Prolog:
Manusia hanyalah titik yang tak bermakna di alam semesta, sangat kecil dan tak bernilai. Bahkan, jika manusia suatu saat nanti musnah, alam semesta akan tetap kokoh dengan angkuh. Penderitaan manusia tak lebih sekadar jeritan semut di alam semesta yang maha besar dan bisu.
Apa yang bisa dibanggakan dari manusia?a pa gunannya manusia harus ada di alam semesta ini? Mungkin di mata alam semesta manusia hanya titik kecil tak berharga, bahkan dibandingkan debu. Arus waktu juga tak kalah kejam, ribuan atau jutaan tahun lagi tak akan ada yang ingat identitas kita.
Namun, ada kemungkinan besar kita memang istimewa. Ada fakta yang tak bisa dibantah, siapapun kita, semenyedihkan atau tak berharga kita. Kita adalah individu yang hanya ada satu selama miliaran hingga triliunan tahun. Meskipun kehidupan ini tak bermakna, kehidupan tak pernah datang dua kali, tak ada manusia yang pernah terlahir kembali bahkan miliaran tahun kedepan.
Pada mulanya, tiada langit, tiada bumi, hanya Samudra Tak Bertepi yang sunyi, gelap, dan diam. Ombak tak bergerak, arus tak mengalir. Dalam kesunyian itu, lahirlah Suara Pertama, yang memecahkan keheningan seperti petir di dalam lautan purba. Sebelum ada laut, sebelum ada pulau, hanya ada Hening. Hening itu bukan sekadar diam, tetapi sebuah samudra tanpa batas, yang tidak berwarna, tidak berbentuk. Dari hening itulah lahir Senghala, yang tidak berwujud dan tidak bernama, namun dikenal sebagai Nada Pertama. Roh Yang Tak Terlihat, yang menjadi Awal dan Akhir.
Di dalam dirinya berputar tanpa bentuk: cahaya, kegelapan, kesadaran, dan kehendak—semuanya tercampur dalam satu mimpi yang tak bermula.
Pada suatu ketika yang tidak bisa dihitung dengan angka maupun bintang,
Sanghala diam selama puluhan ribu tahun surgawi. Ia tidur, dan dalam tidurnya ia bermimpi tentang wujud. Ia membayangkan langit dan bumi, air dan angin, dan dalam satu gerak lambat yang menggetarkan kehampaan, ia membelah dirinya sendiri. Dari tulang belakangnya, langit pertama terbentuk dan naik menjulang ke segala arah. Dari darahnya, samudra roh mengalir, menyelimuti kehampaan menjadi gelombang. Dari daging dan rambutnya, tumbuh daratan-daratan awal, pulau-pulau yang kelak menjadi inti dunia. Napas terakhirnya menjadi angin yang tak pernah tidur.
Sanghala menatap kehampaan, dan ia berkata,
"Bergelombanglah, hai lautan. Bernyanyilah, hai arus yang belum lahir."
Lautan tak bertepi. Bukan asin, bukan hangat—melainkan air tawar yang bening tak berbatas.
Ia diam. Ia sunyi. Ia tak bernama. Ia segalanya, dan bukan apa-apa.
Lalu muncullah ombak pertama.
Sebuah harmoni yang lahir dari getaran tak disengaja.
Dan dari harmoni itu, Senghala,
yang berarti Yang Tak Terucapkan, Yang Ada Karena Ada,
Dewa pertama dan terakhir.
Ia tidak lahir. Ia tidak dicipta. Ia muncul dari simfoni awal semesta.
Senghala tidak menemukan apa-apa dalam kehampaannya.
Maka Ia menatap ke dalam dirinya, dan dari tatapan itu—tercipta cermin.
Cermin itulah yang menjadi alam semesta:
langit, bintang, planet, angin, dan unsur-unsur jiwa.
Sanghala adalah dewa yang menciptakan daratan Sundalandiawidpa, benua raksasa yang hanya ada satu di bumi Alekawa, dihuni oleh berbagai peradaban dan bangsa manusia. Sundalandia adalah daratan raksasa yang akan dihuni manusia.
Dari daging dan rambutnya, tumbuh daratan-daratan awal, pulau-pulau yang kelak menjadi inti dunia. Napas terakhirnya menjadi angin yang tak pernah tidur.
Dalam diamnya, Sanghala menatap air yang tak terbagi.
Ia melihat potensi. Ia mendengar gema-gema kecil yang belum sempat menjadi suara.
Maka, untuk pertama kalinya, Ia bergerak.
Dari gerakan pertama itu, lahirlah getaran cahaya,
dan dari getaran itu, tercipta ruang bagi waktu,
dan dari ruang itu, terciptalah panggung pertama bagi kehendak.
Namun dunia belum teratur. Langit yang baru lahir belum tetap, bumi bergetar tak berirama, dan samudra menggulung tanpa batas. Maka dari jiwa terakhir Senghala yang belum lenyap, muncul dua cahaya yang berpusing perlahan seperti bintang kembar. Cahaya itu menjelma menjadi dua entitas agung: La Patingana, kaisar langit pembawa hukum dan keseimbangan, dan Senrijawa, permaisuri roh yang melahirkan nyawa dan rasa.
La Patinggana memegang tombak surgawi yang ujungnya mampu menusuk kehendak. Senriwijaya membawa jubah suara yang mampu menenun roh dan menciptakan dunia dari nada. Keduanya turun ke pusaran kekacauan dan, dalam harmoni yang tak terucapkan, mereka menyatukan kekuatan. Senriwijaya menusukkan tombaknya ke pusat kehampaan, dan tetesan dari ujungnya membentuk pulau pertama: Alekawa, tanah yang padat dan penuh cahaya. Senriwijaya kemudian menari di atasnya, dan dari gerakan kakinya lahir 12 pulau suci, 88 sungai roh, dan 108 makhluk penjaga alam yang kelak disebut kami.
Maka dari pusaran suara lahirlah Ombak Pertama, yang menari dan bergulung-gulung, menciptakan Nada Kehidupan. Dari tarian ini, tujuh arus keluar dari samudra purba, masing-masing bercahaya bagaikan bintang yang baru menyala. Mereka adalah adalah dewa dewi yang disebut batara.
La Patingana pemimpin para Batara, ayah La Toge’ Langi’ yang kelak akan menjadi Batara Guru, ayah para manusia, bertugas langsung ke Senghala.
Mengawasi stabilitas kosmos, waktu surgawi, dan hukum tertinggi di ruang sidang yang disebut Istana Takdir Sejati
Hanya bisa diakses saat Gerhana Langit Utuh (Fenomena langit surgawi)
Lahuta Nawa, arus terdalam, penguasa laut yang kelak disebut Tangaroa, raja ikan, paus, dan naga samudra.
Anginua, hembusan badai, sayap tak terlihat, yang membawa hujan dan petir, menyerupai roh penjaga langit.
Apuna Ranu, bara merah dari dasar lautan, yang menyalakan gunung berapi dan meneteskan api kehidupan.
Kayuma, akar pertama, yang kelak menumbuhkan hutan di pulau-pulau yang belum ada.
Rangi, langit muda, dan papa, bumi perawan, yang saling berpelukan erat dalam kegelapan.
Dewi Sri, kerap digambarkan sebagai seorang perempuan muda yang cantik, bertubuh ramping namun berisi, dengan wajah yang mencerminkan keelokan alami khas perempuan di Nusantara. Ia dianggap sebagai perwujudan ideal dari kecantikan, kewanitaan, dan kesuburan.
Dewi Sri telah dihormati sejak era kerajaan-kerajaan besar khususnya sebagai pembawa keberkahan panen padi yang melimpah.
Di sisi lain, Dewi Sri juga dipercaya mampu mengendalikan hal-hal negatif seperti kemiskinan, kelaparan, serangan hama, dan bahkan kematian. Karena keterkaitannya dengan padi, ia sering dianggap sebagai ibu kehidupan. Ia juga sering diasosiasikan dengan tanaman padi dan ular sawah.
Sebuah arca perunggu kuno menggambarkan Dewi Sri sebagai dewi yang menguasai dunia bawah tanah dan bulan. Ia memiliki peran penting sebagai Dewi Ibu, pelindung kehidupan dan kelahiran. Selain itu, ia juga dipercaya mampu mengatur ketersediaan bahan pangan, terutama padi yang merupakan makanan pokok masyarakat
Rangah Dahana, arus hitam, yang iri akan cahaya saudaranya, dan menyembunyikan amarah di dasar laut. Dan masih banyak lagi.
Sanghala yang memisahkan bumi dan langit sadar jika daratan bumi terlalu luas dan sulit diatur oleh dewa yang terlalu sedikit.
Setelah selesai menciptakan para dewa yang menguasai laut dan daratan selatan benua utama Alekawadwipa, Sanghala memutuskan untuk menciptakan dewa yang akan memerintah wilayah Asia Timur. Kedua ras dewa ini mengurus wilayahnya masing masing tanpa saling menggangu, namun Ulubalang setia pada Batara.
Sebelum langit mengenal tinggi dan bumi tahu kedalaman, hanya ada kekosongan abadi—tanpa arah, tanpa waktu, tanpa suara. Senghala menciptakan mutiara tak bernama yang berdenyut perlahan di tengah keabadian gelap, seperti jantung alam semesta yang belum sadar akan keberadaannya. Mutiara yang akan melahirkan para dewa penguasa bumi utara daratan utama.
Senghala kemudian menyanyikan sebuah nada, Nada Ombak Awal, dan dari suara itu lahirlah Cahaya Air, yang mengalir dan membentuk dunia. Tetapi Senghala tidak mau berjalan sendiri; maka dari suaranya diciptakan para Ulubalang Langit, sembilan penguasa arus, yang masing-masing memegang kuasa atas unsur dunia dan melayani para batara.
Baruna Sagara, yang dari tangannya lahir ombak dan arus besar;
Anila Bayu, yang meniupkan angin dan badai;
Agni Ranu, yang menyalakan api di gunung berapi laut;
Tanuwara, yang mengangkat pulau dari dasar samudra;
Pajeng Taru, yang menanam pohon pertama;
Saka Langi, yang menegakkan langit dan bintang;
Aruna Juru, penjaga matahari;
Luhita Tano, yang menabur benih kehidupan.
Di masa awal, saat kehendak belum dibagi,
saat langit belum dipisah dari air dan suara belum menemukan bentuknya,
Sanghala berdiri dalam kekosongan,
dan dari napasnya, semesta mengembang seperti lingkaran yang tiada ujung.
Sanghala mengangkat tanganNya —
tangan yang tak berbentuk, namun terasa dalam segala yang mungkin —
dan menggenggam sejumput keheningan.
Lalu Ia meniupkannya perlahan.
Nafas itu bukan udara.
Ia adalah api putih dan angin merah yang bersatu dalam satu putaran,
menggulung-gulung di atas air, menciptakan pusaran cahaya yang mengangkat kabut purba ke atas.
Dari pusaran itu, muncul seekor makhluk bersayap raksasa,
dengan paruh dari batu matahari, bulu dari angin murni,
dan tatapan yang menyala seperti matahari pertama yang baru saja menyadari dirinya bersinar.
Ia mengepakkan sayap, dan dari kibasan itu,
tercipta langit pertama.
Bukan langit biru — tapi langit bening, langit yang memantulkan segala kemungkinan.
Makhluk itu melayang di hadapan Sanghala, tak berkata apa-apa,
hingga Sanghala membuka suaranya untuk pertama kali:
“Namamu adalah Garuda.
Engkau adalah yang pertama kulahirkan dari kehendak,
bukan dari tubuh, bukan dari darah, tapi dari tugas.”
Garuda menunduk. Meski tidak tahu apa itu hormat,
ia tahu apa itu pengakuan suci. Ia tahu bahwa dirinya kini membawa arti.
“Engkau akan menjadi pengawal langit pertama,
pemecah kabut, penunjuk arah matahari,
dan penyaksi diamku di zaman-zaman yang akan datang.
Saat para dewa masih belum kulahirkan,
saat gunung dan awan masih belum tahu cara berdiri,
engkaulah yang akan terbang dan mengukir angin.”
Garuda membuka paruhnya, dan dari sana keluar teriakan pertama dalam sejarah semesta.
Bukan raungan. Bukan nyanyian. Tapi suara suci yang membuat air berhenti mengalir sesaat,
seakan seluruh alam sedang menunggu makhluk pertama itu bicara.
Lalu Garuda berkata:
“Aku adalah mataMu yang bergerak.
Maka aku akan terbang di atas segala kehendak.
Jika langit pecah, aku akan menambalnya.
Jika dunia retak, aku akan menjahitnya dengan sayapku.
Jika kehendakMu dilupakan, maka aku akan mengingatkan dengan suaraku.”
Sanghala tersenyum —
senyum yang menghangatkan kabut dan menumbuhkan mimpi pertama semesta.
Garuda mengepakkan sayapnya lebih lebar,
dan dari setiap bulunya terciptalah serat-serat cahaya,
yang kelak menjadi dasar langit, benih arah mata angin,
dan lembaran waktu pertama yang bisa dihitung.
Dari tubuhnya yang bercahaya,
awan-awan awal tercipta,
musim-musim pertama tertulis,
dan suara angin mulai punya ritme.
Di tempat pertama Garuda melintas,
sebaris embun jatuh dari langit tak berbentuk —
dan di situlah kelak, pohon pertama akan tumbuh.
Dari kehendaknya yang pertama lahirlah Garuda, si Sayap Abadi,
lalu La Patingna, sang naga laut yang menggulung ombak dengan napasnya,
dan Wanara, makhluk dari tanah dan akar yang lembut, penafsir sunyi dari bumi yang baru sadar akan dirinya.
Dialah yang paling kuat di antara para ulubalang dan batara, penguasa kekuatan laut yang gelap, penggulung ombak purba. Tetapi hatinya berat oleh ambisi. Ia ingin agar dunia kembali menjadi laut tanpa daratan, agar ia sendiri menjadi arus tunggal yang menelan segalanya.
Kehendak Sanghala terlalu besar untuk satu bentuk.
Dari tiap getaran ciptaan,
ada bagian yang tidak sempat diatur,
tidak sempat disusun dalam kehendak,
terlempar sebagai percikan liar dari api penciptaan.
Percikan itu jatuh jauh ke dalam —
bukan ke langit, bukan ke laut,
melainkan ke tempat yang belum diberi nama,
tempat terdalam dalam tubuh dunia: pusar batu,
ruang sebelum suara, di mana gema sendiri takut untuk bergaung.
Dari percikan-percikan itu,
dari bara yang tidak padam dan batu yang tidak hancur,
muncullah mereka yang pertama menggenggam tanah tanpa perintah.
Mereka tidak bernama saat itu,
tapi bumi mengenali mereka sebagai Ashura.
Tubuh mereka keras,
kulit mereka seperti batu bara yang masih menyala merah.
Mereka tidak berjalan seperti manusia,
tidak melayang seperti dewa,
tapi menumbuk bumi dengan langkah berat
seakan setiap pijakan adalah perjanjian mereka dengan dunia.
Mereka tidak berbicara seperti makhluk lain,
mereka bernyanyi dengan getaran logam,
memahat doa pada dinding gua,
dan menyusun puisi dari suara palu dan besi.
Mereka tidak ditugaskan,
tapi mereka bekerja —
menggali lorong, menambang cahaya yang belum muncul,
membentuk gua dari gunung mati dan menjadikannya tempat bernapas bagi nyawa yang belum lahir.
Bagi Sanghala, mereka adalah percikan yang tidak perlu ditarik kembali,
karena mereka telah menemukan tempatnya sendiri:
di bawah, dalam, dan diam.
Tapi diam itu tidak bertahan selamanya.
---
Dalam kedalaman yang paling sunyi,
di bawah tujuh lapis batu,
sebuah suara yang sangat tua mulai bangkit —
suara yang tidak berasal dari kehendak Sanghala,
melainkan dari sisa-sisa ketidakseimbangan pertama.
Suara itu bukan bisikan. Ia adalah lidah yang menjilat dinding batu,
adalah mata yang menyala dalam lumpur,
adalah cakar yang menulis di udara panas
Itulah dia: Lamakara Wolu,
yang dahulu dilempar dari langit karena menelan matahari tanpa izin,
dan kini terbangun dalam bentuk seekor komodo purba yang tubuhnya terbuat dari kemarahan,
dan pikirannya hanyalah satu: membalas hukum.
Ia mendekati para Ashura, yang sedang bekerja dalam diam, dan berkata:
“Kalian, anak batu dan api,
kalian bukan ciptaan.
Kalian adalah sisa.
Tapi dari sisa itulah kekuatan sejati lahir.
Sanghala menciptakan kalian karena ia tidak mampu mengurus semuanya sendiri.
Tapi ia tidak memberi kalian suara, tidak memberi langit, tidak memberi nama.
Aku akan beri kalian semuanya itu.”
Ashura berhenti memukul batu.
Mereka menatap satu sama lain dengan mata yang menyala.
Dan dalam dada mereka yang keras,
bara mulai tumbuh menjadi api kehendak sendiri.
Mereka bertanya:
“Siapakah kami jika tidak diingat oleh langit?”
“Apakah kami harus terus diam?”
“Apa gunanya kekuatan tanpa kehormatan?”
---
Malam itu,
dalam perut dunia yang hanya tahu merah dan hitam,
para Ashura menciptakan mantra logam.
Mereka tidak menulisnya di daun atau kertas,
melainkan di batu dan baja.
Mantra itu berbunyi seperti palu,
dan isinya adalah janji:
Bahwa mereka tidak akan lagi bekerja dalam diam.
Bahwa mereka akan membentuk dunia bawah menjadi kerajaan mereka sendiri.
Bahwa mereka akan mengguncang langit, bukan untuk tunduk, tapi untuk menggugat.
Lamakara tersenyum — jika makhluk seperti dia pernah bisa tersenyum.
Ia tahu, bara telah menyala, dan api itu tidak akan padam.
---
Asura diidentikkan dengan makhluk pembuat bencana. Asura adalah golongan makhluk gaib non-dewa, tapi bukan merupakan hantu. Mereka menjalani kehidupan sebagai penghuni salah satu alam kehidupan—sebagaimana halnya manusia dan dewa—karena masih menjalani samsara atau tumimbal kelahiran, akibat karma yang mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.
Asura sering dikisahkan memiliki sifat yang buruk, yakni memusuhi Dewata, Kadang kala, para Asura disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat, mereka terbagi menjadi kelompok yang baik dan jahat.
Mereka dikatakan sebagai makhluk yang menghuni bagian bawah gunung, masih suka melekat pada kenikmatan duniawi, bersikap iri hati dan berseteru dengan makhluk yang disebut dewa.
Sejak malam itu,
para Ashura memahat kota-kota dari lava beku,
mengukir takhta dari magma tua,
dan menciptakan pasukan dari batu hidup.
Mereka belajar membentuk senjata dari kemarahan,
dan baju besi dari kehinaan yang terlalu lama ditelan.
Mereka bukan iblis,
bukan dewa,
dan bukan manusia.
Mereka adalah Ashura —
anak dari percikan tak bertuan,
makhluk yang pernah bersinar tapi dibuang ke dalam,
dan kini,
berdiri sebagai bayangan dari cahaya yang tidak sempat mereka pahami.
---
Apakah kelak mereka akan kembali ke cahaya?
Atau akan membakar langit yang dulu melupakan nama mereka?
Itu adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab
dalam perang yang belum datang,
dan dalam hati batu yang diam-diam masih berharap didengar.
Melihat ini, Senghala memberi hukum:
“Harmoni adalah jalan dunia. Siapa yang melawan harmoni, akan jatuh.”
Tetapi Lamakara tidak tunduk. Dalam kesunyian, ia membentuk nyanyian sendiri, Nada Ombak Hitam, dan dari nada itu lahir makhluk-makhluk kegelapan:
Orang Bati dan Ahool, para sayap malam yang menyebar di langit; dan dari magma laut ia menciptakan Sembilan Komodo Api, dengan dirinya sebagai yang terbesar, bermahkota pusaran badai.
Untuk melawan Lamakara, para batara memanggil para ulubalang , roh pelayan yang lahir dari percikan Nada Awal. Di antara mereka, yang paling perkasa adalah Batara Guru, penjaga hukum dunia dan pemegang Keris Arcapada, pusaka yang ditempa dari cahaya bintang pertama.
Maka pecahlah perang pertama di laut purba, sebelum Alekawadwipa lahir. Dan meskipun Lamakara akhirnya ditumbangkan dan dirantai di dasar samudra, ia bersumpah sebelum tenggelam:
“Jika rantai karang ini retak, dunia akan kembali jadi laut. Aku akan datang bersama Ombak Terakhir.”
Lalu pulau-pulau lahir, dan manusia berjalan di atasnya. Mereka lupa pada arus purba. Tetapi laut tidak pernah lupa.
Ketika para arus menari, suara Sanghala kembali terdengar, “Terpisahlah, wahai langit dan bumi! Agar dunia mendapat cahaya!” Maka Rangi dan Papa, yang saling berpelukan erat, dipisahkan oleh Anginua. Rangi terangkat tinggi menjadi langit, Papa terbaring menjadi bumi, dan di antara keduanya mengalir angin dan cahaya. Dari air mata Papa lahirlah sungai dan danau; dari peluh Rangi tercipta awan dan hujan.
Setelah perang ombak pertama reda, Sanghala memanggil para arus dan berkata,
"Wahai arus yang setia, dunia ini belum selesai. Akan datang anak-anak manusia, yang lahir dari tanah dan laut. Mereka akan mengisi pulau-pulau yang akan kalian angkat dari kedalaman. Tetapi, ingatlah ini: ketika mereka lupa pada nyanyian laut, ketika kesombongan mereka menyaingi badai, maka Ombak Terakhir akan datang, dan dunia kembali menjadi samudra."
Lalu, para arus berangkat menjalankan tugasnya. Lahuta Nawa menggiring ikan, Tangaroa menumbuhkan karang dan mengatur paus agar menjaga laut dalam. Rangi menyinari dunia dengan cahaya, Papa melahirkan pulau-pulau kecil. Anginua menebarkan badai pertama, dan Apuna Ranu menyalakan gunung berapi yang mengangkat daratan dari dasar samudra.
Di sinilah awal dunia: Era Ombak Pertama, sebelum raja-raja bumi, sebelum kapal pertama berlayar, sebelum nama manusia disebut di atas angin dan ombak.
Di bawah singgasana awan, angin berbisik dengan getir. Anginua, dewa badai, menatap ke arah bayangan yang menggantung di ujung langit. Ia merasakan sesuatu… sesuatu yang lahir dari kedalaman magma, bukan dari cahaya.
Dan memang, ketika para dewa menari menyambut keputusan musyawarah, lautan di ujung dunia bergejolak. Ombak hitam menggulung tanpa angin. Dari pusaran itu, naiklah gunung bergerak, tubuhnya bersisik bagai batu karang, matanya bara merah. Lidahnya menjulur, memercikkan api asin yang menguapkan ombak.
Suara Lamakara Wolu membelah badai:
“Wahai saudara-saudaraku yang lemah, kalian memisahkan langit dari bumi, mengikat ombak agar jinak. Tapi aku… aku akan memutus semua ikatan. Aku akan menenggelamkan pulau-pulau kalian, menghancurkan angin, membakar akar, dan mengembalikan dunia kepada laut purba! Hanya aku penguasa samudra, bukan Sanghala, bukan La Patiganna!”
Para arus terdiam, langit mendung, dan petir menari di tepi cakrawala. Untuk pertama kalinya sejak harmoni dicipta, perang disuarakan di antara gelombang.
La Patiganna bangkit, suaranya menggetarkan langit:
“Engkau bukan arus, engkau adalah luka dalam arus. Jika engkau ingin perang, perang akan datang. Tetapi ketahuilah, engkau tidak akan menang selamanya.”
Lamakara Wolu tertawa, tawa yang menggelegar dan memecahkan karang. Lalu ia menyelam ke kedalaman, membawa kegelapan bersamanya. Dan sejak hari itu, laut tak pernah benar-benar tenang.
Sementara itu, tanpa mengetahui bahaya yang mengintai, La Toge’ Langi’ turun ke Alekawa, menapaki pasir putih Ussu’. Di balik ombak yang lembut, mata bara Lamakara mengintai dari kedalaman.
Batara Guru mengikat perjanjian dengan para arus:
“Laut adalah jalanmu, bukan mangsamu. Angin adalah kawanmu, bukan budakmu. Selama engkau menghormati arus, dunia akan aman.”
Dan manusia patuh. Pulau-pulau makmur, ikan berlimpah, hutan hijau, dan langit cerah. Inilah Zaman Keemasan Ombak.
Namun, di kedalaman laut hitam, mata bara mengintai. Lamakara Wolu, sang pengguncang arus, menyaksikan manusia yang lemah menjadi kuat, membangun kota di atas ombak, dan memahat karang menjadi istana. Api iri membakar dadanya.
---
Bangsa Bajau Purba dan Kesombongan Laut
Dari garis keturunan para pelaut pertama sebelum Batara Guru menurunkan kerajaan Surupala, lahirlah Bangsa Bajau Purba ciptaan langsung Sanghala, manusia yang mencintai laut lebih dari daratan. Mereka hidup di atas perahu, membangun kota terapung, dan bahkan membangun rumah-rumah di bawah laut. Dalam darah mereka mengalir anugerah arus: paru-paru yang mampu menahan napas berhari-hari, mata yang melihat jelas dalam kegelapan laut dalam. Menguasai angin dan membaca ombak,,membangun perahu-perahu panjang, berlayar jauh di atas Laut Besar, menjalin pulau-pulau.
Tapi kekuatan melahirkan kesombongan. Mereka berkata:
“Jika kami bisa menguasai arus, mengapa tunduk pada langit? Jika kami bisa menaklukkan laut, mengapa hormat pada Batara Guru?”
Bisikan itu bukan milik mereka. Itu adalah suara Lamakara, berdesis dalam riak ombak:
“Engkau anak laut, bukan budak arus. Ambil kekuasaan dari mereka. Akulah penjaga samudra sejati. Berlututlah padaku, dan kuberi engkau senjata yang bahkan Batara Guru tak sanggup lawan.”
Melihat bayang kegelapan merayap, para arus setia berkumpul. Tangaroa menenggelamkan bintang laut ke dalam pusaran, Anginua meniup badai putih, Apuna Ranu meletuskan gunung api di bawah laut. Dari amarah dan doa mereka, lahirlah pusaka penyeimbang, yang ditempa dari pecahan cahaya Sanghala dan baja hitam gunung laut:
Keris Arcapada
“Bilanya tipis seperti sayap angin, pamornya berlapis ombak, gagangnya terbuat dari tulang naga laut. Keris ini mengandung nyanyian arus, dan siapa yang memegangnya, memegang kehendak laut.”
Batara Guru menyerahkan Keris Arcapada kepada pewaris yang bijak, agar dunia tetap damai. Tetapi Lamakara tak tinggal diam. Dari magma laut ia menempa Gada Laotika, senjata pemukul yang memanggil badai gelap, pusaka pengikat jiwa yang korup.
---
Bayangan Perang Ombak
Bangsa Bajau Purba, yang dulu pelaut bebas, kini terbelah. Sebagian tetap setia kepada arus dan Batara Guru. Sebagian lain bersumpah kepada Lamakara, percaya bahwa laut harus kembali pada kekuasaan naga purba. Kota-kota terapung menjadi benteng, hutan di pulau besar ditebang untuk kapal perang, dan badai yang tak pernah padam mulai muncul di ufuk timur.
Di atas lautan hitam, seekor Komodo raksasa mengibaskan ekornya, menciptakan gelombang yang memutus jalur dagang. Dan di antara ombak yang mengamuk, suara bergema:
“Datanglah, wahai Ombak Terakhir. Dunia akan kembali menjadi samudra!”
Setelah La Toge’ Langi’ menapakkan kaki di Alekawa, dunia berubah. Ia menjadi Batara Guru, pemimpin manusia pertama. Di bawah ajarannya, lahir para raja kerajaan Surupala meggantikan Bangsa Bajau purba.
XXX
Di atas Langi’ Tua, para arus berkumpul, cahaya berkilauan di antara awan yang berlapis emas. Mereka datang untuk menyaksikan keputusan Sanghala melalui Raja Langit, La Patiganna, yang duduk di singgasana ombak yang membeku menjadi kristal.
“Bumi ini, Alekawa, telah jadi. Ombak bernyanyi, pohon-pohon pertama mulai berakar, dan langit memeluk bumi dengan cahaya. Tetapi siapa yang akan menjaga harmoni ini?” suara La Patiganna bergema seperti guntur jauh.
Para arus suci mengangguk. Tangaroa (Lahuta Nawa), penguasa laut dalam, berbicara:
“Aku telah menebar karang, memanggil paus, dan mengisi laut dengan kehidupan. Namun manusia akan datang, dan mereka harus tahu jalan agar tidak melawan laut.”
Maka diputuskan: La Toge’ Langi’, putra sulung La Patiganna, akan turun ke Alekawa untuk menjadi pemimpin manusia, Batara Guru. Ia akan mengikat darat, laut, dan angin dalam satu hukum.
Namun keindahan dunia tidak bertahan lama. Dalam upaya menyempurnakan alam semesta, Senriwijaya melahirkan seorang anak yang menyatukan api dan waktu: Ranggah Dahana, sang dewa api dan badai laut . Namun tubuhnya terlalu panas, dan dalam sekejap, nyala jiwanya membakar rahim ibunya sendiri. Senriwijaya roboh, tubuhnya meretak oleh panas suci, dan ia jatuh ke Lamakara Loka, dunia bawah, tempat roh-roh tak selesai berkumpul. Di sana, ia tak mati, tapi berubah—menjadi dewi kutukan, dewi ingatan pahit, ratu bayangan yang tak lagi dapat kembali ke langit.
La Patinggana yang hancur oleh duka turun ke Lamakara Loka untuk mencarinya. …
---
Setelah kembalinya La Patingana dari Lamakara Loka dan selesainya ritual , langit tak lagi dikuasai satu kehendak. Dunia memasuki masa Peralihan Agung, ketika tugas-tugas langit tak lagi dijalankan langsung oleh dewa purba, melainkan oleh anak-anak cahaya dan murid hukum surgawi: para dewa muda, pewaris kekuatan, namun memiliki kehendak mereka sendiri.
Dua cahaya yang lahir dari air pemurnian La Patingana, La Tongge Langi dan Ranggah Dahana pada awalnya adalah saudara sejiwa. La Tongge Langi, cahaya teratur, membangun dunia berdasarkan kalender dan hukum musim. Ranggah Dahana, angin badai, menjaga ketidakteraturan agar tidak dibasmi sepenuhnya.
Namun keduanya memiliki visi berbeda tentang masa depan dunia tengah, Karena Ranggah Dahana kini bersekutu dengan Lamakara Wolu menentang Sanghala sang dewa tertinggi pencipta alam semesta.
Ia muak pada langit.
Setiap hari ia melihat para malaikat juru tulis menghitung karma seperti tukang cukai. Ia menyaksikan doa-doa manusia ditolak karena tak sesuai prosedur langit. Ia menyaksikan roh-roh manusia dipaksa bereinkarnasi berdasarkan perhitungan statistik surgawi, tanpa mendengar jeritan hati mereka. Ia melihat anak-anak yang menangis dalam kegelapan, tak mampu dipeluk karena malaikat pengawas sedang sibuk dalam rapat mingguan para dewa.
Langit ke-13 bergemuruh. Bukan oleh petir, tapi oleh bisikan hasrat yang terlalu lama dikurung dalam ruang-ruang rapat surgawi.
Ranggah Dahana berdiri di pelataran Menara Pendengaran Abadi, mengenakan jubah api kabut yang belum sempat dikancing. Matanya menatap ke bawah, ke arah dunia fana yang dipenuhi teriakan, kehancuran, dan keindahan yang tidak pernah bisa dipahami oleh para dewa birokrat.
“Mereka menyebut ini keadilan,” gumamnya, getir. “Tapi setiap keputusan diambil lewat tujuh sidang, lima meterai, dan tiga lapis restu. Sementara dunia membusuk menunggu tanda tangan.”
Di belakangnya, kabut menghitam. Udara jadi berat.
Langkah-langkah bergetar merayap naik dari dasar langit ke-13.
Ia datang.
Lamakara Wolu — dewa purba dari zaman sebelum terang. Kulitnya sisik batu, lidahnya bercabang tiga. Ia bukan hanya seekor komodo raksasa. Ia adalah ide kegelapan yang tidak bisa mati.
“Kau gelisah, anak cahaya,” desisnya. “Langit menolakmu. Tapi aku... menerimamu.”
Ranggah Dahana memutar tubuh. Matanya merah. Jantungnya tidak berdetak seperti dewa biasa. Ia terlalu muda, terlalu penuh gejolak. Ia belum dijinakkan oleh meja sidang, belum tunduk pada kitab peraturan surgawi.
“Apa yang kau inginkan, Lamakara?”
“Aku? Tidak. Aku hanya memberi jalan pada suara-suara di hatimu. Suara yang ditutup oleh para dewa tua yang hanya bisa bersidang, dan bersidang, dan bersidang…”
Ranggah Dahana menggenggam gagang tombaknya, yang belum pernah ia cabut dari sarung suci. Tapi malam itu, ia goyah.
“Apa kau pikir aku boneka yang bisa kau dorong untuk memberontak?”
“Bukan, Ranggah Dahana. Aku tahu kau bukan boneka. Kau adalah bara. Aku hanya meniupkan angin.”
Lamakara mendekat. Nafasnya seperti api busuk dari perut dunia.
Ia menjulurkan lidahnya perlahan ke telinga Susaroku, dan berbisik:
“Bayangkan surga tanpa izin.
Bayangkan dunia di mana keputusan bisa dicabut tanpa cap stempel langit.
Bayangkan, kau sendiri yang menjadi hukum.”
Tombak Aramahi bergetar. Di ujungnya, cahaya suci menghitam pelan-pelan.
Dan malam itu, tanpa izin dewan surga,
Ranggah Dahana turun dari langit ke-13 bersekutu dengan Raja Yakhsa Dewanagari .
Yakhsa Dewanagari adalah raja Asuhra , mahluk setengah dewa setengah iblis mahluk yang setia pada Lamakara Wolu , makhluk yang memiliki kesaktian dan menguasai ilmu gaib tertentu, mirip dengan dewa, dia adalah seorang Yakhsa di kalangan Ashura, Yakhsa adalah Ashura tertinggi yang mengabdi langsung pada Lamakara Wolu ,sebagaimana dewa, yaksa (makhluk gaib), dan raksasa. Ashura Dewanagari adalah raja setengah dewa,roh jahat, raksasa, dan musuh para dewa".
Yakṣa dapat disifatkan sebagai peri penunggu hutan atau gunung, tetapi dapat pula disifatkan sebagai buta, dedemit alam liar yang suka menghadang dan memangsa manusia yang kebetulan lewat, mirip dengan rakṣasa. Mereka adalah roh-roh alam yang biasanya baik hati tetapi kadang-kadang usilan atau angin-anginan, dan dikait-kaitkan dengan air, kesuburan, pohon, hutan, harta benda, serta alam liar.
Yaksa dipandang sebagai dewa-dewa pamong bumi berikut harta kekayaan yang terpendam di dalamnya.pada mulanya yakṣa adalah dewa penunggu kota, daerah, danau, atau sumur. Pemujaan yaksa maupun keyakinan populer akan kewujudan nāga-naga (dewa-dewa ular), dewa-dewa kesuburan perempuan, dan dewi-dewi ibu.yakṣa ditampilkan laksana pejuang-pejuang yang menciutkan nyali atau serupa manusia kerdil berbadan tambun dan bertampang galak.
Melihat kilau cahaya Ranggah Dahana meredup di bawah bayang-bayang Lamakara Wolu,
Sanghala, sang Dewa Pencipta, tidak segera mengangkat senjata. Sebab Ia tahu, badai tidak selalu dapat ditundukkan dengan petir; kadang harus diajak berbicara dengan kesabaran air.
Maka Ia memanggil Batara Antaga, sang punakawan abadi,kakak Ranggah Dahana yang dikenal dengan lidahnya yang jenaka dan hatinya yang setia. Kepada Antaga, Sanghala berpesan:
“Pergilah, Antaga. Dekati Ranggah Dahana seperti saudara. Jangan menghakimi badai—temani ia, bicaralah padanya, dan bawa ia kembali sebelum seluruh Alekawa terhempas dalam angin kegelapan.”
Antaga pun menempuh perjalanan panjang menembus lautan awan dan padang bintang. Ia menemukan Ranggah Dahana di puncak menara badai, tertawa bersama Lamakara Wolu yang duduk di singgasana malam.
Hari demi hari, Antaga menasihati Ranggah Dahana, mengingatkan adiknya masa-masa ketika ia dan Sanghala mencipta dunia dengan harmoni. Namun Ranggah Dahana, keras kepala seperti pusaran topan, menolak setiap kata.
Semakin lama Antaga berada di sisinya, para dewa lain mulai meragukannya.
“Lihatlah,” bisik mereka, “Antaga kini berjalan di bawah panji badai. Ia pasti telah berkhianat.”
Namun mereka tidak tahu, setiap senyuman Antaga di hadapan Ranggah Dahana hanyalah topeng, setiap gelak tawa hanyalah umpan agar ia tetap berada cukup dekat untuk berbisik, “Kembalilah, saudaraku.”
Tahun-tahun pun berlalu, dan usaha Antaga tampak sia-sia. Ranggah Dahana semakin jauh, badai semakin pekat.
Namun Antaga tidak menyerah—sebab ia tahu, bahkan badai terkuat pun suatu hari akan lelah, dan saat itulah setetes cahaya bisa memecah langit.
La tongge Langi ingin memperkuat birokrasi surgawi, memperbesar pengawasan atas jiwa manusia, dan menyatukan kalender langit dengan sistem persembahan. Ia menyebutnya Reformasi Cahaya Satu.
La Toingge Langi menentangnya. Ia percaya manusia dan para dewa perlu ruang untuk berkembang tanpa terlalu banyak laporan dan ritual. Ia menciptakan sistem taman liar surgawi di mana Dewa bisa bertumbuh bebas tanpa pengawasan pusat.
Perang pecah di langit kelima. Seribu tombak cahaya milik La Tongge Langi bertabrakan dengan badai roh kuno milik Ranggah Dahana . Istana musim gugur runtuh. Sungai karma patah arusnya. Ribuan kami hancur, dan hukum reinkarnasi sempat macet selama tiga hari surgawi.
Rangah Dahana yang telah dirasuki Lamakra Wolu murka. Ia berteriak dalam gulungan badai, menolak pemisahan itu. Dari amarahnya lahir badai pertama dan pusaran gelap yang menelan bintang-bintang.
Lahuta Nawa berdiri tegak di tengah ombak, suaranya dalam bagaikan gemuruh laut, “Diamlah, saudaraku! Dunia ini bukan untukmu seorang!” Tapi Rangah Dahana menantang, “Kalau bukan untukku, maka kubenamkan semuanya kembali ke samudra purba!”
Sejak saat itu, lautan tak pernah benar-benar tenang. Ombak membawa nyanyian Sanghala, tapi juga bisikan kegelapan dari Rangah Dahana.
Akhirnya La Patingana ,turun tangan. Ia membungkus langit dengan kabut mimpi dan menghapus memori semua pasukan. La Tongge Langi dan Ranggah Dahana dipaksa menandatangani Perjanjian , bahwa langit dan badai harus tetap bersilang agar dunia hidup.
Namun retakan batin di antara para dewa muda tetap ada. Mereka tak pernah benar-benar bersatu kembali.
---
Tidak semua hukum tercatat bisa menampung makhluk bebas. Tidak semua doa bisa difilter dengan hukum karma.
Di suatu titik paling sunyi, Kitab Jiwa menuliskan satu entri aneh:
“Namanya belum ada. Takdirnya tidak tertulis.
Namun ia akan datang seperti bencana yang tak bisa dihukum.”
Makhluk ini adalah virus dari kehendak bebas, lahir dari semua retakan sebelumnya. Ia tidak berasal dari dewa maupun manusia. Ia adalah Hoshan, roh kehendak hampa. Ia adalah pemikir, bukan pelaku. Namun dari pikirannya lahir gerakan. Dari gerakannya lahir api.
La Patingana tak lagi turun tangan. Ia menyatu dengan hukum alam, tidak menjadi tokoh, hanya menjadi prinsip. Langit tidak mati, tapi menjadi senyap. Dan dunia memasuki Zaman Bayangan Terjaga, ketika manusia, kami, dan roh tidak lagi tunduk sepenuhnya, melainkan memilih jalannya sendiri—dengan resiko kehancuran abadi atau penciptaan ulang.
XXX
Ia adalah Rangah Dahana yang kini bersekutu dengan Lamakara Wolu, arus yang dulu berpaling dari harmoni. Tubuhnya sepanjang sembilan pulau, ekornya menghantam laut, menimbulkan ombak setinggi gunung. Nafasnya menghanguskan awan, menciptakan hujan abu di atas lautan biru.
Ranggah Dahana membawa badai, namun juga kelembutan. Ia adalah dewa perubahan, angin yang membelai dan topan yang mengguncang. Tetapi meskipun namanya bergema dalam perang dan kehancuran, tak ada yang tahu bahwa ia juga pemilik luka terdalam dalam hati langit.
"Ini bukan langit," kata Ranggah Dahana dalam hatinya, "ini penjara transparan, bersinar, dan terlalu bersih."
Maka dalam satu malam, ia melepaskan jubah kebesarannya, memutus kontraknya dengan Birokrasi Langit, dan menyelinap ke dunia tengah: Alekawa . Ia tidak turun sebagai badai, tapi sebagai kabut pagi yang lembut, suara angin di jendela kayu, desir di rambut seorang anak kecil yang sedang menangis sendirian. Ia menampakkan diri pada anak-anak dan remaja di zaman paling gelap umat manusia—ketika langit tak mendengar dan bumi terlalu diam.
Ia tidak memberikan nasihat atau berkhotbah. Ia hanya bertanya:
"Apa keinginan terdalam hatimu?"
Dan ketika anak-anak itu menjawab—dengan polos, tulus, dan jujur—ia mengangkat tangannya, dan mengabulkan keinginan mereka.
Seorang gadis buta ingin melihat—maka ia melihat bintang-bintang menari.
Seorang anak yatim ingin merasakan kehangatan keluarga—dan tiba-tiba ia dikelilingi pelukan roh-roh hangat.
Seorang bocah yang tak pernah bisa berbicara kini menyanyikan hujan.
Namun hadiah itu tidak tanpa harga. Dalam detik pengabulan keinginan, tubuh anak itu menghangat, lalu menyala, dan tanda angin surgawi muncul di punggung mereka. Mereka telah menjadi sesuatu yang baru.
Mereka adalah anak-anak penyihir yang disebut gadis suci memiliki kekuatan penyembuhan. Jiwa manusia yang disulap oleh Ranggah Dahana , diberi setitik kekuatan langit yang telah dicuri diam-diam olehnya dari gudang. Sejak saat itu, setiap anak yang permintaannya dikabulkan akan menjadi penyihir. Mereka tidak hanya menerima sihir, tapi tugas.
Di balik bayang-bayang sejarah dunia——selalu ada penyihir muda yang bersembunyi. Mereka memiliki satu tujuan: melindungi jiwa-jiwa suci dari ancaman para Malaikat maut .
Para malaikat maut. Mereka adalah penyihir masa lalu yang mati, namun jiwanya tidak diterima oleh langit karena mereka pernah menggunakan sihir. Mereka tersesat di antara dunia, menjadi roh lapar, haus akan jiwa muda yang murni, berharap bisa naik ke langit kembali melalui jalan yang salah: dengan merebut nyawa anak-anak suci.
Dan karena itu, penyihir baru harus bertarung. Mereka adalah prajurit tak dikenal yang melindungi dunia dari bayangan waktu. Setiap bencana misterius yang menimpa anak-anak: kematian mendadak, kegilaan, menghilang, bukanlah kebetulan. Itu adalah pertempuran yang gagal. Tapi setiap anak yang tertawa di bawah hujan setelah mimpinya terkabul—itu adalah bukti bahwa Ranggah Dahana masih melindungi dunia dalam diam.
Namun karena tindakan ini, nama Ranggah Dahana dihapus dari daftar dewa resmi. Di langit, ia disebut pengkhianat. Namun di bumi, ia menjadi dewa tak bernama yang dicintai oleh langit kedua: hati anak-anak.
XXX
Di hutan terlarang di kerajaan Surupala yang kini dikenal sebagai Kamyaka, hiduplah makhluk-makhluk luar biasa: naga perkasa dan dinosaurus bijaksana.
Ranggah Dahana , dewa yang menolak tatanan ilahi , bangkit dengan kekuatan kegelapan yang mengerikan. Ia ingin menaklukkan seluruh bumi dan menindas semua kehidupan di sana. Untuk menghentikannya, empat Dewa Naga Besukih bersatu dan menggunakan empat Senjata Dewa yang legendaris. Mereka dibantu oleh dua belas dinosaurus , yang merupakan penjaga zaman purba dengan kekuatan luar biasa.
Setelah pertarungan sengit, Ranggah Dahana berhasil dikurung dalam penjara magis yang tersembunyi di dalam gunung tertinggi Hutan Kamyaka. Namun, kekuatannya tidak benar-benar lenyap.
Dewa Naga dan para dinosaurus tahu suatu saat nanti Ranggah Dahana akan bangkit kembali. Mereka pun mengadakan pertemuan rahasia.
“Kita harus mempersiapkan generasi baru untuk melawan Ranggah Dahana,” kata salah satu Dewa Naga.
“Tapi kita tidak bisa menggunakan makhluk dari dunia kita saja,” jawab seekor dinosaurus .
“Kita harus mencari bantuan dari makhluk lainn…”
Namun kekuatannya tidak benar-benar lenyap.
“Mereka yang memiliki jiwa yang kacau, namun memiliki potensi besar…”
“Mereka harus dipanggil… melalui dunia digital…”
Beberapa abad kemudian, di planet Bumi, sebuah game misterius mulai muncul di forum-forum gelap: Tataba Banua: Awakening of Beasts. Game ini konon mampu membaca kepribadian pemainnya dan mengakses “dimensi para dewa”.
Namun tak banyak yang tahu: game itu adalah alat pemanggil kuno. Program dari Hutan Kamyaka yang disamarkan dalam bentuk hiburan. Pemain yang “lulus” ujian dalam game ini akan menjadi kandidat penjaga Bumi .
XXX
Aku tinggal di kota Margahayu, United Kingdom of Surupala sebuah kerajaan bergaya abad pertengahan dengan teknologi futuristik.
Aku Arman, aku ingin menceritakan sedikit kisah masa kecilku dulu saat seorang anak Kelas 4 SD yang tinggal di pinggir jalan, merasa kesepian karena rumahku sepi. Terbiasa membaca komik superhero, aku merasa bosan dengan kehidupan sehari-hariku yang monoton.
Meskipun menyukai komik superhero, aku tidak tertarik pada pahlawan yang selalu menang. itu membuatku bosan. Mereka terlalu sempurna, terlalu baik, terlalu tak terkalahkan dan membuat semua cerita berakhir klise. Aku lebih terpesona pada penjahat super yang terlihat keren dan selalu memberikan tantangan nyata bagi pahlawan.
Tapi… ada masalahnya. Ada bisikan dalam diriku yang selalu menahan langkahku. Ketika kulihat seseorang kesulitan, ketika kulihat penderitaan yang nyata, entah kenapa tanganku ingin menolong, walaupun pikiranku ingin sebaliknya. Aku bukan pahlawan. Aku bukan juga sepenuhnya penjahat. Aku hanyalah… aku. Arman.
Kebetulan aku mendapatkan kekuatan super ketika aku masih kecil.
Aku tak ingat banyak tentang masa kecilku. Ibuku bilang aku sering demam tinggi dan harus dibawa ke rumah sakit berkali-kali sebelum usia lima tahun. Kadang aku merasa seperti itu adalah cerita orang lain—terdengar jauh, tidak menyentuhku langsung. Aku sehat sekarang, meskipun ada saat-saat ketika aku merasa... ganjil. Seperti ada yang bersemayam dalam tubuhku. Tapi kupikir semua orang juga punya momen seperti itu, bukan?
Yang paling jelas dalam ingatanku adalah satu mimpi yang datang berulang kali sejak aku kecil.
Dalam mimpi itu, aku berada di hutan, sendirian, tubuhku kecil dan kurus. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan bau laut yang samar. Aku berdiri di hadapan gua gelap yang menganga seperti mulut raksasa. Dari dalamnya keluar kabut hitam. Aku merasa takut, tapi juga tenang. Seperti sudah sering ke sana.
Sosok itu muncul dari dalam kabut. Matanya menyala merah, sisiknya hitam seperti malam, dan giginya tajam seperti tombak tua. Komodo raksasa, jauh lebih besar dari rumah. Ia berbicara tanpa membuka mulutnya.
“Kau datang, seperti yang dijanjikan.”
Aku selalu lupa kelanjutannya setelah itu. Mimpi itu berhenti di sana. Tapi aku selalu bangun dengan rasa lega, seperti habis menyelesaikan sesuatu yang penting.
---
Aku pernah tinggal di desa tempat aku lahir. Desa terpencil di sebuah pulau kecil di tenggara Nusantara. Aku tak punya banyak kenangan tentang tempat itu. Orangtuaku pindah ke kota Margahayu saat aku masuk SD,
Tapi begitu aku menginjakkan kaki di tanahnya, aku merasa... aneh. Seperti pulang. Penduduk desa memperhatikanku dengan cara yang aneh—mata mereka memancarkan hormat yang tak masuk akal. Seorang lelaki tua bahkan menunduk ketika aku lewat.
"Apa mereka mengenalku?" tanyaku pada paman yang tinggal di sana.
Paman hanya tertawa kecil. “Kau mungkin lupa, tapi mereka tidak.”
Aku tidak mengerti apa maksudnya, sampai malam itu, aku memutuskan berjalan ke hutan di belakang desa. Seperti ditarik oleh sesuatu.
Dan di sana aku menemukannya: gua itu.
Sama seperti di mimpiku.
Mulutnya masih menganga, kabut hitam masih keluar samar dari dalamnya. Jantungku berdegup kencang. Aku tahu aku harus masuk.
Di dalam, aku melihat simbol-simbol tua di dinding, digores dengan arang dan darah. Lambang spiral, matahari tertutup, dan seekor komodo besar. Di tengah gua, ada batu datar besar, seperti altar. Dan di atasnya, ukiran kuno berbunyi:
"Wadah telah dipilih. Lamakara Wolu hidup dalam darahnya."
Lalu aku ingat semuanya.
Aku ingat malam itu—usia lima tahun, tubuhku lemah karena penyakit. Ibuku menangis. Seorang dukun tua dibawa dari seberang pulau. Mereka membawaku ke gua ini. Aku ingat suara sang dukun:
“Jika tak disembuhkan, anak ini tidak akan hidup sampai dewasa.”
Dan aku ingat suara itu datang dari dalam kegelapan.
“Aku akan menyembuhkannya. Tapi tubuhnya jadi milikku.”
Mereka setuju.
Aku setuju.
---
Aku pulang ke kota dengan kepala penuh tanya. Aku masih hidup, sehat, kuat. Tapi aku bukan hanya aku. Aku adalah wadah. Lamakara Wolu hidup dalam darahku. Mungkin suatu saat dia akan bangkit sepenuhnya, menggunakan tubuhku sebagai pintu untuk kembali ke dunia.
Tapi untuk sekarang, kami hidup berdampingan.
Aku masih bisa hidup normal, bekerja, bercanda, mencintai. Tapi di malam hari, kadang aku bisa melihat matanya dalam cermin. Mata merah menyala dari kedalaman yang bukan milikku.
Dan kadang aku bertanya dalam hati:
“Apa yang harus kulakukan ketika waktunya tiba? Saat dia bangkit sepenuhnya?”
Tapi suara itu hanya tertawa di dalam kepalaku.
Tawa komodo raksasa yang sudah lama menunggu.
---
---
Setelah kunjungan ke gua itu, segalanya berubah. Bukan dalam cara yang dramatis atau menakutkan seperti di film-film. Perubahan itu... lambat. Halus. Seperti air yang menetes terus-menerus pada batu, tak terlihat, tapi mengikis dengan pasti.
Suara itu mulai datang saat aku sendirian. Saat duduk di kamar gelap. Saat berjalan sendirian di malam hari.
Awalnya, suara itu seperti gema pikiranku sendiri. Lalu mulai menjadi sesuatu yang lain—dalam, berat, tua.
“Jangan percaya pada ingatanmu. Mereka menutupi yang sebenarnya terjadi.”
“Kau pikir itu sakit? Itu adalah kelahiran.”
“Mereka menyembahmu dalam diam, tapi mereka takut pada apa yang kau bawa.”
Aku mencoba mengabaikannya, tapi suara itu tak pernah pergi. Dan anehnya, aku tak takut. Bahkan aku mulai menantikannya.
---
Aku mulai melihat perubahan kecil pada diriku.
Saat seseorang mencoba merampas dompet seorang ibu tua di halte, aku mengejarnya tanpa berpikir, dan... aku terlalu cepat. Terlalu kuat. Terlalu ganas. Saat aku menangkapnya, aku hampir menghancurkan lengan pria itu. Dan aku merasa puas.
Dalam refleksi jendela, aku melihat wajahku sendiri—tapi mata itu... mata komodo.
“Kau bukan manusia seutuhnya lagi,”
bisik suara itu.
“Kau lebih. Kau pengingat.”
---
Akhirnya, aku tak tahan lagi. Aku berbicara langsung padanya.
“Apa sebenarnya kau?”
Dan dia menjawab.
“Aku adalah yang pertama disembah di antara bintang-bintang dan gunung-gunung. Aku adalah kekuatan yang dipuja oleh para leluhurmu sebelum nama-nama mereka punah bersama karang dan ombak. Mereka memanggilku Lamakara Wolu: delapan bentuk kehendak kegelapan.”
“Dan kau adalah tubuh baruku. Tapi jangan takut—aku tidak mengambil alih. Aku menyatu.”
Aku merasa mual. Tapi juga... merasa utuh.
Sejak itu, kami mulai berbicara lebih sering. Seperti dua pribadi dalam satu tubuh. Aku tetap aku, tapi dia juga ada. Dan semakin lama, aku mulai sulit membedakan mana pikiranku dan mana pikirannya.
---
Aku mulai membaca naskah-naskah tua, teks Austronesia kuno yang tak pernah kupelajari tapi entah kenapa bisa kubaca. Aku mulai menggambar simbol-simbol yang muncul dalam mimpi. Aku menulis kata-kata dalam bahasa yang tak diajarkan siapa pun.
Lamakara ada dalam darahku, ya, tapi sekarang juga dalam pikiranku.
Dan suatu malam, dalam pantulan air di kamar mandi, aku tidak melihat wajahku lagi.
Aku melihat seekor komodo raksasa. Matanya menyala. Senyumnya mengejek.
Dan aku tidak panik.
Aku tersenyum kembali.
“Sudah waktunya,” kataku, dan dia menjawab dalam suaraku sendiri:
“Kita sudah satu.”
---
Wadah, dan Yang Tak Pernah Tidur
---
Seluruh tubuhku terasa seperti diisi ribuan petir mini. Rambutku langsung berdiri, jantungku berdetak kencang, dan dunia… menjadi gelap.
Aku pingsan.
Aku tak ingat apapun setelah itu kecuali beberapa minggu kemudian saat aku bermain di taman sednirian: aku tergelincir dari ayunan dan jatuh menimpa tanah, tapi bukannya sakit, aku merasakan dorongan aneh mengalir dari telapak tangan dan kakiku ke permukaan tanah. Rasanya seperti… bumi sendiri mendorongku. Aku meloncat, melayang, dan tiba-tiba meluncur di atas permukaan datar taman tanpa menyentuh tanah dengan cara biasa.
Menjadi titisan bukan berarti aku keturunan atau perwujudan langsung dari Lamakara Wolu, tapi itu artinya aku terlibat kontrak hidup mati dengan dia, dia meminjamkan kekuatannya padaku, manusia yang lemah dan tak berguna. Aku hampir putus asa untuk lepas dari pengaruhnya yang berusaha merenggut jiwaku perlahan-lahan. Aku sangat membenci dia melebihi apapun aku bersumpah suatu saat nanti bisa terlepas dari pengaruhnya.
Sejak saat itu, aku bisa bergerak dengan cara yang aneh—meluncur, memantul, bahkan mundur, melintasi permukaan vertikal seolah gravitasi hanya sebatas saranan. Tapi kekuatan fisik itu bukan satu-satunya anehku. Aku bisa mendengar warna—setiap nada biru atau merah seperti musik yang bergetar di telingaku. Aku bisa melihat suara; riuh burung atau langkah kaki tetangga meninggalkan jejak cahaya yang menari di udara. Dan yang paling aneh… aku bisa melihat kenangan masa lalu orang lain. Hanya dengan menyentuh benda yang pernah mereka pegang, aku disuguhi potongan hidup mereka, tawa mereka, luka mereka, rahasia mereka.
Mungkin itulah yang membuatku tidak bisa menjadi penjahat sepenuhnya. Aku terlalu banyak tahu, terlalu banyak merasakan. Setiap kali aku ingin melakukan sesuatu yang gelap, aku menyentuh dunia ini dan merasakan kehidupan di dalamnya, dan bisikan kecil itu muncul lagi: “Bantu mereka.”
Hidupku di pinggir jalan selalu terasa sepi. Orangtuaku sibuk bekerja, dan teman-teman sepertinya tak pernah ada waktu untukku. Sementara aku, Arman, tenggelam dalam dunia komik superhero yang membawa warna kehidupan yang tak kunjung hadir dalam keseharianku.
Suatu hari, kota tempat tinggalku diguncang oleh kehadiran seorang gadis penyihir cantik berkekuatan super yang menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan. Namanya Selena. Dia punya kekuatan super dan menggunakan keahliannya untuk melawan kejahatan. Ide langsung muncul dalam pikiranku: kenapa tidak aku jadi penjahat super? Mungkin dengan cara itu, aku bisa menarik perhatian dan mengubah kehidupanku yang monoton. Aku bisa menjadi penjahat super dan musuh bebuyutan Selena.
Terciptalah ide brilian dalam pikiranku. aku memutuskan untuk menjadi penjahat super dan menjadikan gadis penyihir itu sebagai musuhku. Dengan semangat yang baru ditemukan, langsung saja aku melatih kekuatan superku yang sebenarnya tak terlalu berguna dan pergi ke gudang keluargaku. Alat-alat canggih dan rencana jahat pun mulai tercipta. Meskipun sebenarnya aku tak punya niat jahat, aku hanya ingin hidupku menjadi lebih berwarna. Kekacauan yang aku ciptakan di kota ini hanya untuk menarik perhatian Selena. Aku hampir lupa selain teknologi canggih aku sebenarnya lumayan jago akrobat, selain itu kemampuanku dalam bela diri juga terbilang hebat.
Sebagai The Incognito, identitasku tersembunyi di balik topeng berbentuk Tes Psikologi Rorschach yang polanya berubah mengikuti ekspresi wajahku dan topi ala detektif. aku menciptakan kekacauan di kota ini.
Dibalik topeng The Incognito, aksiku menciptakan kekacauan dengan mencoret-coret tembok stasiun kereta api. Menggunakan skateboard mesin jet, aku dengan cepat melarikan diri saat dikejar petugas kereta, memberikan sentuhan aksi yang spektakuler.
Aku tak berhenti di situ. Dengan kekuatan teknologi, aku menciptakan hologram raksasa berbentuk monster, menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk kota. Kembang api yang menyala membuat malam menjadu berisik dan kacau, mengganggu ketenangan kota tanpa seorangpun mengetahui identitasku.
Aku , yang sebelumnya merasa kesepian, kini memiliki tujuan baru yang membuatku antusias. Setiap malam, aku bekerja dengan penuh semangat di gudangnya, menciptakan perangkat-perangkat yang aku yakini akan membuatnya menjadi penjahat super yang menantang.
Meskipun mungkin terlihat aneh dan misterius, niatku sebenarnya tidak jahat. Semua ini hanyalah cara ekstrem untuk menarik perhatian Selena dan mewujudkan impianku menjadi penjahat super buku komik di dunia nyata. Aku menyiapkan senjata dan robot raksasa untuk melawan Selena, bukan untuk membuat orang terluka tapi sebagai bentuk usaha ekstrim untuk menariknya keluar dari kesehariannya yang penuh tanggung jawab.
Mungkin keputusanku terlalu ekstrim. Topengku dan kekacauanku hanya upaya untuk menarik perhatian Selena, gadis penyihir yang telah membawa warna baru dalam hidupku. Dibalik kesepian dan kekacauan, aku berusaha menemukan arti kehidupan yang lebih dalam,
Aku yakin bahwa dengan cara ini, aku bisa mendapatkan perhatian Selena dan mengubah kehidupanku yang sebelumnya monoton menjadi petualangan yang lebih berwarna bersama gadis penyihir baru yang misterius ini.
Namun, semuanya berubah ketika Selena mengetahui niat sebenarnya di balik kekacauanku. Dia melihat kesepian di balik setiap perbuatan, dan tiba-tiba aku merasa tak sendiri lagi. Bersama Selena, aku belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam tindakan baik dan persahabatan. Kami pun tidak hanya menjadi pahlawan dan penjahat, tapi juga sahabat yang saling mendukung dan menghadapi kehidupan bersama-sama.
Bersama Selena, aku menemukan bahwa persahabatan adalah kekuatan sejati. Incognito tidak hanya sebuah identitas, melainkan perjalanan untuk menemukan kebahagiaan dan arti dalam kehidupan yang sebelumnya terasa monoton.
Suaramu semerdu nyanyian kenari
Ku ingin terus bermimpi terbang bersamanya
Ku mohon
Meskipun hanya desah dan tangisku yang didengar olehmu
Bagaikan malaikat bertubuh salju yang jatuh terbawa angin waktu.
Gandenglah tanganku menuju langit berbintang bagai seorang dewi
Mari dekapkanlah dekapan keabadianmu itu padaku
Melihat bunga-bunga yang bernafas dari hujan
Kakiku mencoba untuk tumbuh menuju ujung cahaya
Terasa begitu jauh untuk menggapai langit itu
Rebutlah mawar merah itu dengan sayap darahmu
Berjayalah dewi itu menjadi ibuku
Paksalah aku!
Dekaplah aku !
Terbang ke surga...
