besar. Selama saya 'mati', mereka akan aman. Itu yang selalu saya pikirkan," ujarnya.
Sayangnya, tidak semua pembelot yang sampai ke China beruntung. Kenyataan pahitnya, otoritas China sangat keras terhadap pengungsi dari Korea Utara.
China bekerja sama dengan Korea Utara dalam hal ini dan seringkali mengembalikan para pembelot ke negara asal, di mana mereka akan menghadapi hukuman mati atau dikirim ke kamp kerja paksa.
Cara paling aman kabur dari korea Utara bagi para Gumiho adalah melalui wilayah Siberia.
Haneul, pemimpin mereka, berhenti di balik batang pohon besar. Napasnya membentuk kabut putih.
"Kita hampir sampai ke sungai. Seberangi itu, dan kita akan masuk wilayah Rusia."
Bora, yang paling muda, menggigil. "Apa kita benar-benar aman di sini? Tentara Korut—"
Dae, si pengawal, memotong. "Mereka tidak akan mengejar kita ke Siberia. Wilayah ini terlalu luas, terlalu sepi. Mereka lebih fokus ke perbatasan China."
Tiba-tiba, sorot lampu senter menyapu dari kejauhan. Suara derap sepatu bot di atas salju.
"Patroli!" Jin mendesis, telinga rubahnya nyaris muncul karena panik.
Haneul mengangkat tangan—cakar panjangnya mengkilat. "Jika terpaksa, kita serang. Tapi ingat, jangan bunuh. Cukup buat mereka lari ketakutan."
Para gumiho bersiap, mata mereka berubah merah. Saat tentara mendekat, Bora mengeluarkan suara melengking—gema gaibnya memecahkan kaca di helm tentara. Yang lain mengibaskan ekor mereka, menciptakan ilusi bayangan serigala besar mengaum.
Tentara-tentara itu berteriak, mundur kalang-kabut.
"Sekarang, lari!" Haneul memimpin mereka melompati sungai beku. Di seberang, taiga Siberia membentang—hutan tanpa akhir yang akan menyembunyikan mereka.
Dae tersenyum getir. "Korut mungkin punya senjata, tapi mereka tidak siap menghadapi makhluk mitos."
[Di kejauhan, bulan purnama menyinari jejak kaki mereka yang perlahan tertutup salju. Mereka bebas—untuk sekarang.]
XXX
Setelah manusia meninggalkan Bumi 300 tahun lalu, alam mulai mengambil alih. Tanpa polusi, radiasi, dan perusakan ekosistem oleh manusia, makhluk-makhluk yang tersisa berevolusi dengan kecepatan yang luar biasa. Di hutan-hutan Eropa yang kini telah menjadi raksasa, sekelompok serangga—khususnya kupu-kupu, capung, dan kumbang—mengalami mutasi genetik yang aneh.
Lambat laun, mereka mengembangkan kecerdasan, postur tegak, dan bentuk tubuh yang menyerupai manusia—namun dengan keindahan yang nyaris tidak wajar. Kulit mereka berkilau seperti permata, mata mereka besar dan berwarna-warni seperti kristal,
Posting Komentar