XXX
Di Studio Berita TV, sorotan kamera bergeser ke presenter berita yang menyambut pemirsa dengan senyuman tulus.
Presenter: "Selamat malam, pemirsa setia! Kita memiliki berita istimewa hari ini yang akan membawa sentuhan keajaiban ke kehidupan kita. Di tengah kekacauan dan kegelapan, hadir sosok penuh cahaya yang siap membawa harapan bagi kita semua."
Layar belakangnya berubah, memperlihatkan adegan kota yang diliputi kegelapan dan kekhawatiran.
Presenter: "Ya, pemirsa, inilah Selene, gadis penyihir yang tiba-tiba muncul sebagai pelindung kita dari ancaman tersembunyi. Dengan kekuatan super yang dimilikinya, dia telah memulihkan harapan dan memancarkan cahaya di saat kita membutuhkannya."
Cuplikan video memperlihatkan Selene dalam aksi, menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan dan melindungi penduduk kota.
Presenter: "Selene, dengan tongkat ajaibnya dan tekad yang kuat, telah menghadapi Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan kepada kita. Kehadirannya adalah bukti bahwa pahlawan sejati dapat muncul di saat-saat sulit."
Layar berubah menampilkan wawancara singkat dengan Selene yang tersenyum penuh kepercayaan.
Selene: "Saya di sini untuk melindungi dan membawa harapan kepada kalian semua. Bersama-sama, kita dapat menghadapi tantangan dan membangun masa depan yang lebih cerah."
Dalam sebuah konferensi pers di berita TV, Selena mengungkapkan identitasnya sebagai Magical Girl atau Mahou Shoujo, putri dari dimensi lain. Dengan penuh keanggunan, ia berbicara tentang misinya untuk melawan Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan pada manusia.
Selena menjelaskan bahwa kekuatannya berasal dari harapan dan cinta, yang menjadi senjata utamanya dalam melawan kegelapan. Ia diutus ke Bumi untuk memerangi Shinigami dan menjaga keberlangsungan harapan di hati manusia.
Tak hanya melawan makhluk supernatural, Selena juga memiliki tanggung jawab untuk melawan berbagai kejahatan yang dilakukan manusia di Bumi. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia bersumpah untuk menjaga perdamaian dan keadilan di dunia ini.
Berita ini menjadi pusat perhatian, dan masyarakat pun mulai memahami bahwa di balik penampilan gadis penyihir yang misterius, Selena adalah pelindung yang gigih, membawa harapan dan cinta untuk melawan kegelapan yang mengintai dunia.
Presenter: "Pesan optimis dari Selene untuk kita semua. Mari kita dukung gadis penyihir pemberani ini dalam perjuangannya melawan kegelapan. Terima kasih, Selene, atas dedikasimu untuk menyelamatkan bumi!"
Seiring presenter mengakhiri berita, gambar Selene yang menjulang di langit mengakhiri siaran dengan pesan kekuatan dan harapan bagi seluruh penonton.
XXX
Aku dengan identitas the incognoito mengangkat topiku dengan senyum misterius, "Hei, hei, hei. Lihat siapa yang memutuskan untuk melangkah ke dalam dunia kacauku. Selene, gadis ajaib. Kesempatan bagus untuk bertemu. Namaku The Incognito"
Selene menatap tajam, "The Incognito keusilanmu berakhir di sini. Aku tak akan membiarkanmu menyakiti penduduk kota ini lebih lama."
"Oh, bukankah kamu yang selalu mencoba menyelamatkan hari? Apa yang membawamu ke sudut kacauku ini, gadis ajaib?" tanya The Incognito, matanya berkilat.
"Aku mendengar tentang tindakanmu, dan aku tak akan mentolerirnya. Kelakuanmu mungkin menghiburmu, tetapi menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang. Saatnya mengakhiri ini," ujar Selene dengan ketegasan.
"Kegelisahan, katamu? Nah, aku tak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Aku hanya ingin menambahkan sedikit kegembiraan ke dunia yang monoton ini," Aku dengan topeng The Incognito menjawab dengan senyum penuh misteri.
"Kegembiraan dengan mengorbankan kedamaian orang lain tidak dapat dibenarkan. Aku tak akan membiarkanmu terus menyebarkan kekacauan," tegas Selene.
"Kau bisa mencoba, Selene. Tapi aku peringatkan, tidak selalu semua seperti yang terlihat. Bersiaplah untuk sedikit kejutan dalam pertemuan ajaib ini," kataku sembari menghilang dalam bayangan kekacauannya.
Selene menyikapi, "Aku akan menghadapi semua tantangan yang datang. Tugasku melindungi kota ini dari orang sepertimu, The Incognito."
XXX
Setelah sekian lama menikmati pertarungan melawan Selena sebagai The Incognito, aku tersentak saat membaca surat kabar dan menonton berita di TV.
Aku merasa panik dan cemas ketika melihat berita di TV jika Selene yang kini tinggal di bumi akan bersekolah di sekolah yang sama dengaku. Kecemasanku bertambah saat menyadari jika kami akan menjadi teman sekelas.
Setiap langkah Selene di sekolah menjadi sorotan, dan dia cepat menjadi gadis paling populer. Cantik, baik. Meskipun dia terkadang agak polos dan lugu, ia menarik banyak penggemar. Namun, aku merasa panik menyadari bahwa Selene berada di sekolahku.
Dia datang ke sekolah dengan Limosin yang dikawal oleh pasukan dimensi lain dan selalu disertai karpet merah.
Aku tahu betul bahwa jika identitasku sebagai The Incognito akan terbongkar jika jika aku dekat dekat dengan Selene, segala kekacauan yang aku ciptakan mungkin akan membahayakan diriku jika diketahui banyak orang. Meskipun Selene sepertinya tak menyadari sisi gelapnya, aku berusaha menjaga rahasia itu agar tak terungkap.
Sementara Selene dengan santainya menjalani kehidupan sekolahnya, aku berusaha menjaga jarak, takut bahwa ketika waktu tiba, seluruh sekolah akan mengetahui keberadaan The Incognito dan seluruh kekacauan yang ia ciptakan untuk menarik perhatian Selene.
Namun, karena Selene adalah seorang gadis yang polos dan ceria, ia justru merasa penasaran dengan keberadaanku yang pendiam, satu-satunya anak yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya. aku memang dikenal sebagai anak yang sangat cerdas dan rajin, tapi aku juga pemalu, pendiam, pemarah, agak suram, dan pemurung hingga tak memiliki seorangpun teman. Selene mencoba mendekatiku meski aku merasa tak nyaman.
Selene melangkah mendekatiku dengan senyum ramah, "Hai, namaku Selene. Aku baru saja pindah ke sekolah ini. Kamu Arman, kan?"
Aku melirik ke atas dari bukunya, "Oh, eh, iya. Salam kenal, Selene. Kamu baru pindah? Bagaimana pendapatmu tentang sekolah ini?" Aku berusaha ramah dan terlihat normal.
Dengan semangat, Selene menjawab, "Iya, benar. Sekolah ini besar sekali! Aku senang bisa bertemu dengan teman baru. Bagaimana denganmu, Arman? Apakah kamu suka di sini?"
Aku menyipitkan mataku sedikit, "Hmm, ya, sih. Ini tempat yang baik. Tapi aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca komik di sudut perpustakaan."
"Oh, itu menarik! Aku suka membaca juga, terutama tentang pahlawan super. Kamu suka komik pahlawan super juga?" Selene bertanya dengan antusias.
Arman melihat Selene dengan ekspresi sedikit ragu, "Eh, bukan, sebenarnya aku lebih suka cerita tentang penjahat super yang keren. Mereka terkadang lebih menarik."
Senyum Selene tidak luntur, "Wow, kau benar-benar memiliki selera yang unik, Arman. Mungkin suatu hari kita bisa membahas lebih banyak tentang komik."
Aku mengangguk pelan, "Mungkin... ya, tentu. Itu akan bagus."
Dengan penuh semangat, Selene menyimpulkan, "Oke, Arman. Aku senang bisa bertemu denganmu. Mari kita menjadikan tahun ajaran ini tahun yang menyenangkan bersama!"
Aku tersenyum kecil, "Iya, Selene. Aku rasa itu akan menjadi hal yang baik."
Pertemuan kami yang tak terduga membuat aku berpikir ulang tentang rencananya menjadi penjahat super. Selena membantu Arman menyadari bahwa kebaikan bisa membawa kebahagiaan lebih daripada kejahatan.
Akhirnya, aku pun menerima Selene sebagai teman baikku. Namun, hubungan kami membuat teman sekelasku yang naksir dan mengagumi Selene salah paham dan merasa cemburu. Kedekatan Arman dengan Selene memicu ketegangan di antara mereka, menciptakan dinamika yang rumit dan lucu di lingkungan sekolah.
XXX
Hujan turun dengan ragu di kota kecil itu. Langit berwarna abu, tapi bukan abu biasa. aku , bocah kelas empat SD, berdiri di pinggir jalan dengan wajah kebingungan. aku baru saja tersesat.
Ibuku menyuruhnya pulang duluan, tapi Arman mengambil jalan berbeda, jalan yang belum pernah ia lewati. Entah karena iseng, atau karena ada sesuatu yang menarik langkah keciilku ke sana.
Lalu… klakson keras membelah udara. Sebuah mobil melaju terlalu cepat di tikungan.
aku tak sempat bergerak.
Tapi waktu seakan membeku.
Udara menjadi berat. Bunyi kendaraan melambat, seperti diputar dalam slow motion. Dan dari sisi jalan, muncullah seorang gadis kecil, mengenakan mantel merah gelap dan payung ungu yang tak terbuka.
Dia melangkah masuk ke jalan dengan tenang, mengangkat satu tangan ke arah mobil. Dalam sekejap, kendaraan itu berhenti, bukan karena rem, tapi seperti… terhisap oleh ruang yang tak terlihat.
Aku terjatuh karena syok, tapi tubuhnya tak terluka sedikit pun.
“Tenang saja,” kata gadis itu.
Suara yang lembut tapi bergema, seperti bisikan dari dalam gua yang sangat luas.
“Aku di sini.”
Aku menatap gadis itu. Rambutnya perak, matanya kuning keemasan. Tak ada anak SD seperti itu. Bahkan orang dewasa pun tak ada yang punya aura seaneh ini.
“Kamu Selene kan?” tanya Arman.
“YA,” jawabnya sambil tersenyum. “Aku penyihir dari tempat jauh. Aku datang ke dunia ini untuk menjagamu.”
Arman yang masih polos memiringkan kepala. “Menjagaku? Dari apa?”
Selene tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang masih muram. Di balik awan gelap, sesaat tampak semburat merah aneh—bukan warna senja. Lebih menyerupai bara api dari tempat yang sangat jauh.
“Dari sesuatu yang sedang bangkit… sesuatu yang pernah membakar dunia.”
Mataku membelalak. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Selene berjongkok dan menggenggam tangannya.
Tangan itu dingin, tapi juga penuh cahaya. Sesuatu seperti percikan bintang mengalir dari telapak tangan Selene ke dadaku.
“Di dalammu ada kekuatan yang belum bangun,” katanya.
“Apakah aku... penyihir juga?” aku bertanya dengan polos.
Selene tersenyum lebih lembut.
“Belum. Tapi kamu akan menjadi penjaga. Kalau kau mampu bertahan.”
aku tak mengerti. Tapi sesuatu dalam dirinya merasa hangat, seperti… ditemukan. Dikenali.
“Kenapa aku?” bisiknya.
“Karena hanya jiwa yang pernah dilukai… yang bisa memahami kehancuran. Dan menolaknya.”
aku tak mengerti sepatah kata pun.
Tapi ia mengangguk.
---
Saat langit kembali cerah dan mobil itu hilang entah ke mana, Selene berdiri dan berkata pelan, “Waktu kita belum tiba. Tapi kamu akan mengingatku... saat kamu paling membutuhkannya.”
Lalu, seperti bayangan yang tertiup angin, dia lenyap.
---
aku pulang ke rumah dengan langkah berat. Ia mencoba menceritakan semua kepada ibunya, tapi sang ibu hanya berkata:
“Kamu kelelahan. Mungkin kamu mimpi.”
Tapi aku tahu itu bukan mimpi.
aku tahu sesuatu telah berubah dalam diriku.
Hanya saja... seiring waktu berlalu, dan hidup makin berat, aku mulai meragukan ingatanku sendiri.
Ku berdiri dari ranjang
Dengan tawa yang agak malu-malu
Ku menatap ke jendelaku
Dan burung burung kecil datang masuk ke jendelaku dan hinggap ke lampu gantungku
Warna warni yang menghujani kamarku
Dari mainan dan pernak pernik lain
Membuatku semangat memulai hari dengan kebahagiaan
Dengan mengecat langit menjadi oranye
Bukan warna biru
Untuk memberi keceriaan
Bukan dengan warna datar
Dunia ini selalu berputar seperti irama yang mengelilinginya
Aku pun sadar irama yang sama selalu terulang
Fajar pun terbangun membuka dan menutup hari
Suara rintik hujan asam ini akan menggema sampai kejauhan
Ke manapun itu kita akan selalu bergandengan
Namun awal telah berjumpa akhir
Kini kita berpisah
Tetapi kita akan bertemu lagi
XXX
Aku melanjutkan aksiku sebagai TheIncognito , namun kali ini aku berfokus untuk mengalahkan penjahat sungguhan yang berbahaya, seperti perampok dan pembegal, dengan tujuan mencegah mereka melukai Selene. Dalam upayanya untuk menjaga Selene tetap aman, aku memutuskan untuk melawan Selene tanpa membawa hal-hal yang dapat membahayakannya, menunjukkan niat baiknya yang tulus agar popularitasnya meningkat dan dia lebih diterima banyak orang.
Selene berdiri di ruangan gelap yang dipenuhi oleh aroma mistis. Di tangannya, tongkat ajaibnya berkilauan pelan, memantulkan cahaya lembut. Tiba-tiba, pintu di ujung ruangan terbuka perlahan, dan langkah kaki yang dikenalnya dengan baik terdengar di keheningan.
Selene yang berhasil merebut topeng The Incognito sebelum aku melarikan diri melemparkan tatapan tajam pada topeng The Incognito. "Kau, The Incognito, akhirnya muncul juga."
Aku , yang selama ini bersembunyi di balik topeng misteriusnya, melangkah masuk. Sorot mata penuh misteri menggambarkan kejenakaan dan rahasia yang selama ini menyelimuti identitasnya.
Aku dengan senyuman misterius menjawab "Selene, gadis penyihir yang penuh cahaya. Kau memang bisa melihat melampaui ilusi yang kupasang."
Selene menyuarakan ketajamannya "Identitasmu terungkap, Arman. Mengapa kau melakukan semua ini?"
Aku menjawab dengan nada misterius "Sebab kehidupan ini adalah panggung, dan kita semua hanyalah pemain di dalamnya. Aku, The Incognito, hanya menciptakan drama agar dunia bisa menyaksikan keajaiban dan ketidakpastian."
Wajah Serius Selene mengungkapkan keprihatinan "Tapi tindakanmu telah membawa kekacauan dan kekhawatiran. Mengapa harus dengan cara seperti ini?"
Aku tersenyum misterius "Kekacauan memunculkan perubahan, dan ketidakpastian melahirkan keajaiban. Kau, Selene, adalah bagian dari pertunjukan besar ini."
Dengan tekad yang meyakinkan, Selene menyatakan: "Aku tidak akan membiarkan pertunjukanmu terus berlanjut. Aku di sini untuk membawa cahaya, bukan untuk menjadi bagian dari drama gelapmu."
Aku menjawab dengan mata penuh kejenakaan "Ah, Selene, gadis penyihir pemberani. Mari kita lihat bagaimana kau menanggapi ketidakpastian yang kubawa." Selene mengangkat tongkat ajaibnya, siap menghadapi The Incognito dalam pertunjukan dramatis antara cahaya dan kegelapan. Namun Aku hanya menyerah tanpa syarat.
Selene berhasil menangkap The Incognito dan membuka topengku. Dalam kekecewaan dan kemarahannya, Selene menyadari bahwa teman sekelasnya yang baik ternyata adalah musuh bebuyutannya selama ini. Tanpa ragu, Selene membawa Iliad terbang menuju orangtuanya yang berada di luar negeri dengan kekuatan sihir teleportasi .
Selene memasuki ruangan dengan wajah serius, "Permisi, apa kalian orangtua Arman? saya membawa dia ke sini karena saya menemukan sesuatu yang mungkin akan membuat Anda terkejut."
Orangtuaku yang cemas bertanya, "Apa yang terjadi, Selene? Apa yang kamu maksud?" Selene sangat terkenal, bahkan untuk orang di luar negeri.
Dengan suara gemetar, Selene mengungkapkan, "Arman sebenarnya memakai identitas sebagai perusuh bernama Incognito, orang yang menciptakan kekacauan di kota Margahayu. Saya tidak tahu bahwa dia adalah teman sekelas saya."
"Oh, Tuhan! Apakah ini benar? Arman, apa yang kamu pikirkan?" seru Orangtuaku, terkejut.
Aku dengan wajah bersalah menjawab, "Maaf, Ma, Pa. Saya tidak bermaksud membuat masalah. Saya hanya mencoba membuat hidup saya lebih menarik."
Orangtuaku dengan ekspresi serius mencela, "Kamu perlu menyadari bahwa tindakanmu dapat berdampak besar, Nak. Kami harus menangani ini bersama-sama."
Selene memberi penjelasan, "Saya membawa Arman ke sini agar dia bisa belajar dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Saya berharap Anda bisa membantunya melalui proses ini."
Ayahku menyampaikan, "Kami berterima kasih, Selene. Kami akan mendukung Arman dan berusaha memahaminya lebih baik. Semoga dia bisa memperbaiki kesalahannya."
Selene menambahkan dengan harapan, "Terima kasih, Pa, Ma. Saya yakin Arman memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita bisa bersama-sama membimbingnya ke arah yang benar."
Dengan tegas, Selene meminta orang tuaku untuk menjagku agar tidak berbuat kenakalan dan terus mengawasiku. Keputusan ini diambil sebagai langkah untuk meneguhkan perubahan dalam hidupku, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan memberinya kesempatan untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Tak lama setelah aku dihukum dan dikurung di kamarnya oleh orangtuanya akibat kenakalannya, aku menonton berita di TV yang melaporkan bahwa Selene sempat ditangkap oleh Shinigami dan kini harus pulang ke tempat tinggalnya karena misinya di bumi selesai. aku merasa terpukul dan berkeinginan untuk berubah menjadi The Incognito demi menyelamatkan Selene.
Namun, orangtuaku melarang dengan tegas. Sebagai hukuman tambahan, aku diisolasi dalam kamar selama seminggu dan dilarang memegang perangkat gadget apa pun. aku pun dipenuhi rasa dilema: apakah aku harus tetap mematuhi larangan orangtuaku, meski melihat Selene dalam bahaya? Ataukah aaku harus tetap bersikeras menyelamatkan Selene, terlepas dari konsekuensi yang mungkin terjadi?
Jangan biarkan gurauan ini mendidih menjadi pertengkaran
ku mengeker masa depan
ku tak akan gusar
ku tak akan bersembunyi di balik selimut kabut kelabu
wahai senyuman gerhana
aku bukan pemimpi lembut hati
yang mengantarkanmu keranjang
terbang di atas sungai mentega
bakarlah segala dera
yang bisa membuatku kehilangan angan-angan
teman teman bisa melihatnya
angan-anganku telah memudar dikikis air hujan
jangan hujani wajahmu karena sebait kata-kataku
sebenarnya hatiku tak pernah mendung
ataupun gelap terbelengku gerhana
yang membuat jiwaku suram
bagaikan butiran lada
ku tak akan genggam gandengan tanganmu
kau hanya penipu berwajah lugu bertopeng keselamatan
yang bersembunyi di lembah salju
Para guru seakan tidak merasakan bagaimana menjadi siswa yang disiksa. Aku memukul-mukuli buku matematika yang membuat tanganku semakin berkeringat karena tidak ada kipas angin yang cukup untuk menurunkan suhu di kamarku. Hanya kipas yang patah setengah. Tapi kalaupun aku mengeluh, aku yakin tidak akan menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Aku bagaikan telur di ujung tanduk saat besok menemui Pak Tejo, guru matematikaku.
Di sekolah sering kali aku dihukum oleh guru BP di tiang bendera karena dituduh tawuran. Padahal sering kali bukan aku yang mencari masalah lebih dulu, biasanya Hasan dan teman-temannya dari SMP M yang suka mengeroyokku dan teman temanku dengan gesper.
Sungguh tak adil hukum di sekolahku. Harusnya aku dipuji sebagai pahlawan karena menolong teman. Sungguh tak adil hukum di dunia ini, aku dan teman temanku melindungi Malin yang tengah berjalan sendirian dan dipalak oleh anak SMP M. Bahkan aku dipaksa tanda tangan di atas materai untuk tidak mengulang tawuran.
Aku berpikir setengah mampus untuk menyelesaikan PR matematikaku. Selembar kertas soal itu bagaikan berton-ton di suhu panas dalam kamarku. Agar suasana lebih lunak dan adem aku menyetel lagu Mbah Surip, kakek bertopi Jamaika, itu selalu bisa menghapus segala kepahitan dalam hidup. Aku juga membeli es lilin seharga dua ribu rupiah untuk mendinginkan suasana.
Begitulah diriku. Aku memang punya banyak masalah. Ibuku pun selalu menangis saat aku terima rapor. Ibuku ingin aku menjadi sukses di masa depan, itu sebabnya dia tak menginginkanku punya masalah di sekolah karena aku satu-satunya tulang punggung yang ia impikan di masa depan untuk menggantikan peran ayahku yang sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu tak pernah marah, hanya menangis, tapi tangisnya itulah yang kerap membekukan nyali dan langkahku.
Inilah aku
sirip matahari yang jelajah
setiap bias cuaca
sejarah daun daun memori di ujung kota
ku tak akan menghindar dari rasa takut walaupun selangkah
dan mungkin membuat orang lain menangis
hanya ada sedikit kata
aku sungguh menyesal
tahun ini pintaku tak melangit
selain melewati ujian yang sedikit pahit
demi membuat jiwa yang tersayang tak mendera
aku hanya ingin menjadi lebih berarti
untuk membuat binar cahaya di mata mereka
wahai orang orang yang kulukai
jangan biarkan hatiku
berlabuh tersesat di pulau hari esok yang penuh teka-teki
atau kembali meneguk kenangan di telaga masa lalu yang sudah kutinggalkan
untuk berlayar menjauh meninggalkan segenap luka
mungkin kusesali masa lalu
tapi tetap jejak sekelam apapun
menjadi pembelajaran abadi
membangun detik detik fondasi pelurus masa depan
yang membuatku tersenyum melangkah menantang segala rintang
akan kutancapkan bendera semangat yang membuncah
untuk memulai tahun yang baru
di puncak tertinggi mimpi dan asa
Hari itu di kelas terasa berbeda. Aku duduk termenung, pikiran penuh dengan bisikan yang terus menghantui. Mata merah dari dalam diriku masih berkilat samar di balik kelopak mata, dan aku merasa ada sesuatu yang ingin kuungkapkan—tapi belum tahu apa.
Di sudut ruangan, seorang teman sekelas mendekat. Namanya Wildan.
Dia berbeda. Tidak terlalu populer, tapi ada aura yang sulit dijelaskan. Tatapannya dalam dan tenang, seolah menyimpan rahasia yang jauh lebih tua daripada usianya.
“Kau tampak terganggu,” katanya pelan.
Aku mengangkat bahu, mencoba tersenyum.
“Aku cuma capek,” jawabku singkat.
Dia tersenyum samar, lalu duduk di sampingku. “Aku tahu sesuatu tentangmu,” katanya.
Aku menatapnya bingung.
“Aku juga pernah merasakan yang kau rasakan. Suara-suara, bayangan yang tak terlihat, berat yang kau bawa.”
Aku terdiam, jantung berdebar. “Siapa kau sebenarnya, Wildan?”
Dia menghela napas, kemudian menatapku penuh arti. “Aku titisan Ranggah Dahana, pelayan dan penjaga Lamakara Wolu. Tugasku adalah menjaga keseimbangan antara manusia dan kekuatan gelap itu.”
Kata-katanya membuat darahku berdesir.
“Aku di sini bukan untuk melawanmu,” lanjutnya, “tapi untuk membantumu. Kau bukan hanya wadah, kau juga kunci. Dan aku... aku adalah penjaga yang ditugaskan untuk melindungimu dari kegelapan yang tak bisa kau kendalikan.”
Aku memandangnya lama, mencoba mencerna semua ini.
“Kau merasa suara itu di kepalamu seperti bisikan yang menyesatkan, tapi itu bukan hanya keburukan. Lamakara Wolu adalah kekuatan purba, tapi dia juga bagian dari keseimbangan alam.”
Wildan merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah liontin kecil berbentuk komodo yang terukir halus.
“Ini pemberian leluhurku. Ketika kau merasa kehilangan kendali, gunakan ini. Aku akan selalu ada di dekatmu.”
Aku menggenggam liontin itu erat, merasakan getaran dingin yang mengalir ke tanganku.
Sejak hari itu, Wildan dan aku menjadi tak terpisahkan.
Dia mengajarkanku cara berdamai dengan suara dalam kepalaku, cara membaca tanda-tanda alam yang dulu kupikir hanya halusinasi. Dia membantuku mengendalikan kekuatan yang mulai muncul tanpa takut.
Namun, aku tahu ini baru permulaan. Bersama Ranggah Dahana, aku harus menghadapi takdirku sebagai wadah Lamakara Wolu — dan konflik yang mungkin akan menghancurkan segalanya.
---
Sekolah kami bukan tempat biasa. Setiap sudutnya menyimpan rahasia yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Di sini, para titisan dewa dan dewi bertemu dalam bentuk manusia—dengan segala tekanan dan kerumitan kehidupan remaja.
Ketua OSIS yang penuh wibawa, kapten klub basket dan sepakbola yang karismatik, juara Olimpiade Matematika yang dingin—semuanya bukan sekadar anak pintar atau populer. Mereka adalah titisan para dewa Hindu dari Pewayangan Jawa: Durga yang kuat dan penuh keberanian, Wisnu yang tenang dan bijak, Siwa atau Batara Guru yang misterius dan dalam, Agni si pengendali api, Bayu yang lincah dan bebas, Indra yang berkuasa atas hujan dan petir, Surya sang penguasa cahaya, serta Laksmi dan Ratih yang anggun dan penuh pesona.
Hari itu, aku duduk di kelas sambil memperhatikan sekeliling. Biasanya aku lebih fokus ke buku, tapi entah kenapa mataku terus tertuju pada kelompok anak-anak populer yang duduk di bangku depan.
Mereka tertawa, saling lempar pandang, dan berbicara dengan penuh percaya diri. Aku mencoba mendengarkan, dan tanpa sadar, nama-nama mereka terucap.
“Aku nggak percaya kamu kalah dari Bayu tadi,” kata salah satu anak laki-laki dengan rambut cepak dan senyum penuh percaya diri.
“Cuma sekali ini, Surya,” sahut yang lain dengan wajah serius.
Ada juga yang tertawa dan memanggil gadis cantik itu, “Laksmi, kamu beneran bikin grup musik OSIS makin keren.”
Aku mengernyit, nama-nama itu sudah familiar, tapi dari mana aku tahu?
Lalu saat guru memanggil absen, nama-nama itu kembali terdengar:
“Durga… Wisnu… Siwa… Agni…”
Jantungku berdegup lebih cepat.
Ini bukan kebetulan.
Saat istirahat, aku membuka ponsel dan mencoba mencari arti nama-nama itu. Ternyata... semua nama itu adalah nama dewa dan dewi Hindu yang aku lihat dalam buku cerita lama yang pernah kubaca sepintas dulu.
“Durga, dewi perang yang kuat.”
“Wisnu, pelindung alam semesta.”
“Siwa, penguasa kehancuran dan pencipta.”
“Agni, dewa api.”
“Bayu, penguasa angin.”
“Indra, dewa hujan dan petir.”
“Surya, dewa matahari.”
“Laksmi, dewi kemakmuran.”
“Ratih, dewi kecantikan dan cinta.”
Aku menatap layar ponsel dengan campuran takjub dan kekhawatiran.
Kenapa anak-anak ini punya nama-nama itu?
Kenapa mereka semua ada di circle elit sekolah?
Dan lebih aneh lagi, mengapa aku merasa seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi di balik semuanya?
Aku menatap Wildan yang duduk di sampingku, matanya juga menyorot ke arah kelompok itu. Aku tahu dia menyadari sesuatu juga.
“Apa kita benar-benar berada di tengah pertarungan para dewa?” aku bertanya pelan.
Arka hanya mengangguk, wajahnya serius.
Sejak saat itu, pandanganku terhadap sekolah berubah. Bukan lagi tempat belajar biasa, tapi medan yang penuh rahasia dan kekuatan yang tak terlihat.
Mereka menguasai sekolah ini dengan cara yang tak bisa dilawan, dengan senyum yang menawan dan kata-kata yang menggoda. Tapi yang paling membuatku tak nyaman, mereka mulai mengklaim diri sebagai dewa asli Jawa bahkan Nusantara. Padahal mereka adalah titisan dewa pendatang dari India, dewa bangsa Arya, bukan dewa bangsa Austronesia dan Melanesia yang merupakan pribumi Surupala di kepulauan Nusantara. Dewa Austronesia kuno seperti kami berdua padahal sudah melindungi Nusantara sejak zaman Neolitik.
---
Aku dan Arka saling bertukar pandang saat mereka membicarakan “warisan asli” dan “kebangkitan baru” dengan bangga di depan kelas. Ada rasa pahit di dalam hatiku.
“Mereka itu pendatang,” bisik Wildan pelan saat kami berdua duduk di bangku belakang kelas.
“Mereka membawa agama dan budaya dari jauh, bukan dari sini.”
Aku mengangguk, tapi merasa berat. Semua orang mengagumi mereka, menganggap mereka pahlawan masa kini. Sementara kami, yang membawa nama dan darah leluhur Nusantara, dianggap kuno dan terlupakan.
---
Suatu sore, seorang gadis baru pindah ke sekolah. Namanya Nara.
Dia berbeda. Wajahnya lembut tapi ada bayangan kesedihan yang dalam di matanya. Dia tidak mencari perhatian, malah cenderung menghindar.
---
Hari itu cuaca agak mendung, angin sepoi-sepoi menyapu halaman sekolah. Aku duduk di bangku taman dekat lapangan basket, sibuk menulis catatan pelajaran yang seharusnya kuhafal. Arka duduk di sebelahku, tampak asyik dengan ponselnya, tapi matanya sesekali melirik ke arah pintu gerbang sekolah.
Tiba-tiba, seorang gadis baru berjalan masuk, dengan langkah yang pelan dan sedikit canggung. Rambutnya hitam panjang terurai rapi, dan matanya yang gelap tampak mengamati sekeliling dengan hati-hati.
Dia berhenti tepat di dekat kami, tampak bingung.
Aku berdiri dan tersenyum, “Hei, kamu baru ya? Butuh bantuan?”
Gadis itu menatapku dengan mata yang tajam tapi lembut. “Iya, aku Nara,” jawabnya pelan. “Aku baru pindah kemarin, masih agak bingung cari kelas.”
Wildan menutup ponselnya dan mengangguk ramah. “Aku Wildan, ini... temanku,” dia melirik ke arahku.
Aku mengulurkan tangan, “Senang kenalan, Nara. Kalau kamu mau, kita bisa tunjukin jalan ke kelasmu.”
Nara tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang aneh dalam senyum itu—seperti rahasia yang disembunyikan dalam diam.
Kami berjalan bersama melewati lorong-lorong sekolah yang penuh dengan siswa sibuk dan suara riuh tawa. Aku memperhatikan cara Nara memperhatikan segalanya dengan seksama, seolah mencoba mengingat setiap detail.
“Apa kamu suka olahraga?” tanya Arka mencoba membuka percakapan.
Nara menggeleng, “Bukan... aku lebih suka diam dan membaca.”
Aku tersenyum. “Sama. Kadang yang paling sibuk di sini justru butuh waktu sendiri.”
Dia mengangguk setuju, “Iya... kadang suara orang banyak bikin aku pusing.”
Kami sampai di depan kelasnya. Sebelum masuk, Nara menoleh ke kami dan berkata, “Terima kasih sudah menemani.”
Wildan dan aku saling pandang. Ada rasa ingin tahu yang sama—siapa sebenarnya Nara? Dan kenapa aku merasa seperti sudah pernah mengenalnya... meski baru bertemu?
Ketika pintu kelas tertutup, angin meniup sehelai daun yang jatuh di bawah kaki kami.
Aku menatap daun itu, dan dalam hati bertanya,
Apa yang akan terjadi setelah ini?
---
Aku dan Wildan mengenalnya secara perlahan, dan sesuatu tentangnya terasa asing—namun sangat familiar.
Hingga suatu malam, saat kami duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, Nara membuka suara.
“Aku... aku bukan seperti mereka,” katanya pelan, matanya menatap jauh ke langit malam.
“Aku adalah titisan Ashura.”
Aku terkejut. Ashura, makhluk yang selama ini dianggap iblis dalam mitologi Hindu—musuh para dewa.
Arka menatapnya dengan serius. “Itu berarti kau punya kekuatan yang bisa mereka takutkan.”
Nara mengangguk. “Mereka sudah mulai memburuku. Para titisan dewa ingin menghabisiku.”
---
Tidak lama setelah itu, ketegangan di sekolah semakin memuncak.
Para dewa Hindu datang menemui kami—aku, Arka, dan Nara.
Durga, dengan tatapan yang dingin tapi penuh kewibawaan, berkata,
“Kami tidak ingin mengganggu kalian. Tapi Ashura adalah ancaman. Kami meminta kalian untuk tidak ikut campur.”
Wisnu menambahkan dengan suara berat,
“Kami telah lama menunggu untuk membersihkan hal ini. Jangan buat kami bertindak lebih keras.”
Aku menatap Arka, dan dia menatapku balik dengan mata penuh tekad.
Lamakara Wolu berbisik di dalam pikiranku,
> “Ini bukan hanya soal Ashura atau dewa Hindu. Ini tentang siapa yang berhak memimpin hati manusia. Kita adalah akar mereka yang terlupakan.”
Arka mengangguk,
“Kami tidak bisa membiarkan mereka membunuh Nara begitu saja. Dia teman kita.”
---
Maka kami berdiri di sisi Nara.
Konflik yang selama ini tersembunyi menjadi nyata.
Para dewa Hindu mengerahkan kekuatan mereka di halaman sekolah—api dari Agni, badai dari Bayu, petir dari Indra, dan sinar menyilaukan Surya.
Tapi kami juga tidak kalah. Dari dalam tubuhku mengalir gelap yang dingin dan kuat, kekuatan Lamakara Wolu yang tak bisa mereka pahami. Arka memanggil perlindungan leluhur kami dengan mantra dan simbol kuno yang bergetar di udara.
Dan Nara, meskipun Ashura, berdiri tegak di antara kami—bukan sebagai musuh, tapi pelindung yang penuh kemarahan dan kesedihan sekaligus.
---
Saat debu perlahan mereda, aku sadar bahwa ini baru permulaan.
Bukan hanya soal pertarungan antara para dewa dan makhluk kuno, tapi juga tentang bagaimana sejarah akan ditulis ulang.
Siapa yang akan diingat? Siapa yang akan dilupakan?
Dan aku—sebagai wadah Lamakara Wolu—berjanji pada diriku sendiri dan teman-temanku, untuk menjaga warisan asli kami, sekalipun harus melawan dunia.
---
Hari-hari setelah Nara resmi menjadi bagian dari lingkaran kecil kami, suasana sekolah terasa makin berat.
Di lorong sekolah, aku, Wildan, dan Nara berjalan beriringan. Tapi rasanya seperti berjalan dalam bayangan yang terus mengawasi.
Anak-anak titisan dewa Hindu yang dulu hanya kupandang dari jauh, kini semakin sering menatap kami dengan pandangan dingin atau sinis. Mereka adalah ketua OSIS, kapten klub olahraga, juara olimpiade—semua populer dan berkuasa di sekolah.
Mereka bukan hanya punya wibawa, tapi juga pengaruh besar. Kata-kata mereka bisa membuat teman-teman lain ikut menghindar.
Suatu kali, saat aku berdiri di kantin, beberapa siswa dari kelompok itu melintas, menatap Nara dengan tatapan penuh kebencian.
Laksmi, gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, melewati kami sambil berkata pelan,
“Lihat, Ashura itu masih berani tampil di sini. Bahaya buat semua.”
Aku merasakan tatapan mereka tertuju pada kami bertiga. Rasanya seperti dinding kaca transparan yang memisahkan kami dari dunia mereka.
Di kelas pun, kami sering duduk di pojok, tidak banyak yang mengajak bicara. Bahkan Arka, yang biasanya cukup ramah, mulai terlihat lebih tertutup.
Nara sering menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik rambut hitamnya. Aku tahu dia merasa terasing, tapi aku juga tak tahu bagaimana membuatnya merasa aman.
Suatu sore, kami bertiga duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Arka memecah keheningan,
“Kita cuma sedikit, dan kita bukan siapa-siapa di sini. Mereka punya kekuatan dan teman, tapi kita... kita punya sesuatu yang mereka takutkan.”
Aku mengangguk, meski hati terasa berat,
“Kalau mereka tahu siapa kita sebenarnya, pasti kita akan jadi target.”
Nara mengangkat kepala, matanya bersinar meski lelah,
“Mereka mungkin menganggap aku berbahaya, tapi aku ingin membuktikan kalau aku bukan musuh.”
Aku meletakkan tangan di bahunya,
“Kita akan jaga kamu. Bersama.”
Di tengah dunia yang penuh sorotan dan bisikan, kami bertiga belajar arti persahabatan sejati. Bahwa kadang, menjadi berbeda berarti harus kuat—lebih kuat dari siapa pun yang mencoba menjatuhkan kita.
---
Dahulu, jauh sebelum peradaban manusia modern lahir, di kepulauan Nusantara yang masih liar dan perawan, alam mengalir dalam keseimbangan penuh misteri. Gunung-gunung menjulang tinggi, hutan-hutan rimbun menyimpan rahasia, dan laut biru luas menyimpan kekuatan yang belum terjamah.
Pada zaman itu, masyarakat Austronesia kuno hidup berdampingan dengan alam dan roh-roh purba. Mereka menghormati dan menyembah kekuatan yang tak terlihat, yang menguasai angin, api, air, dan bumi.
Di antara kekuatan-kekuatan itu, ada satu entitas yang paling disegani sekaligus ditakuti: Lamakara Wolu, sang Dewa Tertinggi dan Dewa Kegelapan.
---
Menurut legenda yang diwariskan secara lisan, Lamakara Wolu muncul dari kedalaman bumi dan lautan, berwujud seekor komodo raksasa bercahaya gelap. Dia bukan hanya simbol kegelapan, tapi juga lambang kekuatan purba yang menjaga keseimbangan antara terang dan gelap.
Dalam mitos kuno, Lamakara Wolu adalah pelindung alam Nusantara yang pertama kali muncul ketika dunia masih penuh kekacauan. Dengan nafasnya yang berhembus angin badai dan sisiknya yang setajam cakrawala, ia mengatur alam agar tidak jatuh ke dalam kehancuran.
---
Tidak lama setelah kemunculan Lamakara Wolu, muncul pula sosok lain yang tak kalah penting: Ranggah Dahana.
Dia adalah dewa pelayan, sahabat setia, dan penjaga kekuatan Lamakara Wolu. Berwujud manusia dengan aura api yang berpendar, Ranggah Dahana dipercaya sebagai pembawa api suci yang melindungi warisan leluhur.
Ranggah Dahana bukan hanya pelindung, tapi juga penghubung antara manusia dan dewa. Dia mengajarkan manusia cara menghormati alam dan kekuatan gelap yang tak bisa dilihat dengan mata biasa.
---
Menurut cerita, pada suatu masa di mana kegelapan mulai mengancam keseimbangan dunia, Lamakara Wolu turun ke dunia manusia.
Dia memilih seorang anak dari suku Austronesia kuno, yang sedang sekarat akibat penyakit yang tak tersembuhkan, sebagai wadahnya.
Anak itu kemudian dipersatukan dengan Lamakara Wolu, diberi kekuatan luar biasa, dan ditugaskan untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan terang dan gelap.
Di sampingnya, muncul Ranggah Dahana yang ditugaskan sebagai pelindung dan pembimbing.
Bersama, mereka menjadi penjaga dunia—dari kegelapan yang berbahaya, sekaligus pelindung rahasia leluhur.
Meskipun zaman telah berubah, kisah Lamakara Wolu dan Ranggah Dahana tetap hidup dalam cerita rakyat dan mitos Nusantara.
Mereka adalah lambang kekuatan asli yang telah ada jauh sebelum pengaruh luar datang, termasuk para dewa dari negeri jauh. Terutama pada dewa Hindu dari India yang mulai masuk pada abad ke 4.
Dalam darah dan jiwa keturunan Austronesia, warisan mereka terus bergetar, menunggu saat kebangkitan kembali untuk menjaga dunia dari kehancuran.
---
Di tengah aula yang agak sepi, aku, Arka, dan Nara berdiri ngadepin anak-anak dari circle elit sekolah—yang namanya dewa-dewi Hindu semua, lengkap dengan gaya sok jago dan tatapan sinis.
Durga, si ketua OSIS yang terkenal galak, melangkah maju sambil melotot,
“Serius, kalian ini ngapain sih ikut campur urusan kami? Ini masalah kami sama Nara, bukan urusan kalian! Kalian itu cuma dewa-dewa liar, kegelapan yang gak pernah ngerti dharma. Kacau!”
Wisnu, yang biasanya kalem tapi kali ini suaranya agak sinis, nambahin,
“Ya, bener banget. Kalian tuh dewa gelap yang nggak punya aturan. Kami di sini jaga tatanan dan dharma. Kalian? Netral katanya? Haha, cuma alasan buat bebas ngelakuin apa aja!”
Siwa, yang kelihatan paling serem, maju dan tatap aku sambil bilang,
“Lamakara Wolu, kekuatan itu nggak ada gunanya kalau gak ada arah yang jelas. Ranggah Dahana, kamu cuma pelayan yang nyebarin api liar tanpa kontrol. Kalian bukan bagian dari dunia kami yang tertib.”
Aku nyengir tipis, suara Lamakara Wolu di kepala bergetar,
“Kalian salah paham. Kami gak peduli sama dharma kalian yang ribet itu. Kami cuma jaga keseimbangan, bukan ikut aturan-aturan sempit kalian. Kegelapan itu bukan untuk menghancurkan, tapi buat ngisi kekosongan yang kalian gak bisa jangkau.”
Arka, gak mau kalah, ngejawab dengan tegas,
“Kami nggak cari ribut, tapi kami juga gak bakal biarin Nara diserang cuma gara-gara kalian merasa paling suci.”
Nara, yang biasanya pendiam, tiba-tiba angkat suara dengan mata penuh tekad,
“Aku bukan monster! Aku juga bagian dari dunia ini, sama kayak kalian. Kalau kalian gak bisa terima, itu urusan kalian, bukan aku.”
Durga ngecekik tawa,
“Kalian yang jalan di gelap itu memang selalu jadi masalah buat tatanan kami. Makanya kami harus bersihin kalian.”
Suasana jadi sunyi. Semua sadar kalau ini bukan cuma soal Nara, tapi benturan dua dunia yang susah banget disatukan.
Untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku terutama matematika, seringkali aku menulis ulang soalnya dalam lembar jawaban, sama seperti temanku, Wildan, sang berandalan di mata guru.
"Woy, Arman lu udah beresin PR belom?" tanya Wildan teman satu gengku.
"Udahan gue tapi jawabannya ditulis ulang dari soalnya," jawabku.
"Sama wkwkwk, udah ngasal aja terima nasib," cetus Wildan.
Terjadi obrolan yang cukup seru antara kami berdua, tanpa kami sadari tak lama kemudian datanglah Pak Tejo, guru killer matematika, membawa tongkat penggaris kayu panjang yang siap memukul para berandalan pembangkang.
Para murid langsung mengucap salam dan tersenyum manis dengan terpaksa melihat orang yang mereka takuti ada di hadapan mata. Tapi guru yang mendapat julukan Raja Iblis dari Gunung Merapi itu hanya menjawab dengan raut wajah marah dan mata melotot, mungkin agar terlihat berwibawa.
"Selamat Pagi, Pak Tejo," ujar para murid dengan senyum kecut.
"Selamat Pagi," dengan nada tegas Pak Tejo menjawab. "Anak anak sudah mengerjakan PR?"
Hampir seluruh siswa di kelas menjawab "sudah" karena takut terkena sabetan kayu. Tapi aku dan Wildan hanya membisu.
Pak Tejo pun berkeliling kelas sambil mengelus-elus penggaris kayu kesayangannya dengan mata setajam burung pemakan bangkai, ia seakan bisa mencabik dan menerkam kami, kapan saja.
Ramalanku benar. Ia pun langsung menghardikku bagai sambaran geledek sambil memukul mejaku dan Wildan dengan penggaris panjangnya itu.
"Mana PR-nya?" teriak Pak Tejo.
"I-ini, Pak," jawab kami.
Hening. Sesaat kemudian. "Kok ditulis ulang soalnya, kamu gak belajar?" hardik Pak Tejo lagi.
"Belajar Pak tapi," kami tertunduk.
"Gak usah ngomong ini buktinya," bentak Pak Tejo sambil memukul meja kami dengan kayu.
Pak Tejo pun langsung menggiring kami keluar kelas sambil menjepit telinga kami. "Berdiri kalian di sini! Dasar berandalan sekolah," gerutunya.
Aku sudah terbiasa dihukum. Inilah diriku apa adanya, setidaknya ini melunasi rasa puasku. Tak lengkap rasanya jika hidup tanpa tantangan, bagaikan kopi tanpa kafein.
Aku dan Wildan dihukum dan hukumannya pun akhirnya berakhir pada saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring.
Saat pulang sekolah aku tidak langsung balik ke rumah, sangat membosankan. Aku sering nongkrong di pangkalan tukang ojek pengkolan. Teman-temanku yang lain, termasuk juga Hasan anak SMP M yang menjadi musuh abadiku juga ada di sana. Aku pun berpura pura tidak melihatnya. Mereka sedang menonton TV yang tersedia di pangkalan ojek. Mereka tak bisa memalingkan pandangan dari aksi demonstrasi mahasiswa di depan Istana Parlemen United Kingdom of Surupala. Tak hanya mahasiswa, ternyata pelajar SMP, SMA, dan SMK ada juga yang terlibat dalam demonstrasi itu.
Wildan berbicara pada seorang temanku di pos ojek, "Abid, Bang Nasrul udah jalan belom?"
"Udah dari tadi, kenapa?" tanya Abid balik.
"Gak apa apa emang dia ngapain?" tanya Wildan lagi.
"Dia bantuin Bang Cecep yang udah kuliah buat demo"
"Bantuin ngapain?"
"Masih nanya lagi? Ya bantuin demolah tuh liat aja di TV!"
"Luh di sini ngapain Bid?"
"Nungguin bak terbuka gelombang kedua, lu mau ikut?"
"Ya iyalah solidaritas!"
Wildan pun menepuk pundakku.
"Woi, Arman lo mau ikut gak?"
"Gak ah entar emak gua nyariin gua kasihan."
Abid dengan senyum yang agak sinis mengatakan, "Mental tempe luh!"
Wildan ikut menimpali. "Iya Man lu bilang lu suka hidup yang penuh tantangan."
"Gua emang suka tapi gua khawatir emak gua nyariin ke Jakarta pasti pulangnya malam," timpalku.
"Yah elah Man kita kan sahabat harus saling kompak."
Tak lama setelah mereka berdebat, bus besar pun datang di halte dekat pengkolan ojek. Anak-anak Kota Wentira sudah siap dan mulai menyanyikan yel yel. Mobil bak terbuka urung datang dan diganti bus karena jumlah peserta semakin banyak. Rahmat memilih menggunakan bus untuk mengangkut massa para pelajar itu.
Rahmat adalah anak kelas 2 SMA. Ia ketua berandal Wentira. Ia menamai gengnya, Wentira Rascals, untuk menyatukan seluruh sekolah di Kota Wentira.
Aku tak ingin mengecewakan teman-temanku, jadi aku memutuskan ikut. Aku ikut untuk mencari pengalaman baru. Aku yakin petualanganku kali ini berbeda dengan tawuran yang biasa aku lakukan.
Hasan yang biasanya menjadi musuhku saat tawuran tersenyum dengan giginya yang bersih. Ia menjulurkan tangannya. "Kita bukan musuh lagi ingat PERSATUAN Kerajaan." Dari raut mukanya dia sudah melupakan permusuhan selama ini yang terjadi di antara kami berdua. Aku pun mau bersalaman dengannya.
Aku punya prinsip dalam petualangan terbaruku ini, "Cintailah perdamaian, tapi lebih cintailah keadilan."
Aku merasa langkahku sudah tepat untuk mewujudkan kata-kataku. Di dalam bus aku tidur lelap sambil memangku ransel merahku...
Mendadak, teriakan dan ledakan gas air mata memecahkan gelembung tidur siangku. "Woy bangun woy!!!" teriak Wildan padaku dengan sangat panik.
Seluruh temanku menyiapkan gespernya. Tampak Rahmat membawa peralatan huru-hara yang lengkap, petasan, botol berisi bensin, dan korek api.
"Ayo tempur, ayo tempur!!!" teriak yang lain dengan semangat ala jihad.
Aku pun langsung menarik gesper dari celana. Aku melihat dari kejauhan seorang polisi yang babak belur menjadi bulan-bulanan para pelajar dari berbagai sekolah.
Gas air mata yang digunakan polisi seakan tak dapat memadamkan semangat para pelajar yang meledak-ledak. Gas air mata itu bagaikan obat nyamuk semprot murahan yang tak mempan mengusir nyamuk.
Wildan berkata di tengah kebisingan huru-hara massa bahwa dahi Hasan tertimpa batu dan berdarah. Aku tahu Hasan musuh bebuyutanku, tapi hatiku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sekali pun dalam hidup. Sedih dan marah. Aku dan Wildan berusaha menolongnya dengan cara menggotongnya ke tempat yang aman.
Setelah polisi yang menjadi bulan-bulanan pelajar itu pingsan, langsung datang ratusan polisi memakai perisai menutup jalan menuju Istana Parlemen United Kingdom of Surupala. Tapi Rahmat, pemimpin geng Pancoran Mas, tak kehabisan akal untuk situasi apapun.
"Ya udah gini aja kita kita dorong mobil pick-up itu ke arah kerumunan polisi biar kita bisa lewat," ujar Rahmat dengan sedikit raut muka yang agak panik.
Sekitar sepuluh orang berdiri di atas pick-up untuk menambah berat pick-up serta puluhan lainnya mendorong dari belakang. Mereka akhirnya berhasil memporakporandakan barisan polisi berperisai itu.
Para polisi itu pun mulai kehabisan kesabaran. Setelah jumlahnya bertambah banyak, polisi merangsek. Beberapa dari kami yang lari lebih dulu akhirnya berhasil lolos dari kejaran para polisi. Tetapi yang berjalan agak lamban tertangkap. Aku dan Wildan pun tertangkap karena menggotong Hasan. Ini membuat langkah kami terhambat dan polisi pun berhasil menangkap rombongan kami. Kami lalu dibawa ke kantor polisi terdekat.
Di kantor polisi, kami pun akhirnya disetrap dengan push-up, sit-up, dan jongkok sebagai hukuman. Saat push-up aku menoleh ke atas. Ada seorang polisi menghampiriku, dia punya kumis yang cukup panjang dan agak beruban di alisnya.
Dia menanyaiku beberapa hal, "Dari mana, dek?" tanya polisi separuh baya tersebut.
"Dari SMP di Wentira," jawabku dengan cemberut dan agak kesal.
"Ke sini dalam rangka apa?"
"Demo undang undang hak istimewa parlemen dalam memiliki tentara sendiri," jawabku dengan polos meskipun sebenarnya aku tak paham benar masalah yang terjadi.
"Tau gak salah kamu apa?"
"Gak tau tuh"
Suara polisi itu mulai meninggi. "Jadi kamu gak merasa salah?!" hardiknya dengan mata melotot.
"Tidak saya merasa baik baik saja, justru menurut saya bapak dan rekan rekan bapak yang salah. Bapak tega menembaki kami dengan gas air mata, padahal kami memiliki hak untuk berdemokrasi dan menuntut hak kami. Bapak lebih sayang pejabat daripada kami rakyat yang harusnya Bapak lindungi. Bapak dan rekan rekan Bapak rela melindungi pejabat yang mendzalimi rakyat. Menurut saya para pejabat di Istana Parlemen United Kingdom of Surupala, itulah yang pantas disirami gas air mata," ujarku sambil senyum dengan agak belagu.
"Gak usah sok pinter kamu. Kok bisa bikin huru-hara kayak gini kamu bilang gak salah?!" sepertinya kesabaran polisi separuh baya itu hampir habis.
"Saya tidak tahu mengapa saya tidak merasa salah yang jelas saya yakin melangkah dengan tepat tak pernah seyakin ini," jawabku dengan tegas dan penuh keyakinan.
"Berani kamu ngelawan hah," dia sudah siap melakukan apa saja.
Polisi itu pun mulai menampariku bertubi tubi hingga pipiku kemerah-merahan. Untunglah, polisi lain dengan sigap memisahkanku dengan orang itu.
Aku sama sekali tidak melawan biar bagaimana pun dia orang tua harus tetap dihormati.
Sesudah semua kejadian itu, aku dan teman teman berandal Pancoran Mas dipulangkan ke sekolah masing masing.
Aku sampai di sekolahku kira kira pukul 11.30 malam. Saat baru turun dari mobil, aku tak menyangka ibuku telah menantiku di lapangan sekolahku yang gelap gulita.
Ibu tampak gelisah. Aku mendatanginya dan ia menoleh ke mobil itu sambil menangis bahagia. Seakan hartanya yang paling berharga selamat dan masih utuh.
"Sayang, ibu sangat khawatir sama kamu," ucapnya sambil berlari mendekapku.
"Ibu, ibu gak marah lagi?" tanyaku dengan kaget.
"Gak Nak, Gak tau kenapa ibu gak pengen marah atau sedih ibu malah bangga sama kamu, ibu jadi inget sama ayahmu yang meninggal karena kebakaran saat kerusuhan di pabrik untuk menuntut haknya sebagai buruh. Dia adalah pejuang demokrasi sama sepertimu, tapi usiamu lebih muda. Kamu memang anak yang pemberani," ujarnya deng
Ibu memelukku erat-erat seakan tak mau melepaskan pelukan hangatnya. Tapi aku sebenarnya masih tak mengerti mengapa ibu benar-benar tidak marah. Sampai akhir zaman perasaan ibu yang seperti itu lebih baik tetap jadi misteri.
Besok, aku harus menyiapkan diri untuk berdiri di depan tiang bendera saat upacara. Awalnya aku merasa menjadi jagoan yang tak terkalahkan, tapi saat merantau sehari di Jakarta, aku menyadari aku bukan siapa-siapa.
Kamar Atap Kota Wentira, 2019
Aku melangkah kaki menuju sekolah dan terus mengingat-ingat kejadian beberapa pekan lalu yang membuat kelas heboh seperti kawanan cacing yang kepanasan. Bukan tanpa alasan mengapa aku flashback kisahku ini pada hari Jumat karena hanya di hari yang mulia ini orang tuaku mengizinkanku bermain-main setan gepeng.
Ya, aku menyebut benda yang sebenarnya handphone alias telepon genggam itu sebagai setan gepeng. Aku menyebutnya demikian karena salah seorang guruku saat upacara menjuluki benda itu sebagai setan gepang. Ia mengganggap handphone yang berbentuk datar tersebut adalah setan karena membuat banyak siswa malas belajar. Menurut guruku, setan yang sesungguhnya saat ini adalah handphone yang membuat hampir semua siswa lalai terhadap segala-galanya dan membuat banyak siswa gagal dalam ujian.
Sejak Wildan hilang, kini aku sendirian. Aku sering dikeroyok oleh anak anak brandalan yang menjadi musuh gengku di masa lalu. Gengku yang dulu besar kini sudah bubar sejak Wildan lenyap tanpa jejak, aku jadi pemurung dan kesepian lagi. Wildan hilang saat kami berdua ikut Ekskul hiking yang berakhir bencana, jeritan Wildan teredam oleh kabut tebal, dan pencarian selama berhari-hari tidak pernah membuahkan hasil. Itu adalah pengalaman paling traumatis dalam hidupku
Aku memang bodoh terlalu tergantung dengan dia padahal teman itu datang dan pergi, aku jadi pecundang sejak Wildan yang biasanya selalu menyemangatiku tak ada lagi. padahal aku pernah ikut tawuran melawan polisi yang melindungi parlemen kerajaan bahkan menjadi sosok Supervillian Incognito yang membuat magical girl seperti Selene. Kini, aku seakan tak punya lagi semangat hidup. Aku jadi samsak tinju geng lain.
Namun, kesedihan itu tak bertahan lama karena Selene kembali ke bumi dan menjadi murid baru di SMPku.
Hari Jumat pada siang hari yang sangat cerah namun terik, seperti biasanya mataku seakan penuh dengan cahaya. Sangat menyilaukan. Terkadang aku berjalan menuju masjid dengan mata yang terpicing atau menutup sebagian wajahku dengan sarung saking membanjirnya cahaya.
Hari yang cerah itu mengingatkanku pada beberapa pekan lalu saat aku membeli akun e-mail dari David, teman sekelasku di SMP, untuk bermain game Tataba Banua: Awakening of Beasts. Ini adalah salah satu pengalaman terburuk selama aku menjadi seorang gamer, tapi biar bagaimanapun aku harus menanggung risiko untuk menjadi seorang gamer sejati.
Game itu memang kuno dan bagi sebagian gamer, Tataba Banua: Awakening of Beasts dianggap ketinggalan zaman. Tetapi aku sangat menyukai COC sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari diriku dan kenangan masa kecilku.
Tentu saja aku sangat tergiur dengan penawaran David. Ia menjual akun itu seharga 25 ribu rupiah. Ia menjual akun Tataba Banua: Awakening of Beasts tersebut dengan harga yang benar-benar rendah, jika dibandingkan harga yang ditawarkan gamer-gamer lain di toko online.
Saat itu, David bertanya padaku seperti biasa, hanya basa-basi menayakan mengapa aku tak pernah membawa handphone ke sekolah.
"Eh Arman elu ngapa dah ke sekolah gak pernah bawa handphone?" tanya David padaku.
"Nggak apa apa aku cuma takut aja kalau dibawa nanti handphone-nya bisa rusak atau ilang, lagian orang tuaku juga gak ngizinin aku main handphone setiap hari. Orang tuaku cuma ngizinin aku main handphone hari Jumat pas pulang sekolah sampai Sabtu, karena Sabtu sekolah libur. Itu pun cuma sampai baterainya habis," jawabku sambil tersenyum.
Dengan basa-basi David bertanya lagi padaku. "Ngomong-ngomong elu kalo di rumah main game gak?"
"Iya maen sih kadang-kadang kalo lagi bosen hehehe,"jawabku.
"Elu main game apa?” tanya David penasaran.
"Yah palingan aku sih main Tataba Banua: Awakening of Beasts, game kesukaanku sejak masih kelas 5 SD," jawabku.
"Emangnya elu maen Tataba Banua: Awakening of Beasts udah level berapa?" tanya David yang sepertinya penasaran.
"Yah masih level 7 sih, aku kan jarang maen hehehe," jawabku agak malu-malu.
"Ngomong-ngomong elu mau akun gua nih level 11 gak prematur kok," tawarnya basa basi.
level 11? Ini pasti hari keberuntunganku, "Mau! memang kamu mau ngasih harga berapa?" tanyaku antusias.
"Murah kok cuman 25 ribu," jawabnya sambil memiringkan topi dengan sok keren.
"Ok maulah yang penting dapet akun level 11," cetusku dengan perasaan senang.
Aku sangat senang karena akhirnya aku memiliki jalan pintas yang tak kuduga sebelumnya untuk menamatkan game yang membutuhkan kesabaran dan sudah susah payah kumainkan sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Aku tidak akan ketinggalan jauh dengan teman teman alumni SD ku yang sudah mencapai level 13. Aku pun langsung tergesa gesa mencatat alamat e-mail beserta passwordnya agar bisa kutautkan ke handphoneku, serta membayar 10 ribu lebih dulu karena David mengizinkan untuk mencicilnya.
Kini seakan aku merasakan segentong manisnya madu setelah berjuang mengeluarkan keringat dan darah di medan perang. Aku pulang sekolah dan bergegas menyembunyikan password email itu di lemariku. Aku berharap tak ada yang dapat menjumpainya.
Saat aku menyimpannya, aku teringat kembali jika aku ada tugas bahasa Indonesia di rumah temanku. Aku pun langsung izin ke orang tua untuk pergi belajar kelompok di rumah teman.
Setelah aku diberikan izin untuk menyalakan handphone, aku langsung login di tengah kerja kelompok bareng teman-teman. Aku sangat senang karena berhasil login tetapi agar lebih yakin aku membuka game analyze untuk memeriksa kemajuan gamenya. Dan, aku benar benar gembira begitu aku tahu bahwa Tataba Banua: Awakening of Beasts-nya memang sudah level 11.
Aku langsung memainkanya sampai lupa dengan tugas yang seharusnya kuselesaikan. Sampai-sampai Selena yang kini menjadi teman sekelasku langsung menegurku hingga aku terkaget karena terlalu asyik bermain game.
"Woi kerjain gak kamu, kerjanya diem mulu kaya patung, aku sendirian terus kan yang ngerjain tugasnya," ujar Selena nasambil bersungut-sungut.
"Maaf iya sebentar kukerjain," jawabku sambil mengelus rambut.
Selena yang dulu seperti tuan putri kini menjadi anak perempuan di kelasku yang cerewet dan suka ngatur-ngatur teman-teman lainnya, termasuk diriku. Ia selalu detail dan selalu mengomeliku. Tetapi kuakui dia satu-satunya teman di sekolah yang peduli padaku.
XXX
Bel berbunyi nyaring, menandakan pergantian pelajaran. aku menghela napas, menatap buku matematikaku yang penuh coretan tak bermakna, aku sedih karena sahabat baiknya Wildan kini telah tiada. Pikiranku melayang ke masa kecilku, saat aku masih percaya pada sihir dan petualangan.
"Kamu pasti jadi penyihir hebat, Nana!"
"Aku akan kembali, Arman! Janji!"
Suara tawa kecil itu masih terngiang di kepalaku, meski sudah delapan tahun berlalu.
"Arman, dengerin nggak? Katanya ada murid pindahan!" teriak Rizal, teman sekelasku , menyodok lengannya.
"Ah, biasa aja kali. Lagian siapa sih yang mau pindah ke sekolah kita?" jawab Arman sambil menguap.
Tiba-tiba, kelas yang riuh menjadi hening.
Guru kelasnya, Bu Dian, masuk diikuti seorang gadis. Rambut peraknya yang panjang terurai hingga pinggang, matanya biru seperti langit musim dingin. Tapi yang membuat Arman tersentak—kalung berbentuk bulan sabit di lehernya.
Kalung yang sama.
"Anak-anak, perkenalkan, ini Selena Aurora. Mulai hari ini, dia akan bergabung di kelas kita."
Gadis itu tersenyum, lalu menatap langsung ke arahku.
"Senang bertemu kalian semua. Aku sudah lama ingin kembali ke sini."
Suaranya seperti dinginnya embun pagi, tapi ada sesuatu yang hangat—sesuatu yang hanya Aku yang mengenalinya.
Nana.
Istirahat siang. Akumengejarnya di koridor, jantungnya berdegup kencang.
"Selena, tunggu!"
Gadis itu berhenti, lalu perlahan menoleh.
"Kamu... kamu Nana, kan? Selena yang dulu—"
Dia meletakkan jari di bibirnya, "Sst. Jangan terlalu keras." Tiba-tiba, angin berhembus aneh, meski jendela-jendela tertutup rapat.
"Aku memang janji akan kembali. Tapi sekarang, banyak hal yang berubah, Arman."
Matanya berkedip, dan untuk sesaat, Arman melihat kilatan cahaya ungu di dalamnya.
Sihir.
"Kamu masih... penyihir?" bisiknya.
Selena tersenyum misterius. "Lebih dari itu. Aku kembali karena ada sesuatu yang mengancam Bumi—dan kau adalah kuncinya."
Bel berbunyi lagi, tapi kali ini, suaranya terasa sangat jauh.
Arman berdiri di sana, bingung antara masa kecil yang indah dan kenyataan aneh yang tiba-tiba menyeretnya kembali.
Dia membawa lebih dari sekadar kenangan. Dia membawa rahasia—dan mungkin, petualangan yang bahkan tidak ia sangka.
XXX
Meskipun Selene anak yang terlihat rajin, jangan pernah remehkan kemampuanya dalam bermain game. Dia adalah gamer yang sangat brilian. Dia sering menyelinap ke warnet sepertiku, meskipun ayahnya melarangnya karena takut nilai ulanganya turun. Tapi Selene benar-benar beda dariku meskipun menjadi gamer, itu semua tidak pernah membuatnya kecanduan. Meskipun bermain game sesering aku, nilai ulangan Selene selalu jauh lebih tinggi dari ulanganku. Tapi tetap saja ayahnya tidak memberikan izin untuk bermain game, bahkan pernah dia sampai disetrap berdiri di depan halaman rumah karena ketahuan pergi ke warnet.
Meskipun aku agak teralihkan karena bermain handphone, aku masih berusaha mengerjakan tugas itu semampuku. Teman temanku yang lain tidak bekerja sama sekali dan tak melakukan apa apa.
Setelah bekerja sangat lama dan menyusahkan, akhirnya pekerjaan kelompok ini pun berakhir, meskipun hanya aku dan Selena yang bekerja. Kerja kelompok yang menyusahkan itu akhirnya selesai. Kini aku sudah sampai di rumah. Aku bergegas menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok.
Hari ini pun tiba. Hari paling menyebalkan dalam ceritaku. Aku mengetahui akun game itu telah diberikan David kepada orang lain karena tiba tiba gamenya suka keluar-keluar sendiri dari klan kelompok. Barang barang dalam gameku tiba-tiba upgrade tanpa sepengetahuanku.
"Maaf nih David, aku merasa ada orang lain yang mainin akun ini, selainku," tanyaku curiga.
"Iya kemarin akunnya gua kasih ke Kaban soalnya dia maksa," jawab David dengan agak panik.
"Kok gitu kan akunnya udah kubeli lunas," hardikku.
"Ya udah elu nanti kan bisa ganti passwordnya," jawab David tak bertanggung jawab.
Emosiku tiba tiba seakan tercampur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Tak kusangka teman yang kupercaya dengan baik selama ini ternyata tega mengkhianatiku. Hatiku terasa terbelenggu kegelapan gerhana. Kejadian itu membuatku tak nyaman mengikuti pelajaran sekolah dan membuat dadaku sesak sewaktu pulang sekolah.
Saat berjalan di koridor menuju tempat parkir sepeda, pikiranku melayang tak karuan memikirkan hal yang jelek-jelek serta memutar otak bagaimana dapat menguasai seluruh akun game itu tanpa campur tangan Si Kaban, perampas akun gameku. "Awas kau Kaban tanggung pembalasanku!"
Meskipun aku membelinya hanya dengan harga 25 ribu, harga yang sangat murah dibandingkan jika aku membelinya di tempat lain yang bisa mencapai 2 juta rupiah, tetap saja barang yang sudah dibeli dan telah terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli, seharusnya tidak boleh diberikan kepada orang lain. Barang itu sudah seratus persen menjadi hak milik pembeli. Lagipula David sudah menerima uang itu secara lunas.
Kepalaku sangat mumet saat berjalan di sepanjang koridor. Ketika langkah kakiku menginjak tanah bertanda aku sudah sampai di parkiran sepeda.
Tiba tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. "Ngapa lu cemberut Arman?" ternyata Selene yang menepukku dari belakang sambil tersenyum.
"Iya nih akun game aku dibajak sama Kaban pusing deh aku," jawabku lesu.
Selene pun memperlebar senyumannya. Entah itu tersenyum atau tertawa mengejek.
Aku selalu menunggu hari Jumat dan sering berlari tergesa-gesa saat pulang ke rumah seusai Shalat Jumat demi memeriksa gameku. Ternyata masih ada orang lain yang memainkan gameku. Huh.
Aku telah melewati hari Sabtu dan Minggu yang menyebalkan. Ini hari Senin aku harus kembali ke sekolah yang membosankan. Saat aku masuk ke pintu kelas, aku disambut dengan kemarahan teman-temanku terutama Kaban. Ia sangat marah padaku meskipun aku tidak tahu tidak tahu apa yang telah terjadi.
“Woy Arman, elu ngeluarin semua anggota kelas kita yah?!!" amuk Kaban sambil mendorong badanku.
"Nggak, aku gak tau apa apa," jawabku kaget.
"Gak usah boong lu kalo gak suka, gak usah gitu dong," ujar Kaban dengan nada tinggi.
"Gak usah nuduh dong salah sendiri nyolong akun orang!" sahutku.
Kaban pun terdiam tetapi kejadian itu benar benar membuatku jengkel. Padahal dia yang salah mengapa justru dia marah-marah padaku.
Tetapi aku juga masih penasaran siapa yang telah memainkan akun itu. Aku semakin tidak suka dengan mereka yang menuduhku melakukan semua itu padahal kalaupun aku memang melakukanya aku tak seharusnya disalahkan karena mempertahankan hak.
Beberapa game online memang memungkinkan untuk dimainkan dengan teman secara berkelompok. Mereka menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok karena mereka memberikan jabatan wakil pemimpin kepada Kaban yang memungkinkan dia mengeluarkan anggota lain. Selain Kaban hanya aku yang bisa mengakses akun itu sekaligus mengeluarkan yang lain. Teman teman lain menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok.
Aku tak nyaman saat hendak pulang ke rumah. Aku dibayang bayangi oleh ketakutan akan dikeroyok oleh teman-teman sekelasku yang akan memburuku. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Aku melintas di jalanan sepi di sisi kiri dan kanan hanya kebun kosong yang jarang dilewati orang. Tapi itu satu satunya jalan untuk menuju rumahku.
Usahaku untuk keluar dari jalanan sepi ini dengan selamat sia-sia.
Ternyata yang kutakutkan benar-benar terjadi! Sungguh sial! Mereka menemukanku di sini sendirian, di tempat sepi!
Mereka langsung menarik kerah bajuku lalu mencari pohon terdekat dan langsung menekan dadaku di pohon tersebut untuk dijadikan korban "skip challange". Aku hanya bisa menahan rasa sakit di dada. Aku terjatuh dan pura-pura pingsan. Mereka pun langsung kabur melarikan diri tanpa satu orang pun yang menjadi saksi mata.
Semua kejadian buruk kemarin membuat kepalaku pusing semalaman. Saat tiba di sekolah aku melihat Mira bersandar di dinding kelas. Ia terlihat santai. Senyumannya tersungging. Aku pun langsung menghampirinya.
"Selene aku mau nanya dong kok tiba tiba tiba ada yang ngeluarin anggota kelompoknya Kaban di game padahal aku gak ngapa-ngapain loh?" tanyaku dengan nada penasaran.
"Eh Arman ngagetin aja! Oh soal itu hmm kayaknya aku tahu siapa pelakunya" ujarnya sambil tersenyum tengil.
"Siapa pelakunya kok kamu bisa tahu?" tanyaku dengan kaget.
"Dasar anak culun, kamu lupa yah kalo pas belajar kelompok kamu sempat main game di sampingku? Aku bisa lihat password-mu. Kamu gak curiga sama sekali aku masukin akun itu ke handphoneku dan aku lalu ngeluarin semua anggota kelompoknya si Kaban di dalam game hahaha…" jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kamu tega ngelakuin itu?” tanyaku terkejut.
"Salah sendiri gak waspada," jawabnya.
Aku hanya terdiam kesal.
Selenen lantas memandang wajahku dan langsung mengeluarkan senyumnya. Kali ini bukan senyum keangkuhan. Baru kali ini sepanjang aku mengenalnya aku melihat senyuman tulus terpajang indah di wajahnya. Ternyata kalau diamati, saat tak sedang jutek, Selene manis juga.
"Denger ya Arman, aku minta maaf aku ngelakuin ini buat ngasih pelajaran ke kamu biar kamu gak kecanduan main game lagi. Soalnya sebenarnya kamu itu gak bodoh tapi sejak kamu kecanduan main game nilai ulangan kamu mulai turun, kamu juga mulai malas ngerjain tugas, tolong maafin aku ya aku sebenernya gak punya hak buat lancang maenin akun kamu, "jawabnya dengan senyuman seperti malaikat.
Sejenak aku terdiam. Di antara marah atau bahagia. Tapi rasa bahagia agaknya yang lebih kuat menghinggapiku.
"Iya aku maafin kamu kok, mulai sekarang aku bakal berusaha ngilangin game dari pikiranku," jawabku membalas senyumannya.
Setelah kejadian itu aku berusaha membuang kesialan dari akun terkutuk itu. Akhirnya aku menjual akun itu. Aku menjualnya kepada anak sekolah lain karena jika kujual akun itu kepada anak satu sekolah aku takut anak itu akan diganggu oleh Kaban.
Aku menjual akun itu seharga 180 ribu. Mungkin ada hikmah dari semua kejadian ini. Aku mendapatkan keuntungan berlipat lipat daripada saat aku membeli akun itu dari David. Aku juga sadar di balik kecerewetannya, Selene ternyata sangat peduli padaku,
Aku sudah memberi tahu pembeli akun itu jika akan ada pemain lain yang mengakses akun itu. Aku pun memberi tahu Kaban jika ada pemain lain yang memainkan akun itu, maka itu bukanlah aku karena aku telah menjualnya.
Kaban terlihat agak menyesal karena tidak mencoba membeli akun itu dariku. Sekarang aku yakin dia tidak akan pernah bisa memainkan akun itu dengan tenang.
Langit malam tampak biasa saja di atas kota Wentira, Jawa Barat pada tahun 2020—dipenuhi cahaya lampu jalan dan dengung motor yang terus berlalu-lalang. Tapi di sebuah rumah dua lantai di pinggiran kota, tiga anak sedang larut dalam dunia yang lebih jauh dari apa pun yang bisa dijangkau kendaraan: dunia Mars. Aku dan Selene dalam perjalanan ke ruimah mereka untuk melihat mereka bermain game meskipun saat ini ditengah pandemi.
"Lina, coba buka petanya. Gue yakin gua tempat telur itu ada di dekat Pegunungan Dusk!" seru Raka, dengan nada penuh semangat sambil mencondongkan tubuh ke arah layar laptop Lina.
Lina Chen, gadis keturunan Tionghoa berambut pendek dan berkacamata, menggeser layar sentuh di depannya. “Sebentar, Raka. Jangan asal nebak. Kita butuh koordinat yang akurat kalau mau buka pintu gua itu.”
Di layar mereka, terbentang peta interaktif yang memperlihatkan permukaan Hutan Kamyaka—tapi bukan Hutan kamyakabiasa. Ini adalah dunia dalam game misterius yang mereka unduh dari forum tertutup seminggu lalu: Tataba Banua: Awakening of Beasts.
Arga, si jenius komputer yang pendiam, mengetik cepat di tablet transparannya. “Ini aneh. Data peta ini nyaris sama dengan hasil pemetaan NASA. Bahkan komposisi bebatuannya pas. mungkin itu gunung.”
“Seriusan?” tanya Raka, matanya membulat.
Arga mengangguk. “Aku ngecek ulang data. Ini bukan main-main. Kalau benar, gua yakin ini lebih dari sekadar game.”
Lina mengerutkan kening. “Tapi ini cuma permainan, kan?”
Seketika layar mereka berkedip. Semua visual berubah menjadi gelap, lalu tulisan merah menyala muncul perlahan:
"TES DIMULAI. TEMUKAN TELUR PENJAGA. WAKTU ANDA TERBATAS."
Seketika, semua perangkat elektronik di kamar mati.
“Apa-apaan itu barusan?” Raka berdiri, cemas. “Gue gak suka ini.”
Belum sempat mereka berbicara lebih lanjut, suara aneh terdengar dari luar jendela. Suara... desiran angin yang membawa bisikan. Tapi tak ada angin malam ini.
Arga mendekati jendela. “Astaga…”
Di kejauhan, di langit malam yang cerah, ada kilatan merah samar. Bukan bintang. Bukan satelit. Seolah... ada sesuatu yang memanggil.
Lina menelan ludah. “Kalian ingat bagian intro gamenya? Katanya, ‘Yang terpilih akan dipanggil oleh Hutan Kamyaka sendiri.’ Kalian pikir…”
Raka tertawa kaku. “Udah ah, ini pasti bagian dari promosi marketing atau augmented reality. Gak mungkin nyata.”
Tapi perasaan di dada mereka berkata lain.
---
Dua hari kemudian.
Pegunungan bersalju di wilayah utara Kerajaan Surupala membentang sunyi. Di tengah badai kecil, Kami berlima yang biasanya duduk di depan layar kini berada di alam liar, mengenakan jaket tebal dan membawa perlengkapan pendaki.
"Menurut koordinat dari game, gua itu ada di balik lereng itu," ujar Lina sambil menunjuk peta di smartwatch-nya.
Raka, meski menggigil, tersenyum lebar. “Gue suka game ini. Seriusan. Gila.”
Arga, dengan drone mini terbang di belakangnya, memperingatkan, “Gua itu seharusnya tidak ada di peta mana pun. Tapi droneku menangkap struktur gua besar 200 meter ke depan.”
Setelah berjalan hampir sejam, mereka tiba di mulut gua yang tak terlihat dari luar. Dindingnya merah kehitaman, mirip bebatuan Mars. Dan di dalamnya... cahaya biru samar memancar.
Ketika mereka melangkah masuk, keheningan menyelimuti seisi gua. Di tengah ruangan, berdiri tiga telur raksasa—satu bersisik merah, satu biru berkilau, dan satu bertanduk kristal.
Seketika, lantai bergetar. Udara menjadi panas. Telur-telur itu berdenyut seakan... hidup.
“Apa kita harus—” tanya Arga, tapi kalimatnya terputus.
Karena saat mereka menyentuh masing-masing telur… dunia mereka runtuh. Cahaya menyilaukan membungkus tubuh mereka. Lantai menghilang di bawah kaki.
Dan mereka terjatuh. Bukan ke dalam lubang, tapi ke langit—menuju dunia merah yang menanti dengan rahasia ribuan tahun.
Di sisi seberang api, duduklah Selene, wajahnya dingin seperti biasa. Tapi malam ini, matanya tampak lelah. Penuh beban. Seakan telah menanggung rahasia terlalu lama.
“Selene…” Aku membuka suara lebih dulu. “Aku tahu ini aneh, tapi… semua ini. Kita ke Kamyaka. Game jadi nyata. Jam tangan. Jatayu. Susaroku. Bahkan Wildan yang tiba-tiba muncul di sini… Kamu tahu lebih banyak dari yang kamu bilang, kan?”
Selene menatap ke dalam api sejenak, lalu menghela napas. Lalu mengangguk pelan.
“Aku yang membawa kalian ke sini, aku juga yang memberikan kalian telur naga” katanya.
Semuanya terdiam.
“Apa?” bisik Lina.
“Aku... bukan manusia biasa,” lanjut Selene. “Aku dilahirkan di Bumi, iya. Tapi aku keturunan langsung dari Penjaga Bulan, ras kuno yang dulu pernah bekerja sama dengan Dewa Naga untuk menjaga keseimbangan di Kamyaka, aku bukan gadis penyihir di dimesni lain . Susaroku adalah ancaman lama… dan sekarang dia bangkit kembali. Dunia tidak siap. Kalian—kita—adalah satu-satunya harapan.”
Wildan memandangnya tajam. “Kamu tahu semua ini dari awal? Bahkan waktu kita masih SD?”
Selene menunduk. “Iya. Waktu pertama kali aku menyelamatkanmu, Arman… itu bukan kebetulan. Aku sudah tahu aura Jatayu melekat padamu sejak kecil. Raka, Arga, Lina… juga. Kalian semua punya potensi jiwa penjaga yang lama tersembunyi. Aku... hanya bisa membimbing dari jauh.”
Arman berdiri, perasaan campur aduk. “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?! Kenapa harus lewat game, lewat telur, lewat semua kejadian aneh ini?”
Selene bangkit perlahan, wajahnya murung namun tegas.
“Karena aku takut. Takut kalian menolak. Takut kalian menganggapku gila. Dan… karena ini satu-satunya cara. Susaroku hanya bisa dikalahkan oleh jiwa-jiwa muda yang murni, yang dipilih oleh partner mereka sendiri. Kekuatan kalian hanya bisa bangkit… jika kalian menjalaninya dengan kehendak bebas.”
Ia menatap semua satu per satu.
“Aku minta maaf. Aku tidak memaksa kalian. Tapi aku... berharap kalian mengerti. Aku tidak bisa melawan Susaroku sendirian. Aku butuh kalian semua. Bahkan Wildan, yang waktu itu… menghilang, bukan karena kecelakaan. Tapi karena aku ‘menariknya’ lebih dulu ke Kamyaka, agar dia jadi pelindung pertama yang siap menghadapi bayangan Susaroku.”
Wildan menarik napas panjang. “Itu sebabnya… aku merasa sudah lama ada di sini. Tapi tidak mengerti kenapa.”
Selene mendekat ke arah api unggun. “Aku tidak minta kalian memaafkanku sekarang. Tapi ketahuilah satu hal…”
Ia mengangkat tangannya, dan dari langit muncul pancaran cahaya keperakan, lalu turun lambat membentuk simbol bulan sabit di tanah.
“Kalian bukan hanya teman-teman masa kecil. Kalian adalah Penjaga Terakhir Mars.”
Suasana hening.
Lalu, perlahan… Arman duduk kembali. Ia menatap api, lalu menatap Jatayu yang duduk tenang di kejauhan. Mata burung naga itu memancarkan cahaya hangat, seolah memahami semuanya.
Akhirnya, Arman mengangguk pelan. “Kalau kau sudah percaya pada kami sejak awal… maka kami akan percaya padamu sekarang.”
Raka berdiri, mengepalkan tinju. “Ayo, komandan bulan. Kita buktikan bahwa naga jahat nggak bisa lawan kekuatan bocah SD Margahayu 04!”
Lina tertawa kecil sambil mengusap matanya. “Kita selesaikan ini bersama, ya.”
Arga hanya mengangguk—diam tapi penuh makna.
Dan malam itu, di bawah langit asing, lima sahabat dan seorang gadis bulan meneguhkan niat mereka: menghadapi Susaroku dan menyelamatkan dunia merah ini dari kehancuran.
---
XXX
Selene bercerita padaku jika dia tumbuh dengan cerita bohong yang ia sebarkan sendiri: bahwa ia adalah penyihir bulan dari dimensi lain, utusan cahaya yang dikirim untuk menyelamatkan manusia. Padahal, kebenarannya jauh lebih getir. Di balik senyum lembutnya dan dongeng tentang “gadis penyihir bulan dari dimensi lain”, Selene menyimpan rahasia kelam yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia bukan utusan bulan, bukan pula penyihir dari dunia asing
Ia hanyalah seorang yatim piatu dari kerajaan Surupala, gadis yang sejak lahir dikutuk dengan kekuatan penyembuhan cacat—setiap luka yang ia sembuhkan berpindah ke tubuhnya sendiri. Kuil suci, lewat tangan dingin Pandita, mengangkatnya sebagai salah satu diantara banyaknya “anak suci” agar rakyat percaya pada mukjizat, sementara di balik tirai altar, Pandita telah bersekutu dengan Ranggah Dahana , dewa muda kegelapan. Dari kontrak itu, lahirlah teror Malaikat maut , makhluk-makhluk penderitaan yang sengaja dilepaskan agar rakyat terus bersandar pada kuil, mengalahkan Legitimasi kerajaan dan menancapkan kekuasaan mutlak kuil di Surupala.
Selene sendiri bukan sekadar penyembuh. Darah kegelapan mengalir di dalam dirinya—ia adalah putri Ranggah Dagaba, lahir dari pernikahan terlarang antara sang dewa dengan ibunya, seorang gadis penyihir dengan kekuatan bulan. Ibunya dulu hanyalah korban perang saudara yang kelaparan dan putus asa antara kaum loyalis monarki dan parlemen, seorang anak kecil yang berdoa agar Ranggah Dahana turun tangan mengakhiri pertumpahan darah. Dewa kegelapan itu menuruti permintaan polosnya, dan seiring waktu, cinta tumbuh di antara mereka. Saat ibunya dewasa, keindahannya menjerat hati sang dewa, hingga mereka menikah, dan lahirlah Selene—buah cinta sekaligus kutukan. Sejak detik itu, takdir Selene terikat pada intrik kuil, ambisi manusia, dan bayangan ayahnya yang tersembunyi di balik kegelapan.
Maka Selene memilih jalan lari yang aneh: ia menolak bayangan, menolak kesunyian, dan terus mencari cahaya paling bising—panggung, kamera, layar televisi. Selama ia berada di depan umum, disaksikan ribuan pasang mata, Ranggah Dahanatak bisa menjangkau dirinya. Kehadiran manusia menjadi pagar suci yang bahkan kegelapan pun enggan menembusnya. Ia terus tampil di layar, dari wawancara hingga pertunjukan, menutupi luka di tubuhnya dengan senyum palsu, berharap setiap sorotan kamera bisa menjadi penjara bagi ayahnya. Namun di balik semua cahaya itu, Selene tahu satu hal: kegelapan tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu saat lampu padam.
XXX
Di balik lebatnya hutan terlarang Kamyaka, bersemayam sosok naga agung yang dikenal sebagai Naga Besukih. Makhluk sakti ini digambarkan memiliki sisik berkilauan yang memancarkan cahaya laksana permata. Konon, setiap sisik yang rontok akan berubah menjadi emas atau berlian, sehingga banyak orang tergoda untuk memasuki hutan larangan demi merebut kekayaan itu. Namun, mereka yang tamak jarang sekali kembali, sebab hutan Kamyaka dilindungi oleh amarah sang naga.
Sebagai naga suci, Besukih bukan sekadar penjaga wilayah, melainkan simbol keseimbangan antara manusia, hutan, dan kekuatan gaib yang mengikat keduanya. Dalam kepercayaan yang diwariskan turun-temurun, ia memiliki keterkaitan erat dengan Dewa Wisnu, sang pemelihara kehidupan. Karena itu, keberadaan Naga Besukih diyakini menjaga kesuburan tanah, kejernihan air, dan harmoni semesta di sekitar Kamyaka.
Legenda juga menuturkan bahwa dari gerakan dahsyat tubuhnya, daratan dapat terbelah dan lautan terbentuk. Sebagian kisah bahkan menghubungkan Naga Besukih dengan peristiwa terciptanya Selat Bali, sebagai simbol bahwa kekuatan makhluk ini mampu mengubah wajah dunia.
Bagi masyarakat yang hidup di sekitar Kamyaka, Naga Besukih dipandang sekaligus sebagai pelindung dan peringatan: pelindung bagi mereka yang hidup selaras dengan alam, namun juga peringatan bagi siapa saja yang melanggar kesucian hutan terlarang.
XXX
Leak yang sebenarnya sangat berbeda dengan mitos yang beredar di Bali, sesungguhnya bukan sekadar sosok penyihir jahat, melainkan peninggalan dari bangsa Bajau purba yang dahulu pernah berjaya di Sundalandia. Salah satu dari mereka tergoda oleh ajaran sihir hitam dan akhirnya menjadi pengikut Lamakara Wolu, entitas kegelapan yang menentang kehendak para dewa. Dari situlah ia menjelma menjadi makhluk yang dikenal masyarakat sebagai Leak.
Di siang hari, Leak tampak layaknya manusia biasa yang tidak berbeda dengan orang lain. Namun ketika malam tiba, wajah aslinya tersingkap: ia berkeliaran di pekuburan untuk mencari organ tubuh manusia sebagai bahan ramuan sihirnya. Dukun pemburu Leak diyakini sebagai satu-satunya yang mampu melihat wujud aslinya.
Kepercayaan masyarakat Bali juga menggambarkan bahwa Leak memerlukan darah embrio untuk menjaga kekuatan gaibnya. Karena itu, ia kerap dikaitkan dengan ancaman terhadap wanita hamil, seakan mengincar bayi yang masih berada dalam kandungan. Mitos inilah yang menumbuhkan rasa waspada dan ketakutan terhadap siapa pun yang diduga memiliki hubungan dengan ilmu Leak.
XXX
Di antara segala misteri yang menyelubungi hutan terlarang Kamyaka, hanya ada satu wahana yang dipercaya mampu membawa manusia keluar dari belantara yang tak berujung itu: Kuda Sembrani. Makhluk agung ini digambarkan sebagai kuda bersayap putih dengan sorot mata seterang bintang pagi. Namun, yang menjadikannya berbeda dari segala kuda gaib lainnya adalah kemampuannya untuk membengkokkan ruang dan waktu.
Hutan Kamyaka dikenal sebagai wilayah yang menipu pandangan. Jalan setapak dapat berputar kembali ke titik semula, dan waktu seolah berhenti atau berulang tanpa henti. Mereka yang tersesat di dalamnya dapat berjalan berhari-hari, namun tetap tidak menemukan jalan keluar. Di sinilah Kuda Sembrani memainkan peran penting: dengan mengepakkan sayapnya, ia dapat membuka celah dalam lipatan ruang, menyingkap jalan rahasia yang menghubungkan hutan Kamyaka dengan dunia luar.
Konon, hanya mereka yang berhati murni dan tidak diliputi keserakahan yang dapat memanggil Sembrani. Saat ia datang, langkahnya akan mengguncang tanah dan deru sayapnya terdengar seperti denting gamelan suci. Begitu seseorang menungganginya, mereka akan merasakan perjalanan yang aneh—langkah kuda yang satu bisa melintasi lembah ratusan mil jauhnya, dan kepakan sayapnya mampu melompati bukan hanya gunung dan samudra, tetapi juga batas-batas waktu itu sendiri.
Legenda mengatakan, para pertapa, pendeta, dan bahkan pahlawan dari masa silam pernah menunggangi Kuda Sembrani untuk keluar dari cengkeraman Kamyaka. Namun, bagi mereka yang berniat jahat, Sembrani tak akan pernah menampakkan diri, seolah hutan itu menelan mereka untuk selamanya.
Kuda Sembrani dengan demikian bukan sekadar wahana pelarian, melainkan juga simbol harapan, kebebasan, dan rahmat ilahi—satu-satunya cahaya penuntun keluar dari labirin kelam yang dijaga oleh Naga Besukih.
XXX
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami menapaki jalan-jalan gelap di dalam Hutan Kamyaka. Hari-hari di sana tak pernah sama, cahaya matahari hanya sesekali menembus kanopi raksasa, seolah waktu membeku. Aku merasa hanya beberapa bulan berlalu, tetapi ketika akhirnya kami menemukan jalan keluar, dunia di luar sudah berubah… tiga ratus tahun berlalu.
Dunia yang kutinggalkan sudah tidak sama lagi, semua orang yang kukenal termasuk ibuku mungkin sudah tiada . Mereka menyebutnya era Tautu Marungga, zaman ketika sihir dan supranatural melonjak, lebih liar daripada kisah-kisah kuno. Para tetua berkata ini mendekati era purba, saat Sanghala—sang pencipta pertama—hampir menyelesaikan penataan semesta.
Aku melihat sendiri, di jalanan manusia hidup berdampingan dengan makhluk yang dulu hanya kudengar dari dongeng nenekku. Seekor Barong Bali berjalan tenang di pasar, berjubah emas berkilauan, sementara anak-anak kecil tertawa riang menabuh gamelan kecil di belakangnya.
Di langit malam, kadang tampak kilatan merah: Api Kemamang, roh api yang menari di udara, mengganggu para petani.
Di sungai, Bunian atau makhluk halus yang indah menampakkan diri, mengajak para pemuda menari hingga lupa pulang.
Di hutan, Leak dengan wajah menyeramkan melayang, hanya ditahan oleh mantra penjaga desa.
Garuda dan Naga Besukih dikabarkan muncul kembali, menandai langit dan bumi bukan lagi milik manusia semata.
Aku merinding ketika menyadari, batas antara mitos dan kenyataan kini lenyap.
Namun ada yang lebih menakutkan: alam semesta mulai melebur.
Di balik cakrawala, aku bisa merasakan riak-riak lain—dunia asing, semesta paralel, bahkan mungkin dunia yang pernah kucipta hanya dalam mimpi. Seolah-olah Hutan Kanyaka bukan hanya pintu waktu, tapi celah yang membuka semua batas.
Setiap malam aku bertanya pada diriku sendiri:
Apakah aku masih manusia biasa, ataukah aku juga bagian dari takdir kosmik ini?
Aku yang hanya ingin pulang… kini harus hidup di dunia di mana dewa-dewa lama bangkit, dan garis antara kenyataan, mitologi, serta semesta lain sudah tidak bisa dibedakan lagi.
Kepada kedua orangtuaku yang kini mungkin sudah tak lagi hidup di dunia yang telah berganti rupa
Aku merindukan kalian tapi tak bisa berbuat apa apa
Khususnya ibuku, Terkadang aku merasa resah dengan semua ujaranmu
tapi kupersembahkan sajak ini untukmudi bulan ini para pemuda bersumpah
di bulan kulahir
Tali emas di bungkus sutera adalah rambutmu
Omelanmu memecehkan pintu
menjelma cermin patah yang menggugah waktu
dalam sejuta kisah dongeng peri tak ada yang sekuat perwatakanmu
Aku seakan menikam mataku tanpa membukanya
tak kuasa menahan parasmu
secepat kedatangan bulan Oktober
cintaku hanya untuk bundaku
bertahun tahun aku menunggu untuk menyampaikan ini
Aku mengalami kegelisahan
L
Angin laut membawa bau asin dan suara burung camar yang memekik di kejauhan. Ombak pecah lembut di dermaga kayu yang sudah tua dan berlumut, seolah menyambut kami yang baru keluar dari kegelapan Hutan Kamyaka.
Kuda sembrani kami mendarat satu per satu di pelabuhan sepi yang menghadap Laut Selatan. Di kejauhan, kapal-kapal tua bergoyang perlahan, sebagian terbengkalai, sebagian tampak baru saja ditinggal oleh nelayan atau pedagang.
Wildan menurunkan tudung kepalanya, napasnya berat. "Kita berhasil keluar... tapi kenapa tempat ini kosong begini?"
Belum sempat aku menjawab, langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Seorang pria tua berjubah ungu kelam muncul dari balik bangunan pelabuhan yang setengah runtuh. Tongkat kayunya menyentuh lantai dermaga dengan suara tok... tok... tok yang bergema pelan.
"Lama sekali kalian," katanya. Suaranya serak, tapi mengandung kekuatan aneh yang langsung membuat kami waspada. "Aku nyaris mengira kalian tak akan lolos dari bayangan Kamyaka."
"Apa... Wandaru?" tanya Arga, setengah tidak percaya.
"Benar," jawab sang penyihir, tersenyum tipis. "Dan aku tidak datang sendiri."
Dari balik jubahnya, seekor makhluk kecil melompat ke depan. Kakinya cekatan, matanya tajam, dan—yang paling mengganggu dari semuanya—ia berdiri tegak. Seekor kancil. Tapi bukan kancil biasa. Ia memakai ikat pinggang dari anyaman rotan dan sebuah sarung kecil menggantung di pinggangnya. Dan saat ia membuka mulutnya...
"Hm, jadi kalian ini yang katanya calon penyelamat Surupala? Sejujurnya... kalian terlihat lebih kurus dari yang kuharapkan."
Lina tersentak mundur. "Tunggu—apa itu barusan... dia bicara?!"
Aku refleks mundur satu langkah, mataku membelalak. "Itu... seekor kancil. Dan dia... ngomong barusan?"
Putu Sawerigading menghela napas. "Kancil, kancil... kenapa semua orang selalu mulai dari situ? Namaku Putu Sawerigading, dan aku tidak sekadar bicara. Aku ditakdirkan membawa keris Arcapada—dan membantu kalian menghentikan Lamaka Wolu sebelum dunia ini dibakar oleh ambisinya."
Keheningan menggantung selama beberapa detik. Lalu Wildan berbisik pelan, "Kita... sedang berbicara dengan kancil yang ditakdirkan menyelamatkan dunia?"
"Lebih tepatnya," Wandaru menambahkan, "dengan penjaga terakhir dari pusaka Arcapada. Ia tidak lahir dari rahim biasa, melainkan dari ikatan kuno antara kehendak bumi dan takdir langit."
Putu menaikkan alis kecilnya. "Dan aku juga cepat. Sangat cepat. Jadi jangan macam-macam."
Lina akhirnya terkekeh gugup. "Oke... aku butuh waktu lima menit untuk menerima ini."
Arga menatap ke laut, lalu kembali ke Wandaru. "Kau bilang Lamaka Wolu sudah mulai bergerak?"
Wandaru mengangguk. "Ia telah menguasai dataran tinggi Tirakuta. Segel-segel kuno mulai retak. Surupala dalam bahaya. Dan kalian... kalian adalah harapan terakhirnya."
Aku menatap Putu, yang berdiri dengan penuh keyakinan di antara kami. Seekor kancil, ya, tapi dengan sorot mata seorang prajurit yang pernah melihat kehancuran dan memutuskan untuk melawannya.
"Kalau begitu," kataku pelan, "bawa kami ke mana keris itu harus dibawa. Kami siap."
Putu tersenyum kecil. "Bagus. Karena setelah ini, tak ada jalan mundur."
XXX
Kerajaan Musim dingin dan Musim Panas
Hutan kamyaka ibarat batas yang memisahkan Surupala dengan dunia lain, hutan terlarang di wilayah utara Kamyaka hampir tak tersentuh manusia, hanya kaum bangsawan yang boleh melewatinya. Konon, di sana ada kerajaan musim panas dan dingin yang dihuni oleh hewan yang bisa berbicara. jika terus maju melewati tembok es kerajaan musim dingin kita akan sampai ke daratan utara benua utama, wilayah yang dipenuhi oleh berbagai dinasti Cina. dengan teknologi sangat maju, tenpat tinggal leluhur Lina Chen. entah bagaimana dia bisa ada di Surupala.
Berbatasan dengan wilayah Timur laut United Kingdom of Surupala, di negeri yang amat jauh dan dihuni oleh berbagai binatang, terdapat dua kerajaan yang saling berperang. Kerajaan Musim Panas, dipimpin oleh Raja Rimba bernama Mahesasemar, sang harimau Jawa yang terkenal adil dan bijaksana, dan Kerajaan Musim Dingin, yang dipimpin oleh penguasa kegelapan bernama Ratu Violete, seorang pinguin yang memiliki kekuatan sihir es secara turun temurun.
Ratu Violete memiliki kekuatan untuk mengendalikan cuaca dingin serta menyihir apapun menjadi es dan salju, Binatang manapun yang tak mau mengikuti perintahnya akan diubah menjadi patung es.
Kerajaan Musim Panas dipenuhi dengan pohon kelapa yang indah di tepi pantai serta pohon-pohon pisang di pegunungan. Seluruh binatang merasa bahagia tinggal di sana. Kerajaan Musim Panas dihuni oleh berbagai jenis binatang yang beragam dan hidup berdampingan, seperti kancil, rusa, kerbau, badak, dan macan.
Ratu Violete sangat membenci musim panas dan pohon-pohon tropis. Ia ingin menutupi semuanya dengan salju yang dingin dan pekat, serta balok es yang membekukan kebahagiaan penduduk Kerajaan Musim Panas. Ia ingin seluruh dunia mengalami musim dingin abadi, di mana selama 12 bulan tidak ada musim panas sama sekali, melainkan hari yang dipenuhi oleh ketakutan dan kedinginan.
Ratu Violete akan sangat marah jika ada satu saja pohon pisang di Kerajaan Musim Panas yang tidak tertutupi oleh es atau salju.
Sebagian penduduk Kerajaan Musim Dingin memang takut pada Ratu Violete, namun sebagian besar binatang, seperti pinguin dan beruang kutub, mendukung keinginan Ratu Violete untuk mengubah seluruh dunia menjadi gurun es dan salju. Mereka merasa membutuhkan wilayah yang luas dan iri dengan binatang tropis di Kerajaan Musim Panas yang memiliki makanan berlimpah.
Satu-satunya harapan yang bisa membebaskan Kerajaan Musim Panas dari ancaman Kerajaan Musim Dingin adalah 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas. Mereka terdiri dari:
Pertama, Wisanggeni si Komodo, pemimpin sekaligus anggota terkuat, mampu melihat hingga sejauh 300 meter. Dia bisa menyemburkan racun api yang bisa menghabisi lawannya dan membakar apa saja, termasuk sihir es Ratu Violete yang sangat kuat.
Kedua, Burung Cendrawasih bernama Antareja, memiliki Ajian Upas Anta Lidahnya yang sangat sakti. Makhluk apapun yang dijilat bekas telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit Napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan di dalam bumi.
Ketiga, ada Abimanyu si Jalak Bali. Dia memiliki kemampuan untuk terbang sambil menembakan anak panah berkekuatan magis, dengan busur sarungga dan anak panah Kyai Gusara. Kicauan Abimanyu memiliki suara yang khas berupa campuran siul dengan jeda nada beberapa saat dan suara lengkingan. Abimanyu tergolong burung bersuara ribut, dan berceloteh keras, terkadang meniru suara burung lainnya. Kicauan Abimanyu dapat memecahkan tembok es Kerajaan Musim Dingin dengan kekuatan yang sangat keras dan kuat.
Kemudian, ada Antasena Hiu Macan yang memiliki kemampuan untuk hidup di darat, terbang, amblas ke dalam bumi, serta menyelam di air. Kulitnya terlindung oleh sisik udang yang membuatnya kebal terhadap segala jenis senjata. Berwatak polos dan lugu, tetapi teguh dalam pendiriannya. Dalam berbicara dengan siapa pun, ia selalu menggunakan bahasa ngoko sehingga seolah-olah tidak mengenal tata krama. Namun, hal ini justru menunjukkan kejujurannya di mana ia memang tidak suka dengan basa-basi duniawi.
Terakhir, ada Gatotkaca si badak bercula satu dengan otot kawat dan cula besi serta sayap Antakusuma yang bisa membuatnya terbang dengan cepat di angkasa. Ia mampu menghabisi ratusan pasukan beruang kutub Kerajaan Musim Dingin hanya dengan ayunan gada.
Namun, dalam pertempuran melawan Ratu Violete dan Jendral monsternya bernama Butho Cakil, Lima Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas mengalami kekalahan memilukan sampai pada puncaknya mereka berhasil dikutuk menjadi batu. Kelima Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas telah berubah menjadi patung es batu dan menunggu untuk dibangkitkan oleh pemilik sejati keris Arcapada. Hanya pemilik keris Arcapada yang pantas menjadi pemimpin 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas dalam melawan Ratu Violete dan Buto Cakil.
Hanya binatang yang paling Cerdik, pemberani dan bijaksana yang bisa mengangkat Keris Arcapada tersebut dan menjadi pemimpin baru 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas. Bahkan Raja Mahesasemar sudah menjanjikan pada hewan manapun yang suatu hari nanti mampu mengangkat Keris Arcapada akan menjadi penasehat kerajaan yang baru. Namun sayangnya sampai saat ini belum ada yang mampu mengangkat keris itu dari batu.
Ratu Violete dengan nada marah menghampiri rakyatnya "Hai para penghuni Kerajaan Musim Dingin! Dengarkanlah kata-kataku! Aku sangat membenci musim panas dan segala pohon tropis yang tumbuh di sana. Semuanya harus tertutupi dengan salju dan es yang dingin! Kehidupan kita tidak boleh diganggu oleh kehangatan musim panas mereka!"
Para Pinguin dan Beruang Kutub menjawab dengan hormat "Oh, Ratu Violete, kami akan melakukan apa yang Anda inginkan. Kami siap menutupi segala yang Anda minta dengan salju dan es."
"Jangan ada satu pun pohon pisang yang berani muncul tanpa tertutupi es di Kerajaan Musim Panas! Jika ada yang melanggar, mereka akan merasakan kemarahanku yang dahsyat!" Seru Ratu Violete dengan nada mengancam.
Para Pinguin dan Beruang Kutub tunduk patuh "Kami akan memastikan agar tidak ada pohon pisang yang terlihat di Kerajaan Musim Panas, Ratu Violete."
Ratu Violete mengangguk puas "Baiklah, pergilah dan laksanakan perintahku. Jadikanlah kerajaan ini mempesona dengan salju dan es yang menyelimuti segalanya!"
Di Kerajaan Musim Panas terdapat sebuah rumah kecil di pinggir kerajaan yang dihuni oleh keluarga kancil yang harmonis yang terdiri dari empat orang. Putu si kakak laki laki berusia 14 tahun, Sari Adik perempuan berusia 12 tahun serta ayah dan mama.
Namun sejak setahun yang lalu kebahagiaan keluarga mereka lenyap. Mama mereka meninggal akibat wabah yang berasal dari Kerajaan Musim Dingin. Sedangkan Ayah mereka yang merupakan seorang professor sekaligus penasehat Kerajaan Musim Panas diculik oleh Butho Cakil , Jendral Kerajaan Musim dingin dan dipenjara di kurungan es karena tak mau diajak bekerjasama menghancurkan Kerajaan Musim Panas.
Kancil terkenal sebagai binatang yang paling cerdik di Kerajaan Musim Panas, itulah sebabnya Ayah Keluarga Kancil dijadikan sebagai penasehat Kerajaan Musim Panas oleh Raja Mahesasemar untuk memimpin strategi perlawanan terhadap kerajaan musim dingin sampai dia diculik oleh Buto Cakil, raksasa peliharaan Ratu Violete.
Layaknya semua Kancil di Kerajaan Musim Panas Putu si kancil kecil memang anak yang sangat cerdik dan memiliki sisi kebaikan yang luar biasa, namun memiliki tantangan dalam mengatasi ketakutannya terhadap kegelapan dan tidur sendirian, ia tak bisa tidur tanpa ditemani orangtuanya.
Dengan langkah yang berat, Putu melangkah di tengah kesunyian malam. Kedua orangtuanya telah tiada, meninggalkannya dalam kehampaan yang tak terucapkan. Dunia terasa hampa, dan setiap hela napasnya terasa seperti tekanan yang tak terlalu ringan.
Kabar tentang ayahnya yang dikurung di kerajaan musim dingin menambahkan beban yang tak tertahankan. Putu merasa terjepit dalam kegelapan tanpa jalan keluar. Dia ingin menyelamatkan ayahnya, tetapi keberanian tampaknya menjauh darinya, meninggalkannya terdampar dalam ketakutan yang melumpuhkan.
Namun, di tengah kegelapan itu, sinar harapan datang dari Sari, adiknya yang penuh kasih. Dengan sorot mata yang penuh keyakinan, Sari berhasil menguatkan tekad Putu Sawerigading. Dia menjadi tonggak kekuatan bagi Putu, membantunya menemukan kembali kepercayaan diri yang hilang. Bersama-sama, mereka berjuang mencari makanan dan membersihkan rumah bersama, membangun ikatan yang lebih kuat daripada sebelumnya.
Dalam pelukan keluarga mereka, Putu mulai merasakan semangat baru yang menyala di dalam dirinya. Meskipun ketakutan masih mengintainya, Putu tahu bahwa dengan dukungan dan dorongan dari keluarga, dia bisa menghadapinya satu per satu. Dan di tengah kegelapan, cahaya keberanian mulai bersinar kembali, membawa harapan bagi masa depan yang lebih cerah.
Putu Sawerigading tak lagi takut dengan kegelapan atau takut tidur sendiri di kamarnya tanpa ditemani ayahnya.
Namun ditengah kebahagiaan mereka Ratu Violete yang sangat marah kepada ayah keluarga kancil karena tak mau diajak bekerjasama menghancurkan Kerajaan Musim Panas, mengancam akan melukai keluarga Kancil.
Dalam gemerlap kebahagiaan keluarga Kancil, Ratu Violete, dengan wajah membara, menghadap Ayah Kancil. "Mengapa kau menolak kerjasama kita, Ayah Kancil?" desisnya, sorot matanya memancarkan amarah yang tak terbendung.
Ayah Kancil menggeleng, "Kerajaan Musim Panas tidak akan terlibat dalam rencanamu yang jahat, Ratu."
Ratu Violete menatap Sari di Cermin ajaibnya dengan penuh kebencian. "Kau akan menyesal telah menolakku," ancamnya, mengirimkan kutukan gelap ke arah Sari, merubah keceriaan dan kebaikan hatinya menjadi kekasaran yang menusuk hati Putu.
Mantra kutukan itu membeku di udara, memaksa Sari untuk melangkah diam-diam menuju Kerajaan Musim Dingin, membara dengan kemarahan setiap kali Putu berusaha mencegahnya. Putu, terpaku dalam keputusasaan, menyadari kekuasaan Ratu Violete yang tak terbendung, tak mampu melindungi keluarganya dari pengaruh kegelapan itu.
Rasa lemah dan putus asa melanda Putu, hingga suatu hari dia mendengar kabar tentang Sayembara yang digelar oleh Raja Harimau Mahesasura, isyarat terakhir bagi Putu untuk menyelamatkan keluarganya.
Ratu Violete, dengan tatapan tajamnya yang memancarkan kemarahan, mengancam keluarga Kancil dengan kehancuran. Wajahnya yang anggun dipenuhi dengan ekspresi amarah yang membara, seakan menyiratkan ketidakberdayaan ayah keluarga Kancil untuk menolak ajakannya.
"Dia tidak akan lolos dari kekuatanku," gumam Ratu Violete dengan suara penuh penekanan, ketegangan melingkupi setiap kata yang terucap dari bibirnya yang merah menyala. Namun ayah Keluarga Kancil hanya bisa menangis pasrah atas apa yang telah dilakukan Ratu Violete pada anak perempuannya.
Sari, yang dulunya penuh dengan senyum dan kebaikan, kini berubah menjadi sosok yang kasar dan penuh kebencian, terutama pada Putu. Mantra kutukan yang dilontarkan oleh Ratu Violete merasuki setiap serat jiwa Sari, mengubahnya menjadi sosok yang sama sekali berbeda, jauh dari kebaikan yang pernah ia miliki.
Di sisi lain, Putu merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Ratu Violete mengirimkan kutukan pada Sari dimana dia membuat Sari berubah dari anak yang ceria dan baik hati menjadi kasar dan sengit pada Putu, Putu seakan tak dapat melakukan apapun.
Setiap upaya untuk melindungi keluarganya dari sihir kutukan Ratu Violete tampaknya sia-sia. Rasa putus asa merayapi hatinya, membuatnya merasa lemah dan tak berdaya.
Namun, di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya, sebuah kabar tentang Sayembara yang diadakan oleh Raja Harimau Mahesasura mencuat. Sebuah sinar harapan muncul di antara bayang-bayang keputusasaan yang melingkupi pikirannya.
Di tengah keramaian tempat sayembara, gajah dan badak, dengan sikap sombong, menertawakan keinginan Putu untuk mengangkat Keris Arcapada. Mereka menganggapnya sebagai lelucon, mengingat tubuh Kancil yang kecil dan lemah di antara mereka yang gagah perkasa.
"Dengar-dengar, kita punya seorang Kancil di sini!" gurau seekor gajah dengan nada menghina, sorot matanya penuh dengan cemoohan.
Badak mengangguk setuju, "Ya, benar sekali. Sebuah lelucon bahwa Kancil yang kecil ini berpikir bisa mengangkat Keris Arcapada."
Tawa mereka bergema di sekitar tempat sayembara, meremehkan keberanian Putu yang berani menantang takdir. Namun, mereka belum menyadari bahwa dalam hati yang kecil bisa terpendam keberanian yang besar.
Namun, ketika Putu dengan mantap menggenggam Keris Arcapada, semua binatang terdiam dalam kekaguman dan malu. Mereka menyaksikan dengan takjub bagaimana Kancil mampu mengangkat keris itu dengan begitu mudah, sementara tak ada satupun dari mereka yang mampu melakukannya. Seperti ada keajaiban yang terjadi, seolah-olah Keris Arcapada telah memilih pemiliknya dengan jelas.
Tak lama setelah Putu berhasil mengangkat Keris Arcapada tersebut kutukan yang diberikan Ratu Violete lenyap. 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas bangkit memecahkan es batu yang membekukan tubuh mereka.
Di tengah keramaian pasar kerajaan, sorak sorai gembira menggema ketika Raja Harimau Mahesasemar dan rakyat lainnya memberikan sambutan hangat kepada Putu yang berhasil mengangkat Keris Arcapada. Setelah bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harapan baru untuk melawan kegelapan yang mengancam Kerajaan Musim Panas.
Namun, Putu si Kancil kecil merasa dirinya tak layak menjadi pemilik Keris Arcapada. Dia bahkan hanya seorang anak kecil yang takut akan kegelapan dan kesendirian. Pasti banyak binatang di kerajaan ini yang lebih layak menjadi pemilik sah Keris Arcapada dan menjadi pemimpin 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas daripada dirinya sendiri. Dia merasa tak mampu menerima harapan yang terlalu besar dari penduduk kerajaan ini.
Lima Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas berkumpul di sekitar Putu, wajah-wajah mereka serius, mata mereka penuh dengan kekhawatiran yang dalam. "Putu," ujar salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ketegasan, "meskipun kau berhasil mengangkat Keris Arcapada dan membebaskan kami dari kutukan Ratu Violete, kekuatan kami berlima tidak akan cukup untuk menghadapi kekuatan Ratu itu."
Putu menatap mereka dengan penuh kebingungan dan kekecewaan. "Tapi mengapa? Kekuatan kalian seharusnya cukup kuat untuk melawannya, bukan?"
Ksatria lain menggeleng lemah. "Jika kekuatan kami cukup untuk mengalahkan Ratu Violete sejak dahulu, kami pasti sudah berhasil melakukannya," jelasnya, suaranya terdengar penuh dengan penyesalan, "dan kami tidak akan dikutuk menjadi batu seperti ini."
Putu merasakan kekecewaan dan keputusasaan merayap di hatinya. Meskipun telah berhasil membebaskan mereka dari kutukan, tantangan yang lebih besar masih menanti di depan, dan ia harus menemukan cara untuk menghadapinya.
Apapun alasannya Raja Mahesasemar sudah memutuskan jika Putu adalah penasehat kerajaan yang selanjutnya dan memiliki tugas mulia untuk mengalahkan Ratu Violete. Dengan ransel merah dan berbagai peralatan yang menjadi bekalnya dia mengumpulkan keberanian melawan Ratu Kerajaan Musim Dingin.
Raja Mahesasemar mengangkat tangannya, menyuarakan keputusannya dengan penuh keyakinan. "Putu, dengan segala keberanian dan tekadmu, kini kau telah ditunjuk sebagai penasehat kerajaan yang berikutnya. Tugas muliamu adalah mengalahkan Ratu Violete dan membawa kedamaian kembali ke tanah kita."
Satu-satunya hal yang membuat Putu berani menuju Kerajaan Musim Dingin hanyalah modal kenekatan untuk menyelamatkan dan membebaskan ayah dan adiknya dari kekejaman Ratu Violete. Putu, dengan ransel merah yang di punggungnya dan perlengkapan perjalanan yang tersusun rapi, merasa terharu dan terinspirasi oleh kepercayaan yang diberikan padanya. Dalam hatinya berkobar semangat untuk melawan kegelapan yang menghantui Kerajaan Musim Panas, siap menghadapi segala tantangan yang akan ia temui di depan sana meskipun berbagati ketakutan dan keraguan selalu mengganggu ketenangannya.
Dalam perjalanan ke Kerajaan Musim Dingin bersama 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas, Putu mendapatkan mimpi aneh.
Dalam mimpinya, dia berhadapan dengan sebuah kegelapan pekat sampai suatu ketika ada sayap raksasa yang keluar dari kegelapan. Namun, yang keluar dari kegelapan tersebut bukanlah monster mengerikan, melainkan seorang Malaikat atau bidadari yang terlihat sangat cantik dan bahagia. Ternyata, Malaikat tersebut adalah Keris Arcapada itu sendiri.
Keris Arcapada tersebut ternyata adalah perwujudan dari seorang bidadari yang telah moksa menjadi malaikat penguasa bulan dan diturunkan ke bumi oleh para dewa sebagai jawaban doa Raja Mahesasemar untuk mengalahkan Ratu Violete yang mengancam rakyat kerajaan musim panas.
Keris Arcapada, mewujud sebagai malaikat bercahaya, menghampiri Putu dengan lembut. Suaranya seperti nyanyian angin, penuh dengan kebijaksanaan yang kuno. "Putu," katanya, "Kau memiliki kekuatan tersembunyi yang lebih besar daripada sihir itu sendiri, yaitu kecerdikan dan keberanian, kau pasti bisa menjadi anak yang pemberani dan mandiri untuk menyelamatkan keluargamu dari kurungan Ratu Violete."
Putu mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya bersinar dengan harapan dan tekad yang baru ditemukan. Dia merasakan kehadiran malaikat itu memberinya kekuatan dan keyakinan yang sebelumnya tidak ia sadari.
"Kekuatan sejati tidak ditentukan oleh sihir atau ukuran badan," lanjut Keris Arcapada, sorot matanya tajam menembus hati Putu, "melainkan oleh kemandirian, keberanian, dan kecerdikan. Itulah yang kau miliki, Putu. Itulah alasan aku memilihmu sebagai orang yang ditakdirkan untuk mengalahkan Ratu Violete."
Putu merasakan getaran kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya, memenuhi setiap serat tubuhnya dengan tekad yang tak tergoyahkan. Dia siap menghadapi takdirnya dengan keberanian yang baru ditemukannya, siap untuk melawan kegelapan dengan cahaya keberanian dan kecerdikan yang dimilikinya.
Layaknya para Kancil yang cerdik. Tiba tiba Putu memiliki ide untuk mengalahkan Ratu Violete dengan menggunakan taktik cermin untuk menghindari langsung memandang Ratu Violete, yang dapat mengubah orang menjadi patung es batu jika dilihat langsung. Dia menggunakan tameng polos sebagai cermin untuk memantulkan pandangan Ratu Violete kembali kepadanya, sehingga dia dapat memotong tongkat sihir Ratu Violete tanpa langsung memandangnya.
Putu menggunakan tameng polos yang terbuat dari logam yang sangat mengkilap, mungkin terbuat dari kuningan atau perunggu. Dengan hati-hati, dia memposisikan tamengnya sedemikian rupa sehingga ia bisa melihat bayangan Ratu Violete di atasnya tanpa harus melihat langsung ke arahnya. Dengan cara ini, ia bisa mengarahkan pedangnya secara tepat untuk mematahkan tongkat sihirnya tanpa menjadi batu.
Selain menggunakan tameng sebagai cermin, Putu juga memanfaatkan bantuan dari 5 Ksatria Suci kerajaan Musim Panas seperti Gatotkaca, yang memberinya helm yang membuatnya tidak terlihat oleh Ratu Violete, dan juga sandal berkecepatan tinggi dari Abimanyu untuk membantu dalam menghadapi dan mengalahkan Ratu Violete. Dengan perlengkapan ini, Putu memiliki keunggulan dalam pertempuran melawan monster itu.
Putu juga mempersiapkan dirinya dengan baik sebelum menghadapi Ratu Violete. Dia merencanakan setiap langkah dengan cermat, termasuk memilih waktu dan tempat yang tepat untuk menyerang, serta mempersiapkan strategi pelarian jika situasinya memburuk.
Ini menunjukkan bahwa Putu tidak hanya mengandalkan keberuntungan semata, tetapi juga mempersiapkan diri secara matang sebelum menghadapi tantangan yang sangat berbahaya.
Putu juga menggunakan keberanian dan ketegasannya untuk menghadapi Ratu Violete. Meskipun mengetahui risiko yang besar, dia tetap berani dan tidak gentar dalam menghadapi monster yang menakutkan tersebut. Keberanian dan ketegasan Putu merupakan faktor penting dalam kesuksesannya mengalahkan Ratu Violete.
Putu menggunakan suar dan korek api untuk melelehkan salju dan memperdayai pengikut Ratu Violete serta menggunakan itu untuk melelehkan kurungan es yang memenjarakan ayahanya serta tahanan lain.
Dia menggunakan tali yang diikat ke panah untuk bergelantungan dan menyerang ratu Violete dengan tendangannya demi membebaskan adiknya Sari dari Mantra Kutukan yang diberikan Ratu Violet untuk membuatnya hilang ingatan .
Selagi 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas berusaha mengalahkan Butho Cakil yang sangat besar dan kuat serta pasukan pinguin dan beruang kutub di Kerajaan Musim Dingin, Putu berjuang sekuat tenaga melawan Ratu Violete dan mematahkan kutukan adiknya Sari.
Setelah pertarungan sengit antara suar api milik Putu dan sihir es Ratu Violete Putu berhasil merebut tongkat sihir Ratu Violete dan mematahkannya. Seketika itu juga kutukan Sari berhasil dipatahkan dia mengingat kembali segala kenangannya dengan Putu, Butho Cakil yang dilawan 5 Ksatria Suci Kerajaan Musim Panas juga tiba tiba menghilang. Ratu Violete berhasil dikalahkan dan ditangkap.
Anehnya, setelah Ratu Violete dikalahkan, Kancil dan para ksatria yang lain mengusulkan pada Raja Harimau Mahesasemar agar sebaiknya Ratu Violete dibiarkan hidup dan memerintah kerajaannya. Namun, wilayahnya akan diperkecil dan hanya diizinkan untuk menurunkan salju di tempat lain selama 3 bulan dalam setahun. Jika tidak patuh, dia akan menerima hukuman yang lebih berat.
Jika es dan salju lenyap dari bumi, keseimbangan alam akan terganggu, dan seluruh kehidupan di dunia akan punah. Oleh karena itu, menghilangkan Ratu Violete sebagai pengendali musim dingin bukanlah solusi yang bijak.
Meskipun Ratu Violete bukanlah sosok yang baik, rakyatnya yang terdiri dari beruang kutub dan pinguin tetap layak memiliki habitat alami mereka.
Putu si Kancil menatap Raja Harimau Mahesasemar dengan penuh harap, "Raja Mahesasemar, kami telah mempertimbangkan dengan matang. Sebaiknya, Ratu Violete dibiarkan hidup."
Raja Harimau Mahesasemar mengerutkan kening, keraguan terpancar dari matanya yang tajam. "Mengapa begitu, Putu si Kancil? Apakah kalian tidak melihat kejahatan yang telah dia lakukan?"
Kancil menjawab dengan mantap, "Ya, Raja. Tapi perlu kami tegaskan, membuangnya bukanlah jalan keluar. Dia harus diatur. Wilayahnya akan dipersempit, dan batasan dijatuhkan. Hanya untuk menurunkan salju di tempat lain selama tiga bulan setahun."
Para ksatria yang lain memberi anggukan setuju, ekspresi serius terpahat di wajah mereka.
Raja Mahesasemar memandang mereka satu per satu, berpikir keras. "Kalian benar, jika kita tidak hati-hati, keseimbangan alam bisa terganggu."
Putu si Kancil menyambung, "Jika es dan salju menghilang, dunia ini akan berada dalam bahaya. Menghilangkan Ratu Violete bukanlah solusi yang bijak."
Raja Mahesasemar mengangguk perlahan, "Kalian meyakinkanku. Tapi apakah kita bisa mempercayainya untuk patuh pada perjanjian itu?"
Kancil itu tersenyum tipis, "Kami akan memastikan agar dia mematuhi, Raja."
Suasana tegang memenuhi ruangan, namun ada kelegaan yang tersirat di antara mereka.
Raja Mahesasemar menatap Kancil kecil itu, "Baiklah, saya setuju dengan usulan kalian. Putu si Kancil kecil, sebagai pemimpin 5 Ksatria Suci kerajaan Musim Panas, kamu berhak mengampuni nyawa Ratu Violete."
Meski Raja Mahesasemar awalnya tak menyetujuinya, tapi bagaimanapun mengampuni nyawa Ratu Violete adalah hak Putu si Kancil kecil sebagai pemimpin 5 Ksatria Suci kerajaan Musim Panas
Kancil merasa lega, tangannya gemetar sedikit saat ia mengucapkan terima kasih pada Raja Mahesasemar. "Terima kasih, Raja. Kami tidak akan mengecewakanmu."
Dalam keheningan, keputusan penting itu pun diambil, membawa harapan untuk masa depan kerajaan yang tenteram.
Kebijakan Putu sebagai penasehat kerajaan dan pemimpin 5 Ksatria Suci kerajaan Musim Panas yang baru mengantarkan perdamaian abadi antara kerajaan musim panas dan kerajaan musim dingin.
XXX
Hujan turun seperti tirai tipis di atas lembah hijau. Di antara pepohonan kelapa yang bergoyang diterpa angin, seekor kancil berlari kecil menyusuri jalan setapak yang dipenuhi lumpur. Di punggungnya tergantung sebilah keris bersarung perunggu—Keris Arcapada, warisan dari petualangan yang hampir merenggut nyawanya setahun silam.
Seekor burung rangkong melintas di langit, memberi tanda senja segera tiba. Namun, sebelum kegelapan turun, suara langkah berat terdengar dari balik pepohonan.
Putu Sawerigading menarik napas panjang.
"Akhirnya… rumah."
Ia mendongak, menatap langit kelabu yang memantulkan kilatan petir di kejauhan. Angin dari laut membawa aroma garam dan… sesuatu yang lain. Sesuatu yang getir, seperti kabar buruk yang disembunyikan ombak.
Di ujung jalan, rumah kayu sederhana berdiri, dikelilingi rumpun bambu. Ia sudah membayangkan hangatnya tungku dan tawa teman-temannya. Tapi sebelum ia sempat melangkah masuk, seekor burung hitam hinggap di pagar, matanya berkilat bagai arang membara. Burung itu menatapnya… terlalu lama.
Putu mengerutkan kening.
"Bukan burung biasa."
Burung itu tiba-tiba berbicara—dengan suara serak, seolah datang dari kedalaman gua:
“Dia menunggumu di dermaga tua, Sawerigading…”
Putu meloncat kaget. Sebelum ia sempat bertanya, burung itu mengepakkan sayapnya dan terbang ke arah selatan, menghilang di balik kabut hujan.
---
Dermaga tua itu sepi. Ombak menghantam tiang-tiang kayu yang sudah lapuk dimakan garam. Di sanalah ia melihat sosok itu: seorang lelaki tua berselendang kain putih, rambutnya panjang seputih awan badai. Ia bersandar pada tongkat kayu hitam yang ujungnya berkilauan samar, seolah menyimpan petir yang tertahan.
“Wandaru,” gumam Putu pelan, dadanya berdegup. Ia pernah mendengar nama itu dari kisah-kisah lama—penyihir pengelana, pembaca tanda-tanda langit.
Wandaru menoleh perlahan. Sepasang matanya memantulkan cahaya kilat.
“Sawerigading,” katanya dengan suara dalam, “Tataba Banua telah berdenyut lagi. Ombak Itara bergerak dari Selatan.”
“Apa maksudmu?” Putu melangkah mendekat. “Aku baru saja pulang, dunia ini tenang… setidaknya kupikir begitu.”
Wandaru memukul tongkatnya ke papan dermaga. Ombak mendadak pecah lebih keras, dan di antara riak air, Putu melihat bayangan raksasa—sisik hitam seperti besi, mata merah seperti bara, dan rahang besar seekor komodo purba.
“Lamakara Wolu. Dia tidak mati. Dia hanya tidur. Dan kini, dia bangkit bersama penguasa baru Laut Selatan.”
Putu menggigil. “Penguasa laut? Maksudmu… para ratu ombak?”
Wandaru mengangguk, wajahnya mengeras.
“Namanya Kadita. Dulu dia putri kerajaan manusia. Dikhianati… dikutuk… dibuang ke laut. Sekarang ia ratu gelombang dan murid kesayangan sang Komodo Hitam. Jika ia menuntut balas, dunia daratan akan tenggelam.”
Kilatan petir membelah langit. Ombak menghempas sampai ke kaki Putu. Ia menatap keris Arcapada di pinggangnya, dan untuk pertama kali sejak mengalahkan Ratu Violet, ia merasa takut.
“Ikut aku, Sawerigading,” kata Wandaru pelan, “Ke kerajaan manusia. Karena sebelum Ombak Itara menelan dunia, kita harus menghadapinya… bersama.”
Dan malam itu, di bawah hujan badai, petualangan yang akan menentukan nasib Tataba Banua pun dimulai.
XXX
XXX
Sebelum Ombak Itara mengguncang dunia, sebelum Lamakara Wolu menampakkan sisik hitamnya, ada seorang putri bernama Kadita—yang kelak dikenal sebagai Ratu Ombak Selatan.
Ia lahir dari rahim seorang ratu yang cantiknya menandingi bulan purnama. Sejak kecil, Kadita adalah cahaya istana—senyum yang memantulkan damai. Namun, ketika ia beranjak remaja, malapetaka datang dari dalam rumahnya sendiri.
Sang ibu wafat dalam sakit yang misterius. Raja, ayah Kadita, menanggung duka yang panjang, hingga suatu hari ia bertemu seorang perempuan jelita yang mengaku datang dari negeri seberang. Wanita itu bernama We Kandika, dan ketika ia melangkah ke istana, bayang gelap pun ikut masuk bersama langkahnya.
We Kandika membawa serta seorang anak perempuan, seumur Kadita, namun berhati keras seperti batu. Di balik senyum mereka, tersembunyi api iri yang tak pernah padam. Mereka membisikkan kata-kata racun ke telinga sang Raja:
“Kadita tak pantas menjadi pewaris. Dia pembawa sial. Dia harus disingkirkan…”
Dan racun itu menetes, hari demi hari. Hingga suatu malam, ketika bulan pucat menggantung di langit, Pawangi Laut—penyihir hitam dari teluk terlarang—dipanggil. Ia menggumamkan mantra dari rahang ikan, dari tulang paus yang patah, dari pasir yang menyimpan darah korban. Dan di pagi berikutnya, kulit Kadita dipenuhi luka-luka seperti gigitan laut.
“Kutu laut yang menjijikkan!” teriak We Kandika pura-pura ngeri.
Raja yang hatinya sudah lapuk percaya fitnah itu. Ia mengusir Kadita dari istana.
---
Kadita berjalan sendirian. Luka di tubuhnya memerah, perih oleh angin asin. Ia terus berjalan hingga kakinya menginjak pasir putih di tepi Laut Selatan, laut yang tak pernah tenang, laut yang memakan doa. Ombak bergulung seperti naga tidur, dan di ujung cakrawala, kilatan badai menyala seperti mata iblis.
“Ibu… mengapa mereka lakukan ini padaku?” tangisnya pecah.
Dan ketika ia rebah di pasir, ketika darahnya menetes ke buih ombak, lautan menjawab.
Dari kedalaman, sesuatu bergerak. Bayangan gelap merayap di bawah air, lalu muncul—seekor komodo raksasa, sisiknya hitam seperti batu gunung, matanya merah seperti bara, napasnya membawa bau maut. Ia adalah Lamakara Wolu, Sang Ombak Hitam, Dewa yang dikurung dalam riak gelombang sejak masa Tataba Awal.
Ia menatap Kadita lama, seolah mengukur jiwa gadis itu.
“Kau dibuang oleh daratan, tapi laut akan menerimamu. Dunia ini tak adil padamu… mengapa kau tak menguasainya?”
Kadita gemetar. “Siapa… kau?”
“Aku Lamakara Wolu. Aku bisa menghapus luka-lukamu. Aku bisa memberi kekuatan yang tak dimiliki siapapun di daratan. Satu syarat saja: jadilah Ombakku. Jadilah Ratu Ombak Hitam.”
Dan malam itu, Kadita melangkah ke laut. Tubuhnya ditelan ombak, dan ketika ia muncul kembali, matanya bukan lagi mata manusia. Rambutnya menjuntai seperti riak hitam, kulitnya berkilat seperti permukaan samudra di bawah bulan darah.
Ombak menelan tubuhnya, dan ketika Kadita muncul kembali dari kedalaman, dunia seakan menahan napas. Luka-luka yang merusak kulitnya lenyap. Yang tinggal hanyalah seorang wanita dengan paras yang memabukkan.
Rambutnya memanjang, hitam legam, basah berkilauan seperti malam setelah hujan, terurai sampai menyentuh pinggang. Wajahnya halus seperti ukiran halus kayu jati, dengan alis melengkung rapi bagai lukisan awan di atas puncak gunung. Matanya… ah, matanya! Seperti danau terdalam di Tatar Sunda—jernih, tapi di dasar jernih itu, tersembunyi badai.
Kulitnya berkilat bagai porselen yang dicium cahaya bulan, dengan rona keemasan yang menyiratkan darah ningrat. Bibirnya merah seperti kelopak flamboyan, sepasang lengkung yang bisa menyihir seorang raja atau memerintahkan ribuan gelombang. Tubuhnya ramping, bergerak dengan kelenturan penari Jaipongan, tetapi setiap gerakan memancarkan sesuatu yang menggetarkan: kekuatan yang lahir dari laut dan kemarahan purba.
Ia mengenakan kemben hijau lumut, basah menempel di lekuk tubuhnya, dan selendang panjang berwarna hitam pekat yang berkibar seperti bayangan ombak malam. Di dahinya tersemat mutiara laut, memantulkan sinar merah petir yang menggores langit.
Kini ia bukan lagi putri manusia. Ia adalah ombak yang berwujud perempuan, kecantikan yang menusuk sekaligus menakutkan.
Lamakara Wolu merayap mengelilinginya, tubuh komodo raksasa itu seperti pulau yang hidup. Suaranya berat seperti gemuruh samudra:
“Kini kau milikku, Kadita. Laut adalah singgasanamu. Ombak akan jadi pedangmu. Dunia daratan akan berlutut di kakimu.”
Kadita menatap bayangan wajahnya di permukaan air. Gadis lemah yang dibuang istana telah tiada. Yang menatap balik kini adalah seorang ratu yang dilahirkan oleh laut dan dibaptis oleh kegelapan.
Ia tersenyum. Senyum indah, tetapi di balik lengkung bibirnya, badai sudah bersiap menghantam dunia.
Ia tertawa—tawa yang menggetarkan karang.
Dunia memiliki ratu baru, dan ombak selatan menjadi singgasananya.
Sejak hari itu, para nelayan berbisik:
“Ada suara di laut ketika malam. Ada bayangan perempuan berjalan di atas ombak. Itulah Kadita, Ratu Ombak Selatan—pengantin laut, murid Sang Komodo Hitam.”
Dan ramalan pun tertulis di gulungan para Ulubalang:
“Jika Ombak Hitam kembali, dunia akan tenggelam.”
XXX
Di kedalaman samudra biru kehijauan yang tak pernah disentuh cahaya mentari, tersembunyi sebuah kerajaan megah yang berkilauan seperti mimpi dan ancaman sekaligus, Di bawah tekanan ribuan atmosfer, tersembunyi sebuah peradaban yang melampaui imajinasi manusia permukaan — Kerajaan Kandis, kota bawah laut dari bangsa putri duyung, yang tak hanya memadukan keindahan alam dan sihir purba, tetapi juga teknologi biolaut yang melampaui peradaban daratan mana pun.
Bayangkan kota yang dibangun dari karang kristal yang mengalirkan energi laut, kubah-kubah transparan yang mengendalikan tekanan dan suhu, dan menara bioorganik yang hidup, tumbuh, dan berkomunikasi lewat cahaya. Kota itu berdenyut dalam warna biru dan ungu, diterangi oleh cahaya bioluminesens dari ribuan makhluk laut sintetis yang sengaja dibiakkan untuk memberi energi pada seluruh infrastruktur.
Transportasi antar-menara dilakukan dengan kapsul air vakum berkecepatan tinggi, meluncur dalam terowongan air yang berputar seperti spiral DNA. Robot ubur-ubur penjaga melayang di atas atap kubah, mengawasi segala gerakan dengan lensa multifaset yang menyala merah. Sensor sonar dan sistem pertahanan berbasis ganggang berpikiran kolektif menjaga batas kota dari invasi makhluk laut liar maupun teknologi darat.
Kerajaan Kandis bangun dari karang putih yang bersinar seperti mutiara, dan menara-menara spiral yang menjulang dari dasar laut, dihiasi kerang-kerang raksasa yang memantulkan cahaya bioluminesens, seperti lentera-lentera sihir yang tak pernah padam.
Di antara bangunan-bangunan yang melayang di atas kolom arus laut, tampak pasukan duyung bersenjata tombak dari karang dan ekor ikan hiu, berenang dalam formasi ketat. Mereka adalah pengawal istana Ratu Kandita, penjaga satu-satunya pintu masuk menuju Istana Cakrawilwatikta, sebuah bangunan kolosal yang dibentuk dari fosil paus purba dan terumbu karang berusia ribuan tahun.
Dan di jantung kota itu, berdiri Istana Cakrawilwatikta, sebuah keajaiban arsitektur organisme laut dan logam cair. Menaranya terbuat dari tulang paus purba yang dilapisi paduan perak-hitam dan kristal energi dari dasar palung, sementara ruang singgasananya mengambang di tengah kubah raksasa dengan gravitasi terkendali — sebuah medan anti-air, di dalam singgasana yang berkilau seperti kaca laut, duduklah Ratu Kandita, makhluk yang kecantikannya mampu membuat Ikan Pari berhenti berenang dan hiu karang menunduk hormat. Rambutnya panjang, hitam gelap seperti malam tanpa bulan, melayang lembut di dalam air, dihiasi mutiara laut selatan yang terjalin seperti mahkota hidup. Matanya tajam, sehitam jurang samudra, dan sorotnya mampu menenggelamkan rasa percaya diri siapa pun yang berani menatap terlalu lama.
Ia dikenal sebagai "Dewi Laut Selatan yang Terkutuk", bukan karena wajahnya, melainkan karena hati yang lebih dingin dari dasar palung Mariana. Kandita adalah penguasa yang adil tapi kejam, mencintai keindahan dan keteraturan, tapi menghukum dengan badai dan pusaran maut siapa pun yang berani menentang perintahnya. Di balik senyum tipisnya yang menawan, tersembunyi kutukan ratusan generasi, dan ambisi membekukan seluruh permukaan dunia jika daratan sekali lagi menodai lautan dengan keserakahan.
Ratu Kandita duduk, melayang bak dewi, rambutnya tergerai dan mahkotanya memancarkan sinyal-sinyal cahaya yang tak dapat dibaca oleh otak manusia biasa.
Ratu Kandita, ciptaan antara legenda dan teknologi, bukan sekadar makhluk mitologis — ia adalah cyber-siren, pemegang kendali atas teknologi warisan Sundalandia yang hilang. Setengah tubuhnya adalah daging, tapi tangannya memiliki jari-jari kristalin, mampu mengendalikan perangkat telepatik, sonar, dan drone laut hanya dengan pikiran.
Setiap malam purnama, dari menara tertinggi, Kandita mengirimkan nyanyian kutukan melalui ombak, lagu-lagu sirene yang membuat nelayan tersesat, kapal karam, dan pulau-pulau kecil lenyap dalam kabut laut yang tak kembali. Namun bagi rakyat Kandis, ia adalah ibu suci, penjaga hukum bawah laut, dan harapan terakhir untuk melindungi laut dari tangan manusia.
Ketika berita datang bahwa permukaan dunia mulai mengganggu batas-batas laut kuno, Kandita bangkit dari tahtanya. Sirip peraknya berubah menjadi naga air, dan di tangannya tercipta pusaran tombak petir laut.
Di belakang singgasananya, peta lautan holografis raksasa berputar, menunjukkan pergerakan armada manusia, kerusakan terumbu karang, dan lokasi-lokasi strategis bawah laut. Kandita berdiri perlahan, dan suaranya menggema dari alat komunikasi air yang diproyeksikan ke seluruh penjuru kerajaan:
“Keseimbangan lautan telah rusak. Mereka mengebom dasar laut, mereka mencuri arus, dan menghisap energi dari pusar samudra. Maka biarkan teknologi purba kita bangkit — dan ajarkan pada daratan, bahwa laut adalah peradaban yang tak akan tunduk.”
Dari gudang senjata bawah laut, makhluk-makhluk mesin laut bangkit: kuda laut mekanik bertubuh baja, hiu bersenjata laser di kepala, dan naga laut buatan dari kombinasi DNA monster purba dan sibernetik dari zaman yang telah dilupakan. Semua dikendalikan melalui Inti Laut — kristal biru kehijauan di dada Ratu Kandita yang berdenyut seperti jantung planet.
Sementara seluruh kota mempersiapkan invasi permukaan, pasukan elit Penjaga Mutiara Hitam berenang dalam formasi, membawa tombak energi, perisai transparan, dan pakaian tempur cangkang laut dengan mesin roket pendorong.
Ratu Kandita, berdiri di atas singgasananya yang melayang, menatap ke atas — ke arah permukaan.
“Lautan akan naik. Bukan untuk memohon. Tapi untuk menuntut.”
XXX
Di atas perbatasan laut dan daratan, ketika ombak membelai tebing karang yang menghitam oleh waktu, berdirilah seorang pemuda dalam diam. Pangeran Siliwangi, putra Mahkota Kerajaan Surupala, mengenakan baju zirah perak yang basah oleh air asin. Tatapannya menembus kabut senja, menunggu… dan berharap.
Dan dari pusaran ombak yang membelah permukaan, muncul sesosok keindahan yang tak tertulis dalam kitab-kitab manusia. Putri Pitaloka, darah biru dari samudra Kandis, berenang perlahan ke permukaan. Rambut hitamnya menjuntai seperti aliran tinta di air, dan matanya—mata seorang duyung—memantulkan kilatan bintang yang belum muncul.
“Kau datang lagi, Siliwangi, meski ibuku telah memperingatkan...,” bisiknya, suaranya mengalun bagai nyanyian paus purba.
Siliwangi tersenyum, getir namun tak gentar.
“Aku datang karena hatiku tak tunduk pada sejarah, Pitaloka. Jika dunia kita dipisahkan oleh dendam, biarkan cintaku menenggelamkan dendam itu.”
Namun dunia tidak sesederhana itu.
Pitaloka hanya dipanggil oleh rakyat sebagai Putri Berburu, karena hobi dan keberaniannya naik ke daratan, memburu kijang, menjinakkan elang, dan berteman dengan hutan. Ia adalah bunga yang tumbuh liar, bukan di taman istana, tapi di belantara yang lebat. Kadita sudah menyerah mengatur keinginan Pitaloka yang suka memberontak.
Dewi Kadita sudah sangat muak dengan manusia daratan, terutama Kerajaan Surupala yang mengkhianatinya di masa lalu, belum lagi manusia mengeringkan rawa suci untuk membangun pelabuhan besi. Dewi Kandita, ibu Pitaloka dan ratu kerajaan bawah laut, menyaksikan kekayaan samudra dirampas dan terumbu tempat kelahiran bangsanya dihancurkan. Dalam kemarahan, ia mengutuk semua pewaris daratan, dan bersumpah tidak akan pernah merestui cinta antara darah laut dan darah tanah.
Kini, di balik setiap pertemuan mereka, tersembunyi ancaman pengkhianatan dan badai politik.
“Ibuku mengira kau hanya memancing hatiku. Tapi aku tahu, Siliwangi… kau berani datang bukan karena bodoh, tapi karena benar-benar mencintaiku.”
Pitaloka naik ke karang, tubuhnya berubah — sisik peraknya memudar, dan dalam sekejap ia memiliki kaki. Teknologi Kandis telah menciptakan serum transmutasi, namun hanya bertahan sementara. Mereka duduk berdampingan, dua jiwa dari dua dunia yang tak pernah bersatu, berbagi sisa senja sebelum gelombang takdir memisahkan mereka lagi.
Tiba-tiba, lautan bergetar.
Dari kedalaman, muncul drone tempur laut berbentuk pari-pari logam, mengawasi Pitaloka. Suara berat menggelegar dari kristal komunikasi di tubuh makhluk mesin itu:
“Putri Kandis. Kembali sekarang. Ratu Kandita telah mendeteksi pelanggaran batas laut. Cinta adalah kelemahan. Kau adalah pewaris takhta, bukan boneka legenda.”
Siliwangi berdiri, menggenggam tombaknya.
“Jika kau menyakitinya, aku akan membawa seluruh Surupala turun ke dasar laut untuk menjemputnya.”
Tapi Pitaloka hanya menatapnya, sedih dan tenang. Ia menyentuh pipinya, lalu berkata,
“Cinta ini terlarang bukan karena kita berbeda. Tapi karena dunia kita tak mau berdamai. Tapi aku percaya, suatu hari nanti, laut dan darat akan kembali bersatu—bukan dalam perang, tapi dalam janji.”
Ia lalu menyelam kembali, tubuhnya berubah, siripnya memancar cahaya biru, menghilang ke dalam lautan seperti mimpi yang belum sempat diselesaikan.
Dan Pangeran Siliwangi pun berdiri sendiri di tebing karang, dengan satu tekad di dalam hatinya:
Suatu hari, ia akan membuat dunia pantas menerima cinta mereka.
XXX
Hari itu seharusnya menjadi perayaan perdamaian.
Akhirnya Kadita setuju menikahkan Pitaloka dengan Pangeran Siliwangi untuk menghentikan kebencian berabad abad antara laut dan daratan.
Langit dan laut bersatu di pelataran kristal biru Kerajaan Kandis, di bawah kubah raksasa dari kaca laut dan karang bercahaya. Pangeran Siliwangi, berbalut jubah upacara bersulam emas, berdiri dengan senyum tenang namun mata penuh cinta. Di sisinya, Putri Pitaloka melangkah anggun, mengenakan mahkota sisik mutiara dan gaun terapung dari jaring laut yang memantulkan cahaya bulan.
Rakyat dari Surupala dan Kandis menyatu di bawah laut — para bangsawan, penasihat sihir, perwira samudra, dan para tetua duyung. Ratu Kandita, berdiri di atas takhta karangnya, akhirnya menganggukkan kepala tanda restu. Dunia bersorak.
Namun dua wajah tak hadir — Pangeran Jayasena, adik Siliwangi, dan Putri Larasari, adik Pitaloka. Mereka memilih menjauh… karena cinta mereka sendiri telah ditolak oleh keluarga, tersembunyi di balik batas-batas darah dan kehormatan. Tapi cinta tak bisa dibendung, dan dua hati itu saling mencari di lorong-lorong sunyi Kerajaan Kandis.
Hingga sebuah bayangan hitam bangkit dari relung terdalam laut.
“Sudah cukup... semua ini palsu. Perdamaian tak berarti jika lahir dari luka yang belum sembuh.”
Lamakara Lowu, roh purba dari zaman sebelum bumi mengeras, bangkit dari tubuh Kandita. Ratu laut itu terjatuh, tubuhnya menggigil, matanya kehilangan cahaya. Dari mulutnya keluar suara yang bukan miliknya — suara kuno, berat, seperti batu pecah di bawah air.
Dalam sekejap, tombak air raksasa muncul dan menghujam jantung Pangeran Siliwangi.
Dunia berhenti. Darah bercampur garam. Putri Pitaloka berteriak, berlari memeluk tubuh suaminya yang tak lagi bernyawa, gaunnya berlumur merah. Kandita, tersadar dari pengaruh Lamakara, menjerit, menyadari tangannya sendiri penuh darah.
“TIDAAK… INI BUKAN AKU!”
Jayasena, yang datang terlambat dan melihat kakaknya tewas, menerjang maju dengan panah api. Wajahnya membara oleh duka dan dendam.
“Kau pembunuh! Ratu Kandita… kau akan kuhancurkan bersama kerajaanmu!”
Kandita tak membalas. Dalam diam dan rasa bersalah, ia mengungsikan Pitaloka dan Larasari, anak-anaknya, ke reruntuhan kuno di perbatasan Dunia Bawah Laut dan Tanah Rawa.
Sebelum pergi, ia membagi dua kerajaan Kandis, menyerahkan tahta pada Pitaloka dan memberikan Larasari wilayah utara untuk membangun kota baru.
“Ibunda tak layak memimpin. Tapi kalian… kalian harus bangkit.”
Namun Pitaloka, yang selama ini lembut dan penuh kasih, merasakan bara yang selama ini tersembunyi. Di tengah duka, tubuhnya mulai bergetar, dan dari matanya muncul cahaya biru menyala. Siripnya berubah menjadi sayap kristal. Ia menggenggam trisula air warisan ibunya, dan berkata:
“Cinta telah membunuh cinta. Maka aku akan bawa dunia ini ke akhir zaman, jika tak ada yang mampu menebusnya.”
Di tempat lain, Larasari menggenggam tangan Jayasena, dan mereka bersumpah dalam bisikan:
“Jika dunia ingin perang… maka kita akan menjadi dewa-dewi bagi dunia baru yang lahir dari puing-puingnya.”
Kisah cinta yang diawali dengan mimpi damai, kini menjadi legenda empat raja dan ratu muda, pewaris dua dunia, yang akan saling berburu, mencintai, dan menghancurkan — hingga takdir memutuskan siapa yang pantas menjadi tuan atas air dan tanah.
XXX
Di kedalaman Samudra Kegelapan, di bawah reruntuhan kuil tua dari zaman sebelum peradaban, Lamakara Lowu bersemayam, tak berbentuk dan tak berwajah, namun menguasai ribuan suara dan memiliki avatar sebagai komodo raksasa sebesar gunung, mampu terbang tanpa sayap. Ia bukan makhluk, melainkan kehendak purba — hasrat kehancuran yang dibungkus dengan logika manis dan kebenaran separuh.
“Cinta adalah tipu daya. Perdamaian adalah penundaan perang. Kau tahu itu, Kandita... dan kini anak-anakmu yang buta akan mengulang kesalahanmu.”
Ia menyusup ke dalam mimpi Ratu Kandita, lalu berbisik lembut ke telinga Putri Pitaloka dan adiknya Larasari. Kadang suaranya terdengar seperti suara mendiang ayah mereka, kadang seperti suara pangeran Siliwangi yang mereka rindukan.
Dengan licik, Lamakara menyebar benih curiga:
“Larasari, mengapa Pitaloka yang mendapat mahkota, padahal kaulah yang menjaga ibu di pengasingan? Apakah kakakmu mulai menginginkan kekuasaan manusia lebih dari lautan?”
“Pitaloka, adikmu diam-diam menjalin cinta dengan manusia juga… apa kau pikir dia setia pada bangsa duyung? Atau ia hanya menunggu saat untuk menggulingkanmu?”
Sementara itu, Lamakara menyamar sebagai penasihat spiritual di Surupala, berwujud pria tua bijak yang dipanggil Resi Malam, dan mulai mempengaruhi Raja baru— yang kini penuh dendam.
“Lihatlah, pangeran… Kandita sudah mengembalikan anaknya ke tahta. Mereka memperkuat armada bawah laut. Kau pikir mereka ingin damai? Tidak. Mereka sedang menunggu untuk menghancurkan Surupala dari dasar lautan.”
“Pitaloka hanya mencintai kakakmu untuk menguasai daratan. Sekarang ia menjadi Ratu… apa yang mencegahnya menginvasi negerimu?”
Jayasena pun mempersiapkan pasukan Naga Besi, menciptakan kapal perang terbang dan pelontar petir hasil gabungan teknologi sihir dan manusia. Di laut, Larasari — yang merasa dilupakan kakaknya — mulai membangun armada duyung tempur dan menyusup ke wilayah manusia untuk menyabotase.
Perang dingin dimulai.
Di balik tirai diplomasi, Lamakara tertawa. Ia membuat Pitaloka merasa dikhianati oleh Jayasena, dan membuat Jayasena yakin Pitaloka ingin balas dendam atas kematian kakaknya. Ia mendorong Larasari untuk merasa layak menjadi ratu satu-satunya, dan mendorong Kandita agar kembali berkuasa demi “memperbaiki semua yang salah.”
Ketika Kandita, Pitaloka, dan Larasari bertemu di ruang rahasia kerajaan, mereka mulai saling menyalahkan. Kalimat mereka tajam, penuh kemarahan yang tidak mereka sadari berasal dari racun yang Lamakara tanamkan.
“Engkau sudah jadi manusia, Pitaloka. Kau tak tahu lagi apa artinya menjadi duyung sejati!”
“Aku tak pernah mengkhianati laut… tapi kalian, kalian tak pernah melihat air mata yang kusembunyikan!”
“Cukup! Kau semua bicara seakan perang akan menyelamatkan luka. Tapi perang hanya melahirkan lebih banyak Lamakara!”
Tapi terlambat.
Di saat mereka saling membenci, Lamakara telah merasuki tubuh panglima manusia dan jenderal laut Kandis, memicu serangan palsu di wilayah netral. Kapal terbakar. Tentara tewas. Rakyat berteriak. Dan dua dunia pun jatuh dalam perang.
XXX
Beberapa pekan berlalu sejak Pitaloka mendengar bisikan pertama. Tapi suara itu tak pergi. Justru semakin dalam, semakin halus, dan semakin sulit dibedakan dari pikirannya sendiri. Ia mulai menjauh dari ibunya, Ratu Kadita, dengan alasan “konsolidasi wilayah baru,” tapi sesungguhnya ia tengah membangun lingkaran kepercayaannya sendiri — satu demi satu.
Di istana megah dari karang merah dan kristal laut itu, kerajaan Kandis mulai retak. Tak kasat mata, tapi terasa oleh semua: udara menjadi lebih dingin, para bangsawan berbisik lebih pelan, dan duyung-duyung penjaga mulai tak saling mempercayai.
“Ibumu adalah simbol kekuasaan lama. Ia mengorbankan cinta demi stabilitas. Kau adalah darah baru. Kau yang membawa harapan perubahan. Tapi perubahan selalu menuntut keberanian… dan darah.”
Bisikan Lamakara menuntun Pitaloka pada satu rencana: mengadu domba dua adik kandung kekasihnya yang dulu—Pangeran Wiratama dan Putri Larasari—agar keduanya menyerang kerajaan Kandis dari luar.
Pitaloka mengutus utusan rahasia ke daratan Surupala, dengan pesan palsu:
“Ratu Kadita menyembunyikan senjata pusaka laut yang membunuh Siliwangi. Dia berniat menggunakannya untuk menghancurkan Surupala. Hanya Larasari dan Wiratama yang bisa mencegahnya. Jika tidak bertindak sekarang, semua manusia akan tenggelam.”
Sementara itu, di Kandis sendiri, Pitaloka mengatur sidang istana untuk secara perlahan mengambil alih kekuasaan dari ibunya, dengan alasan ibunda terlalu “letih dan labil secara spiritual.” Kadita yang mulai lemah karena pengaruh Lamakara, tak sepenuhnya menyadari bahwa putri yang ia sayangi tengah merampas tahtanya sedikit demi sedikit.
Namun yang tidak disadari oleh Pitaloka—Lamakara Lowu juga mulai membisikkan hal yang sama pada Larasari dan Wiratama. Masing-masing mulai merasa ibunya dibunuh oleh Kadita, atau bahwa Pitaloka ikut terlibat dalam konspirasi. Kebencian yang diwariskan kini menjadi senjata utama Lamakara.
“Biarkan mereka saling mencintai, lalu saling membunuh. Karena hanya dari kehancuran cinta, Lamakara akan bangkit sempurna.”
XXX
XXX
Di tengah medan perang semesta yang menggetarkan tujuh langit dan sembilan bumi, ketika langit retak dan bintang-bintang redup, sebuah kenangan purba menembus waktu dan masuk ke dalam kesadaran Jayasena yang tengah bertarung mati-matian.
Suara itu bukan suara Sanghala, bukan pula suara pikirannya sendiri. Suara itu datang dari relung terdalam darahnya—suara leluhur:
“Dengarlah, Jayasena. Kau bukan hanya pewaris mahkota. Kau pewaris darah langit.”
Seketika, Jayasena melihat penglihatan kuno: sebuah medan perang zaman primordium, ketika alam semesta masih diselimuti kabut suci, sebelum kata-kata pertama diucapkan dan sebelum waktu mengalir.
Di tengah kekacauan antara makhluk awal dan kehampaan, berdirilah La Patiganna, Sang Dewa Cahaya, menghunus tombak petirnya dan menantang Lamakara Lowu yang ketika itu masih berupa naga kabut raksasa dengan tujuh kepala dan ekor tak berujung.
Pertempuran berlangsung seribu tahun, dan akhirnya, La Patiganna menang, memaku tubuh Lamakara Lowu ke dalam jurang kekosongan, dan bersumpah takkan pernah mencampuri urusan dunia lagi*.
Namun sebelum terjatuh, Lamakara Lowu mengutuknya:
“Darahmu akan menumbuhkan kerajaan di Alekawa. Dan kerajaan itulah yang akan kuhancurkan dari dalam, bukan dengan perang, tapi dengan cacing-cacing pikiran dan racun kehendak!”
---
Setelah kemenangan itu, La Patiganna turun ke dunia, menjadikan anaknya La Toge’ Langi’ sang manusia setengah dewa yang juga berjasa mengalahkan Lamakara Lowu menjadi raja pertama dengan gelar Batara Guru yang berarti “Orang yang Turun dari Langit.” Ia mendirikan Surupala, kerajaan cahaya pertama di dunia, tempat di mana hukum, harmoni, dan kemurnian ditegakkan.
Setiap keturunannya mewarisi bukan hanya mahkota, tapi juga sebagian kekuatan langit—dan kutukan Lamakara Lowu yang terus mengintai.
Kini jelas, mengapa Lamakara Lowu membisik ke batin Pitaloka, mengapa ia memanipulasi konflik keluarga dan cinta, dan mengapa ia mencurangi permainan dadu. Ia tak hanya ingin menguasai Surupala. Ia ingin membalas dendam atas kekalahannya di awal penciptaan.
---
Setelah melihat wahyu itu, Jayasena berlutut, darahnya mendidih, bukan oleh amarah, tapi oleh kesadaran.
“Surupala bukan hanya kerajaanku... ia adalah perwujudan janji langit terhadap dunia.”
Namun yang paling tragis: Pitaloka adalah bagian dari Surupala juga.
XXX
United Kingdom of Surupala adalah sebuah keajaiban politik di dunia modern, lahir dari kompromi antara warisan kuno dan tuntutan demokrasi. Negara ini berbentuk konfederasi unik, di mana kekuasaan dibagi antara Keraton Surupala yang dipimpin Raja, dan Wilayah Parlemen Utara yang dikelola oleh Perdana Menteri pilihan rakyat.
Raja Surupala menguasai tanah keraton—wilayah kecil namun sakral—pusat kebudayaan dan simbol keagungan sejarah. Di sinilah berdiri istana beratap emas dengan menara menjulang yang menyimpan pusaka-pusaka kuno. Sementara itu, Perdana Menteri memimpin sebagian besar tanah Surupala di utara—wilayah yang luas, makmur, dan menjadi tulang punggung ekonomi negara.
Keduanya memiliki kedaulatan terpisah, tetapi berbagi tentara nasional yang sama, satu bendera, dan satu perjanjian pertahanan. Perpaduan ini membuat Surupala selama puluhan tahun dikenal sebagai negara yang seimbang—monarki yang berjalan beriringan dengan demokrasi.
Namun, keseimbangan itu hancur pada suatu sore di musim hujan. Di ruang permainan istana, Pangeran Jayasena, ahli strategi muda namun memiliki kelemahan terhadap judi dadu, menerima tantangan dari Putri Pitaloka, penguasa Kerajaan Kandis sekaligus pewaris takhta bangsa putri duyung Laut Selatan. Taruhannya absurd—tanah keraton melawan harta karun laut dalam.
Dadu bergulir… dan Jayasena kalah. Sesuai hukum kehormatan bangsawan Surupala, ia harus menepati janji. Tanah keraton—jantung bersejarah Surupala—diserahkan kepada Kerajaan Kandis dan bangsa putri duyung. Para bangsawan menangis, rakyat marah, tapi hukum adat lebih tua dari kemarahan mereka.
Nasib Wilayah Parlemen ternyata lebih buruk. Saat keraton sibuk menghadapi krisis, dari utara datang Kepangeranan Suci Eurasia Romanov—kerajaan vampir kuno yang memerintah dari istana salju dan bercita-cita menguasai jalur logistik Asia Tenggara. Pasukan vampir menyerbu kota-kota perbatasan dengan kapal udara lapis baja, memutus jalur perdagangan, dan memaksa Parlemen menyerah.
Dalam waktu kurang dari satu bulan, Surupala terbelah dua: bagian selatan menjadi wilayah air yang diperintah Putri Pitaloka dan armada putri duyung, sedangkan bagian utara menjadi koloni vampir Romanov.
Di tengah kekacauan, rakyat bertanya-tanya:
Apakah Surupala masih ada… atau kini hanya tinggal nama di lembar sejarah?
Ribuan lilin hitam berkelip tak serempak dalam aula bawah tanah kastil kuno yang dibangun dari tulang beku raksasa. Di tengah altar batu berlumur darah segar, Putri Zaleska Romannov berdiri dalam gaun sutra hitam yang membara seperti asap. Mahkotanya melayang setengah inci di atas rambut peraknya, dan kulitnya pucat bagai pualam yang direndam malam.
Di tangannya, gulungan daun lontar kuno, dicuri dari perpustakaan terkutuk di Jawa. Dalam bahasa Nusantara Purba yang telah lama dilupakan, ia membacakan mantra dengan aksen asing namun penuh niat:
“Wahai Lamakara Wolu, Sang Kegelapan yang bangkit dari Lautan Tawar!
Penjaga pusaran kelam, penelan pulau,
Datanglah dalam nyalaku—berikan aku izin menaklukkan tanah Garuda!”
Langit retak.
Bumi menggeliat.
Dan dari tengah altar, muncul asap hitam pekat yang membentuk sosok tinggi menjulang—makhluk setengah bayangan setengah raksasa reptil, dengan kepala naga laut, mata kosong membara, dan jubah berkabut hitam yang selalu bergerak, seolah-olah di dalamnya terkandung malam tanpa akhir.
“Siapa yang memanggil Sang Penjaga Lendir Tua dari Perut Samudra?”
Zaleska berlutut.
“Aku—Zaleska Romannov, Ratu Vampir Eurasia.
Dalam mimpiku, seorang anak manusia bersayap api dari tanah Nusantara—titisan Garuda—akan membunuhku.
Tapi aku tak terima ditaklukkan oleh makhluk fana.
Bantu aku menaklukkan Nusantara, agar masa depan berpihak pada bayang-bayang!”
Lamakara Wolu tertawa. Suara tawa itu terdengar seperti ribuan jangkrik raksasa yang menggeliat dari liang kubur.
“Aku pun membenci Garuda. Ia musuhku sejak langit pertama.
Maka kuizinkan kau dan pasukanmu—tapi kau harus bersumpah:
Jadikan Nusantara tanah abadi bagi malam.
Kuberi kau bala tentaraku, dan kuturunkan… Komodo-Ku.”
XXXX
Suasana hening terputus oleh suara tajam pembawa berita melalui saluran TV, mengguncang jiwa pemirsa yang tidak bersiap.
"DARURAT (Bukan Simulasi)!" suara itu bergema, memenuhi ruang tamu dengan ketegangan yang tak terduga. Mata semua yang menatap layar TV terpaku, terikat oleh kata-kata yang mengancam.
"Invasi Romanov ke Surupala, United Kingdom 00..." suara itu terdengar gemetar, memancarkan aura ketakutan yang menggigilkan. "Ini adalah siaran terakhir atas mandat Perdana Mentri United Kingdom of Surupala. Jika Anda menyaksikan ini, maka Pemerintahan United Kingdom of Surupala telah usai. Pemerintahan telah diambil alih oleh entitas bukan manusia."
Setiap kata merambat seperti belati menusuk-nusuk ke dalam hati setiap penonton yang terpaku. Ketakutan melanda, dan suasana mencekam merajai ruangan.
"Kami berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan rakyat. Berlindunglah dan hindari bepergian keluar," lanjut suara itu, menyampaikan pesan yang membuat bulu kuduk merinding.
"Lagu Surupala Raya akan segera dikumandangkan untuk terakhir kalinya."
Dengan kata-kata terakhir itu, keheningan melanda. Matapun terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Di kegelapan ruang tamu, hanya suara angin malam yang menggema, menciptakan suasana horor yang tak terlupakan. Sesuatu yang tidak manusiawi telah menyusup ke dalam kehidupan mereka, merenggut kedamaian dengan kekejaman yang tak terbayangkan.
United Kingdom of Surupala ingin bergabung dengan Humanity Alliance Pact, sebuah aliansi yang dibentuk negara-negara adidaya untuk membendung invasi vampir Romanov yang telah menguasai Eropa Timur, Rusia, dan Tiongkok, dalam upaya menggantikan dominasi ras Homo sapiens di Bumi. Namun, Romanov meminta agar aliansi tersebut tidak pernah menerima Surupala.
Romanov marah atas keinginan Surupala, yang dianggap membahayakan kepentingannya di batas wilayah Asia Tenggara. Romanov ingin membangun pangkalan militer di sekitar Samudra Hindia dan daratan utama Asia Tenggara. Mereka khawatir Surupala akan dijadikan pangkalan militer negara-negara Barat untuk melawan Eurasia Romanov.
Krisis ini dipicu oleh tensi di Samudra Hindia dan Indocina sejak akhir abad ke-22. Perjanjian damai yang tak efektif memperingatkan Romanov tentang sanksi ekonomi dari Barat jika melakukan serangan. Ketegangan ini juga terkait permusuhan antara Romanov dan Republik Federasi Asia-Afrika (RFAA), di mana Romanov mengklaim bahwa bergabungnya Surupala ke Humanity Alliance Pact mengancam kedaulatan negaranya.
Meski begitu, kenyataannya Romanov mengincar Surupala sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia pasca-perang nuklir, untuk dijadikan ternak darah manusia dan objek pemuas nafsu darah bagi para vampir.
Mereka juga ingin menguasai berbagai bahan baku dan sumber daya alam untuk keperluan militer—seperti nikel, bijih besi, minyak bumi, dan uranium di Irian Barat—guna mendukung perang melawan Oceania dan RFAA, dua negara adidaya manusia yang menjadi musuh mereka.
Sebagai negara dengan status disputed territory yang diperebutkan tiga negara superpower karena kekayaan sumber daya alamnya, United Kingdom of Surupala mengendalikan teknologi dan tambang uranium di Papua Barat untuk menjaga netralitasnya sebagai negara kecil merdeka di tengah tekanan negara-negara besar. Surupala juga berupaya mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain yang membutuhkan sumber dayanya untuk pengembangan mesin tempur bertenaga nuklir.
Surupala sempat memberlakukan embargo terhadap energi uranium, karena tuntutannya untuk menghentikan pelatihan militer tidak dipenuhi. Hal ini menyebabkan Eurasia Romanov mengalami krisis sumber daya, hingga akhirnya memaksa mereka menginvasi Surupala. Surupala kemudian memperbarui reformasi perjanjian damai terkait teknologi uranium.
Romanov juga mengusulkan reformasi politik perairan hangat di Samudra Hindia, mencari pelabuhan yang tak membeku di musim dingin, serta izin untuk membangun pangkalan militer guna melawan RFAA dan Oceania. Pejabat Surupala menyebut langkah ini sebagai tekanan diplomatik dari Romanov terhadap Surupala . Namun, Perdana Mentri Surupala menentang tekanan tersebut dan mempertimbangkan untuk mengajukan kasus ini ke pengadilan militer internasional.
Kementerian Luar Negeri Romanov mengklaim bahwa Surupala mendukung terorisme di Kuala Lumpur, Malaysia, dan bahkan membentuk organisasi sihir bawah tanah yang memburu vampir.
Karena laporan militer di perbatasan semakin intens, isu serangan pun mulai bergulir. Romanov menuntut RFAA menghentikan semua aktivitas militer di wilayah Surupala . Citra satelit menunjukkan penumpukan pasukan Romanov di perbatasan, dan sejumlah ledakan mulai terjadi di beberapa kota. Romanov memulai latihan militer besar-besaran di Laut Natuna. Barat meyakini bahwa Moskow telah memobilisasi 100.000 tentara, termasuk tank dan perangkat keras militer lainnya, di daratan utama Asia Tenggara.
Semua angkatan laut dikerahkan, dan latihan ini juga dilakukan di darat. RFAA pun "turun gunung", menginisiasi negosiasi antara kedua belah pihak. Mereka juga menerima Wakil Perdana Mentri Kerajaan Surupala yang selamat untuk mendirikan pemerintahan pengasingan sebagai langkah antisipasi.
Namun, Menteri Luar Negeri Romannov menyatakan:
“Semua histeria yang terjadi antara Romanov dan Surupala telah ditargetkan untuk mengalihkan isu dari keamanan negara kami terkait Kepangeranan Suci Eurasia Romanov. Sebenarnya tidak ada yang terjadi dan kami tidak berniat menyatakan perang. Itu gagasan yang tidak masuk akal bagi kami.”
Romanov membantah rencana penyerangan kala itu. Namun, intelijen Barat menyebut bahwa Eurasia Romanov memang sedang mempersiapkan serangan.
“Kami melihat ekspansi Humanity Alliance Pact yang telah berjalan selama lebih dari 30 tahun, dan kini infrastruktur mereka makin dekat ke perbatasan kami. Latihan militer CIS adalah untuk menjaga kedaulatan Romanov,” tambah Menteri Luar Negeri Romanov.
Commonwealth of Independent States (CIS) adalah upaya Eurasia Romanov untuk mengendalikan negara-negara bekas Kekaisaran Eurasia dan Uni Soviet, yang kini telah menandatangani perjanjian tunduk kepada Romanov, termasuk jajahan barunya seperti Surupala.
RFAA menyatakan bahwa pelanggaran terang-terangan Romanov terhadap hukum internasional merupakan tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan global. RFAA mengklaim bahwa Romanov bertujuan menggulingkan pemerintah Indonesia, dan mengganti presiden dengan tokoh pro-Moskow melalui kekuatan militer. Kemungkinan besar, ini juga mencakup pendudukan wilayah oleh pasukan Romanov.
Romanov melakukan uji coba bom nuklir Tsar Bomba di daratan utama Asia Tenggara dan memaksa Surupala mengizinkan pembangunan pangkalan militer di sekitar kepulauan Samudra Hindia yang mengelilingi Surupala. Banyak personel luar negeri Indonesia diterjunkan ke zona konflik untuk menghadapi ancaman Romanov.
Romanov kemudian melakukan serangan udara ke Singapura, dengan tujuan mengendalikan dan mencegah sanksi ekonomi yang akan diberikan oleh Surupala–Persemakmuran ASEAN.
Jenderal dan bangsawan Romanov merencanakan serangan ke Sumatra dari sisi barat Selat Malaka, melewati Malaysia dan Singapura, untuk melumpuhkan pertahanan udara Surupala, karena di sana terdapat markas Angkatan Udara APRIS. Untuk mengecoh, Romanov lebih dulu mengirim kapal serang cepat ringan dua hari sebelumnya ke perbatasan Kepulauan Natuna dari arah Filipina, tempat pangkalan militer mereka berada, sehingga Surupala mengira invasi akan dimulai dari sana.
Akhirnya, Surupala mengerahkan kekuatan militernya ke Natuna. Sementara itu, pasukan vampir Romanov dengan leluasa menyapu habis Sumatra dan menghancurkan pangkalan di Pekanbaru. Pasukan Surupala berhasil dikecoh. Situasi diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar kekuatan militer Surupala hanya terpusat di Pulau Jawa dan daratan Sundalandia—yang memang paling padat penduduk—untuk melindungi warga sipil.
Namun, hal ini berdampak buruk dalam menghadapi invasi. Markas militer, barak, bahkan pabrik persenjataan seluruhnya berada di Pulau Jawa. Potensi kekuatan militer Surupala gagal dimobilisasi secara efektif dan efisien karena wilayah yang terlalu luas dan tidak merata. Keamanan perbatasan pun rapuh, sehingga Surupala gagal mempertahankan diri dari invasi Romanov dari dua arah.
Sirene meraung. Langit pagi berubah muram. Puluhan pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Surupala melayang mengelilingi pulau. Di bawah, barisan infanteri dan lapis baja bersiap di garis pantai, belum menyadari horor yang akan datang.
Lalu… kabut turun.
Kabut tebal—tak wajar—menyelimuti seluruh pantai Sanur hingga Pelabuhan Gilimanuk. Lalu dari balik kabut:
Pasukan Vampir Romanov muncul.
Mereka mengenakan jubah vampir putih kusam bertudung, wajahnya tak terlihat. Di tangan mereka: pedang sihir yang bergetar dalam warna ungu gelap dan senjata api bergaya Victoria dengan peluru kutukan.
Tanpa suara, mereka menyerbu.
Mereka tak melangkah—mereka melayang.
Peluru Angkatan Perang Kerajaan Surupala menembus tubuh mereka, tapi kabut menyerap semua—dan luka apapun sembuh seketika. Komandan Angkatan Perang Kerajaan Surupala berteriak:
“Mereka bukan manusia—HANTU! HANTUU!!”
Dan saat itulah, dari dasar laut, air meledak. Seekor Komodo raksasa hitam dengan punggung bersisik magma muncul—matanya menyala, mulutnya menyemburkan racun hitam pekat yang mencairkan tank baja seperti lilin.
Dan di langit, Lamakara Wolu sendiri turun, menghamburkan petir hitam yang menyambar pesawat Angkatan Perang Kerajaan Surupala hingga jatuh berjatuhan seperti bintang jatuh. Zaleska, memimpin serangan seperti ratu neraka dari pesawat induk.
---
Angkatan Perang Kerajaan Surupala mencoba melawan. Jet tempur menyerang dari udara. Sniper elit membidik kepala Zaleska. Rudal diluncurkan. Namun tiap ledakan hanya mempertebal kabut.
Para vampir membantai dengan senyap. Mereka menyelinap masuk markas komando, menusuk leher para jenderal dengan pedang sihir, lalu berubah menjadi kabut dan menghilang sebelum tertembak.
Lautan merah. Udara hitam. Tanah mendidih.
Dalam beberapa jam, Pangkalan Bali jatuh. Siaran berita dihentikan. Dan di ujung sore, di atas menara runtuh bekas Gedung Komando, Zaleska mengangkat bendera gelap elang kepala dua milik kekaisaran Eurasia yang juga dipakai oleh dinasti Romanov.
Di belakangnya, Lamakara Wolu berdiri, tubuhnya setinggi gunung, bayangannya menutupi seluruh Nusantara bagian selatan.
“Hari ini, cahaya telah kalah…” ujar Zaleska.
“Nusantara kini adalah tanah malam. Tanah darah. Tanah bayang-bayang.”
Dinasti Romanov Menguasai Tiongkok
Pasukan mereka berjumlah jutaan
Masalah negara ada di sini
Waktunya adalah tahun 2227
Kami tak takut apapun
Kamilah Pemuda Kerajaan Surupala
Keadilan dan kekuatan ialah kepercayaan kita
Seranglah mereka dan tunjukan pada mereka
Orang asing di pantai kepulauan Natuna
Itulah bangsa vampir Romanov
Orang orang yang sombong dan kurang ajar
Membunuh atau dibunuh
Marilah kita maju dengan kesetiaan pada rakyat
Marilah kita melatih senjata kita
Sekarang ini untuk negara kita
Mari kita angkat senapan kita
Hanya di laut Cina Selatan
Maju ke depan dan mendorong ombak ke samping
Kamilah tentara yang pemberani jadi kita harus melawan musuh kita
Kami akan menjadi pelindung negeri ini
Tuhan yang maha esa mengetahui semangat pemberani bangsa Indonesia
Tuhan marah dan membantu armada Kita membentuk ombak ganas
Melawan para musuh yang melawan negeri kita
XXX
Kekaisaran Ortodoks Eurasia Timur , pendahulu dari Kepangeranan Ortodoks Eurasia Romanov, pernah menjadi kekaisaran terbesar ketiga dalam sejarah dunia. Wilayahnya membentang lebih dari 22,2 juta kilometer persegi—hampir seluas Kekaisaran Mongolia—dan terbentang dari Finlandia di barat hingga Alaska di ujung timur. Dalam catatan sejarah manusia, hanya Imperium Britannia dan Kekaisaran Mongolia yang pernah menguasai wilayah lebih luas.
Memasuki abad ke-23, warisan kejayaan Kekaisaran Eurasia Timur itu dilanjutkan oleh Kepangeranan Ortodoks Eurasia Romanov. Kekuasaan para vampir Romanov meluas secara agresif dan mencakup wilayah-wilayah strategis dunia: Rusia, Eropa Timur dan Jerman Timur, Tiongkok, India, Jepang, Kazakhstan, Afghanistan, dan sebagian besar wilayah sekitarnya. Romanov pun menjelma menjadi salah satu negara adidaya, bersaing ketat dengan Republik Federasi Asia Afrika (RFAA), Oceania, dan negara-negara lain dalam blok barat.
Wilayah utama kerajaan vampir berada di Balkan, Eropa Timur, Siberia, dan sebagian Asia Timur hingga Asia Tenggara. Sementara itu, kekuatan manusia yang masih bertahan di bawah sistem pemerintahan totaliter menguasai seluruh benua Amerika, Greenland, dan Pulau Britannia. Afrika Selatan telah dikembalikan ke RFAA, sementara Australia—yang dahulu sempat direbut oleh Kekaisaran Pertama berabad-abad lalu—masih menjadi wilayah sengketa.
Meski Romanov merupakan sebuah Principality atau kepangeranan elektif—dipimpin oleh bangsawan yang dipilih langsung oleh rakyat—tidak semua wilayah anggota Konfederasi Eurasia adalah kerajaan. Beberapa tetap menjalankan sistem republik atau militeristik, meskipun tunduk kepada dominasi politik dan kekuatan militer Romanov.
Kepangeranan Romanov membentang dari Jerman Timur hingga Kutub Utara, termasuk juga daratan Tiongkok yang sebelumnya dikenal sebagai wilayah negara Eastasia. Setelah berhasil menaklukkan Dinasti Hongxian di Tiongkok, wilayah kekuasaan Romanov menjadi lebih besar daripada gabungan Oceania dan Republik Federasi Asia Afrika, dengan populasi yang bahkan melebihi Indonesia. Ketika Moskow dan Stalingrad dibom nuklir oleh Sekutu dalam Perang Dunia Ketiga, Romanov memindahkan ibu kotanya kembali ke Saint Petersburg.
Setelah invasi besar-besaran Romanov ke Asia Tenggara, United Kingdom of Surupala akhirnya jatuh. Pemerintahan yang tersisa berubah nama menjadi Kadipaten Agung Orde Naga, sebuah struktur boneka di bawah kendali Romanov. Hasil bumi dan kekayaan alam Indonesia dijarah besar-besaran dan dikirim ke Saint Petersburg. Invasi brutal ini memicu konflik internal yang dahsyat—Kerajaan Surupala pecah menjadi dua faksi utama dan terjebak dalam perang saudara yang semakin rumit, menciptakan segitiga kekuasaan antara Romanov, Faksi Konservatif Surupala, dan Faksi Demokratik Surupala.
Faksi Konservatif—yang mewakili sisa-sisa pemerintahan Parlemen Surupala—disebut pengecut dan korup karena memilih untuk melarikan diri ke pengasingan di Kairo, wilayah RFAA. Prerdana Mentri Surupala yang korup meninggal dunia tidak lama setelah memindahkan seluruh kekayaan negara ke luar negeri. Wakil perdana mentri menggantikannya dan mewarisi kebencian rakyat. Sementara petinggi militer dan pejabat lainnya hidup mewah di pengasingan, rakyat Surupala dibiarkan menghadapi penjajahan vampir sendirian.
Kekorupan ini berdampak fatal. Surupala kesulitan memproduksi senjata-senjata penting untuk perang melawan vampir—terutama senjata plasma dan sinar UV yang mematikan bagi makhluk malam itu. Bahkan pedang dan pisau yang seharusnya terbuat dari perak—logam yang menjadi kelemahan utama vampir—justru dibuat dari tembaga murah demi keuntungan pribadi. Akibatnya, meski Angkatan Laut RIS memiliki potensi besar, mereka dihabisi dengan mudah oleh armada Romanov.
Beberapa pejuang Surupala yang tersisa bahkan terpaksa menggunakan senjata kuno peninggalan Kekaisaran Mughal atau Dinasti Banjar-Gurkani di Surupala untuk melawan teknologi perang vampir yang jauh lebih maju.
Sementara itu, rakyat miskin yang tidak mampu melarikan diri ke RFAA terpaksa hidup menderita di tanah air yang telah dijajah. Mereka dijadikan budak dan ternak darah oleh para vampir penjajah. Anak-anak yatim piatu menjadi pemandangan sehari-hari, meratapi kehilangan orang tua mereka akibat perang dan perbudakan.
Di tengah kehancuran itu, Faksi Demokratik yang dipimpin Panglima Jenderal Angkatan Perang Kerajaan Surupala, Notonindito mendirikan pemerintahan tandingan bernama Republik Demokratik Surupala Serikat (RDSS) di Surupala Timur dan Papua—wilayah terakhir yang belum jatuh ke tangan vampir. Mereka dianggap makar oleh pemerintah pengasingan dan menjadi buronan Agen Eksil Detektif Laskar Sembrani Liga Garuda, organisasi intelijen dari RIS pengasingan.
Namun, Faksi Demokratik menolak untuk tunduk pada Faksi Konservatif yang dianggap telah menyerah tanpa perlawanan. Mereka menarik mundur pasukan ke Papua Barat dan pulau-pulau di SurupalaTimur untuk mempertahankan benteng terakhir Surupala. Wilayah ini dipilih karena angkatan laut Romanov tergolong lemah dan tidak mampu mendominasi lautan luas di sekitar Kepulauan SurupalaTimur.
Romanov, meski unggul dalam kekuatan darat, memiliki kelemahan besar di laut dan udara. Tank-tank mereka adalah yang terkuat di dunia, dan infanteri vampir jauh lebih unggul daripada manusia. Tapi kemampuan angkatan laut mereka masih kalah bahkan dibandingkan negara kecil seperti Surupala, dan kemampuan udara mereka terbatas karena hanya sebagian bangsawan vampir yang bisa terbang—itu pun tidak sekuat pesawat tempur futuristik milik manusia. Vampir pun tidak bisa berenang lama di laut dalam tanpa bantuan kapal induk, menjadikan wilayah-wilayah laut seperti Papua relatif aman dari invasi langsung.
Jika saja petinggi militer dan pejabat Surupala di masa lalu lebih kompeten, tidak korup, dan benar-benar membangun persenjataan canggih, mungkin angkatan laut Romanov tak akan mampu menyeberangi Pulau Natuna dan menerobos Selat Malaka untuk menginvasi Surupala .
Kini, ibukota pendudukan Romanov di Surupala terletak di Vladimirovich—nama baru bagi kota Surabaya, setelah Jakarta hancur dalam invasi brutal. Kota itu menjadi simbol kekuasaan vampir di Nusantara.
XXX
Bab 1: Garuda in The High Castle
Burung Merpati terlihat terbang di antara puing-puing bangunan di sekitar Monas. Monas sendiri, yang dulunya berwarna putih, kini menghitam seperti hangus terbakar. Kota Wentira, yang dulu indah dengan pemandangan gedung-gedung tinggi, ondel-ondel, dan bajai, kini seakan rata dengan tanah. Pemandangan yang horor, mencekam, dan membuat sesak. Dunia ini sangatlah mengerikan, tapi juga sangat hebat.
Semua pemandangan ini bukanlah cuplikan dari film horor atau thriller. Ini hanyalah pemandangan kota Jakarta yang telah berdiri selama ratusan tahun. Di abad ke-23, ketika Surupala sebagai negara netral terpaksa terlibat dengan negara-negara adidaya yang memiliki keinginan ekspansionis.
Selama sekitar satu setengah abad, banyak negara adidaya yang dikuasai oleh ras manusia, vampir, atau iblis yang ingin menguasai negara ini.
Sebagai negara dunia ketiga di belahan bumi selatan yang netral dari konflik di belahan bumi Utara antara, Rezim Fasis Oceania di Benua Amerika, Republik Federasi Asia Afrika, serta Kepangeranan Suci Eurasia Romannov di masa lalu, menyebabkan Surupalayang ada di garis khatulistiwa selamat dari perang nuklir.
Beberapa daratan di bumi juga tenggelam terutama kota kota yang ditepi pantai, hingga peta dunia di berbagai dunia seperti kertas yang sobek terkena air dan banyak yang pindah ke daratan tinggi yang aman dari melelehnya es kutub,tapi untungnya Surupala menjadi negara pertama yang berhasil mencegah tenggelamnya kepulauan Nusantara akibat melelehnya volume es kutub dengan teknologi mutakhir.
Benua menjadi sangat kecil karena beberapa persen daratannya tenggelam kecuali Indonesia, pola cuaca yang tak normal mengancam kehidupan semua mahluk hidup beberapa ribu dari spesies dan setengah populasi bumi hilang karenanya,perang nuklir sampai memperebutkan sda di Antartika dan es mencair dalam sekejap,tingkat air laut naik dan bumi terlempar dari porosnya ,dunia juga masih terdampak perang nuklir dan perebutan kekuasaan antara tiga Superstate yaitu Eurasia Romanov, Oceania dan Republik Federasi Asia Afrika serta menurunnya ekonomi dunia konflik etnik dan perang saudara
Meski begitu, perang dan invasi dari negara-negara belahan bumi Utara yang ingin mendapatkan sumber daya alam Surupala yang melimpah dan subur, setelah negerinya hancur akibat perang nuklir, membuat Surupoala menjadi negeri empuk untuk dijajah negara-negara superpower yang menjadi korban nuklir mereka sendiri akibat netralitas dan demiliterisasi Surupala.
Karena krisis diplomatik, intelijen dan ketegangan geopolitik yang meningkat, pada tahun 2048, wilayah Asia Tenggara dan Australia termasuk Surupala jatuh ke tangan Kekaisaran Mughal sebagai jajahan. Pembunuhan seorang duta besar Mughal menjadi pemicu konflik yang memuncak. Kekaisaran Mughal di anak benua India dipimpin oleh kaisar Aurangzeb Alamgir ke-16, salah satu negara dengan kekuatan nuklir terbesar di dunia pada abad ke 21 hingga ke 22.
"Lagu Indonesia Raya versi Pasukan Pemilihan Republikan Anti Kekaisaran Mughal yang masih digunakan sampai saat ini:
Indonesia Ana Ostordum
Waga Ohguz satoyo
Warera Kerlicesin adio o
Baldera Shia ger
Indonesia Wahga Ohguz Satoyo Warera Kerlicesin
Ima golkordum Indonesia Tatare Babure
Indonesia Tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu Ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku, marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Towa Humayun Berbire ke Waga erneldum koku
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya
Indonesia raya merdeka, merdeka
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia raya
Indonesia raya merdeka, merdeka
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia raya."
Lebih dari setengah abad yang lalu tepat ketika kakek Gilang lahir, saat itu sedang pemberontakan kaum Republikan Surupala.
Pasukan Pemulihan Kemerdekaan Surupalamendeklarasikan pemulihan kemerdekaan atas runtuhnya Republik Indonesia Serikat pertama yang berdiri tahun 1945 dan mendirikan Surupalakedua, setelah pendudukan Kekaisaran Mughal di Surupala runtuh akibat tak mendapatkan bantuan militer dari Anak benua India untuk melawan Pemberontakan Pejuang Kemerdekaan Surupala .
Panglima Jenderal APRIS, Ninditolah, yang memindahkan ibu kota RIS dari IKN Nusantara, bekas ibu kota Kekaisaran Indonesia pada zaman Kekaisaran Mughal, kembali ke Jakarta seperti pada zaman Republik Pertama.
Indonesia adalah negara di belahan bumi selatan yang selamat dari perang nuklir di negara negara maju di bumi Utara Karena kondisi geopolitiknya, ditaklukkan kekaisaran Mughal di pertengahan abad ke 21, Mughal negara netral di dunia ketiga yang tak ikut pertempuran di eropa sampai kekaisaran itu dikudeta oleh partai Ingsoc
Penduduk ibu kota Jakarta yang tersisa hidup di tengah puing-puing bangunan dengan ketakutan dan kemiskinan. Setiap hari, kekerasan dan pertumpahan darah melanda Jakarta yang dulunya menjadi tempat tujuan merantau, kini seperti neraka yang dikelilingi oleh burung pemakan bangkai.
Serangan negara-negara adidaya itu membuat Indonesia hancur. Bom atom pernah dijatuhkan di Bandung dan Bogor untuk memaksa Jakarta menyerahkan kekuasaan negara pada penjajah. Hanya ada satu harapan yang dimiliki orang-orang Jakarta, termasuk Gilang, seorang pemuda tampan dan gagah yang sedang mengusir burung bangkai saat sedang melakukan wajib militer di puing-puing kota Jakarta. Semoga matahari yang lebih indah kembali menyinari Jakarta. Kota Jakarta seharusnya aman dari vampir atau bencana alam apapun termasuk tsunami, nuklir atau pemanasan global.
Gilang kembali ke rumahnya dan duduk di sudut kamar yang sempit, matanya kosong menatap tembok putih yang hampir tak terlihat lagi karena kerusakan lama. Di tangannya, secarik kertas dengan angka-angka yang membingungkan, seolah mewakili beban yang terus menghantuinya. Ia bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain yang tak ada di ruangan itu.
“Entah berapa banyak hutangku di koperasi angkatan udara,” katanya, suara serak, seperti seseorang yang telah lama berjuang melawan kepayahan. Ia melemparkan kertas itu ke atas meja, tangan terasa kaku, seolah tak mampu lagi mengangkat beban hidup yang menggunung. “Setiap bulan, cicilan itu terus menggerogoti sisa-sisa harapan yang kupunya. Rasanya... tidak pernah habis. Bagaimana bisa aku keluar dari semua ini?”
Ia mendesah, lalu pandangannya beralih ke tempat tidur, di mana Cecilia terbaring lemah. Wajah wanita itu terlihat pucat, tubuhnya terbungkus selimut tebal, namun masih tampak gemetar. “Kesehatan Cecilia masih belum membaik,” bisiknya, hatinya terasa sesak. “Dokter bilang butuh pengobatan intensif. Tapi, aku... aku bahkan tak bisa memenuhi kebutuhan dasar kami berdua. Bagaimana jika aku kehilangan dia? Apa yang akan aku lakukan?”
Gilang terdiam sejenak, perasaan cemas dan ketidakberdayaan merayap ke seluruh tubuhnya. Ia berusaha menenangkan diri, meski tahu bahwa semua yang ia katakan hanya untuk dirinya sendiri, sebagai pengingat betapa gelapnya jalan yang harus ia lewati.
“Pernahkah aku membuat pilihan yang tepat?” ia bertanya dengan nada ragu. “Jika aku bisa kembali ke masa lalu, apa yang akan aku ubah? Tapi kenyataannya, waktu tak pernah memberi kesempatan kedua.”
Ia tertunduk, mata menatap lantai yang kotor. Setiap detik terasa semakin berat, setiap keputusan yang diambil seakan hanya memperburuk keadaan. Dan sementara itu, dunia di luar sana terus berputar, tak peduli dengan kesedihan yang ada di dalam dirinya.
“Namun... aku tidak bisa menyerah. Tidak sekarang, tidak setelah semua yang telah kulalui.” Gilang mengangkat wajahnya, matanya penuh tekad meski hatinya masih terombang-ambing. “Aku harus tetap bertahan, karena hanya itu yang bisa kulakukan.”
Dengan langkah gontai, ia kembali mendekat ke sisi tempat tidur Cecilia, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, meski hatinya dipenuhi keraguan.
Gilang diberi julukan kakeknya sebagai Ksatria putih, kakeknya meramalkan dia akan menjadi penyelamat bangsa Indonesia karena terlahir dengan tanda lahir berbentuk Peta Indonesia di punggungnya. Pemuda itu menanggung beban yang sangat berat untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Seberapa jauhkah mimpi dan cita cita prajurit Garuda tempur dengan baju zirah tanpa tanding?
XXX
Pada 17 Juli 1918, tiga abad setelah dinasti penguasa Romanov berkuasa dan berakhirnya kekacauan, kekerasan, serta kekejaman, Kaisar Ortodoks Eurasia Timur Nicholas II, Tsarina Alexandra, dan lima anak mereka, Duchess Olga, Duchess Maria, Duchess Tatiana, Duchess Anastasia, serta Alexim Tsarevitch, dieksekusi secara brutal oleh regu tembak di sebuah basement di Ekaterinburg.
Mayat mereka kemudian dikubur di hutan terdekat. Namun, tak lama kemudian, sebuah rumor menyebar menyebut bahwa beberapa anggota Romanov selamat. Ada yang menyebut Alexei atau Marie sebagai anak yang berhasil selamat, tetapi kebanyakan rumor menyebut Anastasia, anak bungsu sang kaisar, sebagai yang berhasil selamat. Pada zaman itu manusia belum mengetahui keberadaan vampir.
Kemunculan Kepangeranan Suci Eurasia Romanov menunjukkan kepada dunia keberadaan ras vampir yang selama ini dianggap mitos. Orang Balkan dan Eropa Timur tidak menyadari bahwa bangsawan mereka adalah ras Strigoi, yang merupakan keturunan Vlad Dracula Tepes. Vlad mendapat kekuatan dari setan Kesilim.
Selama era kekuasaan Soviet, Alexei Romannov hidup dibawah perlindungan Kantor Intelijen Pusat Kepangeranan Suci Romanov, merupakan kelanjutan dari organisasi yang sudah ada sejak era Kekaisaran Ortodoks Eurasia Timur , Departemen untuk Perlindungan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (dikenal dalam bahasa Rusia sebagai Отделение по Охранению Общественной Безопасности и Порядка), yang sering disebut sebagai "departemen pertahanan" (okhrannoye otdelenie) dan umumnya disingkat sebagai Okhrana atau Okhranka di Rusia. Okhrana adalah polisi rahasia dari Kekaisaran Rusia dan merupakan bagian dari departemen polisi Kementerian Urusan Dalam Negeri (MVD) pada akhir abad ke-19.
Mereka dibentuk untuk menangani terorisme politik dan aktivitas revolusioner sayap kiri. Okhrana mengoperasikan kantor-kantor di seluruh Kekaisaran Eurasia serta agensi-agensi di negara-negara asing. Mereka secara khusus memantau aktivitas-aktivitas revolusioner Rusia di luar negeri, termasuk di Paris, di mana Pyotr Rachkovsky beroperasi (1884–1902).
Puluhan tahun setelah Alexei dan Anastasia berhasil selamat dari kejaran pasukan Red Army. sebagai putra mahkota Vampire kekaisaran Romanov Rusia, Alexei Satu satunya anak laki laki kaisar memimpin perlawanan terhadap pendudukan blok sekutu di bekas wilayah Republik Sosialis Rakyat Eurasia yang kalah perang dunia 2. Tujuannya adalah membalas dendam pada kaum Bolshevik yang membunuh ayahnya, Tsar Nicholas II, dan ibunya, Alexandra. Dia mendirikan kekaisaran Vampire setelah selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang komunis Rusia, dengan niat membalas dendam pada seluruh manusia.
Dalam garis waktu alternatif ini, keputusan Republik Sosialis Rakyat Eurasia untuk bergabung dengan Operasi Sealion dalam menginvasi Inggris bersama Kekaisaran Suci Germania menyebabkan Uni Soviet dicap sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia Kedua. Uni Soviet sempat bersekutu dengan Kekaisaran Suci Germania untuk menyerang Inggris dalam Operasi Sealion pada September 1940, berdasarkan Pakta Non-Agresi dengan Germania.
Soviet lebih condong masuk ke Blok Poros karena turut menyerang Polandia. Pada tahun 1939, Kekaisaran Suci Germania dan Uni Soviet menandatangani Pakta Molotov-Ribbentrop, sebuah perjanjian rahasia untuk membagi wilayah Eropa. Sebagai bagian dari perjanjian ini, kedua negara bekerja sama dalam invasi Polandia. Sebelum dan pada awal Perang Dunia Kedua, Uni Soviet sejatinya menjadi sekutu Kekaisaran Suci Germania. Uni Soviet juga memasok bahan mentah penting untuk pembangunan tank, pesawat, dan kapal perang Germania, serta menyediakan fasilitas pelatihan militer seperti Sekolah Tank Kama, Sekolah Pilot Tempur Lipetsk, dan Fasilitas Peperangan Gas Tonka.
Setelah serangkaian diskusi panjang, Kekaisaran Suci Germania mengusulkan rancangan Pakta Poros yang membagi pengaruh dunia di antara empat kekuatan besar: Kekaisaran Suci Germania, Uni Soviet, Keshogunan Ezo, dan Italia. Uni Soviet kemudian mengajukan tuntutan tambahan, termasuk pengaruh atas wilayah Bulgaria, Irak, dan Iran.
Namun, Uni Soviet mulai melemah setelah mendapatkan tekanan dari Blok Sekutu, yang melihatnya sebagai bagian dari Blok Poros karena keterlibatannya dalam Operasi Sealion—invasi bersama Kekaisaran Suci Germania dan Soviet terhadap Inggris. Serangan ini memperkuat persepsi dunia bahwa Uni Soviet bukanlah korban, melainkan agresor. Setelah Stalin dieksekusi, Gedung Senat Kremlin memilih menyerah tanpa syarat kepada pihak yang mendukung Restorasi Romanov, bukan kepada Sekutu.
Kekalahan Uni Soviet dipercepat oleh kemunculan senjata pemusnah massal seperti bom atom dan pecahnya konflik segitiga antara Soviet, Kelompok Vampir , dan Blok Sekutu. Moral pasukan Soviet anjlok drastis pasca Operasi Sealion. Pada tahun 1949, Oceania dan sekutunya berhasil menduduki Moskow dan mengeksekusi Stalin atas tuduhan kejahatan perang.
Dalam kekosongan kekuasaan pasca-Stalin, Pangeran Alexei Romanov memanfaatkan situasi untuk memulihkan Kekaisaran Ortodoks Eurasia Timur melalui gerakan Restorasi Romanov. Ia memimpin serangan terhadap pasukan pendudukan Sekutu di Moskow dan menyerang fasilitas militer, meskipun bertentangan dengan perintah Dewan Bangsawan Vampir untuk tidak ikut campur dalam urusan manusia.
Setelah Alexei ditangkap oleh Sekutu karena dianggap mengganggu ketertiban umum, adiknya memimpin pasukan vampir Kekaisaran Rusia dan merebut kembali Gedung Senat Kremlin. Ia mengusir pasukan pendudukan dan mendeklarasikan dirinya sebagai Putri Sah Rusia dari Dinasti Romanov.
Meskipun Dewan Bangsawan kemudian memakzulkan sang putri karena menganggap Pangeran Alexei sebagai ahli waris sah, ia dengan rela turun takhta dan menghormati hak kakaknya. Patriark Ortodoks Timur berjanji akan mempertimbangkan pemulihan Kekaisaran dan memberikan legitimasi kepada Alexei, meskipun Dewan Bangsawan masih menolak keputusan tersebut. Saat ini, entitas politik mereka dikenal sebagai Kepangeranan Suci Eurasia Romanov, dan belum diakui sebagai kekaisaran penuh.
Di bawah kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara-negara sekutu menutup semua bentuk komunikasi dengan Kepangeranan Romanov, dan setiap negosiasi dengan mereka dianggap ilegal.
Tanpa hadirnya rezim otoriter seperti Oceania, umat manusia kemungkinan besar sudah musnah atau diperbudak oleh vampir Romanov, karena dunia terpecah dalam berbagai negara kecil yang tidak mampu bersatu di bawah satu doktrin mutlak.
Di Kepulauan Britannia dan Benua Amerika, revolusi oleh kelompok Sosialis Nasional Inggris menyebabkan berdirinya negara superpower Oceania Anglo-Columbia di bawah kepemimpinan totaliter Big Brother. Eropa daratan dikuasai oleh Europhania, sedangkan Afrika dan Asia Tengah dikendalikan oleh RFAA.
Meskipun negara-negara ini secara formal menganut sistem demokrasi, tingkat korupsi sangat tinggi. Dampak dari perubahan ini juga dirasakan di wilayah Asia Tenggara, terutama di Surupala, yang dulunya dipengaruhi ideologi komunis Rusia. Kini, Surupala telah bertransformasi menjadi kerajaan federasi demokratis.
Revolusi global ini dipicu oleh kekalahan Kekaisaran Suci Germania dan Uni Soviet dalam Operasi Sealion, kekosongan kekuasaan di Rusia, serta kebangkitan vampir Romanov yang berhasil menaklukkan Tiongkok, Jepang, dan Mongolia untuk memperbudak umat manusia.
Dunia kini terbagi dalam beberapa kekuatan besar yang terus bersaing dan saling mengancam satu sama lain: Kepangeranan Vampir Romanov, Oceania, Europhania, dan RFAA. Setiap blok memiliki ideologi dan kepentingan berbeda, membentuk tatanan dunia baru yang jauh dari perdamaian.
Kekosongan kekuasaan diisi oleh Restorasi Dinasti Romanov yang dipimpin oleh kaum vampir, Alexei memerintahkan seluruh Rakyat Rusia diubah menjadi vampir dan meminum darah bangsawan.
Sementara itu, Revolusi Xinhai di Cina gagal menyatukan daratan Bei Xian pada awal abad ke-20. Membuat daratan yang terbagi menjadi 10 kerajaan merdeka dan 6 dinasti keturunan langit, ditaklukkan sepenuhnya oleh Dinasti Vampir Romanov.,
Pada tahun 2080, Alexei Romanov meninggal secara misterius, dengan dugaan bunuh diri meskipun banyak yang meyakini bahwa dewan Bangsawan yang menginginkan kekuasaan terlibat dalam kematiannya. Akibatnya, Zaleska Romannov , yang saat itu berusia 27 tahun namun memiliki penampilan fisik seperti anak manusia berusia 5 tahun, naik tahta sebagai putri satu-satunya dari Alexei yang berkuasa sampai saat ini. Dia telah memegang kekuasaan sejak saat itu, dengan tekad kuat untuk mengurangi pengaruh dewan Bangsawan dan coven mereka, serta berambisi untuk memperoleh kekuasaan secara mutlak.
Pada puncaknya, wilayah Kepangeranan Ortodoks Eurasia Romannov membentang dari Finlandia, Romania, Siberia, Seluruh Cina, barat, dan asia tenggara serta Indonesia barat, namun mereka tak benar benar bersatu dalam federasi atau kekaisaran, karena tahta Romannov sendiri hanya berstatus sebagai Kepangeranan dan belum mendapat Legitimasi dari Batrik Ortodoks Timur yang memperebutkan pengaruh dengan para bangsawan.
Lagu kebangsaan Holy Principality of Eurasia Romanov. Kepangeranan Suci Eurasia Romanov dan (Holy Principality of Eurasia Romanov). (святые княжества Евразии Романовы)
Eurasia tanah suci kami
Rusia, negeri suci kami!
Rusia, tanah yang kami cinta!
Negeri kita tercinta
Tekad yang kuat, kemuliaan teragung
Adalah milikmu sepanjang waktu!
Eurasia Raya yang telah disatukan untuk berdiri selamannya
Tuhan selamatkan putri Romanov yang mulia
Penguasa bangsa vampir yang suci
Dari Kremilin engkau telah menciptakan negara di atas bumi
Tanah air yang kuat dari orang orang merdeka
Kepangeranan Suci Romanov tetap berdiri bagaikan sebuah tebing
Lahir dari kekuatan dan kejujuran engkau
Hebat kejayannya
Memerintah untuk kejayaan
Dipengaruhi kejayaan kita disatukan oleh keinginan kita
Menjadi lebih kuat untuk hidup di abad abad yang akan datang
Berjalan yang didirakan dengan kehendak rakyat
Tuhan selamatkan Putri Romanov kita yang mulia
Hebat kejayaannya
Memerintah untuk membuat takut musuh
Kehendak luhur untuk kemuliaan yang besar
Adalah warisanmu yang abadi
Jayalah wahai tanah air yang mulia
Ortodoks Romanov
Ortodoks Romanov
Tuhan selamatkan Putri
Dari lautan selatan ke daratan kutub
Tersebar hutan dan ladang kami
Engkaulah satu-satunya di dunia ini
Tanah air yang dilindungi Tuhan!
kemuliaan teragung
Adalah milikmu sepanjang waktu
Ruang terbuka untuk bermimpi dan hidup
Terbuka untuk kita oleh tahun-tahun yang akan datang
Kesetiaan kami pada Ibu Pertiwi memberi kami kekuatan
Begitulah, dan akan selalu begitu untuk selamanya!
Jayalah, tanah air kami yang bebas!
Persatuan dan persaudaraan rakyat yang abadi
Kebijaksanaan yang diberikan leluhur kepada rakyat!
Jayalah, negaraku! Kami bangga padamu!
XXX
Bab 3: Gilang dan Garuda Kosmos
Konferensi meja bundar diantara para ilmuwan Surupala untuk menemukan teknologi baru yang bisa melindungi umat manusia dari serangan vampir melahirkan Kavaleri robot tempur raksasa yang bisa dinaiki Garuda Wisnh Kencana Driveforce yang dijadikan wadah awatara oleh sang Batara Garuda Kosmos.
Jika kavaleri Robot mengalami kerusakan pilot yang saraf dan otaknya sudah terkoneksi juga akan mengalami rasa sakit setiap kali robot itu rusak atau anggota tubuhnya menerima serangan, karena itu mereka berusaha melindungi diri mereka dari vampir dengan senjata yang mereka miliki termasuk pedang sinar UV yang bisa menghancurkan energi kegelapan Mecha Hollow Earth Gate Generator.
Garuda Kosmos menjadi simbol harapan dan perlawanan rakyat Indonesia, menginspirasi mereka untuk bergabung melawan penjajah. Dia menggunakan kekuatannya untuk melindungi rakyat dan memimpin mereka menuju kemenangan melawan tentara Romannov.
Romanov sebelumnya sudah berhasil menguasai daratan Tiongkok, negara Eastasia yang dipimpin oleh Dinasti Hongxian, salah satu dari negara adidaya yang menjadi saingan Romanov. Karena itu, moral pasukan RIS yang baru merdeka dari Kekaisaran Mughal di Borneo terasa rendah. Mereka merasa tak percaya diri bahwa negara mereka yang belum stabil mampu menahan invasi Romanov yang telah menguasai Tiongkok dan Pulau Natuna.
Garuda Kosmos adalah makhluk mitologis yang diyakini tercipta dari ledakan supernova atau mungkin lahir dari The Big Bang, entitas cahaya yang dikenal melindungi perdamaian di seluruh alam semesta sejak zaman kuno. Dia dianggap sebagai pelindung atmosfer Bumi yang diprediksi akan turun membantu umat manusia dalam menghadapi bahaya, terutama setelah evolusi dan peningkatan kekuatan yang dihasilkan dari perang nuklir yang dilakukan manusia.
Garuda Kosmos bukanlah mahluk gaib, melainkan mahluk kosmik yang tinggal dan melindungi cincin Bumi. Sebagai entitas kosmik, dia diyakini berperan dalam menjaga integritas dan keamanan atmosfer Bumi serta mungkin memberikan energi yang vital seperti matahari dan perlindungan dari ancaman meteor melalui pengaruh dan kekuatan atmosfernya.
Garuda Kosmos diyakini memberikan energi Matahari kepada manusia dan melindungi Bumi dari meteor melalui energi atmosfernya yang kuat. Sebagai pelindung alam semesta dan penjaga perdamaian, keberadaannya dipercaya sebagai sumber kekuatan yang vital bagi keseimbangan ekosistem Bumi dan keselamatan umat manusia dari ancaman luar angkasa.
Marsekal Angkatan Udara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat), Gilang Wisnu Nirwana memiliki kekuatan Garuda setelah Garuda Kosmos memilih Gilang sebagai awatarannya, karena Garuda Kosmos merasa bersalah dan kasihan pada Gilang yang sekarat dalam kecelakaan yang disebabkan olehnya. Saat pesawat tempur Gilang tak sengaja menabrak paruh Sang Garuda yang sedang berburu iblis untuk mendapatkan makanan, Garuda Awatara memberikan Energi Kembang cangkok Wijaya Kusuma Mulia yang membuat Gilang kembali sadar dari kecelakaan dan seketika memiliki kekuatan Garuda.
Cangkok Wijayakusuma adalah sebuah pusaka yang dapat menghidupkan orang yang belum ditakdirkan untuk mati. Setelah dipilih sebagai Awatara, Sang Garuda Kosmos masuk dan tertanam di dalam tubuh dan jiwa Gilang, dan Gilang memiliki seluruh kekuatan Batara Garuda. Gilang menjadi satu dengan sang Garuda, dan kini Gilang memiliki kekuatan dewa untuk melawan vampir dan melawan pemerintah pengasingan RIS yang korup dalam perang saudara antara pemerintah pengasingan RIS melawan RDIS/IDR (Indonesian Demokratic Republic/Republik Demokratik Indonesia Serikat).
Selain mentransfer seluruh kekuatannya kepada Gilang yang sekarat, Garuda Kosmos yang berada di dalam tubuh Gilang juga terhubung dengan inti pikiran yang ada di dalam robot transformasi tersebut. Inti pikiran ini memungkinkannya untuk berubah bentuk menjadi tank atau pesawat tempur sesuai kebutuhan situasional.
Gilang memiliki beberapa pusaka andalan, seperti pusaka Cakra Sudharsana yang berkhasiat seperti senjata pemusnah massal, dan Panah Kesawa yang membuatnya dapat menyerap energi kegelapan dan kekuatan musuh, bahkan menyerap energi vampir milik Roslov, musuh bebuyutan Gilang.
Gilang tidak memiliki kekuatan super sebelum mendapatkan kekuatan dari Garuda Kosmos. Namun, sebelum kakeknya menghilang setelah invasi Romannov, Kakek Gilang menyuntikkan serum eksperimental yang telah ditingkatkan ke puncak kesempurnaan manusia pada Gilang. Serum itu membuat kulit Gilang menjadi pucat albino dan menjadi ras Neotype seperti saudara tirinya Cecilia yang dibunuh oleh serdadu Romannov. Karena dia sudah menjadi Neotype tubuhnya tak hancur saat menerima kekuatan Garuda
Ketika Gilang masih berusia 17 tahun dan kakenya melihat Gilang mengalami berbagai gangguan perkembangan bahkan penyakit yang membuatnya hampir meregang nyawa dan tak dapat disembuhkan dokter, Kakek Gilang memutuskan untuk melakukan eksperimen berisiko pada Gilang dan mengubahnya menjadi ras manusia Neotype setelah Cecilia. Gilang adalah Neotype yang jauh lebih sempurna daripada Cecilia karena dia malah sembuh setelah diubah menjadi Neotype. Berbeda dengan Cecilia yang menjadi ras Neotype sejak lahir dan mengalami penyakit genetik kronis. Gilang berubah secara perlahan lahan layaknya mahluk hidup yang berevolusi sepanjang usianya.
Hal ini membuat Gilang menjadi luar biasa kuat untuk menahan energi yang diberikan Garuda kosmos padanya. Melalui serum eksperimental yang diberikan oleh kakeknya, Gilang yang divonis gangguan belajar slow learner oleh terapis di sekolahnya ketika masih anak anak, memperoleh peningkatan eksponensial dalam kecerdasan, kekuatan, ketahanan, kelincahan, kecepatan, refleks, daya tahan, dan penyembuhan, yang berada di puncak potensi alami manusia.
Bahkan, sebelum mendapatkan Serum dari kakeknya dan kekuatan Garuda. Meskipun terlahir sebagai anak dengan gangguan belajar slow learner bahkan pernah mendapatkan skor IQ rendah dari terapis di sekolahnya,menjadi anak yang pernah tak naik kelas 3 kali dan dapat rangking 10 dari belakang. Gilang dengan modal tekad dan keyakinan tak pernah berhenti melatih dirinya sendiri secara fisik dan intelektual. Bahkan sebelum diberikan serum dan kekuatan Garuda memiliki kondisi fisik di atas manusia normal. Ia tangkas dalam berbagai hal akrobatik dan ahli dalam meloloskan diri.
Gilang semakin cerdas seiring bertambahnya usia, pengalaman, dan pendidikannya di militer, serta saraf otaknya yang terkoneksi ke kesadaran universal Bhatara Garuda Kosmos Awatara. Anak slow learner seperti dia jauh lebih unggul dalam keterampilan praktis, seperti bela diri dan aktivitas fisik, daripada menghafal, berteori, berpikir cepat, atau berpikir kompleks. Hal ini berkat modular otomatis yang bekerja tanpa kesadaran pengemudi di real life time, yang terbebani fokusnya dengan banyak hal di medan pertempuran yang dia ciptakan. Dia mampu mengendalikan robot dengan sangat baik, seolah dikendalikan oleh pilot dengan jam terbang tinggi, bukan anak berkehendak khusus.
Gilang memiliki daya tahan yang jauh melebihi manusia biasa. Karena kemampuan fisiknya yang tidak manusiawi akibat latihan intensif, dia sering dijuluki sebagai "monster" oleh rekan-rekannya di militer angkatan udara.
Gilang mengakui bahwa dia sering perlu mengulang beberapa kali untuk memahami sesuatu. Seringkali, ia merasa bodoh dengan label "slow learner" yang pernah dijatuhkan oleh terapis sekolahnya, yang membuatnya merasa kurang percaya diri.
Meskipun terlahir dengan fisik yang sangat kuat dan rajin berlatih serta belajar,Gilang terlahir sebagai anak dengan kebutuhan khusus sebagai slow learner, yang mengalami kesulitan belajar dan lambat dalam prosesnya saat masih anak-anak.
Namun, berkat dukungan dari kakeknya dan saudara sepupunya Cecilia, serta usaha kerasnya sendiri, dia berhasil menemukan metode belajar yang efektif. Sebelum menerima peningkatan dari serum eksperimental, Gilang telah mencapai peringkat pertama di militer. Meskipun menghadapi tantangan sebagai slow learner, dia memiliki pengetahuan yang luas di bidang militer dan teknologi.
Selain karena belajar tak kenal tempat dan waktu, kemanapun membawa buku, kakeknya yang merupakan ilmuwan robot terkenal dengan gelar Bapak Teknologi Robot Indonesia mampu memberikannya pendidikan yang sangat baik di rumah dan menyesuaikan gaya belajar agar muda dipahami. Gilang berhasil meraih peringkat pertama di sekolahnya, meskipun ia lahir sebagai anak berkebutuhan khusus slow learner. Kakeknya bertekad membuat Gilang hidup tanpa mengandalkan harta warisannya.
Gilang, meskipun mengalami gangguan belajar slow learner yang membuatnya lambat dalam berpikir, menemukan tantangan besar dalam menjadi pilot mecha. Koordinasi kompleks untuk mengendalikan seluruh anggota tubuh robot humanoid terpisah dalam satu kontrol dan menjaga keseimbangan bipedal robot adalah hal yang membutuhkan kerja keras dan kecerdasannya. Berkat CPU biologis yang terkoneksi dengan syaraf otaknya, Gilang mampu mengemudikan robotnya dengan lebih baik, mendukung minat dan bakatnya sebagai pilot terampil.
Sebagai Garuda Kosmos Awatara dengan GPU Biologis, Gilang memiliki kemampuan fisik dan mental yang unggul, memungkinkannya mengoperasikan teknologi canggih dengan efisiensi tinggi. Kecepatan, refleks, kemampuan berpikir analitis, dan pengolahan informasi yang baik memungkinkannya merancang strategi dan mengambil keputusan secara efektif.
Mecha adalah teknologi yang memerlukan keahlian khusus untuk dioperasikan. Gilang berhasil mengembangkan sistem operasi sendiri yang memungkinkan pilot mecha suit dengan gangguan slow learner seperti dirinya mengendalikan robot dengan lebih mudah dan efisien. Meskipun memerlukan pelatihan militer yang tepat, sistem kontrol modular yang disederhanakan ini berhasil menyamai kemampuan pilot lain yang tidak memiliki gangguan belajar, menjembatani kesenjangan dalam koordinasi robot dan keterampilan bertarung.
Inti Pikiran adalah sistem kecerdasan buatan yang memungkinkan robot tempur mampu berpikir dan membuat keputusan seperti manusia, dengan terhubung langsung ke pikiran pilotnya sendiri. Jika robot merasakan sakit, maka pilot juga merasakannya, begitu pula sebaliknya. Sistem ini memberikan respons sensor yang efektif dalam pertempuran karena kedekatan antara pilot dan kavaleri robotnya.
Kavaleri robot tempur, seperti Garuda Wisnu Kencana, Driveforce, Shadow Milenium, dan Garuda Kosmos, memiliki tinggi 15 meter. Terkadang Garuda Wisnu kencana Driveforce harus dianggkat menggunakan tali pesawat sebelum mendarat dalam pertempuran melawan vampir Romanov.
Meskipun tidak terlalu tinggi sebagai robot raksasa yang dapat berubah menjadi mobil dan pesawat ketika pilotnya berada di kokpit, ukuran ini cukup untuk melindungi pilotnya dengan baju zirah yang tebal serta medan perisai energi yang tahan terhadap serangan fisik dan magis. Serangan vampir yang berkali-kali lipat lebih kuat dari kekuatan manusia pun tidak dapat menembus perlindungannya.
Meskipun Gilang adalah anak berkebutuhan khusus, prestasinya dalam mengembangkan teknologi dan kemampuan militer membuat banyak orang mengaguminya. Dia membuktikan bahwa dengan ketekunan dan dedikasi, dia mampu bersaing dengan siapa pun dalam dunia pilot mecha suit yang canggih.
Pekerjaan seorang pilot pesawat tempur seperti GWK Driveforce kini tidak sesulit dulu, ketika teknologi navigasi belum secanggih sekarang. Dulu, pilot harus mengandalkan pengamatan rasi bintang untuk menavigasi pesawatnya. Saat ini, sebagian besar tugas pilot hanya untuk memantau autopilot, serta melakukan takeoff dan landing, meskipun banyak pesawat kini dapat melakukan keduanya secara otomatis.
Tugas pilot juga terbatas pada pengaturan ketinggian dan heading sesuai instruksi ATC, padahal banyak pesawat modern yang dapat mengatur keduanya secara otomatis setelah rencana penerbangan dimasukkan ke dalam komputer. Seiring dengan perkembangan teknologi ILS yang memungkinkan pesawat melakukan pendaratan otomatis melalui sinyal dari darat, pekerjaan pilot pun semakin terancam.
Setelah bersalaman dengan Cecilia ternyata Gilang mulai membangkitkan kekuatan Bhatara Garuda karena Cecilia ternyata memiliki pikiran yang terkoneksi ke alam keabadian, Cecilia ternyata tak mati begitu saja melainkan dia sengaja mengorbankan nyawanya agar Gilang sebagai orang yang terpilih dan satu satunya yang bisa menggunakannya memiliki kemampuan khusus dari sang dewa Bhatara Garuda untuk melawan vampir
XXX
Di Akademi Militer Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat, para peserta tidak hanya diajarkan cara mengendarai mecha seperti GWK Driveforce, tetapi juga mempelajari bagaimana cara merakit mecha layaknya merakit balok mainan. Meskipun konsep robot raksasa terdengar fantastis, sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya mustahil di dunia nyata. Namun, dalam konteks pertempuran nyata, efektivitas mecha raksasa akan menghadirkan berbagai tantangan teknis yang kompleks dan kontroversial.
Saat ini, teknologi robotik dan otomatisasi semakin berkembang, terutama dalam dunia militer, dengan tujuan mengurangi korban jiwa. Meskipun eksperimen dengan robot seukuran manusia telah berkembang pesat, menciptakan robot yang lebih besar akan jauh lebih rumit jika harus dibangun sesuai dengan prinsip fisika yang berlaku.
Alih-alih membangun robot raksasa berawak, para insinyur lebih tertarik mengembangkan teknologi perang yang ada saat ini, seperti tank, IFV, kapal, dan pesawat tempur tanpa awak. Seperti yang Anda sebutkan, teknologi robotik lebih cocok diterapkan dalam skala manusia dan bukan sebagai pengganti kendaraan tempur besar.
Mecha dalam banyak cerita fiksi sering dilengkapi dengan senjata futuristik, seperti senjata energi dan laser, yang belum tersedia dalam dunia nyata. Bahkan senjata laser pada mecha pun akan mengalami kendala seiring habisnya baterai atau sumber energi. Selain itu, robot raksasa memerlukan energi yang sangat besar untuk beroperasi, serta perlindungan kuat untuk menahan serangan musuh. Mecha biasanya menggunakan sumber energi seperti sel bahan bakar atau monopropellant ceramic tubes, meskipun belum jelas apakah sumber energi semacam itu sudah ada atau dapat ditemukan.
Karena ukuran tubuhnya yang besar, mecha membutuhkan energi besar untuk menggerakkan tangan dan kaki agar dapat berdiri dan bergerak. Para insinyur harus mempertimbangkan keseimbangan mekanisme pengungkit agar beban pada tubuh mecha tidak melebihi kapasitas yang memungkinkan pergerakan.
Semakin besar ukuran robot, semakin banyak komponen yang diperlukan untuk menggerakkannya, yang akan membuat gerakannya menjadi lebih lambat. Bandingkan dengan tank modern yang mampu menjelajah hingga 400–500 kilometer dalam sekali pengisian bahan bakar. Tank juga memiliki sistem bahan bakar yang lebih fleksibel, menggunakan berbagai jenis bahan bakar seperti bensin, solar, atau minyak tanah.
Struktur tank relatif sederhana dengan tubuh dan turret yang efisien, sementara energi dari mesin digunakan secara optimal untuk menggerakkan roda, dengan pemborosan energi yang minimal. Sebaliknya, robot raksasa seperti mecha akan membuang banyak energi hanya untuk berjalan, yang membawa kita pada masalah ketiga: tekanan ke permukaan tanah (ground pressure).
Tekanan permukaan yang ditimbulkan oleh robot besar sangat tinggi karena beban berat yang terkonsentrasi pada area kecil, yaitu telapak kaki. Untuk mengurangi tekanan tersebut, kaki mecha harus didesain lebih lebar, namun jika terlalu lebar, akan mengurangi mobilitasnya. Hal ini bisa membuat mecha kesulitan bergerak di medan berlumpur, berpasir, atau terhalang oleh rintangan seperti akar pohon. Tank, dengan sistem track yang lebih efisien, mampu mendistribusikan bobotnya secara lebih merata dan bergerak lebih lancar di berbagai medan.
Tank juga memiliki keunggulan dalam hal stabilitas dan mobilitas. Misalnya, tank modern seperti M1A2 Abrams dilengkapi dengan lebih dari satu alat optik untuk mengidentifikasi target dan memungkinkan kru untuk beralih ke optik cadangan jika salah satu rusak. Sementara itu, pilot mecha sangat rentan terhadap serangan, dan jika mecha memiliki kokpit kaca terbuka, pilot bisa lebih mudah terkena tembakan musuh.
Sebagai alternatif, kaki Garuda droid, yang mengadopsi desain berkaki empat atau enam, menawarkan mobilitas yang lebih baik di berbagai medan, meskipun kecepatannya kalah dibandingkan dengan tank.
Selain itu, mecha dalam dunia fiksi sering digerakkan dengan cara yang tidak realistis, seperti melompat dan berlari dengan kecepatan tinggi. Dalam kenyataannya, robot besar dan berat akan cenderung lebih lambat dan tidak responsif. Tank memiliki pusat massa yang rendah, yang memberi stabilitas lebih baik dibandingkan dengan mecha yang tinggi dan mudah terbalik jika tertabrak kendaraan berat.
Masalah lain yang dihadapi adalah efisiensi energi. Dengan meningkatnya ukuran, volume mesin dan komponen dalam mecha juga akan bertambah, yang berpotensi mengurangi efisiensinya. Square Cube Law menjelaskan bahwa semakin besar ukuran suatu benda, semakin banyak energi yang diperlukan untuk menggerakkannya, dan semakin rumit desain yang dibutuhkan.
Mecha kecil, seperti eksoskeleton, mungkin lebih realistis, karena ukurannya yang lebih proporsional dan kemampuannya untuk berfungsi sebagai kendaraan militer penyerbu dengan persenjataan modern. Misalnya, eksoskeleton dengan tinggi sekitar 4 meter dan dilengkapi dengan senjata seperti pisau raksasa, ranjau, dan autocannon GAU-90 bisa menjadi alternatif yang lebih realistis dan fungsional.
Namun, mecha yang dirancang untuk melawan musuh atau monster harus lebih lincah daripada tank. Jika tidak, tujuan mereka menjadi kurang jelas. Dalam hal ini, mecha bisa digunakan untuk misi-misi khusus yang sangat terfokus, atau mungkin dilengkapi dengan senjata mutakhir seperti laser atau plasma beam. Sebagai alternatif, jet fighter bisa menjadi pilihan, karena mereka mampu beroperasi di darat dan udara.
Kesimpulannya, mecha lebih realistis diterapkan untuk misi-misi khusus dan tidak seharusnya digunakan sebagai pengganti kendaraan tempur konvensional seperti tank. Selain itu, masalah desain, seperti pusat massa, efisiensi energi, dan perlindungan pilot, membuat mecha dalam dunia nyata jauh lebih kompleks dan terbatas fungsinya dibandingkan dengan kendaraan militer lainnya.
Tank menyimpan amunisi mereka di bawah turret.ruang amunisinya terletak baik di bawah turret maupun di belakang turret.juga menyimpan sebagian amunisi di hull side.menyimpan amunisi dalam bentuk belt.Tank menyimpan amunisinya di dalam, sedangkan amunisi Mecha jelas-jelas terekspos. Namun Kalau para insinyur menempatkan boks amunisi cadangan, ruang itu bisa memengaruhi pusat gravitasi si robot dan membuatnya lebih sulit bergerak.Mecha memiliki masalah yang sama. Karena itu mereka menciptakan alat untuk memanipulasi gravitasi agar Mecha mampu menyimpan amunisi layaknya Tank.
Vampir memiliki kekuatan luar biasa dan kemampuan untuk sembuh dengan cepat, yang semakin berkembang seiring dengan garis keturunan dan usia mereka. Mereka dapat dengan mudah menyambung kembali bagian tubuh yang terputus. Bahkan, kepala vampir yang terlepas pun bisa dipasang kembali, meskipun membutuhkan seseorang untuk menyatukan kedua bagiannya. Para bangsawan memiliki hak untuk mengubah manusia menjadi vampir jika mereka menginginkannya. Vampir juga dapat memperkuat kemampuan mereka dengan meminum darah manusia kapan saja.
Indera mereka sangat tajam, dan penglihatan mereka memungkinkan untuk mengenali target dari jarak beberapa ratus meter, bahkan di kegelapan total. Namun, mereka tidak lagi merasakan keindahan pada sesuatu.
Mecha yang bipedal atau berkaki dua jauh lebih fleksibel dan efektif dibandingkan dengan tank beroda empat dalam menghadapi vampir yang sangat cepat dan dinamis. Namun, ini tentu memerlukan pilot yang terampil untuk mengendalikan semua anggota tubuh mecha secara bersamaan di dalam kopkit dalam waktu yang sangat cepat. Mengenai masalah pusat massa dan bagaimana mencegah mecha, mobile suit, atau GWK Driveforce agar tidak mudah terjatuh atau terjungkal, saya rasa itu bisa diatasi dengan sistem gyroscopic balancing atau self-balancing, yang sudah diterapkan pada prototipe kendaraan roda dua terbaru.
GWK Driveforce adalah teknologi canggih, peralatan tempur seperti itu pasti dilengkapi dengan sistem otonom untuk tugas-tugas dasar seperti menjaga keseimbangan saat berjalan, mirip dengan cara pusat saraf pada binatang mengatur keseimbangan (terletak di telinga bagian dalam). Keseimbangan itu tidak dikendalikan secara sadar, begitu pula pada mecha, keseimbangan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh operatornya.
Para insinyur dan ilmuwan yang antusias mengembangkan robot bipedal tidak hanya melakukannya untuk eksperimen tanpa tujuan. Mereka melakukan hal tersebut dengan semakin intensif karena robot bipedal memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh robot berkaki delapan atau yang menggunakan roda rantai. Keunggulan tersebut berkaitan dengan kelincahan dan gerakan yang mulus. Bahkan, sudah ada robot bipedal yang bisa melompat cukup tinggi dan mendarat dengan mulus menggunakan dua kaki, serta melakukan gerakan seperti salto, parkour, handstand, dan gerakan lainnya yang membutuhkan keseimbangan yang sangat baik.
XXX
Di alam semesta alternatif ini, Kepangeranan Suci Eurasia Romanov telah mengarahkan pandangannya untuk menginvasi Indonesia, sebuah negara yang damai di Asia Tenggara. Negara ini tidak siap kuntuk mempertahankan diri melawan kekuatan tentara Vampir Romannov, dan orang-orang sangat membutuhkan seorang pahlawan untuk menyelamatkan mereka.seorang pemuda dengan kekuatan unsur luar biasa yang dia gunakan untuk melindungi kampung halamannya. Ketika dia mendengar tentang invasi Romannov, dia tahu bahwa dia harus maju dan menggunakan kekuatannya untuk membela negara dan rakyatnya.memulai misi untuk mengumpulkan sekutu dan sumber daya untuk membantunya dalam perang melawan tentara Romannov. Sepanjang jalan, dia bertemu dengan teman dan sekutu baru yang sama-sama bertekad untuk mempertahankan negaranya dari penjajah.
Sama seperti Faksi demokratik, Faksi konservatif juga memiliki pasukan elit yang merupakan pengendali Kavaleri robot pembasmi vampir yaitu Agen Eksil detektif Laskar Sembrani.
Agen Eksil Detektif Laskar Sembrani, salah satu divisi Liga Garudarisers yang merupakan bagian dari Badan Intelijen Republik Indonesia Serikat, memiliki Lima anggota ksatria yang terdiri dari Ksatria Kuning, Merah, Biru, Hijau, dan Hitam.
Dengan kekuatan unsurnya dan dukungan dari sekutu barunya, Mereka menggunakan kekuatan dan kecerdasan gabungan mereka untuk mengakali Romanov dan mendorong mereka kembali di setiap kesempatan.
XXX
Di studio TVRI yang remang, layar televisi menyorot wajah Panglima Jenderal Notonindito dengan latar belakang bendera Faksi Demokratik yang berkibar. Wajahnya tegas, matanya menatap penuh keyakinan ke kamera. Suara lembut namun tegas menggema di seluruh ruang studio, menyampaikan pidato yang penuh amarah namun juga harapan.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, kita semua mengetahui sejarah kelam yang tak boleh kita lupakan. Faksi Konservatif, yang sebagian besar terdiri dari pejabat, pengusaha, dan petinggi militer, dulu berkuasa di Republik Indonesia Serikat kedua—RIS. Namun, ketika menghadapi ancaman yang datang dari invasi Romannov, mereka bukan hanya mundur... mereka melarikan diri ke Kairo, membawa harta dan keluarga mereka. Mereka memilih untuk menghindar, untuk meninggalkan tanah air ini, meninggalkan kita semua."
Notonindito terdiam sejenak, menatap jauh ke depan, seolah-olah berbicara langsung kepada rakyat yang menonton di rumah mereka.
Panglima Jenderal Notonindito (lanjut):
"Faksi Konservatif ini, para pengecut, tidak berani berdiri melawan penjajah Romannov. Mereka tidak berani mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuk tanah yang telah memberi mereka semua kemewahan itu. Tidak seperti kita, rakyat Indonesia yang terjebak di sini, yang harus menanggung derita, yang harus bertahan hidup dalam bayang-bayang penjajahan ini. Mereka semua pergi tanpa rasa malu, tanpa keberanian untuk mempertahankan martabat bangsa."
Panglima Jenderal Notonindito mengerutkan kening, suaranya semakin keras dan penuh semangat.
Panglima Jenderal Notonindito (dengan emosi)
"Sedangkan rakyat miskin dan menengah, yang tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke Kairo dan mencari perlindungan, ditinggalkan untuk hidup dalam penderitaan. Di bawah cengkraman Romannov yang tidak manusiawi! Kami, yang tak punya daya untuk berlari, dipaksa menjadi budak! Kami dijadikan ternak darah para vampir Romannov yang haus akan kekuasaan dan darah manusia!"
Dia mengangkat tangannya, seolah memimpin sebuah seruan untuk bangkit.
Panglima Jenderal Notonindito (dengan keyakinan):
"Tapi kami tidak akan diam! Kami, rakyat yang tak pernah pergi, yang tetap bertahan di tanah ini, akan melawan. Faksi Demokratik, bersama seluruh rakyat Indonesia yang masih punya hati dan jiwa kemerdekaan, akan berjuang untuk merdeka! Kami akan melawan ketidakadilan ini. Kami akan mengusir penjajah Romannov, dan kami akan membangun kembali negeri ini! Kami tak akan menyerah, meskipun darah kami menjadi bahan darah para makhluk itu!"
Suara tepuk tangan mulai terdengar, lembut pada awalnya, lalu membesar. Notonindito memandang kamera dengan tatapan penuh tekad.
Panglima Jenderal Notonindito (menyudahi dengan suara penuh semangat):
"Saudara-saudara, ini bukanlah akhir dari perjuangan kita. Ini baru permulaan. Kami, Faksi Demokratik, akan memimpin perjuangan ini. Bergabunglah bersama kami, untuk sebuah Indonesia yang bebas dan merdeka, tanpa darah vampir yang mengalir di tubuh bangsa kita. Bersama kita bangkit! Hidup Indonesia!"
Layar hitam, pidato berakhir, namun gema kata-kata itu tetap bergema di hati setiap pemirsa yang mendengarnya.
Panglima Jendral APRIS Notonindito memang tak main main dalam mempertahankan kekuasaannya. Jika Indonesia sampai bekerjasama dengan Romanov atau Oceania dan salah satu dari kekuatan itu kalah ia bisa dicopot dari jabatan presidennya akibat kudeta oleh rakyat dan Indonesia akan dijadikan negara boneka lagi oleh pemenang perang, menjadi monarki boneka lagi seperti di zaman Kekaisaran Mughal Indonesia, karena itu dia menentang kebijakan Faksi konservatif yang cenderung mendekat ke Partai Ingsoc Oceania.
Rakyat Indonesia disuruh kerja paksa untuk kemakmuran negeri katanya sih kalau hasil panennya melimpah untuk mereka juga,tapi salah sedikit dihukum cambuk oleh pasukan vampir berjubah mengerikan itu.
Karena Faksi Konservatif di pengasingan cuma negara boneka yang dikendalikan negara adidaya dan dianggap tak memiliki kedaulatan penuh untuk memperjuangkan perlawanan melawan Romanov tanpa intervensi dari dua negara yang lebih kuat yaitu Oceania dan RFAA serta sekutu sekutunya tempat dimana pemerintahan RIS diasingkan dikuasai oleh negara sekutu yang memiliki kepentingan masing masing.
Banyak rakyat yang mengangap memihak faksi Konservatif sama saja menyerahkan Indonesia pada penjajah lain selain Romanov, yaitu negara manusia korup dan Totaliter Oceania dan RFAA.
Faksi Demokratik yang tidak puas dengan partai berkuasa menentang Faksi Konservatif dengan memindahkan rakyat Indonesia yang berada di bawah jajahan Romanov untuk mengungsi ke wilayah Faksi Demokratik di Indonesia Timur, bukan ke Kairo, RFAA, tempat Pemerintah RIS yang dikuasai Faksi Konservatif diasingkan. Hal ini dilakukan karena mereka khawatir rakyat tersebut akan dipersekusi oleh pemerintah pengasingan atau RFAA, mengingat banyak rakyat Indonesia di tanah jajahan yang memihak Faksi Demokratik, yang sangat dimusuhi oleh Faksi Konservatif.
Panglima Jenderal Besar APRIS, Notonindito, dituduh ingin mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar Seluruh Indonesia. Padahal, dia adalah tokoh kunci yang menyebabkan kemenangan pasukan pemulihan RIS dalam mengusir Kekaisaran Mughal dari tanah Nusantara.
Namun, dia dituduh mengembalikan tragedi dan sejarah kelam RIS di bawah kekuasaan Mughal sebagai salah satu Warlord yang berkuasa di wilayah Indonesia Timur dengan wilayah terluas. Notonindito akhirnya dibunuh oleh Intelijen Liga Garuda di Pemerintahan Pengasingan, dan posisinya digantikan oleh Gilang, Natalius Kaisepo, dan Teuku Muhammad Syah. Marsekal Gilang menjadi Presiden, Teuku, mantan Gubernur Aceh, menjadi Wakil Presiden, dan Natalius menjadi Perdana Menteri Pemerintah Darurat Revolusioner Republik Demokratik Indonesia Serikat di Papua dan Indonesia Timur.
Notonindito mengancam semua jendral warlord provinsi di seluruh wilayah RIS yang tak mau tunduk pada faksi demokratik untuk melawan Romannov siap mendapatkan hukuman mati.
Seorang novelis dan Wartawan Geopolitik abad ke 20, George Orwell menggambarkan dengan Epik Imperium raksasa yang menjadi musuh para vampir Kepangeranan Suci Eurasia Romanov tersebut.
Pada suatu masa depan imajiner, lebih tepatnya pada tahun 1984 yang kini adalah sejarah dari sudut pandang kita, ketika hampir seluruh dunia telah jatuh dalam peperangan tiada akhir, pengintaian besar-besaran di mana-mana oleh pemerintah, manipulasi sejarah, dan propaganda. Britania Raya, yang telah berganti nama menjadi Airstrip One, telah menjadi salah satu provinsi dari adinegara totaliter bernama Oceania yang dikuasai oleh Partai yang mempekerjakan Polisi Pikiran untuk mempersekusi orang-orang berpola pikir individualis dan independen.
Big Brother atau Bung Besar, pemimpin diktator Oceania, dipuja-puji dengan pengkultusan yang sangat kuat, yang direkayasa berkat teknik pencucian otak yang luar biasa. Sang protagonis, Winston Smith, adalah seorang pegawai negeri sipil yang rajin dan ahli serta anggota Partai Luar yang secara diam-diam membenci Partai dan memimpikan pemberontakan. Ia menjalin hubungan terlarang dengan kolegannya, Julia, dan mulai kembali mengingat bagaimana peradaban sebelum Partai berkuasa.
Novel ini juga mempopulerkan istilah "Orwellian" sebagai kata sifat, dengan banyak istilah yang digunakan di dalam novel menjadi lazim digunakan, seperti "Big Brother (Bung Besar)", "doublethink (pikir-ganda)", "Polisi Pikiran", "kejahatan pikiran", "Newspeak", "lubang memori", "2 + 2 = 5", dan "prol". Isi novel ini sesuai dengan kejadian di dunia nyata terkait dengan misalnya totalitarianisme, pengintaian massa, pembungkaman kebebasan berpendapat, serta sejumlah tema lain yang menjadi sisi gelap Oceania dan Sekutu sekutunya.
Di sisi lain, banyak orang Indonesia yang tewas akibat kerja paksa demi kepentingan militer dan logistik Romanov, atau kehabisan darah menjadi pemuas nafsu dan pet darah sebagai mangsa ternak vampir.
Kerja paksa partisan yang dilakukan oleh pemerintah Kepangeranan Suci Eurasia Romanov membuat banyak orang Indonesia mati kelaparan akibat kekurangan darah selama kerja paksa, karena Romanov mengubah orang Indonesia menjadi vampir hingga membuat mereka kesakitan, tersiksa, dan ketergantungan jika tidak minum darah.
Sedangkan darah yang didapatkan oleh Romanov dari ternak yang bersumber dari manusia yang belum diubah menjadi vampir hanya diberikan untuk militer dan bangsawan, bukan untuk orang Indonesia yang menjadi kurus kering karena disuruh kerja paksa di bawah todongan senjata dan haus darah akibat ketergantungan darah setelah diubah menjadi vampir.
Rakyat yang kurus kering hingga tulang belulang hanya akan diberikan upah darah yang sedikit dan tidak manusiawi jika melakukan kerja paksa, hingga banyak terjadi kanibalisme di antara para pekerja paksa untuk kepentingan perang Romanov.
XXX
Ada perang segitiga antara Penjajah Kepangeranan Suci Eurasia Romanov di Indonesia melawan Faksi Demokratik di Indonesia Timur, yang anti-pejabat RIS korup di era sebelumnya yang melarikan diri, dan Faksi Konservatif yang korup di Pemerintahan Pengasingan RFAA, yang dibantu oleh pasukan Pakta Sekutu aliansi dua negara manusia, yang terdiri dari Republik Federasi Asia Afrika dan Oceania. Faksi Konservatif sering berperang melawan tentara Romanov maupun pasukan Aliansi Tiga Negara, yang terdiri dari Faksi Konservatif Indonesia di Pengasingan Kairo RFAA, Republik Federasi Asia Afrika yang korup tapi demokratis, dan Negara Totaliter Oceania.
Panglima Jenderal APRIS, Notonindito, berdiri tegak di depan kamera. Suasana studio TVRI yang megah malam itu sunyi. Lampu-lampu sorot menggantung di atasnya, memberikan cahaya keemasan yang menyinari wajahnya yang tegas. Di belakangnya, bendera merah putih berkibar perlahan, seolah-olah ikut menyaksikan momen penting yang akan terjadi.
Di luar studio, ribuan rakyat Indonesia, yang saat itu tak dapat hadir secara langsung, menunggu dengan cemas di rumah mereka. Layar kaca di seluruh penjuru negeri menyala, menyiarkan pidato yang sangat dinantikan.
"Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air," suara Notonindito menggetarkan ruangan. Dengan suara yang berat dan penuh wibawa, ia memulai pidatonya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah-olah mengandung kekuatan yang dapat mempersatukan atau membakar semangat yang sedang membara.
"Malam ini," lanjutnya, "saya berdiri di hadapan Anda bukan hanya sebagai Panglima Jenderal APRIS, tetapi sebagai seorang prajurit yang telah mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan dan kedaulatan negara kita."
Tangan kanan Notonindito mengatup di atas meja, menunjukan ketegasan yang tidak dapat digoyahkan. Matanya tajam, seolah menembus layar kaca dan langsung mengarah kepada rakyat Indonesia yang berada jauh di sana, di setiap sudut negara ini.
Ia menarik napas sejenak, memberi waktu pada kata-katanya untuk meresap. Suara keributan di luar studio yang semula terdengar samar, kini menjadi hening seiring dengan ketegangan yang tercipta.
"Di tengah ketegangan yang melanda," suaranya melanjutkan, "kita dihadapkan pada ujian terbesar dalam sejarah bangsa ini. Perang saudara yang terjadi antara faksi-faksi yang saling bertikai, memisahkan kita dalam perbedaan ideologi yang semestinya dapat kita atasi dengan dialog, bukan dengan senjata."
Dia berhenti sejenak. Setiap kalimatnya bergaung di udara, dan hanya detak jantung yang terdengar di dalam studio. Wajah Notonindito menunjukkan tekad yang tidak dapat diruntuhkan. Ia tahu apa yang harus disampaikan, dan malam ini adalah saat yang tepat untuk melakukannya.
"Tapi, kita tidak boleh terjebak dalam permusuhan yang tak berujung," katanya lebih keras, "Ada musuh yang lebih besar, yang mengancam kita semua. Musuh yang tidak tampak di depan mata, namun terus mengintai di balik bayang-bayang kekuasaan. Mereka adalah para vampir Romannov, yang ingin menghancurkan segala yang kita bangun dengan darah dan perjuangan. Mereka bukan hanya musuh dari satu faksi, tetapi musuh kita semua!"
Kata-kata itu seperti api yang menyala di dada setiap orang yang mendengarnya. Di setiap sudut negeri, hati rakyat Indonesia berdetak lebih cepat. Tidak ada yang bisa mengabaikan ancaman yang begitu nyata. Mereka semua tahu bahwa untuk bertahan, mereka harus bersatu.
Panglima Jenderal itu berdiri tegak, matanya menatap lurus ke kamera, menatap langsung pada jutaan pasang mata yang sedang terfokus padanya.
"Oleh karena itu," lanjutnya dengan suara yang menggetarkan, "Saya menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada setiap prajurit APRIS, dan kepada setiap elemen bangsa, mari kita bersatu! Kita hentikan pertikaian yang memecah belah, kita bersiap untuk menghadapi ancaman yang nyata. Jangan biarkan bangsa kita dihancurkan oleh kekuatan asing yang hanya berusaha menguasai kita untuk kepentingan mereka!"
Panglima Jenderal itu berjalan perlahan menuju meja, meraih mikrofon dengan tangan kanan, dan menarik napas dalam-dalam. Setiap gerakannya penuh dengan makna. Ini bukan pidato biasa. Ini adalah panggilan untuk bersatu, untuk bertahan hidup.
"Untuk itu," katanya lebih tegas, "Saya berjanji, di bawah komando APRIS, kita akan melawan setiap upaya yang bertujuan meruntuhkan kedaulatan negara ini. Tidak ada kompromi dengan mereka yang ingin merusak tanah air kita. Kedaulatan Indonesia adalah harga mati!"
Wajah Notonindito semakin serius. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti memberikan energi baru bagi setiap prajurit dan rakyat yang mendengarnya.
"Ini adalah saat kita bangkit, saat kita bersatu, dan saat kita menunjukkan kepada dunia bahwa kita, bangsa Indonesia, tak akan pernah menyerah. Bersama kita bisa, dan bersama kita akan menang!"
Di luar, di balik jendela studio, ribuan orang di jalan-jalan, di rumah, di tempat-tempat umum, semuanya terdiam mendengarkan pidato itu. Masing-masing terinspirasi, seolah kekuatan baru muncul di dalam diri mereka. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka merasa memiliki harapan yang jelas.
Notonindito mengangkat tangannya, memberi hormat kepada seluruh rakyat Indonesia melalui layar kaca. Wajahnya tidak menunjukkan keraguan, hanya keyakinan yang membara. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu bahwa masa depan bangsa ini tergantung pada setiap keputusan yang diambil sekarang.
"Selamat malam, dan Tuhan memberkati bangsa Indonesia."
Kamera perlahan mundur, menampilkan wajahnya yang penuh keyakinan. Sesaat kemudian, layar menjadi gelap, mengakhiri pidato yang telah menggetarkan seluruh negeri.
Di luar studio, ribuan rakyat Indonesia berdiri dengan tangan terangkat, bersiap untuk menyambut pertempuran yang akan datang.
Panglima Jenderal APRIS, Notonindito, berdiri di depan Marsekal Gilang dan serdadunya. "Perlu kalian ketahui, vampir memiliki beberapa kelemahan yang dapat kita manfaatkan," katanya.
"Mereka memiliki kebanggaan besar dan biasanya meremehkan lawan manusia mereka," lanjutnya. "Mereka juga memerlukan darah untuk bertahan hidup. Jika mereka tidak minum darah, mereka akan menjadi tidak stabil dan dapat menimbulkan bahaya."
"Notonindito melanjutkan, "Paparan sinar matahari juga dapat membahayakan mereka. Mereka harus memakai perlengkapan pelindung untuk menetralkan efek ini. Jika tidak, mereka akan terbakar."
Berikut adalah kalimat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
"Perlengkapan pelindung yang paling umum digunakan oleh vampir adalah memakai ban lengan di lengan kiri mereka untuk melindungi diri dari cahaya UV. Mereka juga mungkin memakai cincin. Ini memungkinkan mereka untuk bergerak di bawah sinar matahari tanpa bahaya, meskipun mereka masih tidak menyukainya."
"Dengan memakai ban lengan di lengan kiri mereka, vampir dapat melindungi diri dari cahaya UV yang berbahaya. Beberapa dari mereka juga memakai cincin yang memiliki fungsi serupa. Dengan perlengkapan pelindung ini, mereka dapat bergerak di bawah sinar matahari tanpa khawatir akan terbakar, meskipun mereka masih tidak menyukai sensasi panas yang ditimbulkan oleh sinar matahari."
"Menghilangkan hati mereka juga dapat melemahkan mereka dan mulai mengubahnya menjadi setan," lanjut Notonindito. "Namun, jika hati dikembalikan, mereka dapat kembali normal."
"Terakhir, kehilangan darah besar-besaran juga dapat membahayakan mereka," katanya. "Jika mereka terluka sampai pada titik bahwa mereka kehilangan sejumlah besar darah, mereka akhirnya 'mati' dan menjadi iblis."
"Saat ini, tidak diketahui bagaimana vampir dapat kembali menjadi manusia. Bahkan, tujuan tersebut dianggap mustahil. Namun, ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa vampir dapat mengalami transformasi menjadi iblis ketika mereka sekarat.
"Transformasi ini dapat terjadi ketika vampir kelaparan darah sampai mereka mati, atau ketika mereka terluka parah dan kehilangan sejumlah besar darah. Setelah mati, vampir akan melepaskan energi yang besar dan mengeluarkan 'ratapan' yang hanya dapat didengar oleh vampir lainnya.
"Ratapan ini dapat didengar oleh vampir lainnya, bahkan oleh iblis. Setelah ratapan, vampir yang sudah meninggal akan dilahirkan kembali sebagai iblis, dengan kekuatan yang bergantung pada kekuatan mereka sebelumnya sebagai vampir.
"Perlu diingat bahwa vampir memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada manusia. Mereka dapat mengubah manusia menjadi vampir, tetapi hanya darah murni yang memiliki izin untuk melakukannya.
"Selain itu, vampir juga memiliki hierarki yang ketat, dengan darah murni sebagai penguasa tertinggi. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menghadiri pertemuan dewan darah murni, tetapi hanya dalam kondisi tertentu."
Notonindito berhenti sejenak, memandang para prajuritnya dengan serius.
"Kita harus memahami kekuatan dan kelemahan vampir jika kita ingin mengalahkan mereka. Kita harus bekerja sama dan menggunakan strategi yang tepat untuk menghadapi musuh yang kuat ini."
Marsekal Gilang dan serdadunya mendengarkan dengan saksama, siap untuk menghadapi vampir dengan pengetahuan baru tersebut.
XXX
Francis Galton, seorang ilmuwan tak bermoral yang ironisnya adalah paman Gilang dengan entengnya mengorbankan Cecilia saat pasukan pendudukan Romannov di Jakarta meminta satu orang wanita di tiap rumah untuk dijadikan budak untuk minum darah dan makanan, Sampai Gilang melihat dengan mata kepala sendiri Roslov memakan Cecilia hidup hidup, Galton sama sekali tak menganggap nyawa anaknya itu berharga.
Gilang memiliki kenangan masa kecil ketika pertama kali bertemu Cecilia, saat itu Jakarta terjadi peperangan antara sisa sisa simpastisan kekaisaran Mughal dan angkatan udara Earth Federation of oceania yang menjatuhkan Bom atom di Monas untung saja tidak sampai ke tanah karena dicegat oleh sebuah rudal.
Paman Gilang, Galton, membenci Gilang dan Cecilia karena mereka adalah ras manusia yang disebut Neotype—makhluk yang menurut Galton adalah monster yang tak memiliki hak untuk hidup seperti manusia. Bagi Galton, mereka adalah makhluk yang lebih rendah dari manusia. Namun, bagi ras manusia baru yang disebut Neotype, Gilang dan Cecilia bagaikan Adam dan Hawa.
Paman Gilang, yang berdiri di hadapan Gilang dan Cecilia, menatap mereka dengan ekspresi dingin. Suaranya yang berat mengisi ruangan, menggema di antara dinding yang kosong. Gilang merasa darahnya mendidih, namun ia tetap mencoba menahan diri, berusaha memahami apa yang sedang dikatakan pamannya.
"Paman... apa maksudmu?" tanya Gilang dengan suara serak, berusaha mencari kejelasan di tengah kebingungannya.
Paman Gilang mendekat, langkahnya teratur namun penuh penekanan. "Kau dan Cecilia, Gilang," katanya, menyebut namanya dengan nada penuh penilaian, "pada dasarnya hanyalah manusia buatan. Kalian tidak lebih dari sekadar eksperimen—produk dari teknologi yang tak punya hak untuk mengklaim tempat di dunia ini."
Gilang terdiam, merasakan setiap kata paman yang seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Cecilia yang berdiri di sampingnya hanya menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Paman Gilang melanjutkan, wajahnya semakin keras.
"Kalian itu monster," lanjutnya dengan nada yang tak tergoyahkan, "hasil eksperimen kakek kalian yang bermain-main dengan batasan manusia. Semua yang kalian alami, semua yang kalian rasakan, hanyalah hasil rekayasa. Tak ada yang asli tentang diri kalian."
Gilang menggertakkan giginya, perasaan hancur bercampur marah. "Itu tidak benar, Paman," katanya dengan tegas. "Kami... kami punya perasaan, punya tujuan hidup. Kakek mungkin membuat kami berbeda, tapi kami bukan monster. Kami juga punya hak untuk hidup."
Paman Gilang tertawa miris, menatap Gilang dengan mata penuh penghinaan. "Hak? Kalian tidak tahu apa itu hak. Kalian hanya alat—sesuatu yang bisa dibuang jika tak lagi berguna."
Gilang merasa seolah-olah duniannya runtuh. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia harus membuktikan bahwa meskipun ia berbeda, ia tetaplah manusia, dengan impian dan perasaan yang layak dihargai.
Sejak awal sebelum Gilang berubah menjadi Neotype, Galton sudah membenci Gilang. Paman Gilang, Galton seorang ilmuwan tak bermoral yang mendukung Eugenetika, melihat dengan merendahkan bahwa Slow Learner yang dialami Gilang tidak dapat disembuhkan,ia percaya bahwa kecerdasan adalah hasil dari genetika. Galton percaya bahwa individu yang cerdas harus didorong untuk menikah dan memiliki banyak anak, sementara orang yang kurang cerdas harus tidak disarankan untuk bereproduksi bahkan harus disingkirkan.
Dia yakin skor IQ atau kecerdasan adalah takdir genetik yang tidak bisa diubah. Meskipun demikian, kakek Gilang selalu memberikan arahan optimis dan yakin bahwa pendidikan yang baik,terapi konseling, latihan kognitif serta kasih sayang pasti akan membantu Gilang berkembang.
Lebih menyedihkan lagi, Gilang lahir di dalam keluarga yang dipenuhi oleh orang-orang jenius. Kakek dan pamannya adalah ilmuwan terkenal, sedangkan sepupu perempuannya, Cecilia, adalah manusia hasil rekayasa genetik dengan IQ hampir 200. Namun, efek samping dari rekayasa tersebut menyebabkan Cecilia menderita kelainan genetik dan penyakit kronis seperti sesak napas serta melemahnya tubuh akibat penyakit.
Gilang merasa seperti bukan bagian dari keluarga mereka,jika bukan karena kasih sayang kakeknya dan Cecilia entah bagaimana dia akan bertahan hidup.
Di titik inilah Gilang melakukan sesuatu yang dia sesali seumur hidupnya setelah melihat Sangapaman tak menghargai nyawa orang lain. Khususnya putrinya sendiri Cecilia, maka nyawanya bagi Gilang juga tak pantas dihargai...."dor".
XXX
Invasi Romannov memicu wabah mematikan yang dengan cepat menyebar ke manusia, mengubah mereka menjadi makhluk peminum darah yang dikenal sebagai vampire. Dalam waktu singkat, hampir seluruh umat manusia terinfeksi dan berubah menjadi vampire, menciptakan masalah baru: siapa yang akan menjadi korban mereka jika seluruh manusia telah punah?
Vampir adalah makhluk yang mirip manusia, dengan ciri-ciri seperti taring, telinga runcing, dan mata merah kosong. Namun, mereka memiliki kemampuan untuk mengubah penampilan mereka. Vampir dapat memodifikasi tubuhnya untuk memiliki telinga yang normal dan memakai lensa kontak untuk menutupi warna matanya. Darah mereka berwarna gelap dan hitam, meskipun dalam anime, darah mereka digambarkan merah.
Vampir tidak memiliki suhu tubuh, detak jantung, atau proses ekskresi karena metabolisme mereka sudah berhenti, dan mereka tidak mengalami penuaan.
Manusia dapat berubah menjadi vampir dan menjadi vampir tidak lengkap. Namun perbedaannya adalah mereka berubah menjadi vampir, bukan dilahirkan sebagai vampir. Vampir tidak lengkap adalah manusia yang meminum darah vampir dan menjadi kasta terendah dengan sebutan level E, tetapi tidak sepenuhnya menjadi vampir. Cenderung lebih lemah daripada kelas yang lebih tinggi tetapi tetap lebih kuat dari manusia. Sebuah vampir umum dengan kecakapan pertempuran yang lebih besar memiliki pengaruh yang mirip dengan bangsawan berperingkat rendah.
Setelah seorang manusia mengonsumsi darah vampir, mereka kehilangan emosinya, hanya menyisakan aspek terbesar dari kepribadian mereka selain hasrat abadi untuk darah.Vampir murni dan mantan manusia ini akan terikat dalam hubungan master-pelayan. Tuan mereka memiliki kontrol penuh atas pelayan mereka, sementara pelayan tidak dapat membunuh tuan mereka, meskipun mereka ingin melakukannya.
Mereka juga tidak lagi merasakan hasrat seksual atau keinginan lainnya, kecuali keinginan untuk minum darah. Karena kehilangan emosi dan keinginan, banyak vampir berusaha mencari minat lain untuk menghindari kebosanan kekal mereka, meskipun vampir yang peduli dengan hal lain selain darah dianggap aneh. Meskipun tidak perlu tidur, mereka bisa melakukannya untuk beristirahat dari keabadian, biasanya antara pagi dan siang. Tidak diketahui siapa yang pertama kali memulai kebiasaan ini, tetapi banyak vampir tidur di peti mati karena nyaman dan melindungi mereka dari sinar matahari. Mandi tidaklah diperlukan karena metabolisme mereka telah berhenti, tetapi mereka tetap bisa melakukannya jika diinginkan.
Vampir umumnya bersatu demi kepentingan diri mereka sendiri, bukan karena kasih sayang atau cinta, dan mereka tidak ragu untuk membunuh sekutu mereka begitu mereka kehilangan perasaan manusia. Beberapa vampir mungkin memilih untuk menenangkan manusia sebagai pendamping untuk mengatasi kebosanan abadi mereka, meskipun banyak yang enggan menyebarkan kutukan ini dan lebih memilih untuk mengubah orang yang mereka pilih. Namun, bila dua vampir saling bertatap muka, yang satu akan selalu lebih kuat daripada yang lainnya.
Mereka biasanya hanya mampu menahan rasa haus darah selama tiga hari sebelum kehilangan kontrol, dan menggigit serta meminum darah manusia kering dianggap sebagai kesenangan terbesar. Vampir juga bisa menikmati darah sesama vampir..
Manusia yang berubah menjadi vampir dapat mempertahankan emosi , seperti perasaan terikat atau merasa terabaikan, jika itu merupakan emosi kuat yang tersisa dari kehidupan mereka sebagai manusia. Seiring berjalannya waktu, kehilangan Kemanusiaan membuat kompleks-kompleks tersebut semakin menjadi bagian dari identitas mereka.
Sebagai hemovora, vampir hanya suka mengonsumsi darah dan tidak ada yang lain. Semakin nikmat rasa darahnya, semakin kuat hasrat mereka untuk meminum darah tersebut sampai orang itu mati. Selain itu, darah manusia terasa paling enak ketika orang itu berada dalam penderitaan kematian. Pada awalnya, mereka mungkin merasa bersalah karena membunuh manusia dan meminum darahnya, tetapi lama kelamaan mereka mulai menganggap manusia hanya sebagai makanan setelah bertahun-tahun memberi makan mereka dan menyaksikan manusia berperang satu sama lain serta mengulangi kesalahan yang sama berulang kali. Ada aturan yang melarang vampir saling meminum darah, seperti antara vampir dan anak vampir, tetapi tampaknya ada kesenangan yang dianggap tidak bermoral yang bisa ditemukan di situ.
Vampir yang baru berubah dapat bertahan hidup dengan meminum darah orang yang mengubahnya mereka, namun ini hanya berlaku untuk waktu terbatas. Seperti vampir sejati, mereka akan mengembangkan taring, kehilangan detak jantung, dan telinga mereka menjadi runcing. Namun, mereka lebih lemah dibandingkan vampir sejati dengan peringkat yang sama, tetap mempertahankan warna mata manusia, dan akan terus menua hingga mereka meminum darah manusia, yang akan mengubah mereka menjadi vampir sejati.
Meskipun vampir tidak lengkap bukanlah vampir sejati, tampaknya vampir sejati tidak keberatan dengan mereka.
Dunia Vampire memiliki hirarki ras yang terdiri dari ras unggul dan ras rendah. Ras unggul termasuk Leluhur atau Dewa Dewi Slavia, Vampir (Kelelawar), Vibora (Ular), Serigala dan Adler (Elang), sementara ras rendah seperti Ghoul (Gagak) dan beberapa ras inferior lainnya seperti Dhampir, manusia setengah vampire dan vampir tidak lengkap. Leluhur, sebagai ras asal dari semua iblis, memiliki kemampuan dasar dari empat sub-ras unggul dan tanpa kelemahan, mampu berubah menjadi kelelawar, ular, serigala, dan elang, serta memiliki kekuatan, kecepatan, dan regenerasi luar biasa. Mereka juga bisa menggunakan sihir dan memanggil familiar, serta hanya bisa mati dengan pemenggalan kepala. Selama bulan purnama, vampir darah murni bisa terbang, dan selalu bisa berteleportasi. Vampir darah murni juga memiliki kekuatan, kecepatan, kemampuan regeneratif yang tinggi, peningkatan penglihatan, indra penciuman, dan pendengaran. Vampir darah murni hanya bisa mati dengan dipenggal kepalanya, namun, jika tubuh mereka terlalu rusak untuk sembuh dengan cukup cepat, itu bisa mengancam jiwa, meski tidak secara langsung. Mereka bisa menggunakan sihir dan memanggil familiar. Kelemahan mereka adalah perak dan penglihatan mereka berkurang di bawah sinar matahari. Mereka bisa makan makanan manusia, tapi itu tidak memberi mereka makan; darah adalah sumber makanan utama mereka.
Leluhur Dapat terbang dan berteleportasi pada bulan purnama, dengan kelemahan pada perak dan berkurangnya penglihatan di bawah sinar matahari, sementara vampir tidak murni lebih mudah dibunuh dan tidak memiliki kekuatan sekuat vampir darah murni, meski tetap bisa berteleportasi dan terbang. Ghoul, tanpa sihir, digunakan sebagai budak oleh ras iblis lainnya dan dapat berubah menjadi gagak. Vibora, yang dikenal sebagai sekutu vampir, mungkin memiliki taring berbisa, sementara informasi tentang Serigala dan Adler masih belum jelas. Semua ras iblis menghisap darah, namun hanya vampir yang menjadikannya sebagai sumber makanan utama. Ras ini terinspirasi oleh hewan, kecuali Leluhur, yang memiliki wujud satu-satunya. Vampir adalah ras abadi yang awalnya manusia, yang berubah setelah menelan darah vampir, dan sering memandang rendah vampir muda.
Vibora dalam bahasa Spanyol (vìbora) berarti ular berbisa; serigala dan adler dalam bahasa Jerman berarti masing-masing serigala dan elang.
Semua ras iblis diilhami oleh hewan, kecuali leluhur (karena mereka semua adalah ras dewa dewi dalam satu wujud).
Ras leluhur iblis dapat menggunakan semua wujud hewan dari semua ras iblis.
Sub-Sider adalah bentuk devolusi vampir tidak lengkap yang kelaparan, berubah menjadi makhluk liar tanpa akal, dan hidup di tempat gelap untuk mencari darah manusia. Jika mereka tidak mendapatkan cukup darah, mereka akan semakin mengerikan dan tidak dapat dipulihkan hanya dengan darah manusia.
Jika seorang manusia digigit oleh vampir murni atau meminum darah dari darah murni, dan tidak mati karena kehilangan darah, mereka akan dan perlahan kehilangan kewarasannya.
Ternyata, vampir membutuhkan darah manusia untuk menjaga kestabilan DNA mereka. Jika mereka kekurangan darah manusia, mereka akan berubah menjadi makhluk mengerikan dan liar seperti kelelawar ini. Setelah perubahan terjadi, bahkan darah manusia tidak bisa mengembalikan mereka ke keadaan semula. Makhluk-makhluk ini hidup di saluran air, keluar untuk berburu darah setiap kali ada kesempatan, dan banyak di antaranya sangat terdesak hingga mereka pergi ke rumah-rumah untuk mencari makan.
Vampir darah murni yang kelaparan tidak akan mati atau menjadi Subsider, melainkan berubah menjadi iblis mahluk yang tak memiliki wujud fisik tapi tak kehilangan akal dan kesadaran, kematian karena bunuh diri juga akan menghasilkan hal yang sama. Selain itu, vampir dapat berubah menjadi setan jika jantung mereka dikeluarkan dari tubuh, namun hal ini bisa dicegah dengan mengembalikan jantung ke dalam dada mereka. Memotong kepala vampir dengan senjata biasa tidak akan membunuhnya, meskipun hal itu akan membuat vampir tidak bisa lagi menggunakan tubuhnya. Ketika seorang vampir terbunuh, tubuhnya akan berubah menjadi abu saat hancur.
Viscount Roslov, pemimpin Invasi Romannov ke kepulauan Indonesia adalah Dhampir atau setengah manusia, setengah vampir yang menjadi kelas dua di negaranya sendiri yang lebih rendah dan dianggap lebih lemah dari darah murni.
Vampir Tidak Murni atau Dhampir seperti Roslov memiliki kemiripan dengan vampir darah murni. Mereka memiliki kekuatan, kecepatan, dan kemampuan regenerasi yang tinggi, serta peningkatan kemampuan dalam penglihatan, penciuman, dan pendengaran, meskipun tidak sekuat vampir darah murni. Vampir tidak murni memiliki kemampuan untuk terbang dan berteleportasi saat bulan purnama. Mereka lebih mudah dibunuh karena keterampilan dan pertahanan mereka lebih lemah. Mereka memiliki sihir yang lebih lemah. Perak adalah kelemahan utama mereka.
Karena garis keturunan mereka tidak tercampur dengan darah manusia, vampir murni dianggap sebagai jenis vampir yang terkuat dengan kekuatan yang paling dominan.
Meskipun sangat kuat, purebloods hanya membentuk sebagian kecil dari populasi vampir. Ketika seorang vampir murni meninggal, tubuh mereka akan hancur secara perlahan menjadi partikel kecil yang bersinar sebelum hancur menjadi serpihan kaca.
Selain itu, vampir dengan tingkatan lebih rendah hanya memiliki satu kemampuan khusus, pureblood atau darah murni memiliki banyak kekuatan. Kekuatan ini sangat berbahaya bagi sesama vampir maupun manusia mereka. Purebloods mampu membunuh seluruh pasukan manusia dalam waktu singkat. Purebloods juga memiliki kemampuan untuk memaksa vampir yang lebih rendah untuk melakukan perintah mereka.
Padahal Dhampir atau manusia setengah vampir seperti Roslov sebenarnya lebih kuat daripada darah murni karena dia lebih toleran pada sinar matahari maupun sinar UV buatan dan memiliki darah manusia yang mengalir di tubuhnya sendiri, sumber energi utama yang menjadi kekuatan pada vampir.
Berbeda dengan vampir darah murni, mereka dapat melihat dengan jelas di bawah sinar matahari. Meskipun darah tetap menjadi makanan utama mereka, mereka dapat bertahan dengan makanan manusia lainnya.
Meski begitu dulu kebanyakan bangsawan Romannov bahkan Putri Zaleska sendiri tak percaya dia adalah Nosterfath karena dia bukan darah murni.
Dalam ruang pertemuan yang anggun dengan hiasan kristal dan lukisan-lukisan bersejarah, Zaleska Blavatsky, pemimpin kepangeranan Romanov, duduk di singgasana yang megah, mengenakan gaun hitam berhiaskan permata yang bersinar, menatap tajam ke arah Viscount Roslov yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh rasa malu.
Dengan suara yang tajam dan penuh sarkasme, Zaleska membuka pembicaraan, suaranya memecah kesunyian yang tegang. "Ah, Viscount Roslov," katanya sambil menyeringai. "Kau bahkan tak bisa berubah menjadi kelelawar, teleportasi, atau bahkan regenerasi dengan cepat. Bagaimana mungkin kau berharap bisa berubah menjadi Nosferatu? Apakah kau kira kekuatan itu datang dengan hanya berpura-pura menjadi bagian dari keluarga vampir kuno?"
Viscount Roslov, dengan wajah yang sedikit memerah, mencoba untuk menyembunyikan kecanggungan, namun tidak bisa menghindari perasaan terhina yang menderanya. Zaleska melanjutkan, menundukkan kepala dengan angkuh, seolah menyisir rambutnya dengan jemari yang halus, seolah mempermainkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Kau terlalu lama berada dalam bayang-bayang," katanya dengan nada mengejek, "dan itu tak akan membantumu menjadi Nosferatu yang sejati. Kekuatan itu hanya untuk mereka yang benar-benar memahami kekuatan kegelapan, bukan sekadar mengikuti legenda."
Roslov menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang, tetapi di dalam hatinya, penghinaan itu meresap jauh, merobek egonya. Zaleska berdiri perlahan dan melangkah mendekat, menatapnya dengan mata yang tajam. "Jika kau ingin menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar manusia, maka kau harus belajar terlebih dahulu bagaimana mengatasi kelemahanmu yang jelas terlihat." Dia tersenyum sinis. "Atau tetaplah menjadi makhluk yang lemah. Pilihan ada padamu."
Selesai berkata demikian, Zaleska berpaling, meninggalkan Viscount Roslov yang masih berdiri terdiam, dipenuhi rasa sakit karena hinaan yang baru saja diterimanya.
Ayah Roslov, Mihai Cel Rau yang merupakan seorang bangsawan vampir Rusia menikah dengan ibunnya Ileana Elizabeth dari Rumania,putri seorang Pendeta dan pemburu Vampire yang menikahkannya sebagai istri demi perdamaian antar ras.Mereka memiliki anak laki laki bernama Roslov Pavel Petrovich dan Sylvania Nikolaevna.
Dewan Bangsawan coven Vampire Romania, menginginkan ayah Roslov untuk menikah dengan darah murni sebagai bentuk kesetiaan dan menceraikan ibu kandung Roslov. Ibu Roslov adalah manusia,meski sang ayah yang merupakan darah murni membuat dia dan adik perempuannya menyandang gelar bangsawan dan memiliki kekuatan seperti darah murni, dia tetap dianggap sebagai dhampir atau mahluk yang lebih rendah dari vampir.
Ibunya hanya manusia biasa yang merupakan putri salah satu pendeta Gereja Ortodoks Rumania. Ikatan pernikahan mereka, yang awalnya didasari pada cinta dan untuk menjaga perdamaian antara komunitas vampir dan Gereja Ortodoks Timur, dibatalkan oleh Dewan Bangsawan, yang meminta ayah Roslov cerai untuk menikahi wanita darah murni. Para vampir melanggar perjanjian damai dengan pemburu dan memisahkan ayah dan ibu Roslov sebagai simbol perdamaian antara vampir dan manusia, terutama pemburu vampir, karena suatu insiden..
Ibu Roslov adalah pemburu vampir terampil yang berpengalaman dalam penggunaan senjata anti-vampir. Ayah Roslov menyelamatkan Pemburu yang ingin membunuhnya saat pertama kali bertemu. Sang ayah menggambarkan ibunnya memiliki kemampuan 'luar biasa'.Keluargannya Setuju Untuk menerima ayah Roslov sebagai pasangan sebagai upaya untuk mencapai perdamaian antara vampir dan pemburu vampir ibunnya adalah manusia dari klan Pemburu vampir terakhir di dunia, namun ibunnya dikhianati ketika coven di Moldova meminta Ayah Roslov untuk menceraikan ibunnya dan menikahi seorang darah murni,karena bagi bangsawan menikahi manusia adalah hal yang memalukan.
Dewan Bangsawan telah melanggar sumpah persetujuan mereka, meskipun awalnya mereka menyetujui pernikahan ayah Roslov dengan seorang wanita, putri Pemburu Vampir dan pendeta Gereja Ortodoks Rumania.
Tak diketahui dengan pasti di mana dan kapan Roslov lahir. Beberapa sumber menyatakan dia lahir di Targoviste, Rumania, pada tahun 1901, jauh sebelum Revolusi Bolshevik, sementara yang lain mengatakan dia lahir di Ukraina sekitar tahun 1910 dan pernah melayani Pangeran Vampir Alexei Romanov bersama Biarawan Sinting Grigori Rasputin. Roslov sendiri mungkin sudah lupa dengan kelahirannya, yang jelas dia seumuran dan menjadi teman dekat putra mahkota Kekaisaran Rusia tersebut.
Roslov pernah memenggal anak buahnya hanya dalam beberapa detik dengan telapak tangannya, hanya karena anak buahnya iseng menyetel lagu kebangsaan Uni Soviet yang memuja Stalin. Roslov merasa sangat trauma dengan rezim tirai besi Uni Soviet yang melakukan genosida kelaparan terhadap vampir dan agen GPU, yang menyebabkan ayah dan adiknya tewas
Di usia yang masih sangat kecil untuk ukuran vampir, Roslov yang tinggal di Ukraina menjadi korban kekejaman Stalin dalam tragedi kelaparan Holodomor. Ayah dan adik kandungnya tewas akibat diburu oleh satuan pemburu vampir Soviet yang merupakan bagian dari agen GPU. Ibunya tewas karena penyakit setelah diubah menjadi vampir, tak lama setelah dipaksa menceraikan ayah Roslov. Hal ini terjadi karena Dewan Bangsawan tak menyukai darah murni yang menikah dengan manusia.
Roslov memeluk ayah dan adiknya saat ayahnya dan adiknya dieksekusi oleh agen Intel Soviet GPU yang memiliki kemampuan khusus untuk memburu vampir bangsawan.
Karena ayah dan adik kesayangannya dieksekusi tentara pendudukan Soviet di Polandia Roslov memutuskan balas dendam dengan mengembalikan kekaisaran Rusia di bekas wilayah Soviet di bawah Pangeran vampir Alexei Romannov.
Ibu tiri Roslov sangat kejam. Dia adalah seorang wanita bangsawan tak bermoral yang menginginkan harta ayah Roslov dan naik gelar bangsawan, ia sama sekali tak mencintai ayah Roslov, hanya menikah dengan ayah Roslov demi tujuan politis dan menguasai harta serta kekayaannya sebagai bangsawan.
Adik Roslov diperlakukan seperti budak. Bahkan, ibu tiri Roslov mengkhianati ayah Roslov demi mendapatkan harta warisan. Dia melaporkan keberadaan mereka kepada pihak GPU dan tentara merah Uni Soviet Sebagai vampir klan Romanov yang berbahaya dan menindas kaum Proletar. Akibatnya, ayah dan adik Roslov tewas dieksekusi mati oleh regu tembak di Ukraina.
Roslov sangat terpukul dengan kematian adiknya sampai dia membunuh ibu tirinnya untuk balas dendam.
Dendam Roslov memuncak. Dia membunuh tentara Soviet yang membunuh ayah dan adik perempuannya dengan kekuatan yang tak terjelaskan muncul dalam dirinya dan membunuh ibu tirinya dengan mencekiknya menggunakan taring srigala.
Tapi ibu tirinnya mengutuk wajahnya yang tampan menjadi setengah monster sebelum kematiannya, Roslov memasukan jantung adiknya ke dalam tubuhnya sendiri,sebagai keturunan bangsawan tinggi yang punya kekuatan untuk menjadi Srigala dan elang,pada malam hari Alter egonya yaitu adiknya yang sekarang ada di dalam diri Roslov karena jantung adik perempuannya yang dia tanam di tubuhnya akan bangkit dan dia menjadi perempuan tubuhnya akan sedikit menyusut dan ia akan menjadi vampir,tapi ketika siang hari ia akan kembali normal dengan tubuhnya sendiri ia bisa berubah menjadi manusia srigala raksasa meski lama kelamaan ia malah kehilangan Alter ego adiknya karena menyatu dengan dirinnya senidiri menjadi satu orang.
Roslov kemudian memasukkan jantung adiknya yang masih berdetak ke dalam tubuhnya sendiri. Dia berharap kesadaran adiknya masih hidup di dalam dirinya. Adiknya akan mengambil alih tubuh Roslov di malam hari. Sebagai srigala, Roslov akan berkuasa atas tubuhnya di siang hari. Namun, sebagian tubuh Roslov yang kekar bagai srigala akan berubah menjadi versi perempuan ketika adiknya mengambil alih tubuhnya.
Ia bersumpah tak akan lagi menjadi anak miskin yang kelaparan dan bertekad untuk naik gelar bangsawan bahkan membangun kerajaanya sendiri.
Hanya vampir leluhur pertama yang merupakan dewa-dewi Slavia pra-Ortodoks yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen, dan mereka semua adalah pemimpin dewan Bangsawan Coven Romannov.
Purebloods, leluhur atau darah murni adalah vampir yang darahnya sepenuhnya murni tanpa campuran manusia, mereka adalah keturunan Langsung dewa Dewi dari Mitologi Slavia. Mereka merupakan kelas vampir yang paling langka, elit, dan kuat. Senat menganggap darah murni sangat berharga, bahkan sampai pada titik di mana membunuh atau membahayakan vampir murni dianggap tabu. Purebloods sangat ditakuti dan dihormati, dan mereka diakui sebagai penguasa ras vampir, diperlakukan layaknya bangsawan.
Bisa dibilang dewa-dewi Slavia cuma sekelas vampir dan siluman. Bangsa Slavia sejak lama terkenal dengan kehidupannya yang dekat dengan alam. Mereka sering mengait-ngaitkan kekuatan alam atau hal lain yang menyebabkan asal-usul dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan dewa-dewi tertentu yang kemudian mereka puja. Dalam tulisan ini, diulas secara singkat mengenai dewa-dewi utama bangsa Slavia yang ada dalam mitologi Slavia.
Dewa-dewi yang disembah bangsa Slavia sebelum era Kristen Ortodoks sebenarnya adalah vampir leluhur pertama yang hidup abadi. Mereka adalah ras iblis dan siluman yang dipuja oleh manusia karena ketakutan akan kekuatan yang mereka miliki. Beberapa manusia ada yang menyembah maupun memerangi iblis karena kekuatan mengerikan yang mereka miliki. Untuk membuat pemerintahan lebih efektif, mereka membuat manusia tak sadar dengan konspirasi bangsa vampir yang memerintah manusia di balik layar tanpa disadari manusia itu sendiri. Vampir menguasai politik di Eropa Timur, Balkan, dan Rusia. Bangsawan dinasti Romanov Oldenburg di Rusia sebenarnya adalah vampir yang menyamar agar bisa berbaur dan mengontrol manusia di balik layar tanpa secara langsung mencampuri urusan mereka dengan menunjukkan identitas vampir. Namun, kekuasaan vampir di Rusia sempat berakhir saat dinasti Romanov digulingkan kaum Bolshevik. Anggota tertinggi dewan Bangsawan Coven Romannov di Moldovia dan Targoviste adalah dewa-dewi Slavia vampir terkuat dan vampir tertinggi di Eropa Timur yang dipimpin oleh dewa mitologi Slavia yang merupakan vampir pertama dan leluhur seluruh vampir di Eropa Timur. Para bangsawan vampir pertama itu dipimpin oleh dewa petir Perun, Veles - dewa bumi, air, dan bawah tanah; Svarog - dewa langit, matahari; dan dewa-dewi Slavia lainnya. Merekalah yang sebenarnya ingin vampir menjaga hubungannya dengan manusia agar bisa hidup berdampingan dan tak mencampuri urusan manusia.
Di Eropa Timur, ada sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh para vampir tertinggi yang memerintah di wilayah tersebut. Mereka adalah keturunan dari para dewa dan dewi bangsa Slavia yang dipimpin oleh dewa vampir pertama dan leluhur seluruh vampir di Eropa Timur, yang dikenal sebagai Dewi Vampir Selene.
Dewi Vampir Selene memperoleh kekuatan gaib dan keabadian dari sumber daya alam yang kuat, dan dengan kekuatannya itu, ia menciptakan bangsa vampir pertama di Eropa Timur. Para bangsawan vampir pertama itu dipimpin oleh tiga dewa Slavia terbesar: Perun, dewa petir yang perkasa; Veles, dewa bumi, air, dan bawah tanah; dan Svarog, dewa langit dan matahari.
Vampir tertinggi di Eropa Timur dipimpin oleh dewa mitologi Slavia yang merupakan vampir pertama dan leluhur seluruh vampir di Eropa Timur. Para bangsawan vampir pertama itu dipimpin oleh dewa petir Perun, Veles - dewa bumi, air, dan bawah tanah; Svarog - dewa langit, matahari, dan dewa-dewi Slavia lainnya.
Perun adalah dewa yang paling kuat dan dihormati oleh bangsa vampir. Ia adalah pemimpin perang dan pelindung bangsa vampir di saat mereka menghadapi ancaman dari manusia maupun makhluk gaib lainnya. Dengan kekuatan petirnya, Perun mampu menghancurkan musuh-musuh bangsa vampir dengan mudah.
Dewa petir dan kilat yang paling ditakuti oleh bangsa vampir. Merupakan dewa tertinggi dalam mitologi Slavia. Dia sering digambarkan bersama dengan api, gunung, pohon oak, bunga iris, elang, cakrawala, kuda, dan kereta kudanya. Tak lupa dengan senjata yang selalu ada di tangannya, biasanya berupa palu, kapak, atau anak panah petir miliknya. Perun digambarkan sebagai sosok lelaki yang gagah perkasa dengan janggut tembaganya. Fenomena petir oleh bangsa Slavia kuno dianggap sebagai panah-panah Perun yang diarahkan ke arah Veles di bumi, di mana Veles adalah musuh Perun dalam mitologi Slavia. Simbol-simbol yang digunakan untuk melambangkan dewa Perun sering ditemukan pada alat-alat perang yang dibuat dari batu dan logam. Selain itu, ditemukan pula pada balok-balok atau rumah mereka untuk melindungi atap dari sambaran petir. Dalam mitologi Baltik, ada pula nama dewa yang mirip baik namanya maupun kekuatan dan ciri khasnya dengan Perun, yakni "Perkunas" atau "Perkons", yang jika ditelusuri ke akar kata dari bahasa Proto-Indo-Eropa, ditemukan kata *Perkwunos. Kata *perkwu- berarti "pohon oak", tapi dalam bahasa Proto-Slavia, kata per- berarti "menyerang" atau "membelah" dengan benda tajam.
Veles adalah dewa yang bertanggung jawab atas keseimbangan alam dan kekuatan bawah tanah. Ia membantu bangsa vampir mengambil keuntungan dari sumber daya alam yang melimpah untuk bertahan hidup dan memperkuat diri mereka. Veles juga menjadi perantara antara dunia vampir dan dunia manusia.
Sering dikaitkan dengan karakter naga dan lembu. Ia merupakan salah satu dewa terpenting dalam mitologi, dianggap sebagai dewa ahli sihir, musik, kesehatan, dan pesulap (mirip dewa Loki dalam mitologi Nordik). Sosok Veles sering digambarkan sebagai seorang lelaki bertanduk dengan rambut, berjenggot tebal, atau sebagai ular naga. Konflik antara Perun dan Veles merupakan hal paling penting dalam mitologi Slavia. Dalam pertempurannya dengan Perun, Veles seringkali merubah dirinya menjadi pohon di hutan atau masuk ke lubang-lubang atau gua menuju dasar bumi ketika berusaha untuk menyelamatkan diri. Selain itu, ketika Veles berada dalam pertarungan melawan Perun, ia mengubah dirinya menjadi naga. Tokoh Veles dalam mitologi Slavia kemungkinan memiliki hubungan dengan tokoh Vala sebagai lawan dari dewa petir Indra dalam kitab Veda, atau dengan Vels atau Velinas sebagai lawan dari dewa petir Perkunas dalam mitologi Baltik. Nama, ciri khas, dan posisi mereka kesemuanya sangat mirip. Hal yang paling mungkin adalah nama yang berasal dari akar kata pada bahasa Proto-Indo-Eropa *wel- yang berarti wol. Dalam bahasa Rusia, kata "volos" berarti rambut, dan kata "vol" dalam bahasa Rusia dan rumpun bahasa Slavia selatan berarti "lembu". Hal tersebut memiliki garis hubung yang merujuk pada penggambaran dewa Veles yang berambut dan berjanggut tebal dengan tanduk di kepalanya. Nama lain: Weles, Volos.
Svarog adalah dewa yang bertanggung jawab atas kekuatan langit dan matahari. Ia memberikan kekuatan dan kekuasaan pada bangsa vampir, memastikan mereka selalu memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi diri mereka sendiri dan mempertahankan wilayah mereka.
Ia sering juga dianggap sebagai dewanya ahli logam (pembuat perkakas atau senjata dari logam). Svarog yang mewakili kekuatan api, dianggap sebagai dewa yang sangat penting karena api (termasuk matahari) dianggap sebagai sumber kehidupan oleh bangsa Slavia. Svarog adalah salah satu dari dewa tertinggi dalam mitologi Slavia dan dianggap "bapak para dewa" karena merupakan personifikasi dari dewa Rod, dewa tertua, yang merupakan ayah para dewa. Salah satu dewa terpenting yang merupakan anak Svarog adalah Dazhbog. Ketika berbicara tentang Svarog, maka sering pula ditemukan dalam literatur nama "Svarozich". Secara harfiah, "Svarozhich" berarti "Svarog kecil", atau sederhananya adalah sebutan bagi Svarog ketika masih kecil. Akan tetapi, ada beberapa ahli mitologi Slavia yang menganggap bahwa Svarozhich adalah salah satu anak dari Svarog, selain Dazhbog. Pada pendapat yang terakhir tersebut diterangkan pula bahwa Dazhbog kemudian mewakili kekuatan api di langit, yaitu matahari, sedangkan Svarozhich melambangkan kekuatan api di bumi. Selain pendapat-pendapat di atas, ada pula yang menganggap bahwa baik Svarozhich maupun Dazhbog adalah sosok dewa yang sama. Nama Svarog sendiri jika ditelusuri dari bahasa Slavia tua, terdiri dari dua akar kata, yakni "swa" memiliki arti "langit" (svet "cahaya", svyat "kesucian", -> sveta na nebe "cahaya di langit") dan "rog" yang berarti "tanduk", yang melambangkan maskulinitas. Nama lain: Svaroh, Swarog, Svarozhich.
Namun, kekuasaan dan keabadian yang dimiliki oleh bangsa vampir tidak datang tanpa harga. Mereka harus memelihara keseimbangan alam dengan menjaga ekosistem yang ada di sekitar mereka. Mereka juga harus memastikan bahwa mereka tidak terlalu bergantung pada darah manusia untuk bertahan hidup, agar tidak mengancam keberadaan manusia dan keberlangsungan hidup mereka sendiri.
Dazhbog adalah dewa matahari yang merupakan anak dari Svarog dan termasuk dalam jajaran dewa-dewa utama. Ia diakui sebagai dewa yang berkaitan dengan kesehatan dan kekuatan, karena bangsa Slavia meyakini bahwa "api" atau "matahari" adalah sumber kehidupan dan energi, sangat penting bagi mereka yang hidup di wilayah dengan iklim dingin. Nama Dazhbog berasal dari kata "dat'" atau "daj" yang berarti "memberi", dan "bog" yang berarti "tuhan" atau "dewa", sehingga ia dianggap sebagai personifikasi matahari, dewa yang memberi kehangatan dan kehidupan di dunia. Hujan yang turun juga dianggap sebagai berkah dari Dazhbog, yang mendukung pertumbuhan tanaman di ladang. Dalam puisi epik "Slove o Polku Igoryeve", yang ditulis dalam bahasa Slavia Timur Tua, bangsa Slavia menganggap diri mereka sebagai keturunan atau cucu dari Dazhbog. Bukti-bukti yang mengarah pada pemujaan Dazhbog ditemukan di berbagai situs arkeologis.
Karena kekuatan mereka yang luar biasa, keluarga bangsawan vampir kepangeranan Romannov tak akan bisa naik tahta tanpa mendapatkan dukungan atau pengakuan dari mereka, mereka pula yang mewajibkan vampir untuk menutup identitasnya dan tak terlalu mencampuri urusan manusia, karena itu dewan bangsawan seringkali bersitegang dengan kepangeranan Romannov
Bangsa vampir telah menjadi legenda dan mitos di Eropa Timur selama berabad-abad. Namun, sedikit yang tahu bahwa bangsa vampir sebenarnya adalah keturunan dari para dewa dan dewi Slavia yang kuat dan bijaksana. Meskipun mereka hidup terpisah dari manusia, mereka selalu menghormati kekuatan alam dan kebijaksanaan para dewa dan dewi bangsa Slavia, termasuk Dewi Vampir dan para dewa yang memimpin mereka.
XXX
Marsekal Gilang, tiba-tiba ditangkap oleh Kepangeranan Romannov yang didominasi vampir ketika hendak melakukan perundingan gencatan senjata dengan Gubernur Jendral Putri Alexandra Cel Frumks. Dia diasingkan jauh ke Beijing di bawah pengawasan Yuan Fahai, di tempat yang dijaga ketat oleh vampir untuk memastikan sumber darah yang tak terputus dari tahanan perang.
Dalam pengasingan, awalnya Romannov berencana mengubah Gilang menjadi vampir, layaknya seluruh rakyat yang ditaklukkan. Namun, semua vampir yang mencoba menggigit dan meminum darahnya banyak yang mati terbakar, karena Garuda Kosmos di dalam dirinya memiliki energi matahari yang merupakan kelemahan para vampir. Biar bagaimanapun, Gilang rela ditangkap agar Romannov melepaskan rakyat Indonesia yang diternak sebagai pet darah, agar bisa mengungsi ke Indonesia Timur, terutama Papua Barat, wilayah yang masih dikuasai Faksi Demokratik.
Di sisi lain, sekelompok milisi yang dikenal sebagai APRIs, dipimpin oleh Kapten Rena, yang merupakan teman lama Gilang, bersiap untuk misi berbahaya: menyusup ke dalam Beijing yang terlarang dan menyelamatkan Marsekal Gilang dari cengkeraman vampir. Misi ini adalah harapan terakhir mereka untuk mengembalikan keadilan dan kebebasan kepada manusia yang diasingkan itu.
Namun, di tengah perjalanan yang penuh risiko dan pengorbanan ini, Rena dan timnya harus menghadapi rintangan yang tak terduga. Kepangeranan Romannov memiliki sistem keamanan yang rumit, dan vampir-vampir yang kuat siap melindungi apa pun yang menjadi kepentingan mereka. Di sisi lain, Gilang sendiri harus menemukan cara untuk bertahan hidup di dunia yang tak dikenal baginya, di mana setiap sudut dipenuhi dengan ancaman dan kegelapan.
Ketika misi menyelamatkan berjalan semakin berbahaya, Rena dan Gilang menghadapi pilihan sulit antara mempertaruhkan segalanya untuk kembali ke dunia mereka atau terjebak dalam perang yang lebih besar yang melibatkan vampir dan umat manusia. Dalam pertempuran untuk kebebasan, cinta, dan keadilan, mereka akan menemukan kekuatan sejati dari persahabatan dan tekad yang tidak pernah padam.
XXX
Sudah rahasia umum dalam sejarah rata-rata rezim totaliter yang ada di dunia ini runtuh bukan karena perang atau ditaklukkan oleh negara lain, melainkan karena masalah internal, seperti kebangkrutan yang dialami oleh Romanov dan Oceania selama ratusan tahun terakhir. RFAA dan Presiden RIS menuntut anggota partai dalam Oceania untuk melakukan reformasi sosial politik guna menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, serta dengan lapang dada membubarkan diri. RIS kedua akhirnya membiarkan Romanov tetap merdeka, tetapi menjadi negara bawahan Republik Indonesia. Tahta kepangeranan milik Dinasti Romanov dihapuskan, dan Presiden Indonesia memberikan kekuasaan pada Dewan Bangsawan Coven Vampir.
XXX
Romanov menginvasi Indonesia dengan ancaman serangan dari Republik Federasi Asia Afrika dan Oceania memerlukan strategi yang sangat hati-hati dan multifaset.
Meski gagal, Romannov Memperkuat pertahanan laut di sekitar Selat Malaka dan perairan strategis lainnya untuk mencegah atau memitigasi serangan dari armada Oceania. Mengembangkan sistem pertahanan udara yang kuat untuk melindungi wilayah penting dan menghadapi potensi serangan udara.
Memperkuat pertahanan di Jawa untuk menghadapi kemungkinan serangan dari timur oleh Pejuang Pemulihan kemerdekaan Faksi Demokratik dan memastikan kesiapan untuk melawan atau menanggapi serangan.
Menyusun rencana logistik yang matang untuk memastikan aliran pasokan dan pergerakan pasukan yang efisien ke Malaysia.
Menciptakan aliansi atau mendapatkan dukungan dari kelompok lokal atau faksi di Malaysia yang dapat membantu dalam mengurangi perlawanan dan memberikan intelijen lokal.
Melancarkan operasi diversif untuk mengalihkan perhatian dari potensi serangan. Ini bisa mencakup serangan terhadap posisi atau kepentingan strategis lainnya.
Menggunakan propaganda untuk menciptakan ketidakstabilan atau kebingungan di negara-negara yang mungkin menjadi ancaman.
Berusaha menjalin komunikasi atau kesepakatan diplomatik dengan negara-negara besar untuk meredakan ketegangan dan mengurangi kemungkinan intervensi langsung mereka. Mencoba untuk menawarkan kesepakatan atau perjanjian yang bisa menguntungkan mereka dalam rangka menurunkan intensitas konflik atau mendapatkan penundaan.
Menyesuaikan strategi berdasarkan perubahan situasi di lapangan dan reaksi dari negara-negara besar.
Mengidentifikasi dan memitigasi risiko terkait dengan serangan balasan atau intervensi internasional. Mempertimbangkan dampak politik, ekonomi, dan militer dari invasi.
Memastikan penyebaran pasukan yang fleksibel dan dapat cepat diubah jika terjadi ancaman dari arah yang tidak terduga.
Selain mungkin karena ketidakompetenan Alexandra Cel Frumos dan kekurangan Romannov di angkatan Laut,bukti mereka tak berhasil menaklukkan Indonesia Timur terutama Papua Barat yang menjadi basis faksi Demokratik membuktikan jika mereka mungkin memang tak fokus ke Indonesia dan lebih fokus untuk berperang di daratan utama Asia dan Eropa terutama Medienterania meski Indonesia adalah tempat yang penting karena banyak SDA Romannov terlalu terbebani untuk melawan RFAA dan Oceania yang ada di daratan utama Asia dan Eropa,Mereka terlalu meremehkan Indonesia dan tak menganggapnya serius mereka memperluas wilayahnya kesana juga hanya untuk dapat tambahan SDA.
XXX
Saat perang berkecamuk, Gilang menyadari bahwa mengalahkan Romannov akan membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan kasar. Dia juga harus memenangkan hati dan pikiran rakyat Indonesia, menginspirasi mereka untuk bangkit dan memperjuangkan kebebasan mereka.
Gilang memutuskan untuk menculik Presiden pemerintah pengasingan Theodore Adhitya ke Kuala Lumpur dan menuntut Faksi konservatif mengadakan gencatan senjata dan aliansi sementara melawan pendudukan Romannov, akhirnya Faksi konservatif dan Demokratik bersekutu menyerang Romannov di front depan pertempuran tapi di front yang tak terdapat keberadaan tentara Romannov perang saudara tetap terjadi seperti biasa.
RFAA mengecam keras tindakan mantan sekutunya Oceania karena menyerang negara berdaulat secara sepihak.Akhirnya Parlemen RFAA membuat keputusan bulat untuk mendeklarasikan perang melawan Oceania dan Romanov dan bersekutu dengan melawan pasukan di Hawaii dan Terusan Trans Siberia.
Lagu yang mengerikan bergema diikuti oleh barisan pasukan yang siap membumi hanguskan seluruh Indonesia.
All hail Oceania!
Her cause is true and glorious.
All hail Oceania!
Her armies are victorious!
What sustains us never dies...
Big brother, steadfast at our side
He guides us always, firm and wise,
the light of truth, far and wide.
All hail Oceania!
Her cause is true and glorious.
All hail Oceania!
Her armies are victorious!
Still to beckon, still to shine,
marching bravely to the fore!
Built of trust and strong with pride:
Hail Oceania, evermore!
Hail!!
WAR IS PEACEFREEDOM IS SLAVERYIGNORANCE IS STRENGTH.
Angkatan laut APRIS yang menjaga kedaulatan negara ini juga mendengarkan lagu yang tak kalah mengerikannya,
Sing to the sailors, on the floating fortress'
Sing to the soldiers, on the battlefield
Sing to the airmen, in the burning azure
Sing to the farmers, rising yields
We are the children, builders of the future
And we the children swear too thee;
Loyal devotion
Fearless devotion
And too die with dignity
Sing to the thankful members of the party
Sing to the party policy
Sing to our country, mighty Oceania
And on peace and Victory.
RFAA, yang kini berbalik menentang mantan sekutunya karena bekerja sama dengan vampir, dijanjikan akan menaklukkan seluruh Eropa dan benua Amerika, yang sebelumnya dikuasai oleh Oceania. Sementara itu, RIS dijanjikan akan menguasai wilayah Asia, termasuk daerah sekitar India dan Cina, yang sebelumnya merupakan bagian dari jajahan Romannov.
Pemerintah Faksi Demokratik RIS di Papua Barat, yang dipimpin oleh Natalius Kaisepo Papare dan Teuku Muhammad Syah, yang sudah berdamai dengan mantan Presiden Pemerintah Pengasingan, mengirim agen Liga Garuda dengan kekuatan Kavaleri Robot Tempur raksasa mereka. Mereka dapat bergabung untuk berperang melawan Romanov di Terusan Trans-Siberia yang menghubungkan daratan Siberia ke Amerika Utara.
Ketika seluruh Guardian United of Nation APRIS dikirimkan ke Front Afrika Utara dan Mediterania untuk melawan Romanov dan Oceania, Pemerintah RIS mengirimkan agen Liga Garuda dengan kekuatannya untuk membantu pasukan perbatasan zona netral melindungi wilayahnya. Sementara itu, Gilang dan anak buahnya diperintahkan untuk melindungi istana pemerintahan dan kastil Vladimirovich di Surabaya yang kini telah direbut oleh pasukan republikan.
Akhirnya terjadilah perang antara Kubu Pasifik Sentral RFAA dan RIS melawan Blok Romanov dan Oceania yang disebut perang Salib Alucard oleh vampir Romannov atau perang Oceania ketiga oleh partai Ingsoc.
XXX
Zaleska mendapatkan ramalan mengerikan dari Perun, Dewa petir bangsa Slavia dan ketua dewan bangsawan vampir jika dia akan dihabisi oleh seorang ksatria hitam dan putih dari zamrud khatulistiwa.
Zaleska yakin jika orang itu pasti adalah manusia yang menjadi titisan Garuda, karena itu dia melancarkan invasi besar besaran ke Indonesia untuk menghabisi ksatria itu yang dia pikir adalah Gilang.
Roslov menyadari jika Gilang mungkin adalah ksatria hitam putih dalam ramalan yang suatu saat akan memusnahkan Zaleska, Roslov sudah muak dengan Zaleska yang selalu merendehkan dhampir Atau vampir seperti Roslov yang bukan darah murni.
Roslov yakin jika satu-satunya cara untuk menghentikan perang dan pertumpahan darah adalah semua orang harus memahami perasaan sakit dan penderitaan yang ditimbulkan akibat perang itu sendiri, agar takut dan berpikir seribu kali sebelum memulai peperangan hanya karena perbedaan antara manusia dengan ras lain. Dia juga ingin semua orang, baik manusia yang mengucilkannya karena takut, atau vampir darah murni yang merendahkannya, merasakan penderitaan yang dia alami sebagai vampir yang berumur panjang, hanya untuk tersiksa dengan kengerian perang selama ratusan tahun.
Karena itu Roslov memutuskan untuk membunuh Cecilia di depan mata Gilang agar Gilang memiliki dendam seumur hidup pada vampir dan memberikannya motivasi untuk menjadi ksatria hitam dan putih yang diramalkan Perun agar dia bisa membunuh Zaleska. Roslov akan mengambil kesempatan untuk menjadi penguasa baru Eurasia Romannov setelah Zaleska tewas ditangan Gilang.
Zaleska hanya melihat Gilang sebagai Ancaman utama karena dimimpinya hanya diperlihatkan si ksatria hitam putih yang selalu memainkan seruling, memakai bulu merak dan sangat ahli membasmi iblis,dia tak melihat sang ksatria Hitam dengan jelas di memorinya.
Tapi Roslov salah, Ksatria hitam dan putih itu bukanlah Gilang, melainkan Zaleska itu sendiri. Zaleska mati akibat dendamnya pada umat manusia. Sedangkan Gilang lebih memilih menerima kematian Cecilia sebagai perpanjangan tangan takdir. Gilang menyadari ia tak akan punya lagi tujuan hidup yang bermakna jika tergantung pada dendam dan kebencian.
Di tengah sunyi malam yang dingin, suara statis bergema di saluran radio. Hanya desis halus yang terdengar sejenak sebelum suara berat seorang pria terputus-putus muncul, menggema di seluruh frekuensi.
“Roslov, mengapa tidak menjawab?!” Suara itu penuh ketegangan, menuntut perhatian. “Tugas barumu… setelah menarik mundur pasukan dari RIS… adalah membangun pangkalan robot dan logistik darah manusia di sekitar Terusan Trans Siberia dan negara konfederasi Romanov, Amerika Utara Utara. Dengarkan baik-baik, ini bukan permintaan biasa. Kerjakan sebaik-baiknya. Pesan ini akan meledak dalam waktu 24 jam.”
Suara itu menghilang lagi dalam kilatan statis, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara, seperti badai yang siap datang. Di dalam ruang kontrol yang gelap, Roslov menatap layar radio dengan mata yang sudah terbiasa dengan ancaman, namun kali ini ada yang berbeda. Pesan itu tidak hanya mengingatkan dia akan tugas, tapi juga tentang bahaya yang mengintai, tak terhindarkan. Waktu tidak berpihak padanya.
XXX
Sebelum ada langit dan bumi, sebelum para dewa menamai diri mereka dengan gelar, sudah ada Jurang Purba—sebuah ruang tak berbentuk, gelap, dan cair, tempat segala kehendak yang tak teratur bersemayam. Manusia menyebutnya dengan banyak nama: Jurang Hampa, Samudra Kegelapan, atau Perut Dunia. Namun di antara para resi dan tetua suku, ia dikenal sebagai Lemahkarawulan—yang berarti Tanah Retak di Atas Langit, singkatnya Lamakara.
Dari pusaran itu, lahirlah seekor Komodo raksasa bersayap api, bernama Lamakara Wolu. Ia bukan dewa, bukan iblis, melainkan kehendak chaos murni yang lebih tua daripada kosmos. Kulitnya diselubungi sisik obsidian, matanya menyala seperti bara di dasar kawah, dan setiap langkahnya membuat dunia bergetar, meneteskan racun yang melahirkan ribuan makhluk buas tanpa jiwa.
Para dewa muda yang datang belakangan berusaha menaklukkan Lamakara Wolu, namun mereka tak pernah bisa menghapusnya. Karena Lamakara bukan sekadar makhluk—ia adalah manifestasi ketidakteraturan itu sendiri, luka yang menolak sembuh di tubuh semesta.
Jurang Purba yang ia kuasai ibarat penjara dan singgasana:
Di dalamnya, waktu tidak bergerak; satu detik bisa menjadi seribu tahun.
Bumi dan langit terbalik; gunung mengapung, lautan jatuh seperti hujan yang tak berujung.
Makhluk-makhluk terkutuk lahir dari napasnya, disebut Anak Wolu, makhluk yang hidup hanya untuk memangsa dan menghancurkan.
Konon, siapa pun yang jatuh ke dalam Jurang Purba akan kehilangan jati dirinya. Tubuh mereka akan berubah menjadi rantai-rantai daging, terikat pada kehendak sang Komodo, menjadi bagian dari Chaos yang tak bisa dipisahkan.
Namun ada bisik-bisik dalam naskah kuno: bahwa Lamakara Wolu bukanlah musuh abadi. Ia adalah cermin bagi para dewa dan manusia—mengingatkan bahwa tanpa kekacauan, tak akan lahir keteraturan. Bahwa untuk menumbuhkan dunia, jurang itu harus ada, tetap terbuka di balik tabir semesta.
Dari cakarannya, lahir makhluk-makhluk perusak yang tak memiliki jiwa.
Namun, Lamakara tidak sendiri. Dari tulang dan liurnya, ia melahirkan para Ashura, makhluk kontradiktif yang berwujud setengah manusia, setengah raksasa. Mereka adalah rantai hidup yang mengikat manusia ke dalam Jurang Purba.
Ashura dapat mengikat perjanjian dengan manusia yang kehilangan sesuatu (kenangan, cinta, harga diri).
Sebagai ganti, Ashura memberi kekuatan supranatural—namun menuntut “bayaran” berupa umur, kewarasan, atau jiwa.
Ashura disebut juga “Bayangan Kekacauan”, karena mereka adalah fragmen kehendak Lamakara yang terpisah namun tetap terikat.
Banyak pahlawan, raja, bahkan resi Nusantara kuno yang jatuh ke dalam kontrak Ashura, menjadikan dunia fana sebagai arena perebutan pengaruh Jurang.
---
Di dalam Jurang Purba, hanya ada lima makhluk yang diberi kehendak lebih besar dibanding Ashura. Mereka disebut tangan kanan Lamakara Wolu, yang mengatur arus kutukan dunia.
1. Brahmaditya – Sang Api Hitam
Berwujud manusia berapi dengan wajah tiga muka.
Mengatur hasrat dan nafsu manusia, membuat kerajaan besar hancur karena ambisi.
2. Ratna Kacandra – Perempuan Bertaring Bulan
Sosok ratu berwajah cantik, namun memiliki mulut ketiga di perutnya.
Menebar ilusi, menggiring manusia dalam mimpi kekal.
3. Gugur Sambu – Penggembala Tulang
Lelaki kurus membawa seruling dari tulang rusuk raksasa.
Tiap tiupan seruling memanggil ribuan roh lapar.
4. Matahunja – Sang Mata Seribu
Tubuhnya penuh mata yang terus terbuka, melihat masa lalu dan masa depan.
Penyimpan rahasia manusia yang dikorbankan.
5. Bayu Lelana – Angin Tanpa Tubuh
Tak terlihat, hanya suara.
Membisikkan kekacauan ke telinga para raja dan resi, sehingga dunia selalu berada di ambang perang.
Mereka adalah penyambung lidah Lamakara Wolu; di bumi, mereka hadir melalui bencana, peperangan, dan kutukan.
---
Di balik mereka, ada sosok-sosok yang lebih tinggi, entitas yang lahir langsung dari denyut hati Lamakara Wolu. Mereka disebut Panca Bayang
1. Sang Naya – Wajah Terbalik
Melambangkan penyangkalan, kebohongan, dan pengkhianatan.
2. Indrakara – Raksasa Bermulut Seribu
Melambangkan kerakusan dan kelaparan abadi.
3. Tumbalasa – Putri Bertangan Delapan
Melambangkan pengorbanan, penderitaan, dan keindahan yang busuk.
4. Surya Kelam – Matahari Hitam
Melambangkan kematian, waktu, dan takdir yang tak bisa ditolak.
5. Jagat Wolu – Bayangan Komodo Raksasa
Representasi langsung dari kehendak Lamakara Wolu sendiri.
Para Panca Bayang tidak turun ke dunia fana secara utuh—mereka hanya berbisik lewat mimpi, perjanjian darah, atau bencana besar. Namun, mereka adalah pengendali seluruh Ashura.
Ashura makhluk Jurang yang mengikat kontrak dengan manusia, memberi kekuatan tapi menuntut bayaran.
Ruh Kala = perantara kekacauan → lebih kuat dari Ashura, mengatur aspek-aspek bencana.
Tangan Gaib Lazuardi = entitas kosmik → puncak kekacauan, representasi langsung kehendak Lamakara Wolu.
XXX
Kabut tak biasa menggantung di kanopi hutan Khamyaka, menghitam perlahan seperti jelaga yang enggan menguap. Burung-burung kecil tak lagi berkicau. Air sungai mengalir lebih lambat dari biasanya.
Di atas dahan raksasa pohon Ratasala, bangunan dari akar, lumut, dan batu cendana berdiri: Istana Langit Bawah, tempat tinggal para pemimpin Kerajaan Wanara — bangsa monyet cerdas yang hidup tersembunyi dalam hutan suci sejak zaman kuno.
Dalam balairung yang digantung dengan jaring akar dan daun abadi, Sri Maharaja Vanikala duduk di atas takhta dari batu menyan, didampingi oleh penasihat-penasihatnya: Pendekar Bulumatang, Dukun Tua Sawarna, dan Pawang Perang Inurung.
Angin utara bertiup pelan, membawa bau amis yang tidak seharusnya sampai sejauh ini. Bau sisik dan daging busuk.
“Itu dia,” gumam Sawarna. “Lamakara Wolu telah bangkit. Sang komodo kegelapan... kembali menyeret lidahnya ke perbatasan dunia.”
Maharaja Vanikala menggenggam tongkatnya yang dibuat dari tulang keramat Nenek Moyang Langit. Matanya menyipit, penuh gelisah.
“Kupikir dia telah dikurung oleh para Dewa Timur setelah Pertarungan Matahari Kedua. Apakah segelnya telah pecah?”
Pendekar Bulumatang menjawab sambil menyilangkan ekornya:
“Tidak pecah. Tapi telah diganggu oleh anak api yang melawan tatanan — Susaroku. Dia membuka celah. Tak disadari, dia jadi jembatan bagi kegelapan lama.”
Seluruh balairung terdiam. Bahkan daun-daun pun seperti tak berani bergerak.
“Dewa muda yang terlalu gelisah,” ujar Inurung dengan suara geram. “Dunia ini sudah cukup goyah tanpa kebodohan semacam itu.”
Dari luar, seekor burung tulis bersayap tiga datang membawa gulungan kulit kayu. Pesan dari Perbatasan Renggala, tempat mata-mata Wanara berjaga.
Sawarna membukanya dan membaca cepat. Wajahnya langsung pucat:
“Pasukan Lamakara sudah mulai muncul. Bukan hanya komodo bayangan — tapi juga Orang-Orang Seret, makhluk lidah panjang dari dasar bumi. Mereka merayap ke sungai-sungai. Satu kampung suku Muwa telah hilang.”
Maharaja Vanikala berdiri perlahan.
“Hutan ini adalah jantung dunia. Jika Khamyaka roboh, maka akar langit pun retak. Kita tak bisa hanya berdoa.”
Ia menatap penasihat-penasihatnya dan berujar:
“Kita akan memanggil Panglima Tembaling, dan pasukan Pemanjat Bayangan. Dunia perlu tahu, bahwa bangsa Wanara tak lagi sembunyi.
Hari ini kita mengumumkan: Khamyaka akan melawan.”
Daun-daun tua gemetar pelan. Rasa takut masih menggantung, tapi di bawahnya menyala bara — bahwa makhluk hutan yang dulu hanya dikenal sebagai legenda, kini bersiap keluar dari bayang-bayang.
XXX
Langit masih bergemuruh ketika Putu berdiri di ujung dermaga. Ombak menghantam tiang-tiang kayu seperti suara genderang perang. Di hadapannya, perahu bercadik dengan layar sobek berdiri diam, seolah menantang badai.
“Naiklah, Sawerigading,” kata Wandaru, si penyihir tua, matanya menatap gelap di horizon. “Jika kau ingin tahu kebenaran ramalanku… perjalanan ini tak bisa ditunda.”
Putu menatap lautan yang hitam dan liar. “Ke kerajaan manusia? Aku bahkan belum pulang sehari dari petualanganku yang lalu…”
Suara angin memotong kata-katanya. Burung hitam yang tadi mengantarnya kini bertengger di tiang layar, matanya seperti bara arang.
“Tidak ada waktu,” Wandaru menggenggam tongkatnya. “*Kadita sudah menyiapkan ombaknya. Aku melihatnya dalam pantulan bulan semalam. Lautan memerah… dan langit akan menelan daratan jika kita terlambat.”
Nama itu membuat bulu kuduk Putu meremang.
“Kadita… yang kau sebut Ratu Ombak Selatan?”
Wandaru mengangguk pelan. “Dulu dia manusia. Kini dia bukan lagi manusia… Dia pengantin Laut Selatan, murid kesayangan Lamakara Wolu. Jika Ombak Hitam kembali, kerajaan manusia akan jadi karang di dasar laut.”
Putu memandang horizon, dadanya sesak. Ia memegang gagang Keris Arcapada di pinggangnya, benda yang dulu memberinya kemenangan. Tapi entah mengapa, kali ini keris itu terasa… dingin.
“Baiklah,” gumamnya, “Kalau ini tentang akhir dunia… aku ikut.”
---
Perahu itu meluncur, memotong ombak seperti tombak menembus perisai. Angin laut membawa aroma asin bercampur bau besi karat. Putu duduk di haluan, matanya menatap jauh ke depan, sementara Wandaru berdiri tegak di buritan, jubah putihnya berkibar seperti bendera perang.
“Dengarkan baik-baik, Sawerigading,” kata Wandaru. “Kerajaan manusia yang akan kita tuju… dulu adalah istana Kadita sebelum pengkhianatan itu terjadi. Keturunan ibu tirinya kini berkuasa. Mereka bersiap mengikat perjanjian dengan para Ulubalang dan Batara—tetua dan pengawal dunia—untuk menghadapi Ombak Hitam.”
“Ulubalang?” tanya Putu, telinganya bergerak sedikit. “Mereka yang konon menjaga keseimbangan bumi?”
“Ya,” Wandaru menghela napas. “Tapi tak semua Ulubalang setuju untuk turun tangan. Sebagian percaya laut harus menelan daratan agar dunia terlahir kembali…”
Putu terdiam. Angin semakin kencang. Ia merasa ada sesuatu mengikuti perahu mereka—bukan kapal, bukan ikan, tapi bayangan besar di bawah permukaan air. Ia menatap ke bawah dan…
Sekejap mata, ia melihat sisik hitam berkilat, lalu lenyap ke kedalaman.
“Wandaru… kita tidak sendiri.”
Sang penyihir mengangguk tanpa menoleh. “Itu adalah pesan… Ombak Hitam sudah tahu kita bergerak.”
Petir membelah langit, menerangi gelombang yang naik setinggi bukit. Ombak itu membentuk siluet… seperti rambut panjang seorang perempuan yang menari di atas air, dan dalam sekejap, bayangan itu memudar bersama buih.
“Dia tahu namamu, Sawerigading,” bisik Wandaru. “Dan dia menunggumu di Selatan.”
Musim gugur terakhir sebelum tanah Tiongkok benar-benar terbagi dua. Langit berwarna tembaga, asap membubung dari desa-desa yang baru saja dilalui pasukan Vostochnaya Yaponiya dari Keshogunan Ezo, negara samurai yang berpusat di Pulau Hokkaido. Vostochnaya Yaponiya adalah tentara Keshogunan Ezo yang kini telah bergabung dengan pasukan Vampir Romanov setelah bersekutunya Keshogunan Ezo oleh Romanov pasca Peranng dunia Kedua.
Saat itu menjelang berakhirnya perang dunia kedua Keshogunan Ezo sudah kalah telak oleh Oceania, namun Oceania menarik mundur pasukannya dari Jepang untuk melawan Romanov di Rusia karena Keshogunan Ezo dengan semangat Bushido nya menolak tunduk pada kekuatan musuh demi harga diri padahal di Eropa Oceania sendiri kerepotan melawan para vampir yang mendukung restorasi Romanov, meski seluruh peradabannya telah dihancurkan oleh Oceania, Oceania tak mampu membagi kekuatan untuk melawan Romanov dan sisa sisa tentara Keshogunan Sekaligus. Pangeran Alexei calon penguasa baru Kepeangerannan Romanov menghubungi sisia sisa petinggi militer Keshogunan Ezo menawarkan aliansi strategis untuk mengusir pasukan Oceania.
Sebagai hadiah karena kesetiaan Keshogunan Ezo sebagai sekutu strategis, Romanov memberikan hak istimewa untuk tetap mempertahankan wujud manusia mereka sebagai bagian harga diri bangsa matahari terbit dan membiarkan Keshogunan Ezo yang aempat kalah dalam [perang melawan sekutu mengelola wilayah yang sempat mereka kuasai di Cina selama perang dunia kedua yang koloi dibawah kendali Romanov. Namun Keshogunan Ezo sendiri sebenarnya tak seratus persen berdaulat karena keluarga bangsawan Vladimir memiliki kekuasaan yang besar untuk mengontrol kebijakan Shogun Ezo, para samurai di Hokkaido sendiri yang memiliki harga diri tinggi juga sudah lama menyiusun intrik untuk mengusir pengaruh Romanov.
Bangsa Han Cina berkuasa di wilayah Utara Benua Alekawadwipa sebelum pendudukan Keshogunan Ezo dan Romanov.
Di bagian utara benua utama Bumi—yang dikenal dalam bahasa kuno sebagai Bei Xian—terbentang daratan luas yang diselimuti angin dingin, pegunungan sakral, dan sungai-sungai purba yang dipercaya mengalir dari langit. Wilayah ini terbagi menjadi 10 kerajaan merdeka dan 6 dinasti keturunan langit, sisa-sisa dari Kekaisaran Tiongkok Lama yang telah terpecah seribu tahun lalu pasca-Perang Awan Merah.
Selama tiga abad terakhir, perdamaian hanya dipertahankan lewat tipu daya, pernikahan politik, dan perjanjian rapuh yang mudah terbakar oleh ego, dendam leluhur, dan ambisi dewa-dewa lokal yang belum sepenuhnya mati. Perpecahan yang berlarut larut ini membuat bangsa Bei Xian yang awalnya maju menjadi tertinggal secara teknologi dari bangsa lain dan terpecah belah, puncaknya mereka semua ditakukan oleh Keshogunan Ezo
. Di antara reruntuhan sebuah desa kecil di provinsi Shanxi, dua anak berlari di tengah kobaran api.
Meilin, sang kakak, berumur enam belas. Bajunya compang-camping, darah menetes dari pelipisnya. Di tangannya, ia menarik seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun: Haoran, adiknya.
“Tahan sedikit lagi, Ran,” bisiknya, napas tersengal. “Kita hampir selamat.”
Tapi takdir sudah menunggu di belokan jalan.
Sebuah peluru nyasar meledakkan pohon di samping mereka. Meilin terlempar ke semak-semak, Haoran jatuh ke tanah, tak bergerak. Ketika ia membuka mata, wajah-wajah asing menyambutnya: Samurai Ezo, dengan sorot mata tanpa ampun.
Meilin sadar kembali di atas tandu, diangkut oleh pasukan berpakaian sederhana, bersenjata seadanya—pemberontak anti-Romanov , kelompok rakyat yang berjuang di balik bayang-bayang perang. Mereka memberitahunya: adiknya tak bisa diselamatkan. Ia hilang—mungkin tewas, mungkin ditangkap.
Tapi Meilin tahu hatinya: Haoran masih hidup.
Sejak malam itu, Meilin tak pernah berhenti mencari.
---
Bertahun-tahun berlalu. Di pegunungan Wu Dang, seorang wanita muda dengan napas dalam dan langkah ringan menari mengikuti angin. Rambutnya panjang, wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.
Ia bukan sekadar murid Taichi. Ia adalah Meilin, yang kini dikenal sebagai Murid Utama Guru Bai Chan, pewaris ajaran Taichi Langit Sembilan. Tapi lebih dari itu—Meilin telah mengetahui jati dirinya:
“Kau bukan sekadar anak desa,” kata gurunya suatu malam. “Kau adalah titisan Kwan Im. Sang Welas Asih yang diturunkan kembali saat dunia dikuasai oleh penderitaan.” Guru Bai Chan menepuuk pundak Meilin.
---
Di utara, di dalam istana dingin Changchun, seorang pemuda berdiri di depan cermin. Seragam Jenderal Manchukuo melekat sempurna di tubuhnya. Ia dikenal sebagai Jenderal Besar Hoshikawa Ren, tangan kanan Jepang, penumpas pemberontak, simbol kekuatan baru.
Setelah Haoran ditemukan oleh pasukan Jepang dan diidentifikasi memiliki kekuatan luar biasa, ia dibawa ke Changchun dan diberikan nama baru: Hoshikawa Ren. Nama yang dipilih untuk menandai kelahirannya kembali sebagai putra Manchukuo dan lambang kekaisaran boneka Jepang.
Sebagai Hoshikawa Ren yang telah dicuci otak oleh Jepang hingga hampir lupa masa lalunya, ia bukan lagi anak kecil yang lari dari pembantaian. Ia adalah jenderal muda yang tangguh, yang akan menjadi wajah dan tangan kekuasaan Jepang di Manchukuo.
Namun, dalam dirinya masih ada sisa-sisa Haoran yang asli—yang terkadang muncul dalam mimpi dan keraguan batin.
Namun nama aslinya… adalah Haoran.
Pikiran dan ingatannya telah dicuci. Tapi jiwanya, tak bisa dihapus seluruhnya. Dan itu yang membuatnya berbahaya.
Karena dalam dirinya, tertanam kekuatan lama: roh Yanwang, Dewa Keadilan dan Kematian, yang kembali ke dunia… tapi salah jalan.
---
Dua saudara. Dua jiwa. Dua jalan yang berseberangan.
Satu menuju cahaya.
Satu tenggelam dalam bayangan.
Tapi keduanya ditakdirkan untuk bertemu kembali.
Bukan sebagai saudara.
Tapi sebagai musuh dalam takdir kekaisaran terakhir.
---
Di balik bayang-bayang kekaisaran boneka Manchukuo, Jepang mengadakan rapat rahasia di Tokyo. Di antara para jenderal dan pejabat tinggi, beredar kabar tentang seorang anak laki-laki yang ditemukan di reruntuhan desa di utara.
Para perwira intelijen Jepang sudah menyaksikan sesuatu yang luar biasa:
Anak itu—Haoran—memiliki aura aneh, kekuatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa.
“Ini bukan sekadar anak biasa,” ujar seorang jenderal dengan nada serius. “Ada sesuatu di dalam dirinya. Kekuatan magis kuno, yang bisa menjadi senjata paling ampuh kita—atau bencana terbesar jika salah arah.”
Para pemimpin Jepang pun sepakat untuk mengambil langkah berbeda dari biasanya. Mereka tidak hanya ingin mengubahnya menjadi prajurit biasa, tapi mengolahnya agar menjadi simbol sekaligus alat kendali.
Maka, Haoran diperkenalkan kepada Hoshikawa Takeshi, sang master Beladiri tangan kosong Tendou legendaris yang memang sudah dikenal di lingkaran militer Jepang sebagai guru yang mampu mendisiplinkan dan membentuk pemuda menjadi prajurit unggul. Namun Funakoshi juga dikenal memahami aspek spiritual dalam seni beladiri.
“Jika kau bisa mengasah kemampuan fisik dan jiwa anak ini,” kata seorang perwira Jepang, “kita bisa menciptakan pejuang sempurna—pahlawan yang akan membungkam pemberontak sekaligus menguatkan rezim boneka kita.”
Takeshi menerima tugas itu, menyadari bahwa pelatihan ini bukan sekadar soal teknik, tapi juga pengendalian kekuatan mistis yang terpancar dari Haoran.
Untuk menambah legitimasi politik dan menjaga kontrol, Jepang memutuskan untuk menyerahkan Haoran secara resmi kepada Kaisar Puyi. Secara simbolis, Haoran diangkat sebagai anak angkat Puyi sekaligus Jendral Besar Kekaisaran Manchukuo, agar masyarakat Manchukuo dan dunia percaya bahwa pemuda ini adalah bagian dari garis kekaisaran—bukan sekadar boneka Jepang.
Puyi sendiri, yang sejak lama merasa terperangkap oleh takdir dan kekuasaan asing, menerima Haoran dengan hati berat.
“Kau adalah harapan terakhirku,” bisik Puyi pada Haoran di sebuah malam yang sunyi. “Aku tak pernah meminta menjadi kaisar boneka, tapi aku akan melindungi kau seperti anak sendiri. Jangan biarkan mereka mengambil jiwamu.”
Puyi melihat dalam diri Haoran bukan hanya pewaris, tapi juga lambang penderitaan dan penyesalan yang selama ini membelenggunya.
Dengan status anak angkat kaisar dan murid langsung Funakoshi, Haoran menjalani latihan keras, dibentuk sebagai prajurit sekaligus simbol kekuasaan dan mistik. Ia dididik dengan disiplin ketat, namun selalu dipantau agar kekuatannya tidak melampaui kontrol Jepang.
Namun kekuatan magis yang ada di dalam dirinya tidak bisa dijinakkan begitu saja.
Dan takdir mulai berjalan, membawa Haoran menuju konfrontasi dengan masa lalunya sendiri—dengan kakak yang selama ini mencari dan menunggu dia.
Bab 1: Kekalahan dan Awal Baru
Musim semi tahun 1946 menyelimuti Beijing dengan udara dingin yang menggigit. Kota yang dulu megah kini berubah menjadi ibu kota dua dunia yang bertentangan. Di utara, bayang-bayang Manchukuo merayap perlahan ke jantung negeri. Di selatan, Republik Tiongkok di bawah Wang Jingwei berusaha mengukir namanya sebagai harapan baru. Di balik layar, kekuatan besar Jepang mengatur papan catur yang rumit, memastikan semua bidak bergerak sesuai kehendaknya.
Setelah Blok poros memenangkan perang dunia 2, Jepang dan negara-negara bonekanya menguasai bumi bagian timur sedangkan bumi bagian barat dikuasai oleh Nazi Jerman.
Puyi, Kaisar terakhir Qing, berdiri di balkon istana besar di Changchun. Mata mandarin kuno itu menatap ke cakrawala yang luas, namun jauh di dalam hatinya ada rasa getir yang tak terucapkan. Ia adalah simbol masa lalu, namun terjebak dalam peran boneka. Jepang telah mengembalikannya ke singgasana—bukan sebagai penguasa sejati, melainkan sebagai alat legitimasi.
Di sisi lain, Wang Jingwei mengumpulkan kabinetnya di Nanjing. Mantan pejuang nasionalis yang dulu menentang Jepang, kini ia menjadi pemimpin rezim boneka yang diakui oleh Negeri Matahari Terbit. Ia berbicara dengan suara penuh tekad, “Persatuan adalah jalan satu-satunya. Tapi persatuan di bawah bimbingan Jepang adalah satu-satunya yang memungkinkan kita hidup damai.”
Namun, di bawah kata-katanya, tersimpan ambisi yang membara. Wang ingin membuktikan bahwa ia bukan hanya boneka, tapi pewaris sah peradaban Cina modern. Ia bermimpi menyatukan kembali bangsa yang terpecah dan mengembalikan kejayaan masa depan—meskipun dengan biaya harga dirinya sendiri.
Di antara dua rezim itu, rakyat Cina hidup dalam ketidakpastian. Banyak yang membenci keduanya sebagai kolaborator, namun tidak sedikit yang memilih bertahan dan menunggu saat perubahan datang. Di desa dan kota, gerakan bawah tanah mulai bergerak, menanam benih-benih perlawanan yang kelak akan membakar seluruh negeri.
Di ruang-ruang rahasia Tokyo, para jenderal dan politikus Jepang memandang Cina sebagai ladang kekuasaan dan sumber daya yang tak ternilai. Mereka tahu, menjaga agar Manchukuo dan Republik Wang tetap terpisah dan saling bertentangan adalah strategi terbaik untuk mengontrol wilayah luas itu. Namun, mereka juga menyadari, ketegangan itu seperti bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi api perang.
Musim semi itu bukan hanya musim bunga yang merekah. Itu adalah awal dari babak baru perjuangan, intrik, dan pertempuran di negeri terbelah yang dipertaruhkan oleh ambisi dua manusia dan satu kekaisaran.
Waktu Haoran berusia 13 tahun, seorang guru dari Jepang tiba di Manchukuo: Gichin Funakoshi. sang pendiri Karate Shotokan. Meski sudah tua, ia diundang oleh militer Jepang untuk "melatih disiplin kekaisaran" pada para pemuda pilihan.
Puyi sendiri yang memilih Ren untuk dikirim ke pelatihan itu.
“Karena jika aku tak bisa melindungi rakyatku dengan pena, mungkin kau bisa melindungi mereka dengan tanganmu.”
Funakoshi bukan pelatih kejam. Ia keras, ya—tapi terhormat. Di bawah bimbingannya, Haoran belajar karate bukan sebagai seni membunuh, tapi seni pengendalian diri.
“Orang kuat bukan yang mengalahkan musuhnya, tapi yang bisa mengalahkan amarahnya,” kata sang guru.
“Jika kau berdiri sebagai pemimpin, kau harus bisa berdiri juga saat semua orang menunduk.”
Tapi militer Jepang tak suka prinsip itu. Mereka mencoba mendorong Ren jadi alat propaganda. Dan meskipun ia dilatih dalam disiplin Jepang, jiwanya tak sepenuhnya tunduk.
Kini, sebagai jenderal muda Manchukuo, Ren adalah simbol. Wajahnya di poster. Namanya dielu-elukan. Tapi di dalam hatinya, ia dihantui mimpi—mimpi seorang gadis remaja, dengan mata lembut dan suara samar yang memanggilnya dari gunung bersalju.
Ia tak tahu itu adalah Meilin, kakaknya.
Dan ia tak tahu bahwa di dalam tubuhnya mengalir roh Yanwang, yang haus keadilan... dan sedang bertarung melawan penjara ideologi yang dipaksakan padanya.
Di malam yang tenang, Puyi dan Ren berdiri di balkon istana.
Jika kau jadi penguasa suatu hari, Ren,” kata Puyi sambil menatap bulan, “jangan jadi aku. Jangan diam. Jangan jinak.”
Ren menunduk.
“Tapi... bukankah kaisar harus taat pada langit?”
Puyi tertawa lirih.
“Langit tidak butuh taat, anakku. Langit butuh keberanian.”
Di balik tirai sutra merah yang menutup jendela kamar istana Changchun, Puyi duduk termenung. Cahaya lampu minyak menari di wajahnya yang tampak letih. Di depannya, Haoran berdiri dengan sikap tegap—namun matanya menyimpan keraguan yang tak terucapkan.
Puyi memandang anak angkatnya itu dengan lembut, namun ada kesedihan mendalam yang tersirat.
“Ren,” panggilnya pelan, “kau tahu aku bukan kaisar sesungguhnya. Aku hanyalah boneka dalam permainan yang jauh lebih besar.”
Haoran menunduk, tidak berani membalas.
“Kau adalah anak yang paling kupercayai di dunia ini,” lanjut Puyi, “namun aku takut... aku takut kekuatan yang mengalir dalam darahmu bisa menjadi pedang yang melukainya sendiri.”
Haoran terdiam. Sepanjang hidupnya, ia telah dididik sebagai prajurit, tapi tak pernah benar-benar tahu arti dari kekuatan yang dimilikinya—atau bagaimana mengendalikannya.
Puyi melanjutkan, “Wang Jingwei, orang itu... aku cemburu padanya, Ren. Ia punya suara rakyat, meski mungkin salah arah. Aku hanya punya tahta kosong dan bayang-bayang yang mengikuti setiap langkahku.”
Haoran mengangkat kepala, “Ayah Kaisar, aku ingin menjadi lebih dari sekadar bayangan. Aku ingin melindungi negeri ini, walau harus menghadapi segala kegelapan.”
Puyi tersenyum tipis, “Itulah yang membuatku bangga padamu. Tapi ingat, Ren, kekuatan besar datang dengan tanggung jawab besar. Jangan sampai kau kehilangan diri sendiri.”
Di luar istana, malam menyelimuti Changchun. Tapi di dalam hati Haoran, badai mulai mengamuk. Suara-suara masa lalu dan masa depan berbaur menjadi satu. Mimpi-mimpi tentang seorang gadis dengan mata lembut terus mengganggu tidurnya.
Bab 2: Politik Bayangan dan Persaingan Simbolik
Sejak usia 13 tahun, Ren menjalani pelatihan keras di bawah bimbingan Gichin Funakoshi, guru karate yang disegani dan dihormati. Funakoshi bukan hanya mengajarkan teknik bela diri, tapi juga filosofi dan kedisiplinan.
Funakoshi melihat potensi besar dalam diri Ren, bukan hanya dari sisi fisik, tapi juga kekuatan mistis yang terpancar dari jiwanya.
Kadang, dalam latihan, Funakoshi akan menegur Ren:
“Ren, kau harus mengendalikan amarahmu. Kekuatan terbesar bukanlah yang menghancurkan, tapi yang mampu menjaga keseimbangan.”
Di saat lain, sang guru berbicara tentang kehormatan dan pengorbanan:
“Seorang pejuang sejati adalah dia yang berjuang bukan karena membenci musuh, tapi karena cinta pada kehidupan.”
Namun, Ren merasa terjebak di antara dua dunia. Pelatihan Funakoshi yang menanamkan nilai-nilai kedamaian dan pengendalian diri berseberangan dengan tugasnya sebagai jenderal yang harus membasmi pemberontak.
Ia sering merasa bersalah saat harus memimpin serangan, terutama saat mendengar tentang gerakan bawah tanah yang semakin kuat.
Meski Funakoshi adalah mentor dan figur ayah, Ren tahu bahwa guru dan rezim Jepang memiliki tujuan berbeda.
Funakoshi berusaha menjaga kemanusiaan Ren, tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menentang kehendak kekaisaran.
Suatu malam, setelah latihan panjang, Funakoshi mendekati Ren dengan suara pelan.
“Kau bukan hanya pejuang, Ren. Kau adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jangan biarkan dirimu terperangkap di masa kini yang gelap.”
Ren memandang guru yang dihormatinya itu dengan mata berkaca-kaca. Dalam hati, ia tahu perjuangannya belum berakhir—dan bahwa kekuatan mistis yang mengalir dalam darahnya bukan hanya berkah, tapi juga kutukan.
XXX
Ketika pagi pertama menyinari Nanjing, Wang Jingwei sudah duduk di mejanya, memeriksa laporan dari para pejabatnya. Di balik senyum yang terlatih dan tutur kata yang halus, ada kepanikan yang ia sembunyikan dengan rapi. Rezimnya bukanlah penguasa sejati, melainkan pion di atas papan catur Jepang yang lebih besar. Namun, Wang menolak menjadi sekadar boneka.
Dalam pidatonya di depan ribuan pendukung di alun-alun kota, Wang berusaha membangun citra sebagai penyelamat bangsa. "Kami membawa kedamaian dan harapan di tengah kegelapan perang," katanya, suaranya bergema penuh semangat. "Bersama Jepang, kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah untuk Cina!"
Di Changchun, Puyi mengamati situasi dari istananya yang megah namun sunyi. Para penasihatnya melaporkan aktivitas propaganda Wang yang semakin gencar, mencoba menarik simpati rakyat Cina yang masih merindukan persatuan nasional. Puyi tahu, legitimasi tradisionalnya sebagai Kaisar Qing tidak cukup untuk menghadapi Wang yang piawai berpolitik modern.
Maka dimulailah perang dingin yang tak terlihat: propaganda, spionase, sabotase kecil, dan diplomasi gelap. Kedua rezim berlomba menampilkan diri sebagai satu-satunya wakil sah Cina di hadapan Jepang dan dunia internasional.
Jepang, yang mengawasi persaingan ini dengan penuh kepentingan, sesekali memfasilitasi pertemuan rahasia antara para perwira militer Manchukuo dan pejabat Wang, mencoba menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun di balik layar, mereka bersiap menghadapi kemungkinan terburuk: jika perang antara dua rezim boneka itu meletus, Jepang harus memastikan bisa mengendalikan situasi dengan tangan besi.
Sementara itu, rakyat biasa hidup dalam kebingungan. Beberapa memilih bergabung dengan pasukan Wang demi janji stabilitas dan modernisasi. Sebagian lagi melihat Puyi sebagai simbol masa lalu yang harus dilestarikan, walau dalam status yang terbelah. Namun yang paling berbahaya adalah kelompok bawah tanah yang menolak kedua rezim dan Jepang, mengorganisir diri mereka menjadi perlawanan yang tersebar luas.
Di malam yang dingin, Wang Jingwei menatap peta Cina yang terbentang di dinding kantornya. Ia tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal wilayah, tapi soal masa depan bangsa yang terpecah-belah. Dan ia bersumpah, apapun yang terjadi, ia akan menjadi nama yang dikenang sebagai penyatu, bukan pecah belah.
Bab 3: Gerakan Bawah Tanah dan Ketegangan
Di sebuah desa kecil di perbatasan selatan Manchukuo, seorang pria tua menggali di kebun saat matahari hampir tenggelam. Dari balik tanah, ia menarik sebuah kotak kayu lapuk, isinya bukan emas atau harta perang, melainkan bendera merah dengan bintang kuning, usang tapi masih utuh. Ia menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca.
"Bendera rakyat," bisiknya. "Bendera sejati."
---
Jauh dari istana megah Puyi dan ruang pertemuan mewah Wang Jingwei, rakyat Cina mulai menggeliat. Gerakan bawah tanah yang selama perang besar tidur seperti bara, kini mulai menyala kembali.
Di wilayah utara, sebuah kelompok rahasia yang menyebut diri mereka "Sisa-Sisa Kiri" mulai melakukan sabotase terhadap jalur suplai militer Manchukuo. Mereka dulunya adalah sisa Tentara Merah Komunis yang bersembunyi ketika Mao Zedong gugur dalam invasi Jepang. Kini, mereka menyebarkan pamflet anti-Puyi dan anti-Jepang ke desa-desa, merekrut petani dan buruh yang muak dijadikan alat oleh kekuatan luar.
Di selatan, wilayah Wang Jingwei, kelompok lain muncul: "Persatuan Han Baru", kumpulan bekas loyalis Chiang Kai-shek, reformis muda, bahkan mantan simpatisan Wang sendiri yang kini kecewa. Mereka menuduh Wang telah menjual kedaulatan bangsa, dan memimpikan kebangkitan republik tanpa bayang-bayang Jepang.
---
Di Nanjing, intelijen Jepang melaporkan peningkatan aktivitas "subversif". Jenderal Hirose, perwakilan Tokyo di Cina selatan, memandang tajam laporan di mejanya.
"Perang mungkin belum terjadi di medan tempur," katanya kepada asistennya, "tapi sudah dimulai di kepala rakyat mereka."
Wang Jingwei tahu soal ini. Ia perintahkan penangkapan besar-besaran di universitas dan mencurigai pasukan Manchukuo diam-diam menyuplai senjata ke para pemberontak sebagai cara melemahkan rezimnya.
Di Changchun, Puyi merasa situasi memburuk. Ia menerima laporan bahwa tentara Wang menyusup ke daerah perbatasan timur, berpura-pura sebagai pedagang, padahal menyebarkan ide “Republik Bersatu”. Puyi mulai curiga—bukan hanya pada Wang, tapi pada Jepang sendiri. Apakah Jepang sengaja membiarkan api kecil ini membesar agar bisa turun tangan langsung?
---
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak perang berakhir, radio gelap yang dipancarkan dari pegunungan barat menyiarkan suara asing:
“Bangkitlah rakyat Tiongkok. Kekaisaran palsu dan Republik palsu sama-sama musuhmu. Kami belum mati. Kami menunggu saatnya.”
Puyi mendengarkan siaran itu dalam diam, wajahnya membeku. Wang Jingwei memerintahkan pelacakan frekuensi. Jenderal Jepang menandai lokasi transmisi di peta, lalu hanya berkata,
“Biarkan mereka berbicara sebentar lagi. Dari kekacauan, kita akan temukan siapa yang patut dibinasakan.”
Perang dingin itu kini menyentuh tanah. Bukan lagi perang antara dua pria boneka, tapi antara masa depan yang belum ditentukan dan masa lalu yang tak mau mati.
---
Salju belum sepenuhnya mencair di perbatasan timur antara wilayah Manchukuo dan zona pengaruh Wang Jingwei ketika tembakan pertama terdengar. Bukan dari senapan resmi, tapi dari senjata buatan Soviet—diselundupkan entah oleh siapa. Mayat lima tentara muda ditemukan di sebuah hutan pinus, seragam mereka bercampur: dua dari Manchukuo, tiga dari pasukan lokal pro-Wang. Tidak ada penjelasan, tidak ada pengakuan. Hanya pesan yang dibakar separuhnya: "Ini bukan lagi perang kalian."
Puyi, mendengar kabar itu, menggelar rapat darurat. Ia memandang ke luar jendela istana Changchun yang dikelilingi dinding dingin dan bayang-bayang Jepang.
“Jika Wang yang memulai ini,” katanya pelan, “maka ini saatnya membalas... tanpa Jepang pun, jika perlu.”
Bab 4: Dua Api, Satu Negara
Angin musim semi membawa bau mesiu dan tanah basah. Di pegunungan barat Hubei, di dalam gua sempit yang dulunya digunakan Tentara Merah sebagai pos terakhir, sebuah kongres rahasia berlangsung. Lilin menyala, asap tembakau bercampur dengan bisikan. Di tengah ruangan, berdiri seorang wanita muda dengan bekas luka di wajah dan mata yang menyala seperti bara:
“Kita sudah lihat boneka berbicara seolah-olah mereka raja. Kita sudah lihat para pengkhianat menyebut diri mereka penyelamat. Tapi malam ini, kita tak lagi bersembunyi. Kita adalah api ketiga.”
Namanya Lin Xue, bekas kurir Tentara Merah. Ia kini memimpin faksi baru yang mencoba menyatukan“Sisa-Sisa Kiri” dan “Persatuan Han Baru”—dua kelompok yang sebelumnya bersaing. Ia tidak percaya pada Mao, tidak percaya pada Chiang, tidak percaya pada Wang ataupun Puyi. Tapi ia percaya pada satu hal: bahwa Cina harus kembali jadi milik rakyatnya sendiri.
---
Sementara itu, di Changchun dan Nanjing, kedua pemimpin boneka mulai kehilangan cengkeraman. Tentara yang dulu setia mulai membelot. Kota-kota kecil menyatakan “netralitas bersenjata.” Dan jaringan radio gelap mulai menyebarkan sebuah simbol baru—gabungan bintang merah dan matahari biru, dikitari tulisan:
“Satu negara, bebas dari kekaisaran dan koloni. Kami tak lagi diam.”
Puyi mengurung diri, hanya ditemani pelayannya yang setia dan sebotol sake. Di dinding, ia memandangi lukisan dirinya dalam jubah kekaisaran, lalu memutar radio lagi dan lagi, mendengarkan suara Lin Xue.
Wang Jingwei tidak tinggal diam. Ia mencoba menghubungi kelompok Persatuan Han Baru, menawarkan amnesti dan posisi politik, tapi tak ada jawaban. Di saat yang sama, para mahasiswa yang dulu ia lindungi kini membakar poster dirinya di jalanan.
---
Pada 15 Mei, sesuatu yang tak terduga terjadi: di kota Luoyang, sebuah garnisun Manchukuo dan satuan lokal pro-Wang justru berhenti bertempur, lalu bersatu. Mereka mengibarkan bendera merah-matahari biru baru itu dan menulis di gerbang kota:
“Kami hanya akan patuh pada suara rakyat. Bukan kekaisaran palsu. Bukan republik boneka.”
Berita itu menyebar cepat.
Tokyo panik.
Jenderal Hirose dipanggil kembali, dan digantikan oleh seorang pejabat sipil yang lebih “halus.” Tapi Lin Xue tahu, itu artinya satu hal: Jepang sedang mempersiapkan sesuatu. Sesuatu besar.
---
Di akhir bab, kita melihat Lin Xue menulis surat:
“Aku tak tahu apakah kita akan menang. Tapi untuk pertama kalinya sejak perang besar itu, kita tak lagi bertarung demi nama orang mati. Kita bertarung demi hidup kita sendiri.”
---
Namun para penasihatnya terbagi. Sebagian curiga kelompok ‘Sisa-Sisa Kiri’ yang mulai bertindak sendiri, mencoba memancing perang antarrebutan boneka. Sebagian lain justru mencurigai Jepang... menciptakan insiden kecil untuk memperkuat alasan menduduki kembali kedua wilayah secara terbuka.
---
Sementara itu, di Nanjing, Wang Jingwei gelisah. Ia telah memerintahkan operasi penyusupan ke timur hanya untuk propaganda, bukan penyerangan. Tapi situasi memburuk. Intelnya menyebut ada mantan jenderal Kuomintang yang kini memimpin operasi lapangan secara liar, tanpa kendali penuh dari pemerintah pusat.
“Bagian dari saya ingin menyerang balik,” ujar Wang pada Jenderal Hirose yang datang berkunjung, “tapi bagian lain sadar... setiap peluru yang dilepaskan bisa membuka jalan bagi pasukan Jepang untuk masuk sebagai ‘penjaga damai’.”
Jenderal Hirose hanya tersenyum tipis. “Terkadang, satu ledakan kecil lebih berguna daripada sepuluh tahun diplomasi.”
---
Di medan, ketegangan makin panas. Desa-desa di perbatasan terbagi: sebagian menyembunyikan pejuang gerilya, sebagian menyerah pada tekanan militer. Seorang pemuda dari “Persatuan Han Baru” tertangkap saat mencoba meledakkan jembatan suplai Manchukuo. Sebelum dieksekusi, ia hanya berkata:
“Tidak penting siapa menembak siapa. Asal semua saling menembak, Jepang akan panik. Dan kalau Jepang panik, mereka akan menunjukkan wajah aslinya.”
---
Akhir bulan itu, di sebuah perbatasan kecil bernama Gaotai, terjadi bentrokan besar pertama. Dua batalion saling klaim wilayah. Pertempuran berlangsung 11 jam, dengan artileri ringan dan dukungan udara terbatas dari Jepang—yang kali ini datang terlambat.
Ketika debu mengendap, lebih dari 200 orang tewas. Tidak ada deklarasi perang, tidak ada pernyataan resmi. Tapi dunia tahu: perang saudara sedang menetas di antara reruntuhan koloni.
---
Di Tokyo, para pejabat militer berselisih. Ada yang ingin mengintervensi penuh, mengganti kedua pemimpin boneka dengan wajah baru yang lebih patuh. Ada pula yang menyarankan membiarkan mereka hancur sendiri, lalu datang sebagai “penyelamat”.
Dan di balik layar, sebuah pesan lain disiarkan oleh radio gelap:
“Tunggu badai pertama. Lalu kita akan bicara di reruntuhan mereka.”
Bab 5: Bayang-Bayang Intervensi
Langit di atas Laut Tiongkok Timur dipenuhi awan berat. Di pelabuhan Shanghai, sebuah kapal asing merapat diam-diam malam itu. Bukan kapal Jepang. Bukan kapal Inggris. Tapi kapal dagang Jerman—berbendera swastika, dengan lambung yang memuat lebih dari sekadar barang industri.
Senjata. Propaganda. Dan seorang "penasihat khusus" dari Berlin.
---
Dalam istana Wang Jingwei yang penuh ketegangan, sang pemimpin menerima tamu asing itu dengan senyum hambar. Ia tahu siapa mereka: utusan dari Berlin* yang kini secara resmi menyatakan “dukungan penuh untuk stabilitas dan kedaulatan pemerintahan Nanjing.”
Dibalik kata-kata diplomatik itu, tersimpan niat yang lebih gelap: Nazi Jerman menganggap Wang lebih bisa diajak bicara daripada Puyi Mereka ingin mengimbangi pengaruh Jepang, sekaligus membuka jalur pengaruh mereka sendiri di Asia Timur—melalui politik rasial, teknologi propaganda, dan taktik kontra-gerilya yang telah mereka uji di Eropa Timur.
Penasihat Jerman, Kolonel Krüger, menawarkan pelatihan intelijen, penataan kembali satuan milisi, dan sistem kamp interniran bergaya Gestapo untuk menumpas “elemen subversif”. Wang ragu, tapi juga putus asa. Ia menandatangani perjanjian awal.
“Kita tak boleh kalah,” katanya kepada kabinetnya. “Jepang mempermainkan kita. Setidaknya Jerman membuat kita kuat.”
Di sisi lain, Jepang khawatir. Mereka tahu, jika Wang dikuatkan oleh Nazi, maka dominasi Jepang di Asia bisa tergoyahkan. Mereka segera meningkatkan kontrol di Manchukuo. Bukan hanya lewat pasukan, tapi lewat budaya, sekolah, dan simbol.
Puyi dipaksa menghadiri parade militer di Mukden, mengenakan seragam gaya Jepang, mengangkat tangan dengan gaya shinto. Di sekolah-sekolah Manchukuo, bahasa Mandarin dikurangi—diganti dengan bahasa Jepang. Anak-anak diajarkan bahwa Puyi adalah pemimpin surgawi, tapi Kaisar Jepang adalah ayah semesta.
Tapi upaya ini gagal total di lapisan bawah. Petani tetap menyembunyikan pamflet pemberontakan di bawah karung beras. Di antara para perwira muda Manchukuo, beredar desas-desus bahwa mereka akan dikhianati—dikirim ke medan perang sebagai umpan jika Jepang memutuskan turun tangan penuh.
Puyi sadar akan gelombang ketidaksetiaan itu. Ia mengumpulkan sekelompok loyalis—bukan kepada Jepang, tapi kepadanya pribadi Ia mulai berbisik tentang menghidupkan kembali Dinasti Qing tanpa Jepang, bahkan menawarkan pembicaraan rahasia dengan kelompok Lin Xue. Tapi Lin menolak.
“Kami tidak butuh kaisar baru. Kami butuh akhir dari segala boneka.”
---
Di Nanjing, parade militer dengan bendera swastika kecil berdampingan dengan bendera Tiongkok versi Wang. Di menara kontrol, Kolonel Krüger mencatat tiap langkah pasukan, dengan mata tajam.
Di Changchun, parade ulang tahun Kaisar Jepang, dengan Puyi berdiri di podium, namun Tangannya gemetar “Aku orang Tionghoa. Bukan boneka.”
Dan dari pegunungan barat, radio Lin Xue kembali bersuara:
“Mereka mendatangkan orang asing untuk mempertahankan tahta. Kita hanya perlu rakyat untuk merobohkannya.”
XXX
Sementara itu, di pegunungan Wu Dang, Meilin tengah melatih gerakan Taichi yang diajarkan gurunya. Ia tak tahu bahwa adiknya kini menjadi musuh yang paling berbahaya.
Perjalanan Haoran dan Meilin akan segera bertemu. Tapi sebelum itu, mereka harus berhadapan dengan bayang-bayang yang lebih besar: masa lalu yang tak terhapus dan kekuatan yang siap membakar negeri.
Di bawah bayangan Gunung Taihang, suara genderang bambu menggema ke seluruh lembah. Pasukan rakyat berkumpul—para petani, mantan serdadu, biksu-biksu dari kuil yang hancur, bahkan anak-anak desa. Mereka semua berkumpul di belakang satu sosok: Meilin.
Kini ia bukan hanya murid Taichi, tapi komandan spiritual dan simbol pemberontakan. Ia mengenakan pakaian putih sederhana, rambut dikuncir tinggi, dan matanya bersinar lembut tapi tajam. Di tangannya tidak ada pedang—hanya jurus dan niat yang tak tergoyahkan.
Di tengah medan pertempuran kecil di dekat Hebei, sekelompok tentara Jepang menghadang pasukan rakyat. Mereka datang dengan bayonet dan senapan, penuh keyakinan bahwa rakyat takkan mampu melawan.
Tapi Meilin melangkah ke depan, berdiri sendiri.
“Letakkan senjatamu,” katanya tenang. “Kalian takkan bisa menembus langit yang aku jaga.”
Para prajurit tertawa, menodongkan senapan. Tapi dalam satu tarikan napas, angin berubah.
Meilin mulai bergerak. Jurus demi jurus Taichi mengalir seperti air: lambat, tapi penuh tenaga dalam. Ia menggeser langkah seperti awan, dan saat lawan menyerang, ia membalikkan arah serangan mereka sendiri.
Tubuh-tubuh beterbangan tanpa ia menyentuh langsung. Angin yang dihasilkan dari gerakannya menciptakan tekanan udara, seperti tamparan langit.
“Ini bukan serangan biasa,” gumam seorang prajurit Jepang. “Ini... sihir!”
Di momen kritis, saat tembakan diarahkan ke arah anak-anak desa yang ikut mengungsi, mata Meilin menyala lembut keperakan. Sosok siluet seorang wanita berjubah putih muncul di belakangnya—bayangan Dewi Kwan Im.
Tangan Meilin bergerak seperti membelah udara. Senjata-senjata terlempar dari tangan lawan.
Tanah bergetar.
Bunga-bunga kecil mekar di bekas medan perang.
Para prajurit Jepang lari tunggang-langgang.
Kabar tentang "Perempuan Dewa dari Wu Dang" menyebar seperti api. Pasukan rakyat anti-Jepang kini berjumlah ribuan. Mereka berhasil merebut kembali wilayah dari utara Hebei hingga pinggiran Beijing.
Panji merah dengan simbol awan dan matahari terbit dibentangkan di atas gerbang kota kecil.
Jepang mulai panik. Mereka tahu ini bukan lagi soal perang biasa. Ini sudah menyentuh dimensi spiritual dan simbolik yang tidak bisa ditumpas dengan meriam.
Akhirnya, Tokyo memberi perintah khusus. Di sebuah siaran radio yang diterjemahkan ke bahasa Cina dan disebarkan lewat selebaran dari udara, Jepang mengumumkan:
“Kami tidak ingin menghancurkan rakyat. Kami ingin menunjukkan bahwa kekuatan sejati adalah kehormatan.
Karena itu, kami menantang Meilin, sang pemimpin pemberontak, untuk duel tunggal.
> Wakil kami: Jenderal Muda Hoshikawa Ren.”
Meilin, yang sedang duduk bersila di dalam kuil rusak dekat Sungai Yongding, mendengar nama itu dan tubuhnya gemetar.
“Ren...?” bisiknya.
Dan dalam mimpinya malam itu, ia melihat bayangan anak kecil dengan wajah yang ia kenali—tapi dengan mata yang kini asing, tajam, dan penuh luka.
Dua kekuatan.
Dua saudara.
Dua kutub yang sama-sama diberkati—dan dikutuk—oleh langit.
Satu membawa kasih.
Satu membawa keadilan.
Keduanya dipaksa bertarung bukan untuk menang, tapi untuk menentukan masa depan Tiongkok.
Kabut pagi menyelimuti sebuah celah kuno di kaki Tembok Besar, wilayah yang dulunya dijaga dinasti, kini menjadi medan duel. Tanah ini tak berpihak—neither milik pemberontak, maupun Jepang. Tempat suci bagi duel kehormatan.
Dari arah utara, Meilin datang dengan langkah ringan. Pakaiannya putih sederhana, membawa hanya satu benda: sehelai pita merah dari masa kecilnya
Dari arah selatan, Hoshikawa Ren muncul dengan pasukan kehormatan kecil. Ia turun sendiri dari kudanya, membuka helm perangnya, dan melangkah maju. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Di pinggangnya, tergantung sabuk hitam karate.
Meilin berdiri diam, matanya tertuju pada sosok di depannya. Hoshikawa Ren sudah menanggalkan jubah komandannya. Ia hanya mengenakan seragam latihan hitam dengan simbol karate di dada. Kaki telanjangnya menapak tanah seperti akar bambu, tubuhnya tegak seperti pilar kuil Shinto.
Gichin Funakoshi berdiri jauh di sisi Jepang, mata tajamnya mengamati muridnya dengan berat hati. Di sisi lain, Guru Taichi Meilin hanya duduk diam, tangan di lutut, seperti biksu yang siap menerima takdir.
Meilin menatapnya.
“Haoran... itu kau?”
Ren tak menjawab.
Tatapannya menusuk, lalu melembut sejenak.
“Aku... bukan siapa pun dari masa lalumu. Aku adalah Hoshikawa Ren. Jenderal Manchukuo.”
“Jangan bohong pada darahmu sendiri,” jawab Meilin dengan tenang.
Tiga tabuh genderang dari arah pasukan Jepang.
Tiga sorakan lembut dari arah pemberontak.
Ren menyerang lebih dulu, gerakan karate-nya cepat, presisi, seperti badai tajam yang menyayat udara. Tendangannya melesat ke arah Meilin, tapi gadis itu memutar tubuhnya seperti daun jatuh. Jurus Taichi-nya bukan untuk melawan langsung, tapi menyerap, mengalir, lalu memutar balik energi lawan
Tubuh Meilin seperti air. Tubuh Ren seperti batu.Tapi air yang cukup kuat bisa mengikis batu.
Mereka bertarung lama, dan setiap gerakan adalah puisi kemarahan, kerinduan, dan nasib.
Saat pertarungan mencapai puncak, mata Ren menyala merah darah. Di belakangnya, bayangan besar muncul: Yanwang, dewa dunia bawah, sosok berjubah hitam dengan mata api. Aura kematian menyelimuti tanah.
Namun Meilin berdiri, napasnya teratur. Di belakangnya, muncul siluet Dewi Kwan Im: berjubah putih, mata penuh belas kasih. Udara jadi sejuk. Bunga-bunga mekar di celah batu. Dua kekuatan dewa bertabrakan—bukan untuk membunuh, tapi untuk menguji keseimbangan semesta.
“Kau bukan musuhku, Ren,” bisik Meilin. “Kau adalah doaku yang belum pulang.”
Gerakan Pertama: Batu Menyerang. Ren menyerang lebih dulu. Ia bergerak seperti panah, dengan kihon (teknik dasar) yang sempurna:
Gyaku zuki—pukulan lurus ke tengah dada.
Mae geri—tendangan lurus ke perut.
Lalu uraken—pukulan balik cepat seperti cambuk ke pipi kanan.
Pukulan Ren berderak seperti petir, disertai teriakan khas karate, *"KIAI!
Meilin bergerak lambat. Tapi di balik lambat itu, ada kepekaan mutlak.
Ia miringkan tubuh, membiarkan pukulan lewat sepersekian inci dari wajahnya.
Tangan kirinya memutar lembut, mengarahkan tenaga pukulan ke tanah.
Kaki kanannya hanya bergeser sejari—cukup untuk menghindari tendangan mematikan.
---
Gerakan Kedua: Air Melawan Balik
Lalu, saat Ren hendak mengulang serangan, Meilin bergerak.
Tidak cepat, tapi mengalir seperti sungai turun dari gunung.
Jurus "Yun Shou" (Tangan Awan)
Tangannya melingkar seperti kabut, mengalihkan arah energi lawan.
Ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum Ren sendiri untuk membuatnya kehilangan pijakan.
Ren terlempar setengah langkah. Ia mencengkeram tanah, berdiri lagi, mata sedikit goyah.
-
Pertarungan Fisik Jadi Psikis.
Ren mulai frustrasi.
“Kenapa kau tidak menyerang?! Ini bukan tarian! Ini perang!”
Meilin tidak menjawab. Ia hanya berkata,
“Karena tubuhku tak mau membunuhmu. Dan jiwaku belum menyerah.”
Ren menyerang lagi—kata beruntun (rangkaian serangan karate): pukulan, tendangan, lutut, siku. Setiap gerakan presisi, penuh niat menghancurkan.
Meilin mengalir.
Ia menghindar, menyerap, mengarahkan ulang tenaga.
Tangan kirinya memotong ke bawah, menjatuhkan pukulan.
Tangan kanannya menekan ke atas dada Ren dengan dua jari.
Ren terpental empat langkah. Tapi tidak cedera—hanya kehilangan keseimbangan total.
Saat Ren berdiri lagi, mata Meilin berubah perak samar. Angin berhenti.
Di belakangnya, bayangan Dewi Kwan Im muncul setengah transparan, tangan membentuk mudra kedamaian.
Ren merasakan tekanan aneh. Dada sesak. Kakinya berat.
Bukan karena teknik—tapi karena hatinya mulai retak.
“Kenapa... aku merasa aku tidak ingin menang?”
“Karena kau belum sepenuhnya lupa siapa kau.”.
Meilin menunduk, tangan siap menyerah.
Ren mengepalkan tinju, lalu perlahan melepaskannya.
“Kita belum selesai.”
“Tapi aku harap... kita tidak akan selesai dengan saling membunuh.”
Ren gemetar. Tangannya terhenti. Untuk pertama kalinya, ia mendengar suara yang tak diajarkan oleh Jepang.Suara yang berasal dari kenangan... suara kakaknya... suara hatinya sendiri.
Sebelum Meilin bisa mendekat, pasukan Jepang menembakkan artileri ke arah pemberontak. Pelanggaran terhadap perjanjian duel.
Tepat saat Meilin akan mengakhiri pertarungan dengan jurus "Badai Tanpa Bentuk",
dentuman meriam menggelegar dari kejauhan.
Langit terbakar oleh bom-bom dari pesawat Wang Jingwei yang didukung Jerman Nazi.
Pertempuran besar dimulai lebih cepat dari yang mereka kira.
Mereka saling menatap—keringat, napas, luka kecil, dan masa lalu
Meilin dipaksa mundur oleh pasukannya. Ren berdiri sendiri, tak ikut menyerang. Ia hanya menatap ke arah Meilin yang makin jauh… dan menggenggam pita merah yang dijatuhkan kakaknya di tanah.
XXX
Melihat ancaman dari barat, Jepang panik. Mereka tak siap menghadapi dua front sekaligus: pemberontak rakyat di selatan dan Wang Jingwei yang kini berubah menjadi musuh yang kembali dengan kekuatan baru.
Di saat genting itu, perwakilan militer Jepang dan para pemimpin pemberontak—termasuk Meilin—mengadakan perundingan rahasia di kuil tua di Shanxi.
“Untuk saat ini,” kata perwira Jepang, “kita punya musuh yang sama. Wang Jingwei lebih berbahaya daripada kalian. Ia ingin menjadi kaisar dengan darah rakyat.”
Meilin menyetujui gencatan senjata dengan satu syarat: rakyat di wilayah selatan yang mereka kuasai tak boleh disentuh. Jepang setuju, dengan tekanan dari Puyi—yang diam-diam masih menghormati keberadaan Meilin.
---
Di tengah kabut pagi yang menyelimuti pinggiran Hebei, Meilin dan Ren bertemu untuk terakhir kalinya sebelum masing-masing mundur: satu ke selatan, satu kembali ke istana.
Meilin berjalan mendekat, membawa satu kantong kecil berisi manik-manik putih dan merah—mainan masa kecil mereka.
“Kita tidak selesai,” ucapnya. “Tapi... aku takkan membunuhmu, Ren.”
Ren menatapnya lama, mata yang dulu penuh kebanggaan kini diliputi kabut.
“Aku masih tak tahu siapa aku. Tapi aku tahu satu hal...
Jika ada orang yang bisa menghentikan dunia ini dari runtuh, itu... kau, kak.”
Mereka berpelukan. Diam. Tak ada senjata. Tak ada perintah. Hanya adik dan kakak.
Lalu Ren berbalik, jubah jenderalnya mengepak pelan tertiup angin.
Meilin menatap punggung itu hingga lenyap.
Pasukan pemberontak mundur dengan teratur ke selatan, membawa serta rakyat yang ingin mengungsi. Di belakang mereka, api membakar perbatasan Manchukuo dan China selatan.
Di utara, pasukan Nazi-Wang semakin mendekati Beijing.
Langit mendung menggantung rendah di atas lembah batu. Tanah berdebu, udara diam, burung pun menepi.
Bab 6: Kota yang Membakar
Nanjing, Mei akhir. Hujan turun tipis sejak pagi, menyelimuti ibu kota Wang Jingwei dengan kesan tenang. Tapi di balik ketenangan itu, api sedang dikumpulkan—bukan dari luar, tapi dari dalam. Mahasiswa yang kecewa, buruh yang ditindas, tentara yang lapar, semua mulai bicara dalam diam. Dan di tengah mereka, menyusup agen-agen Lin Xue.
Malam itu, ledakan mengguncang distrik selatan. Gudang senjata meledak. Api membumbung, sirene meraung. Tapi tidak ada yang datang memadamkan. Sebaliknya, kerumunan mulai berdatangan.
Pasukan keamanan Wang bereaksi terlalu lambat. Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, lima barak sudah dikuasai pasukan pembelot. Komandan militer distrik timur, Kolonel Lu Han—yang diam-diam menjalin kontak dengan kelompok “Persatuan Han Baru”—mengumumkan pemisahan diri dari rezim Wang.
“Kami bukan komunis. Kami bukan loyalis. Kami hanya ingin negara ini kembali kepada rakyatnya.”
Tembakan bersahutan di sepanjang Jalan Zhongshan. Poster Wang dibakar di depan universitas. Mahasiswa memegang bendera merah-matahari biru dan meneriakkan:
Hidup Tiongkok yang Merdeka! Turunkan boneka penjajah!”
Kolonel Krüger, dari balkon gedung konsulat Jerman, menyaksikan kekacauan itu. Ia langsung memerintahkan pasukannya mundur. “Orang Tionghoa tak bisa dikendalikan lewat ketakutan selamanya,” gumamnya. “Mereka sedang belajar cara membakar tuan-tuan mereka.”
Di dalam istana presiden, Wang bingung. Para menterinya bertengkar. Sebagian menyarankan panggil bantuan Jepang. Sebagian menyarankan evakuasi ke selatan. Tapi Wang tahu—jika ia kabur, ia akan dicap pengecut dan pengkhianat sejati. Maka ia memilih bertahan. Ia menulis pidato darurat, disiarkan dari radio nasional:
“Saya bukan boneka. Saya seorang nasionalis. Ini bukan akhir dari republik. Ini awal dari penertiban.”
Tapi siaran itu diputus di tengah kalimat. Sistem radio kota telah dikuasai para pemberontak. Dan dari celah siaran resmi, muncul suara lain. Tenang, tajam, dikenal rakyat:
Suara Lin Xue menggelegar “Saudara-saudaraku di Nanjing. Jangan biarkan api ini padam. Jangan ganti satu tiran dengan yang lain. Rebut kota ini. Untuk kalian. Untuk kita semua.”
Di Tokyo, perintah dikeluarkan. Armada Ketiga mulai bergerak ke Laut Tiongkok Timur. Peta dikerahkan. Target ditentukan: Nanjing dan Changsha.
“Jika boneka tak bisa berdiri, gantilah dengan pasukan. Kita akan ‘menertibkan Asia’ kembali.”
Puyi diberi tahu, dan wajahnya pucat. Ia sadar: setelah Nanjing dibakar, Changchun mungkin berikutnya.Tapi kali ini, bukan untuk mempertahankan dirinya. Jepang akan datang bukan untuk menyelamatkan, tapi mengambil alih.
Nanjing kini kota terbagi. Distrik utara dikuasai tentara setia Wang. Distrik tengah dikuasai pemberontak. Distrik selatan terbakar. Di gerbang kota, dua tank yang disita dari gudang senjata kini mengarah ke istana presiden. Seorang pemuda berdiri di atasnya, membawa bendera merah-matahari biru.
Dan di atas langit yang menggelap, pesawat Jepang mulai terlihat di kejauhan.
XXX
Malam sunyi di Istana Changchun. Angin dari utara membawa hawa dingin dari Siberia, membuat lentera bergoyang pelan di koridor batu.
Salju turun perlahan di atas istana kecil Changchun. Bukan istana megah seperti di Beijing masa lalu, melainkan versi sederhana dari kejayaan yang hilang, dikelilingi kawat berduri dan bayangan tentara Jepang. Di dalamnya, Kaisar Puyi duduk di kursi rotan tua, memandangi foto masa kecilnya bersama Empress Wanrong.
Di dalam paviliun tertutup salju, Puyi duduk berselimut jubah kekaisaran usang yang bahkan tak lagi dihormati oleh pengawal Jepang.
Di sampingnya, duduk seorang pemuda berusia sekitar 18 tahun. Seragam jenderalnya baru, tapi mata pemuda itu menatap penuh kehormatan dan ketegangan.
“Ayah Kaisar,” katanya pelan.
Puyi tersenyum sendu.
“Jangan sebut aku begitu, Ren. Aku bukan kaisar. Aku hanya... bayangan dari negeri yang sudah dijual.”
Setiap malam, Puyi bercerita pada Haoran—yang kini diberi nama Jepang “Ren” oleh perwira Jepang yang mengangkatnya sebagai anak negara. Tapi Puyi menolak melihat Ren sebagai alat. Ia membesarkannya dengan kasih sayang yang tak pernah ia berikan bahkan kepada adik-adiknya sendiri.
Puyi menatap pemuda itu lama, lalu berkata lirih:
> “Tahukah kau, Ren... dulu aku naik tahta saat usiaku tiga tahun. Semua tunduk padaku. Tapi tak satu pun yang ku mengerti.”
Ia tersenyum pahit.
> “Aku bukan kaisar. Aku anak kecil yang ditaruh di takhta emas agar para jenderal dan penjilat bisa menyebut dirinya abdi langit... sambil menjarah negeriku sendiri.”
Ren diam, menunduk.
> “Lalu datang Jepang. Mereka menjanjikan kebangkitan. Mereka bilang aku bisa jadi Kaisar lagi—di sini, di Manchukuo. Tapi apa yang kudapat?
Takhta tanpa kuasa. Lagu kebangsaan tanpa rakyat.”
Puyi membuka laci kayu, mengeluarkan sehelai surat kuno, ditulis dengan tinta merah dan emas.
“Ini... surat penobatan. Aku sudah menandatanganinya. Bila aku mati—kau, Ren, akan menjadi Kaisar berikutnya. Kaisar Manchukuo... atau... sesuatu yang lebih besar.”
Ren mengangkat kepala, terkejut.
“Aku? Tapi aku... bukan darah Qing.”
Puyi tertawa kecil, lalu batuk keras.
“Kau lebih dari darah. Kau adalah penebus. Aku tak pernah punya anak, dulu punya tapi meninggal. Tapi kau... adalah harapanku.”
Puyi mendekat, suaranya menurun seperti bisikan hantu:
“Ren... Jepang melemah. Wang Jingwei haus kekuasaan. Tapi rakyat... mereka tak percaya pada siapa pun lagi.”
Ia menggenggam tangan Ren.
“Mereka akan percaya pada lambang yang lama, jika datang dengan wajah baru.”
Ren terdiam.
“Kau ingin aku... membangkitkan Qing?”
“Tidak seperti dulu. Bukan kekaisaran dari emas dan pelacur politik. Tapi sebuah kerajaan spiritual dan moral.Kau harus memimpin rakyat, bukan memperbudak mereka.”
Puyi berdiri dengan susah payah, lalu menatap langit.
“Kita tak bisa terus jadi boneka Jepang. Dan kau tahu sendiri, Wang Jingwei adalah ular berbisa.
Hanya satu jalan: kau harus bangkit bukan sebagai panglima Jepang, tapi sebagai kaisar Tionghoa. Dan untuk itu, kau harus menangkap hati rakyat—bahkan jika itu berarti... melawan Jepang itu sendiri.”
Ren menatap wajah Puyi: lemah, tapi bercahaya.
Ia melihat seseorang yang tak ingin mati sebagai simbol kekalahan, tapi benih harapan terakhir.
“Lalu bagaimana dengan kakakku?”
“Kalau dia masih percaya padamu... maka mungkin, langit masih mau memaafkan kita semua.”
Malam itu, Ren berdiri lama di balkon istan, menatap bintang-bintang.
Di dadanya masih tergantung pita merah dari Meilin.
Di tangannya, surat wasiat yang menyatakan dia sebagai Kaisar berikutnya.
Di pikirannya... bukan lagi Jepang, bukan lagi Manchukuo,
tapi Tiongkok yang belum pernah ada:
satu negeri bersatu... yang hanya bisa dibangun oleh dua saudara yang hampir saling membunuh.
“Wang Jingwei... ia punya suara. Aku punya mahkota. Tapi ia lebih didengar,” gumam Puyi sambil menatap langit. “Mereka menjadikanku lambang, tapi bukan pemimpin. Aku duduk di tahta, tapi tak pernah punya tanah. Kau tahu, Ren? Kadang aku iri padanya. Ia... bebas memilih pengkhianatan. Aku hanya dijebak olehnya.”
Ren berdiri di seberangnya, diam, mendengarkan.
“Ren…” suara Puyi lirih tapi jelas, “ada sesuatu yang harus kau tahu sebelum aku mati.”
Ia mengambil gulungan dengan stempel kekaisaran Jepang dan menggelar pelan di depan Ren. Di atas kertas itu tercatat perjanjian tahun 1934, saat Jepang masih menjanjikan restorasi penuh Dinasti Qing setelah mereka menguasai Tiongkok melalui perang Asia Timur Raya.
“Mereka datang padaku, para jenderal dari Tokyo. Mereka berkata: 'Tolong tenangkan rakyat Han. Setelah perang selesai, seluruh tanah Tiongkok akan kami kembalikan padamu. Qing akan bangkit, dan Jepang hanya akan menjadi penjamin stabilitas.'”
Puyi tersenyum hambar, penuh getir.
“Aku percaya. Atau mungkin, aku ingin percaya. Aku pikir, mungkin aku bisa menebus kegagalanku sebagai kaisar kecil yang dijatuhkan terlalu dini…”
Ia menunjuk peta Tiongkok yang digantung di dinding. Separuh bagian timur laut disorot tinta merah, wilayah Manchukuo. Tapi selatan—dari Nanjing ke Guangzhou—ditandai dengan tinta hitam dan cap Nazi kecil di pojoknya.
“Lalu Perang Dunia berakhir. Jepang menang… tapi tidak mempercayakan negeri ini pada Qing.”
Ren menatap peta itu dengan dahi berkerut.
“Sebaliknya,” lanjut Puyi, suaranya meninggi, “mereka memberi dua pertiga Tiongkok kepada Wang Jingwei! Kepada seorang politisi licik yang bahkan tak punya darah ningrat! Mereka menyebutnya strategi pengendalian dua kutub—Manchukuo untuk militer, Nanjing untuk administrasi dan ekonomi.”
Ia meninju meja dengan lembut, seperti meninju kenangan.
“Kau tahu kenapa, Ren? Karena Jepang tak ingin satu Tiongkok. Mereka ingin negeri ini terbelah selamanya, mudah dikendalikan, saling curiga. Boneka di utara, boneka di selatan. Dan rakyat? Dibiarkan bertarung satu sama lain seperti binatang di kandang besi.”
Ren menatap surat-surat itu, mulutnya mengering. Janji kejayaan Qing ternyata hanya alat propaganda. Ia merasa tubuhnya digerogoti kemarahan yang selama ini terkunci di dadanya.
“Kenapa kau ceritakan ini padaku sekarang?” tanyanya pelan.
Puyi menatap lurus ke matanya.
“Karena aku tak punya anak. Dan karena aku tahu… meski mereka mengubah namamu, mendandanimu dengan seragam Jepang, dan melatihmu untuk menjadi alat mereka, di tubuhmu mengalir darah tanah ini. Aku memilihmu, Ren. Aku ingin kau ambil alih, tapi bukan untuk jadi boneka sepertiku. Aku ingin kau menyalakan ulang api yang mati. Bukan kekaisaran, bukan republik. Tapi kebenaran.”
Ia menggeser gulungan surat wasiat ke arah Ren. Di sana, tertulis dengan tinta hitam:
“Jika Kaisar Kangde wafat, maka Zhao Haoran, putra bumi, akan mewarisi tahta Manchukuo…”
Tapi Ren tak langsung menyentuhnya. Ia menatap peta, lalu berkata dengan suara berat:
“Aku tidak akan menjadi kaisar boneka lain. Tapi aku akan menjadi akhir dari permainan boneka ini.”
Haoran—Ren—tak tahu harus menjawab apa. Tapi tiap malam, ia mendengarkan. Ia mulai mencintai Puyi bukan sebagai Kaisar, tapi sebagai ayah, yang terus-menerus dihantui penyesalan terhadap rakyatnya dan kekuasaan Jepang yang makin tak terkendali.
Tiga hari setelah duel Meilin dan Ren di bawah Tembok Besar, langit Beijing berubah warna. Bukan karena cuaca—tapi karena pesawat-pesawat berlogo swastika Naz kini membelah udara dari arah barat daya.
Wang Jingwei, yang selama ini tunduk di bawah bayang-bayang Jepang, membalikkan keadaan Dengan dukungan logistik dan udara dari Nazi Jerman, ia mengerahkan Pasukan Pan-Han—tentara bayaran, bekas loyalis Kuomintang, dan milisi Han garis keras—menuju wilayah timur laut Manchukuo.
“Hari ini, aku bukan lagi pengikut Jepang,” ucap Wang dalam siaran radio. “Hari ini, aku adalah suara terakhir bangsa Han!”
Salju turun diam-diam. Di halaman belakang istana, Ren berdiri sendirian, memegang seragam militernya yang telah menemaninya selama bertahun-tahun: seragam hitam dengan lambang kekaisaran Jepang dan pangkat jenderal Manchukuo.
Dari balik gerbang, tidak ada suara. Semua pasukan telah pergi bertempur ke Beijing atau ditarik ke pangkalan. Puyi telah hilang. Diduga ditangkap atau dibunuh saat melarikan diri ke arah barat.
Ren berdiri di atas lapangan batu yang beku, di tangan kirinya ia menggenggam surat wasiat dari Puyi. Di tangan kanannya, obor.
Aku bukan Hoshikawa.
Aku bukan jenderal Jepang.
Aku bukan alat dari kerajaan asing…”
Ia menarik napas panjang.
“Aku juga bukan pewaris tahta. Tapi aku adalah—manusia yang tidak mau lagi dibungkam oleh sejarah orang lain.”
Obor menyentuh ujung lengan seragam.
Api menjalar cepat, membakar lambang kekaisaran Jepang, bendera matahari, pangkat kehormatan, dan semua ilusi yang pernah ia percaya.
Ren tak berpaling.. Ia menatap apinya sampai seragam itu menjadi abu.
“Namaku bukan Hoshikawa Ren.”
“Aku adalah... Zhao Haoran. Pewaris tanah ini. Putra dari rakyat yang terluka. Saudara dari Meilin.”
Tank-tank bergerak, artileri berat menghantam Changchun, dan pos-pos Jepang di timur mulai runtuh satu demi satu.
XXX
-
Bab 7: Di Bawah Bayang-Bayang Kunlun — Meilin dan Sekte Pemberontak
Di tengah rimbunnya hutan pegunungan Kunlun, kabut pagi menyelimuti pepohonan tinggi yang berdiri kokoh. Udara dingin menyapa lembut wajah Meilin saat ia melangkah menyusuri jalan setapak menuju sebuah pagoda tua yang berdiri sunyi di antara pepohonan. Tempat itu adalah markas Sekte Kunlun, kelompok pemberontak yang selama ini bersembunyi dan menolak tunduk pada penjajahan Jepang maupun rezim Wang Jingwei.
Meilin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih penuh waspada. Ia tahu, dalam dunia yang penuh pengkhianatan, kepercayaan adalah barang mahal. Namun, yang menyambutnya di halaman pagoda bukan hanya para pendekar yang siap berperang, melainkan sosok yang membuatnya sedikit terkejut.
Lao Zhang, pria paruh baya berotot besar dengan sorot mata penuh ketegasan, berdiri di depan barisan pendekar Sekte Kunlun. Ia adalah master Baijiquan yang dihormati, pemimpin yang bijaksana dan penuh wibawa.
Di dekatnya berdiri seorang pemuda seumuran Meilin, berpostur sedang dan lincah, dengan mata yang penuh perhatian. Namanya Wei Jun, penguasa Wing Chun yang sejak awal menunjukkan sikap protektif pada Meilin. Sesekali ia melirik dengan senyum malu-malu, tapi tetap penuh hormat.
Saat perkenalan berlangsung, Meilin tetap tenang, menahan rasa curiga yang biasa menghinggapi hatinya. Namun, perlahan ia merasakan kehangatan dari Wei Jun yang tidak pernah memaksa, melainkan hanya hadir sebagai teman sejati.
Hari-hari berikutnya dihabiskan Meilin berlatih Tai Chi dan jurus-jurus sakti Dewi Kwan Im, sementara sore hari ia mengikuti latihan Baijiquan bersama Lao Zhang dan Wing Chun dengan Wei Jun. Setiap gerakan yang mereka lakukan memancarkan keindahan sekaligus kekuatan, seolah menyatukan seni dan semangat perlawanan dalam satu tarian maut.
Suatu sore saat langit jingga mulai merunduk, Wei Jun menatap Meilin dengan tulus. “Jurusanmu sangat kuat, Meilin,” ucapnya. “Tapi di Kunlun, kita bertarung bukan hanya untuk menang, tapi agar bisa berdiri untuk sesuatu yang lebih besar.”
Meilin mengangguk, hatinya mulai membuka sedikit demi sedikit. Dia merasakan, di tempat ini, ia menemukan keluarga baru—orang-orang yang sama-sama mendambakan kebebasan dan keadilan.
Namun kedamaian itu tak berlangsung lama. Kabar tentang gerakan "Langit Tengah" yang dipimpin Ren sampai ke telinga mereka, dan kabar buruk tentang mata-mata Wang Jingwei yang mulai mengintai.
Lao Zhang memperingatkan dengan suara berat, “Kita harus siap, Meilin. Perang ini bukan sekadar soal kekuatan, tapi juga hati dan jiwa. Jangan biarkan mereka memecah belah kita.”
Di penghujung hari, Meilin berdiri di puncak bukit Kunlun, angin menerbangkan jubahnya yang tipis. Di sampingnya, Wei Jun dan para pendekar Kunlun lainnya menatap jauh ke cakrawala.
Meilin berkata, “Ini bukan lagi perjuangan sendiri. Kita adalah satu gerakan. Satu kekuatan yang tak bisa dilawan.”
Di tengah latihan pagi yang penuh semangat, dua sosok perempuan muncul seperti badai di markas Sekte Kunlun—mereka adalah Lin Xue dan Fang Rui, dua pendekar yang dikenal sebagai “Dua Macan Kunlun.”
Lin Xue adalah wanita berambut panjang hitam legam yang diikat rapi, dengan mata tajam penuh tekad. Ahli dalam Shaolin Drunken Boxing, gaya kungfu yang terlihat seperti menari dalam pengaruh anggur tapi sangat mematikan. Gerakannya lincah dan tak terduga, selalu menyembunyikan serangan mematikan di balik tawa dan canda.
Meski ramah, Lin Xue punya sifat keras kepala dan tak mudah menerima arahan. Dia sering berselisih pendapat dengan Fang Rui, terutama soal strategi dan cara melatih anggota baru.
Fang Rui adalah sosok lebih kecil dan lebih gesit, dengan rambut pendek dan ekspresi tajam. Dia penguasa Bagua Zhang, seni bela diri yang mengandalkan kelincahan, gerakan melingkar, dan teknik mengelak yang sempurna. Fang Rui dikenal disiplin dan perfeksionis, terkadang terlalu serius sampai membuat Lin Xue gemas.
Hubungan Fang Rui dan Lin Xue seperti dua kutub yang saling tarik menarik. Mereka sering bertengkar sengit, tapi saat beraksi di medan pertempuran, sinergi mereka tak tertandingi. Mereka juga teman dekat Meilin, sering bertukar teknik dan cerita.
Ketiganya, Meilin, Lin Xue, dan Fang Rui, sering terlihat bersama di bawah naungan pohon tua, saling menantang dan melengkapi, membentuk trio pemberontak yang kuat dan penuh warna
XXX
Bab 8: Wang Jingwei Menyulut Neraka
Langit Beijing berwarna merah darah saat deretan panser buatan Jerman dan pesawat Luftwaffe menderu ke utara.
Wang Jingwei tak lagi menunggu. Ia menyerang.
Di belakangnya, selain pasukan Nazi dan pasukan Pan-Han, Wang membawa sesuatu yang bahkan membuat jenderal Nazi hening ketakutan:
“Tujuh Pendeta Yinyang”, kelompok okultis sesat yang telah ia bangkitkan dari kuil bawah tanah di Henan. Mereka menguasai ilmu sihir hitam Dinasti Qin dan konon bisa memanggilroh-roh perang dari ribuan tahun lalu.
“Jepang dan Manchukuo adalah abu,” kata Wang kepada bawahannya.
“Sudah saatnya dunia kembali ditaklukkan oleh kekuatan sejati: kehendak manusia, bukan langit.”
Beijing dikepung dari tiga arah. Jepang terpukul mundur, dan Puyi terpaksa mengungsi ke kuil tua di luar kota.
Namun sebelum itu, ia menyampaikan pesan terakhir kepada Ren:
“Kau adalah darah terakhir dari kehormatan. Jika aku mati, hidupkan kembali langit itu dengan pilihanmu sendiri.”
Di sisi militer Jepang, Ren mulai bermain dua peran.
Secara resmi, ia masih Jenderal Hoshikawa, pemimpin pasukan elit Manchukuo. Tapi di balik layar, ia mulai mengumpulkan orang-orang yang setia bukan kepada Jepang, tapi kepada rakyat Tiongkok—mereka yang ingin menyelamatkan tanah ini dari kekacauan dua penjajah: Wang dan Jepang.
Ia menyusun kelompok rahasia bernama:
"Langit Tengah", terdiri dari eks tentara Qing, pemberontak yang dibebaskan diam-diam, dan bahkan beberapa biksu dari Wu Dang yang diam-diam datang mendukung.
---
Sementara itu di selatan, Meilin mulai kehilangan kendali.
Setiap malam ia bermeditasi di bawah air terjun, namun suara-suara dari langit, Dewi Kwam Im yang bersemayam ditubuhnya kini membisikkan sesuatu yang tak ia mengerti.
“Langit akan runtuh jika kamu terus menunggu,” kata bisikan itu.
“Saudara atau bukan, sang Kaisar Bayangan harus dihentikan sebelum terlambat.”
Guru Hua memperingatkannya:
“Wang Jingwei bukan manusia biasa. Ia bukan hanya haus kekuasaan, tapi... tubuhnya mulai dikuasai oleh entitas yang lebih tua dari sejarah.”
Wang Jingwei berdiri di atas altar batu di Kuil Surga yang terbakar.
Di sekelilingnya, roh-roh jenderal kuno dari zaman Dinasti Zhou bangkit dari tanah—dirantai oleh mantera hitam para Pendeta Yinyang.
“Aku akan jadi Kaisar Dunia,” teriak Wang, “dan kalian semua... akan memilih antara tunduk atau terbakar bersama langit!”
---
Dunia makin kacau. Jepang dan pemberontak yang sebelumnya saling bunuh, kini menghadapi musuh yang jauh lebih gelap.
Meilin di selatan. Ren di utara.
Keduanya tak sadar bahwa dalam waktu dekat... mereka tak akan punya pilihan selain bertarung di sisi yang sama.
Keesokan harinya, Ren muncul di tengah barak bekas markas pasukan elit Jepang. Ia mengenakan baju petarung abu-abu polos, lambang Qing kecil tergantung di lehernya—bukan sebagai simbol kekaisaran, tapi simbol perlawanan moral.
Di hadapannya, dua ratus tentara muda Manchukuo berdiri bimbang.
Ren melempar surat wasiat Puyi ke tanah.
“Ini bukan perintah kekaisaran. Ini adalah permintaan dari seorang ayah tua yang akhirnya sadar dia sudah membuat terlalu banyak kesalahan.”
“Jika kalian ingin terus tunduk pada Jepang... pergi. Tapi jika kalian ingin membela tanah air ini untuk anak-anak yang belum lahir, maka ikutlah denganku.”
Setengah dari pasukan berlutut. Setengah lainnya menunduk dan pergi.
Ren tidak tersenyum. Ia hanya menatap ke timur, ke arah Beijing,
lalu ke selatan—ke arah Meilin.
Malam itu, ia mendirikan markas kecil di dalam kuil tua Tao yang terbengkalai. Di sanalah lahir gerakan:
Langit Tengah” (Zhongtian) sebuah faksi rahasia yang bukan mendukung kekaisaran, bukan pula komunisme—
melainkan kebangkitan budaya, spiritualitas, dan kemanusiaan Tiongkok
---
Satu Kalimat Terakhir Sebelum Langit Pecah
Saat menulis jurnalnya di malam hari, Ren menulis:
Jika nanti aku mati di tangan kakakku, itu lebih baik daripada hidup sebagai hamba Ezo.”
-XXX
Di zaman sebelum waktu, ketika alam masih berbicara dengan suara petir dan kehendak para dewa ditulis pada riak air dan guguran bintang, terdapat satu ulubalang agung bernama Ranggah Dahana — putra bintang kembar, pelindung jalur matahari, dan penuntun pahlawan-pahlawan dunia fana. Ia adalah dewa pembakar malam, terang dalam kegelapan, arus hitam yang semula diberkati untuk menjaga keseimbangan.
Namun satu hal menghancurkannya: iri.
Iri pada saudara-saudaranya yang memancarkan cahaya terang di langit. Iri karena ia selalu dikirim turun ke dunia fana, sementara yang lain tinggal megah di langit suci. Ia mulai bertanya:
“Mengapa aku, pengemban cahaya Sanghala, selalu dikirim menyentuh lumpur manusia? Mengapa Sanghala hanya diam ketika dunia terbakar, ketika iblis-iblis seperti Lamakara Lowu menyusup ke hati para raja?”
Ranggah Dahana meragukan tugas sucinya. Ia mulai mengutuk misi yang diberikan. Dan ketika Lamakara Lowu muncul—bukan sebagai musuh, tapi sebagai penghibur jiwa yang merasa ditinggalkan—Ranggah menyerah.
Ia memilih berbalik arah, melemparkan mahkota ulubalangnya ke dalam jurang waktu,
Jika dibandingkan dengan peradaban manusia di daratan utama, teknologi kerajaan musim panas sangat tertinggal
Perusahaan yang disebut Wentira yang memiliki hak istimewa dari kerajaan Surupala menguasai wilayah benua utama yang dihuni manusia, sementara wilayah luarannya merupakan hutan belantara dengan berbagai hewan dan tumbuhan berbahaya, yaitu hutan terlarang Kamyaka, berbatasan langsung dengan pulau kerajaan Musim Panas meski di hutan Kamyaka binatangnya tak bisa bicara.
XXX
XXX
Di tengah puing-puing perang melawan bangsa langit bernama Nirwalengka yang merupakan tentara bayaran Lamakara Lowu, di sudut-sudut gelap Kerajaan musim panas, Sari hidup sendirian di jalanan yang penuh dengan kekacauan dan keputusasaan sejak ayahnya menghjlang dan Putu meninggalkannya untuk berpetualang melawan Lamakara Lowu. Namun, di dalam hatinya yang kecil dan rapuh, terdapat sebuah hubungan yang tak terduga dengan makhluk legendaris yang kembali dari masa lalu yang gelap: Megananda salah satu Komodo raksasa, dia sering diam diam mencuri ikan segar di pasar agar bisa dimakan berdua bersama Megananda. Megananda adalah Komodo yang mengkhianati Lamakara Lowu dan setia pada Sanghala.
Sari adalah salah satu dari sedikit orang yang menyadari bahwa Megananda yang muncul kembali kali ini berbeda. Meskipun monster itu pernah meneror Wentira di masa lalu, Sari yakin bahwa ini bukanlah monster kehancuran tanpa ampun seperti yang diceritakan dalam sejarah. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam mata Megananda yang bertabrakan dengan pandangannya dari balik jendela tempat persembunyiannya di sudut kota.
Sari bagaikan anak perempuan tunawisma yatim piatu yang menjalani hari-harinya dengan menjaga diri dari pandangan orang-orang yang takut dan benci padanya. Mereka menganggap Sari sebagai penyihir karena dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan monster raksasa bernama Megananda yang tinggal di sungai dekat tempat tinggalnya. Mereka seakan lupa jika kakak Sari Putu, berjasa menyelamatkan Kerajaan Musim Panas dari Ratu Violet beberepa tahun lalu.
Sari sebenarnya bukanlah penyihir sebagaimana yang mereka sangka. Dia hanya memiliki ikatan khusus dengan Megananda karena suatu kejadian yang tak terduga. Megananda, meskipun menakutkan, adalah makhluk yang kesepian dan tersisih, seperti halnya Sari. Mereka menemukan kenyamanan satu sama lain dalam kehidupan yang keras dan penuh penolakan ini.
Hari-hari mereka dihabiskan dengan bermain dan berbicara di tepi sungai yang tenang, jauh dari pandangan manusia. Sari tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk menyakiti siapa pun; sebaliknya, dia berusaha menjaga kedamaian dan harmoni di antara makhluk-makhluk yang tinggal di sekitarnya.
Namun, kehidupan Sari berubah secara drastis ketika sebuah insiden kecil membuat Megananda marah dan keluar dari sungainya, menimbulkan kekacauan di desa kecil itu. Warga desa dengan cepat menyalahkan Sari atas kejadian tersebut dan mulai mengancam akan mengusirnya atau bahkan lebih buruk lagi.
Sari yang terpojok dan putus asa akhirnya harus memutuskan untuk melindungi desa yang mengutuknya atau melindungi makhluk yang telah menjadi temannya. Dalam pertarungan yang menyedihkan dan penuh pertimbangan, Isabella memutuskan untuk menghadapi Megananda sendirian, berharap dapat kembali membawa damai ke sungai yang mereka panggil rumah.
Dengan berani dan hati yang penuh kasih, Sari berhasil meredam kemarahan Megananda, mengingatkan makhluk itu akan kebaikan dan persahabatan mereka. Megananda akhirnya mengalah dan kembali ke sungainya, dan Sari pun dibiarkan hidup dengan damai di pinggiran kerajaan Musim Panas, meskipun masih dijauhi oleh beberapa orang walaupun dia adalah adik dari pahlawan yang telah mengalahkan kerajaan Musim Dingin.
XXX
Penduduk Kerajaan Musim Panas tidak pernah menyangka bahwa Megananda, monster raksasa yang dikalahkan Raja Mahesasemar pada masa lalu, masih hidup dan bersembunyi di kedalaman Sungai Tataba.
Ketika kota dihadapkan pada serangan Zeppelin Bangsa langit Nirwalengka, perang melanda, keberadaan kembali Megananda menambahkan lapisan ketakutan baru bagi penduduk kerajaan Musim Panas yang sudah terluka dan terkejut. Mereka terbiasa dengan kisah-kisah lama tentang monster itu, yang pernah menjadi ancaman besar bagi kota ini, dan sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa Meganda kembali. Nirwalengka adalah bangsa langit yang dikutuk oleh Sanghala tak bisa menginjakkan kaki ke bumi akibat kesombongan mereka dengan peradaban yang sangat maju. Mereka tak mau menyembah Senghala dan tergoda dengan janji jani manis ;Lamakara Lowu akan kekuasaan.
Megananda , monster raksasa yang pernah menghantui Kerajaan Musim Panas 100 tahun lalu, tiba-tiba muncul kembali dari kedalaman sungai. Tubuhnya yang besar dan ganas mengejutkan para penjaga di tepi sungai yang sedang berusaha mengamankan kota dari serangan udara. Megananda, yang pada masa lalu dikenal akan kehancuran yang tak terkendali, sekarang berdiri sebagai sekutu tak terduga bagi Kerajaan Musim Panas yang terdesak.
Kehadiran kembali Megananda menjadi titik balik penting, menunjukkan bahwa dalam kekacauan perang dan ketakutan yang melanda, ada kekuatan luar biasa yang terbangun kembali dan dapat menjadi faktor penentu dalam nasib kota ini.
Di tengah kekacauan akhir zaman, Kerajaan Musim Panas berada dalam keadaan genting. Armada Zeppelin Nirwalengka melintasi langit kota, menjatuhkan kematian dari atas.
Pada malam itu, awan kelabu menyelimuti langit Kerajaan Musim Panas dengan gemuruh petir yang menggema di kejauhan. Angin berdesir menusuk tulang dan keheningan malam terganggu oleh suara gemuruh yang semakin dekat. Maka dimulailah detik-detik mengerikan bagi warga Kerajaan Musim Panas.
Dari kegelapan, pesawat-pesawat Zeppelin Nirwalengka mulai muncul seperti bayangan yang menakutkan di langit malam. Mereka datang dengan kecepatan yang menakjubkan, sayap-sayap mereka bersinar di bawah cahaya bulan yang tersembunyi di balik awan. Bom-bom mereka yang mengerikan digantungkan di bawah badan pesawat, siap dilepaskan ke bawah untuk menabur kematian dan kehancuran.
Nirwalengka menggunakan pesawat Zeppelin untuk membombardir Kerajaan Musim Panas dan kota-kota lainnya selama Perang Akhir zaman sebagai bagian dari strategi serangan udara terhadap Kerajaan Musim Panas. Serangan udara menggunakan pesawat Zeppelin oleh Nirwalengka terhadap Wentira dan kota-kota lainnya digunakan sebagai salah satu bentuk awal dari serangan udara strategis dalam konflik tersebut. Karena raja Mahesasemar menolak untuk tunduk patuh pada Lamakara Lowu.
Sementara itu, di bawah, warga Kerajaan Musim Panas merasakan getaran yang membuyarkan ketenangan mereka. Lampu-lampu kota yang redup dan kabut tebal yang melilit jalan-jalan membuat suasana semakin menyeramkan. Suara sirene peringatan berdering di kejauhan, menciptakan ketegangan di udara.
Di tengah-tengah kekacauan, kehancuran yang melanda gedung-gedung bersejarah Canterlot menjadi pemandangan yang menggetarkan hati. Gedung-gedung ikonik yang selama berabad-abad menjadi lambang kejayaan dan keindahan arsitektur, kini terancam oleh serangan udara yang tak kenal ampun.
Salah satu gedung bersejarah yang terkenal adalah Jam Gadang, menara jam yang megah di bagian barat dari Istana Mahesasemar yang lebih besar, Jam Gadang adalah simbol dari kekuatan dan ketahanan Kerajaan Musim Panas. Namun, dalam gelombang serangan Zeppelin Nirwalengka yang berulang, struktur ikonik ini terkena bom dan api, menyebabkan kerusakan yang serius dan mengancam keberadaannya.
Di sekitar Museum yang penuh dengan karya seni berharga dari berbagai zaman, menjadi saksi bisu dari kehancuran di sekitarnya. Bom-bom meledak di sekitar bangunan ini, merusak fasad yang indah dan merusak karya seni yang berharga. Di pagi hari, catatan catatan seni ini bersatu dalam perpaduan sempurna
Tiba-tiba, ribuan bom mulai jatuh dari langit. Mereka menerobos awan, dengan suara deru angin yang menyertai kejatuhan mereka. Gedung-gedung tinggi, jalan-jalan raya, dan bahkan rumah-rumah kecil tidak luput dari hantaman maut ini. Bom-bom meledak dengan kekuatan mengerikan, mengirimkan serpihan-serpihan beton dan besi menyembur ke segala arah.
Warga Kerajaan Musim Panas berlarian, mencari tempat perlindungan di bawah tangga-tangga atau di terowongan bawah tanah. Teriakan panik mencampur aduk dengan suara gemuruh ledakan. Api menjilat-jilat bangunan yang terkena sasaran, menciptakan bayangan yang menakutkan di malam yang gelap.
Di tengah kekacauan itu, pahlawan-pahlawan pertahanan udara mengambil posisi mereka, menembakkan peluru anti-pesawat ke langit gelap. Kilatan cahaya merah dari senapan mesin mereka menyala-nyala, mencoba menghentikan serangan yang tidak kenal belas kasihan dari atas.
Namun, serangan itu berlanjut tanpa ampun. Setelah waktu yang terasa tak berkesudahan, pesawat-pesawat Nirwalengka akhirnya memudar dari langit, meninggalkan kota yang hancur dan penduduk yang terpukul Kerajaan Musim Panas malam itu berubah menjadi medan kehancuran, dengan asap dan debu menggantikan keindahan awalnya.
Itulah malam ketika Kerajaan Musim Panas merasakan kekejaman perang di atas kepala mereka, di antara awan yang gelap dan angin yang menusuk. Peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan, ketika bom-bom Nirwalengka mengubah kota yang begitu megah menjadi reruntuhan yang penuh dengan ketakutan dan kehilangan.
Di tengah kekacauan perang akhir zaman, kekuatan Nirwalengka semakin menguat dengan kehadiran tidak hanya Zeppelin dalam serangannya, tetapi juga mahluk mahluk ciptaan Lamakara Lowu seperti Ahool, Orang Bati dan bangsa Bajau Purba yang kini menjadi mayat hidup untuk mendapatkan keunggulan di medan perang.
Nirwalengka menciptakan alat kontrol khusus yang dirancang untuk menundukkan mahluk mahluk Lamakara Lowu dari ruang angkasa mereka sendiri, Gurlatan — kura-kura raksasa dengan kulit yang tebal dan kemampuan bertempur yang mematikan. Kura-kura raksasa ini dikirim melintasi Laut Utara, berlayar menuju Kerajaan Musim Panas di bawah kendali Nirwalengka .
Orang Bati adalah mahluk raksasa dengan tubuh berlapis baja yang hampir tak terhancurkan, dilengkapi dengan serangan fisik yang menghancurkan. Ahool, sebaliknya, adalah monster yang cepat dan gesit, dengan kemampuan untuk mengeluarkan serangan energi yang merusak dari matahari terbenamnya. Sedangkan mayat hidup bangsa Bajau Purba, adalah mahluk yang paling misterius, memiliki kemampuan untuk mengendalikan cuaca dan menghasilkan badai yang mengerikan sebagai senjata utamanya.
Dengan bantuan empat monster-monster ini ini, Nirwalengka percaya bahwa mereka memiliki keunggulan yang tak tertandingi di medan perang.Mahluk Ciptaan Lamakara Lowu dikirim untuk menghancurkan pertahanan Kerajaan Musim Panas, membalikkan situasi yang sebelumnya terlihat menguntungkan bagi pihak Kerajaan Musim Panas.
Dalam ketegangan perang Akhir Zaman, Raja Mahesasemar yang tertekan oleh ancaman monster-monster Nirwalengka dan melihat hubungan yang terjalin antara Sari dengan Megananda, memutuskan untuk mengambil langkah ekstrem. Mereka mengusulkan proyek rahasia untuk mengendalikan Megananda dengan cara yang lebih langsung, dengan harapan dapat mengubah monster raksasa itu menjadi senjata yang dapat diandalkan dalam perang.
Kerajaan Musim Panas, yang pada awalnya terkejut dengan kehadiran kembali monster ini, segera menyadari bahwa Megananda bisa menjadi kekuatan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi armada Zeppelin Nirwalengka. Dengan bantuan monster raksasa ini, Inggris berhasil membalikkan keadaan di langit Kerajaan Musim Panas. Megananda melawan Zeppelin dengan keganasan alami dan kekuatan fisiknya yang luar biasa, mengirim beberapa kapal terbang Nirwalengka terjatuh dengan satu pukulan ekor saja.
Di bawah permukaan air Sungai Tataba, Sari masih percaya pada Megananda. Meskipun kesulitan yang mereka hadapi, dia yakin bahwa kaiju itu bisa menjadi kunci untuk menghadapi kekuatan kaiju-kaiju Nirwalengka. Dengan tekadnya yang kuat dan keyakinannya yang tak tergoyahkan, Isabella mencari cara untuk membantu Megananda dan melibatkan kembali Kerajaan Musim Panas dalam perjuangan melawan musuh bersama.
Sari berdiri di tepi Sungai Tataba, memandangi langit yang terbakar oleh percikan api dari serangan Zeppelin. Angin malam membawa aroma asap dan kehancuran ke tempat persembunyiannya di bawah jembatan yang retak. Dia menggenggam mantelnya erat-erat, mencoba meredakan rasa dingin yang menusuk hingga tulang.
Sudut-sudut kota yang dulu pernah dia jelajahi kini hancur berantakan. Bangunan-bangunan yang indah kini menjadi tumpukan puing-puing yang menyedihkan. Di jalanan, tubuh-tubuh yang terluka atau tergeletak tak bernyawa menjadi pemandangan yang mengerikan. Suara tembakan dan dentuman bom menggema di udara, mengingatkannya pada kebrutalan perang yang terus berlangsung.
Sari mengingat keluarganya yang sudah tiada.Ayahnya meninggal dalam serangan awal di kota kecil tempat mereka tinggal sebelum perang meletus dan Putu meninggalkannya untuk melawan ancaman yang lebih besar. Dia sendiri menjadi yatim piatu dan tunawisma, berjuang untuk bertahan hidup di tengah-tengah konflik yang tak berujung ini. Kesendirian dan keputusasaannya menggelayuti setiap hari.
Tapi yang paling menakutkan baginya bukanlah kehilangan atau kesendirian, melainkan kaiju-kaiju raksasa yang berjuang di atas kepalanya. Sari pada kekuatan dan destruksi yang mereka bawa. Setiap kali Bangsa Nirwalengka muncul di langit, langit Kerajaan Musim Panas yang seharusnya damai menjadi teater bagi pertempuran yang menakutkan dan menghancurkan.
Namun di antara kekacauan dan ketakutan, ada satu hal yang menguatkan hatinya. Megananda, meskipun terlihat menakutkan, adalah satu-satunya harapan yang dia miliki. Dia melihat sesuatu dalam mata monster itu, sesuatu yang mengingatkannya pada keberanian dan kekuatan yang pernah dimiliki kota ini sebelum perang meletus.
Sari mengumpulkan keberaniannya untuk keluar dari persembunyiannya setiap kali Megananda muncul. Dia membawa makanan yang sedikit dia miliki untuk memberi kepada monster itu, mencoba membangun ikatan yang rapuh namun bermakna di antara kehancuran yang melanda.
Setiap malam, Sari berharap dan berdoa agar perang segera berakhir, agar langit kota ini tak lagi diwarnai oleh api dan asap. Dia bermimpi tentang waktu ketika dia bisa hidup tanpa takut, tanpa kehancuran yang mengancam di setiap sudut.
Namun, di saat yang sama, keberaniannya tumbuh. Meskipun kecil dan rapuh, kepercayaannya pada Megananda dan harapannya untuk masa depan yang lebih baik adalah cahaya kecil di tengah-tengah kegelapan perang dunia pertama yang menakutkan itu.
Pertempuran yang epiek terus berlangsung di langit Kerajaan Musim Panas yang terbakar oleh perang. Semua harapan tergantung pada Megananda dan kesempatan untuk mengalahkan Bajau, Orang Bati , dan Ahool yang mematikan.
Dalam pertempuran berikutnya di langit Kerajaan Musim Panas yang terbakar oleh perang, Komodo yang dikerahkan untuk melawan Nirwalengka. Api dan ledakan melingkupi pertempuran antara makhluk-makhluk raksasa ini, menggambarkan gambaran epik dari pertempuran antara teknologi dan alam.
Dalam kegelapan malam yang diterangi hanya oleh kilatan api dan sorotan merah dari ledakan bom, langit Kerajaan Musim Panas menjadi medan pertempuran yang menggetarkan jiwa antara Megananda dan mahluk mahluk ciptaan Lamakara Lowu. Penduduk kota yang terdiam menatap ke langit, sementara Megananda, Komodo raksasa dengan tubuh layaknya naga, berdiri tegar di hadapan musuh-musuhnya yang berbahaya.
Pertempuran dimulai dengan dentuman yang mengguncang bumi ketika Orang Bati , kaiju berlapis baja dengan kekuatan fisik yang menghancurkan, menerjang Megananda dengan pukulan dahsyatnya. Serangan demi serangan terjadi, dengan tubuh mekanik Megananda bergetar setiap kali Orang Bati menghantamnya. Namun, dengan kekuatan dan ketangguhan yang baru ditemukan, Megananda melawan kembali dengan serangan laser yang mematikan dan meriam plasma yang memuntahkan api biru membara.
Ahool, monster dengan kecepatan dan serangan energi yang mematikan, meluncur dari langit dalam serangan mendadak. Megananda merespons dengan mengaktifkan perisai energi yang melindungi tubuhnya, memantulkan serangan Ahool kembali ke langit malam. Ledakan energi memenuhi udara, menciptakan panorama yang menakjubkan namun mengerikan bagi para saksi di bawah.
Sementara itu, Mayat bangsa bajau Purba, monster yang menguasai cuaca dan dapat memanggil badai, memperburuk situasi dengan mengirimkan angin ribut dan petir ke arah Megananda.
Malam itu, ketika langit Kerajaan Musim Panas terbakar oleh kilatan api dari serangan Zeppelin, Sari berani keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan hati-hati, dia mendekati Megananda yang sedang berdiri di tepi Sungai Tataba. Raksasa itu menoleh ke arahnya dengan mata yang penuh pertanyaan, tetapi tidak ada ancaman dalam gerakannya.
"Dia tidak mau menyakiti kita," gumam Sari pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Suatu hari, ketika Zeppelin Nirwalengka melintas lagi di atas kota, Megananda tiba-tiba muncul dari Sungai Thames. Sari yang berada di dekatnya segera melihat gelombang panik yang melanda penduduk kota. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu.
"Dia datang untuk membantu kita!" seru Sari dengan keras, mencoba membuat penduduk kota mendengarnya.
Tapi ketika situasi semakin tegang, Nirwalengka tidak tinggal diam. Mereka mengirim Gurlatan, kura-kura raksasa yang dikendalikan oleh alat canggih mereka. Pertempuran antara dua monster pun dimulai di atas langit yang terbakar oleh perang.
Sari, yang melihat pertempuran ini dari kejauhan, merasa putus asa. Dia merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu Megananda membela Kerajaan Musim Panas yang sekarang menjadi rumahnya. Dengan hati-hati, dia menyusup ke tengah-tengah kerumunan yang ketakutan dan mencoba untuk meyakinkan mereka.
"Dia bukanlah seperti dulu! Megananda ingin melindungi kita!" teriak Isabella dengan suara gemetar.
Penduduk kota awalnya ragu, tetapi melihat bagaimana Megananda bertarung untuk melindungi mereka dari serangan Zeppelin, mereka mulai mempertimbangkan kata-kata Sari. Di tengah-tengah kekacauan perang, mereka melihat keajaiban dari monster yang dulunya menakutkan itu, kini berubah menjadi pelindung mereka.
Gurlatan, kura-kura raksasa tiba tiba muncul dan menimbulkan gelombang energi menghancurkan dari cangkangnya, muncul dari dalam Sungai Tataba.
Pertempuran dahsyat antara Meganandadan Gurlatan pun tak terhindarkan. Di atas kepala para hewan Kerajaan Musim panas yang dilanda perang, dua monster berjuang dengan kekuatan masing-masing, menciptakan kekacauan besar di antara langit-langit asap kota yang terbakar.
Penduduk Kerajaan Musim Panas menatap ke langit, tercengang dan terkagum-kagum oleh pertempuran epik yang terjadi di atas mereka. Mereka tidak lagi hanya menjadi saksi dari kengerian perang manusia, tetapi juga dari kekuatan luar biasa dari makhluk-makhluk legendaris yang berjuang atas nama mereka.
Pertempuran itu berlangsung hingga ke pagi hari. Dalam serangkaian pukulan dan gigitan, Megananda berhasil menaklukkan Gurlatan. Kura-kura raksasa itu akhirnya terpaksa menyerah di tangan monster yang lebih kuat.
Kemenangan ini tidak hanya memberikan kelegaan bagi penduduk kerajaan Musim Panas, tetapi juga menandai kebangkitan kembali legenda Megananda sebagai pelindung kota. Meskipun perang dunia masih berlangsung, kehadiran kembali Megananda memberikan harapan dan kekuatan yang diperlukan untuk melawan kekuatan musuh yang tampaknya tak terkalahkan.
Pada saat itu, Kerajaan Musim Panas adalah pusat dari perang total yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jalan-jalan kota penuh dengan puing-puing dari bangunan yang hancur akibat serangan bom. Penduduk kota hidup dalam ketakutan konstan akan serangan udara dan ancaman kematian yang mengintai setiap sudut. Malam hari menjadi momen ketegangan tersendiri, ketika langit London diterangi oleh api dari ledakan bom dan siluet Zeppelin yang melayang-layang di atasnya.
Pertempuran antara Megananda, yang dianggap oleh beberapa orang sebagai harapan terakhir kota, dengan Mahluk mahluk Lamakara Lowu memunculkan atmosfer keputusasaan dan keberanian yang luar biasa. Megananda, dengan bentuknya yang menakutkan tetapi nampaknya berubah menjadi pelindung, berjuang mati-matian melawan mosnter yang diciptakan oleh musuh. Serangan fisik yang menghancurkan dari orang bati, kecepatan dan serangan energi yang mematikan dari Ahool, serta kemampuan mengendalikan cuaca dari Mayat Bajau, semuanya menambahkan tekanan yang luar biasa dalam pertempuran tersebut.
Di bawah kepemimpinan Sari, seorang gadis yatim piatu yang memiliki ikatan khusus dengan Megananda, penduduk kerajaan Musim Panas mulai memahami bahwa makhluk raksasa itu bukanlah ancaman, tetapi sekutu yang tidak terduga dalam perang mereka melawan musuh yang lebih besar. Meskipun teror dan ketakutan menyelimuti kota, ada tetes-tetes harapan bahwa Megananda dapat membantu mengubah nasib mereka.
Pertempuran itu tidak hanya menggambarkan kekuatan dan keganasan monster, tetapi juga penderitaan dan keberanian manusia di tengah-tengah perang yang menghancurkan. Suara sirene peringatan, ledakan yang mengguncang tanah, dan sorotan merah dari peluru tracer melengkapi gambaran latar belakang yang mencekam dari pertempuran itu.
Namun, di tengah semua itu, kisah Megananda dan pertempurannya melawan Nirwalengka dan monster ciptaan Lamakara Lowu menjadi simbol semangat dan perlawanan yang tak terkalahkan dari penduduk Kerajaan Musim Panas. Meskipun Kerajaanini hancur, semangat mereka tidak pernah padam. Dan dalam cahaya kunang-kunang kebangkitan dan pendar-pendar angkasa, mereka menemukan harapan dan kekuatan untuk melawan masa depan yang tidak pasti.
Pertempuran berlanjut dengan intensitas yang memuncak, penuh dengan momen dramatis ketika Mecha Jabberwocky terlihat hampir putus asa di bawah serangan bertubi-tubi musuh-musuhnya. Namun, dengan tekad dan keberanian Isabella, serta dukungan dari tim teknisi dan tentara yang memantau dari darat, Mecha Jabberwocky tidak pernah menyerah.
Akhirnya, setelah serangkaian pertempuran sengit dan putaran menegangkan, Megananda mampu mengungguli lawan-lawannya. Dengan kekuatan yang luar biasa dan strategi yang cerdas, mereka mampu menangkap dan menetralisir setiap serangan musuh. Ahool, Orang Bati, Bajau, dan akhirnya Gurlatan, satu per satu terjatuh di bawah serangan Megananda.
Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan untuk Megananda, dan Gurlatan yang dikalahkan terpaksa mengundurkan diri ke dalam laut, Kerajaan Musim Panas meskipun terluka parah oleh perang, merasa terhormat karena telah memiliki pelindung baru yang tak terduga.
Langit Kerajaan Musim Panas yang sebelumnya penuh dengan ketakutan dan kehancuran, sekarang bersinar dengan kemenangan yang gemilang. Megananda, yang menjadi simbol perlawanan dan keberanian, berdiri megah di antara reruntuhan dan debu, menandakan kemenangan untuk kebaikan dan kebebasan.
Sari, dengan hati yang penuh dengan rasa lega dan kebanggaan, melihat ke langit yang sekarang tenang. Dia tahu bahwa bahaya masih ada di luar sana, tetapi bersama dengan Megananda di sisinya, mereka dapat menghadapi apapun yang datang.
Sari, meskipun tetap hidup dalam kesendirian dan kemiskinan, tahu bahwa dia telah melakukan sesuatu yang penting. Dia telah membantu merestorasi kepercayaan pada Megananda, mengubah pandangan orang-orang terhadap monster legendaris itu dari ancaman menjadi sekutu.
Namun, dalam kemenangan mereka, Kerajaan Musim Panas harus menghadapi realitas bahwa pengorbanan dan perubahan ini tidak datang tanpa biaya.
Raja Mahesasemar mengumpulkan semua hewan di Kerajaan Musim Panas melawan sisa-sisa serangan Zeppelin Kekaisaran Nirwalengka dengan berbagai strategi pertahanan udara. Zeppelin adalah kapal udara besar yang digunakan Nirwalengka untuk menjatuhkan bom di atas kota-kota Kerajaan Musim Panas, Kerajaan Musim Panas merespons dengan pasukan burung sakti yang membawa batu panas dari gunung berapi ke pesawat tempur bangsa Nirwalengka, menembakkan artileri panah udara, dan menggunakan peringatan dini untuk menghadapi ancaman ini. Para badak, gajah hingga hewan hewan kecil seperti tupai, kelinci dan tikus tanah melancarkan perlawanan sengit terhadap sisa sisa Zeppelin Nirwalengka
Setelah perang berakhir, Megananda yang dulunya dianggap sebagai monster teror kota Kerajaan Musim Panas,kini dianggap sebagai pahlawan yang melindungi Kerajaan Musim Panas. Namun, Saro yang takut jika Megananda sahabatnya suatu saat nanti kehilangan kendali dan kembali membahayakan manusia, memutuskan untuk melakukan ritual penyucian.
Sari, dengan air mata yang mengalir memutuskan untuk membakar dirinya sendiri ke api unggun sambil memanjatkan doa, perlahan lahan tubuh Megananda menghilang. Jiwa Isabella yang suci dan jiwa Megananda menjadi satu di angkasa. Megananda pun berubah ke wujud aslinya yang murni, Naga Seribu Tahun. Sari berubah menjadi dewi anggun yang kecantikannya melebihi 1000 bidadari dan siap untuk berperang melawan Lamakara Lowu di masa depan.
Sari, meskipun hanya seorang anak perempuan biasa, telah menemukan keberanian dan kekuatan untuk melawan bahaya yang tak terbayangkan. Dia membiarkan Megananda kembali ke kedamaian dan menjaga kerajaan Musim Panas dari ancaman yang lebih besar. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, dia tetap mengingatkan semua orang bahwa bahaya bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga, tetapi keberanian dan keyakinan bisa menanggulangi bahkan yang terburuk sekalipun.
Ada sebuah dongeng terkenal dari negeri jauh bernama Javania tentang raksasa mengerikan bernama Buto Ijo. Namun, ada kisah yang tak diketahui banyak orang: jika dia sebenarnya bukanlah mahluk jahat. Dia adalah pangeran yang tampan dan baik hati dari dunia paralel. Meskipun karena ukurannya yang raksasa, dia sering digambarkan sebagai monster di berbagai lukisan. Hanya karena menagih janji dari seorang wanita yang tak mau membayar janjinya, dia dianggap sebagai tokoh jahat.
Dahulu kala, ada seorang janda yang ditinggal suaminya untuk berlayar ke pulau seberang. Sudah 15 tahun wanita itu tak memiliki anak bahkan sampai suaminya meninggal dan membuatnya semakin kesepian. Ia mendengar desas-desus tentang sebuah goa dari warga sekitar, yang konon dapat membawanya ke dunia paralel kerajaan raksasa. Di sana, terdapat seorang pangeran raksasa yang dapat mengabulkan permintaan setiap orang, namun dengan imbalan yang harus diberikan oleh yang terlibat dalam kontrak dengannya.
Wanita itu memasuki gua, memasuki dunia pararel dimana manusia dan segala benda lebih besar dari ukuran aslinya.
Hampir terinjak orang-orang layaknya manusia kecil, wanita itu akhirnya menemukan Istana Pangeran Raksasa. Wanita itu meminta seorang anak perempuan dari pangeran dengan kekuatan ajaibnya, setuju dengan syarat anak tersebut harus dikembalikan saat berusia 17 tahun dan dagingnya cukup besar. Wanita itu sepakat, dan sang ibu menerima bayi perempuan cantik dari pangeran raksasa.
Tak terasa, 17 tahun telah berlalu. Sang pangeran raksasa tampan hendak menagih janji dari wanita itu. Meski terlihat kejam karena ingin memakan seorang anak gadis. Buto Ijo sang pangeran raksasa tidak sepenuhnya jahat, ia hanya menagih janji, janji adalah hutang. Lagipula, dialah yang memberikan wanita itu seorang anak perempuan. Sang raksasa telah berbaik hati memberikan kesempatan pada wanita itu untuk merasakan kebahagiaan memiliki anak, meski itu tak abadi dan akan berakhir menyedihkan.
Meski sebagai seorang ibu, meski bukan anak kandungnya, melepaskan anaknya adalah sesuatu yang berat dan menyedihkan. Janji tetaplah hutang, takdir yang harus ditepati.
Namun, setelah melihat kecantikan Timun Mas dari balik pohon, sang pangeran raksasa malah tak ingin memakannya, melupakan janji yang ia buat dengan wanita itu. Ia pun memiliki perasaan cinta pada Timun Mas, tetapi tak berani menyampaikan perasaannya karena malu dengan ukuran tubuhnya yang sangat besar. Ia takut warga akan menyerangnya karena menganggapnya berbahaya, dan lebih buruk lagi, takut Timun Mas akan menolak cintanya yang sangat menyakitkan.
Timun Mas adalah gadis yang cantik dan manis, berkulit bersih, berhidung mancung, memiliki pipi merah, rambut hitam lebat, dan sebuah kerudung emas pemberian ibunya yang berasal dari timun yang membuatnya terlahir ke dunia ini.
Ketika Timunmas terjatuh ke jurang, Pangeran Buto Ijo menolongnya dan mengembalikannya ke tanah. Saat Timunmas menyadari bahwa Buto Ijo menyelamatkannya, mereka semakin akrab. Namun, suatu hari Timunmas mengetahui bahwa Buto Ijo sebenarnya raksasa ajaib yang dapat membesarkan tubuhnya, membuat Buto Ijo merasa malu.
Meski Timunmas tahu bahwa Buto Ijo adalah seorang raksasa, Timunmas tetap menyukainya karena dia sangat lembut dan baik. Selain itu, Buto Ijo juga memiliki wajah yang tampan dan tubuh yang gagah layaknya seorang raksasa.
Meski sang ibu tahu bahwa pangeran itu adalah raksasa menyusut yang menyamar sebagai laki laki biasa, ia tak bisa berbuat apa apa. warga lain juga menuduh Timunmas dan Buto Ijo mempraktekkan ilmu sihir. Namun, sebenarnya, Buto Ijo dan Timunmas memiliki hubungan yang tak terpisahkan. "Tanpa Pangeran Buto Ijo yang memberikan ibu timun berwarna emas, ibu tidak akan punya anak dan tidak akan merasakan rasanya menjadi ibu." Itulah jawaban Timun Mas gadis muda keras kepala yang selalu menolak keinginan ibunya untuk meninggalkan hubungannya dengan Pangeran Buto ijo.
Sampai pada suatu ketika, Ratu raksasa dari kerajaan lain di dunia pararel merasa cemburu karena Pangeran Buto Ijo tak mencintainya. Malah, Pangeran Buto Ijo mencintai manusia. Ratu tersebut memerintahkan pasukannya untuk memasuki portal dunia paralel ke dunia manusia dan menyerang desa tempat Timun Mas tinggal. Mereka memakan seluruh manusia yang ada di sana. Akhirnya, Pangeran Buto Ijo memeluk Timun Mas dengan mengucapkan salam perpisahan. Dia mengorbankan nyawanya untuk menyalurkan semua energi yang dia miliki demi menutup portal yang menghubungkan dunia raksasa dan manusia, agar kerajaan raksasa tidak bisa memasuki dunia manusia dan memakan mereka semua.
Manusia tak berdaya melawan pasukan kerajaan raksasa yang bersenjata lengkap seperti burung yang berburu cacing. Namun, Timun Mas dengan Crossbow dan anak panah biji semak belukarnya mampu mengurung para raksasa dalam jebakan dan mengembalikan mereka semua ke dunia paralel. Semua orang yang awalnya menuduh Timun Mas sebagai jelmaan iblis bersorak gembira dan mengangkatnya sebagai pahlawan yang menyelamatkan desa. Tetapi, Timun Mas merasa sedih karena pengorbanan yang dilakukan Buto Ijo untuknya dan melindungi dunia manusia dari para raksasa.
Namun, Pangeran Buto Ijo selalu bilang ke Timunmas, termasuk kali ini, di saat-saat terakhir mereka. Buto Ijo berbisik dengan lembut sambil memeluk Timunmas, "Aku akan bertemu kembali dengan Timun Mas, tidak tahu kapan, tidak tahu di mana, tapi yang jelas pada hari yang sangat cerah. Aku selalu ada di galaksi yang bersinar di langit malam hanya untuk bertemu denganmu," Pangeran Buto Ijo berjanji tak akan pernah mengucapkan selamat tinggal pada Timun Mas, apalagi melupakannya sepanjang hidupnya bahkan sepanjang kematiannya, meski Buto Ijo Berjanji Pada Timun Mas, Timun Mas tak bisa membuat air matanya berhenti.
XXX
Angin malam menggulung di perbukitan Karangmata, membawa bau hutan dan abu. Putu dan para Ksatria Suci telah mendirikan kemah di bawah pohon Kalpataru Runtuh—pohon tua yang konon tumbuh dari bekas luka bumi setelah perang dewa pertama. Malam itu, bintang-bintang berkedip tidak tenang. Api unggun mereka menyala biru.
Putu, yang duduk bersila sambil membersihkan keris Arcapada, tiba-tiba terdiam. Matanya kosong, namun jiwanya mulai melihat. Waktu berhenti. Api berhenti berkedip. Suara jangkrik lenyap.
Lalu dunia menjadi putih.
Ia berdiri sendirian di tengah padang yang tidak ia kenal. Kabut mengambang, dan dari kejauhan, terdengar langkah kaki besar seperti guntur bercampur dengan langkah kecil yang ringan seperti tarian.
Dua sosok muncul dari balik kabut. Sosok pertama tinggi besar, matanya seperti bara, bertubuh raksasa namun membungkuk rendah. Tubuhnya berlumur luka dan rantai patah tergantung di bahunya. Namun ia tersenyum damai.
“Aku Buto. Dulu mereka memanggilku Buto Ijo. Tapi jangan percaya dongeng. Aku bukan pemakan anak-anak, aku penjaga perjanjian.”
Ia menunduk pada Putu, dan tanah di bawah kaki Putu retak pelan karena tekanan rohnya.
Sosok kedua, gadis muda dengan rambut panjang emas seperti benang jagung, mengenakan baju anyaman daun, matanya jernih dan bercahaya. Ia melayang sedikit di atas tanah.*
“Aku Timun Mas. Aku dikejar, tapi tak pernah kalah. Aku bukan pahlawan karena menang, aku pahlawan karena terus berlari.”
Ia tertawa lembut, dan dari tawanya tumbuh bunga-bunga kecil di kaki Putu.
---
Putu menatap mereka. “Mengapa kalian di sini?”
Buto Ijo menjawab dengan suara berat seperti petir yang menua:
“Karena dunia kembali terbelah. Kebaikan dan kejahatan telah kabur dari bentuknya. Dewa-dewa sibuk dengan langit. Maka kami—roh bumi—harus turun menjaga penjaga yang baru.”
Timun Mas menambahkan:
“Kau dan teman-temanmu, kalian bukan hanya petualang. Kalian adalah simpul takdir. Jika kau binasa… yang akan jatuh bukan hanya bumi, tapi harapan generasi.”
Putu menunduk. “Aku bukan dewa. Aku hanya seekor kancil.”
Buto tertawa. “Itulah sebabnya kami memilihmu.”
---
Tiba-tiba mereka mendekat, dan masing-masing menyentuh bahu Putu dengan jari roh mereka. Suara mantra kuno menggema di angin:
“Dari tanah dan air, dari langit dan api,
kami titipkan perlindungan pada darahmu,
agar bila kau roboh, bumi masih berdiri.”
Api unggun kembali menyala di dunia nyata. Putu terbangun, dan pada saat itu, dada kirinya bersinar samar dengan pola daun dan taring, tanda dua roh telah bersemayam dalam dirinya.
Sejak saat itu, Putu dan para Ksatria dilindungi oleh kekuatan tak kasat mata:
Kadang tombak musuh melenceng tiba-tiba.
Kadang langkah mereka diikuti oleh jejak kaki besar tak terlihat.
Kadang suara tawa anak perempuan terdengar saat mereka hampir putus asa.
Dalam pertempuran besar nanti, Buto Ijo akan menjelma dalam bayangan raksasa untuk menahan musuh.
Timun Mas akan muncul sebagai roh penyembuh yang memulihkan jiwa-jiwa lelah para pejuang.
Malam itu, ketika Putu melihat ke langit, ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Di balik bintang, di balik tanah, dua jiwa telah memutuskan untuk berdiri bersamanya.
Tidak sebagai dewa.
Tapi sebagai penjaga zaman, yang pernah jatuh… dan memilih untuk bangkit lewat generasi baru.
XXX
Ketika Putu dan para Ksatria Suci menembus Hutan Akar Terbalik, mengejar bayang-bayang raksasa yang menculik Pendeta Air, mereka belum tahu bahwa keseimbangan dunia tengah runtuh diam-diam di utara yang beku.
Angin kutub membawa bisikan dari zaman yang lebih tua dari sejarah. Di ujung benua, di balik gunung-gunung es dan palung keheningan, ada istana yang tak tersentuh waktu: Istana Salju Kedua, rumah bagi ras penguin agung, makhluk bersayap dan bersisik yang dulu disebut keturunan Langit Selatan.
Di singgasana beku, duduklah seorang ratu dengan mahkota dari bulu putih dan mata seperti cahaya bulan purnama. Namanya Violet, Ratu dari Salju Tak Tersentuh.
Ratusan tahun ia bertahan sendiri. Bangsanya dihancurkan oleh peperangan antar musim. Dan satu-satunya yang ia cintai, putranya, telah dibekukan dalam kristal sejak bayi—Pangeran Arsa Ignaqu, pewaris darah penguin ilahi, disegel dalam kubah es oleh ramalan dewa-dewa.
Tapi malam ini... ia berniat membangkitkannya.
Tangannya yang gemetar mengusap ukiran kristal. Ia melafalkan mantra dalam bahasa penguin purba, bahasa yang hanya dipahami oleh paus suci dan guntur kutub.
"Bangkitlah, anakku, terangnya musimku. Meski dunia tak layak atas cintamu, biarlah kau membuka mata."
Salju bergetar. Kristal retak. Arsa bangkit—matanya biru pucat, tubuhnya menyala lembut dalam salju. Bulu-bulu lembut dan jubah perak menyelimuti tubuhnya yang setengah manusia, setengah penguin dewa.
“...Ibu?” bisiknya.
Ratu Violet menangis.
Tapi sesuatu dalam salju salah.
Kristal tak meleleh, tapi terbelah.
Udara tak hangat, tapi membeku lebih dalam.
Dan di belakang mereka… suara tertawa menggema.
“Akhirnya… dia bangkit. Bayi salju. Raja duka.”
Dari balik kabut muncul sesosok Komodo raksasa, tak berpijak di bumi. Ia seperti asap yang dikurung dalam tubuh burung nasar berjubah hitam. Matanya seperti lubang langit.
Lalu terdengarlah suara dari balik kabut dunia—suara yang menandakan hukum kosmos telah dilanggar.
“Es abadi hanya boleh dimiliki satu.
Yang bangkit bukanlah berkah. Ia adalah celah. Dan celah adalah awal kehancuran.”
Dari balik langit remang muncul Lamakara Lowu, sang Penjaga Keseimbangan Kosmik. Ia tak berwajah, tubuhnya seperti uap kabut yang membentuk makhluk setinggi langit, dan matanya adalah dua pusaran kosong.
Dewa kehampaan. Pengatur rahasia dimensi. Penjaga kekosongan.
“Jadi ini semua… jebakanmu?” bisik Violet ketakutan.
Lamakara hanya tersenyum.
“Siapa bilang aku melarangmu membangkitkannya? Justru aku yang menanam benih ilusi di hatimu selama berabad-abad. Rasa rindumu, keyakinanmu… adalah bagian dari rencana.”
“Untuk apa?”
“Untuk menjadikan dia pembawa retakan. Bayi yang tertidur ratusan tahun, dihidupkan dengan cinta palsu… akan menjadi pemutus waktu. Pangeran penguin ini akan membawa kehancuran, bukan kebangkitan.”
Ratu Violet mencoba melindungi anaknya.
Tapi Lamakara berkata pelan, "Cinta adalah kelemahan. Dan kelemahan harus dihancurkan."
Satu jentikan jari.
Tubuh Ratu Violet membeku, lalu pecah menjadi *bulu-bulu es* yang beterbangan seperti bunga sakura mati. Arsa menjerit. Tapi ia tidak menangis.
Ia diam.
Ia membeku.
Ia menatap Lamakara… dan hanya berkata:
“Aku akan mencari jalanku sendiri. Kau bukan tuanku.”
Dan Lamakara hanya tertawa panjang… sebelum menghilang dalam pusaran salju hitam.
---
Di padang gurun perbatasan, di tempat Putu sedang menyalakan api bersama teman-temannya, datanglah sosok aneh dari utara. Sebagian manusia, sebagian penguin. Jubahnya putih. Matanya biru mati.
“Aku bukan siapa-siapa lagi. Tapi dulu aku seorang pangeran,” Katanya sambil tersenyum dingin. “Aku hanya ingin melihat dunia, dan mungkin... membalas dendam sedikit.”
“Aku Arsa,” katanya. “Putra ratu yang kau kalahkan. Jangan khawatir, aku tak datang untuk balas dendam... belum.”
Putu hanya mengangguk. Di balik senyum Arsa, ia tahu—es itu belum sepenuhnya mencair.
XXX
Langit mendung menggantung di atas kapal Angin Laut Selatan, kapal layar besar buatan tangan para Pandai Pelabuhan Bunga. Angin membawa aroma garam dan rahasia dari pulau-pulau yang belum dijelajahi. Ombak bergoyang seperti napas makhluk raksasa yang tertidur di bawah laut.
Putu duduk sendirian di pojok geladak, di dekat tiang agung kapal. Di hadapannya, terbentang lembaran daun lontar yang telah dikeringkan dan dibungkus kain kulit kijang. Tinta dibuat dari arang damar dan air hujan. Ujung pena bulu burung raja.
Di sekelilingnya, para Ksatria Suci sibuk mengatur perbekalan. Arsa Ignaqu berdiri jauh di haluan, menatap cakrawala dingin. Sementara Sang Naga Angin tidur melingkar di layar atas, membisikkan mimpi kepada langit.
Tapi Putu tak peduli pada semua itu sekarang.
Ia menulis.
---
Surat untuk Ayah dan Adiknya
Ayah…
Maafkan anakmu ini.
Aku pergi lagi, tapi bukan seperti dulu, bukan ke hutan kecil tempat kancil biasa bermain atau gua tempat monster pemarah bersembunyi.
Kali ini... aku menyeberangi samudra menuju negeri yang bahkan dewa pun jarang menyebutnya. Negeri yang hanya muncul dalam mimpi, dalam nyanyian para leluhur.
Tapi aku tidak takut. Karena aku membawa namamu. Aku membawa ajaranmu. Dan aku masih ingat cara menyelinap lewat jendela dapur untuk mencuri jajan sore.
Kadang, saat malam di kapal ini terlalu dingin, aku berpura-pura mendengar suaramu memanggilku pulang.
Ayah, aku belum bisa pulang sekarang. Tapi janji, aku akan pulang... entah sebagai pahlawan, entah sebagai arwah yang kau doakan setiap malam.
Untuk Adikku, Sari…
Kau pasti marah karena aku tak sempat pamit. Tapi kakakmu ini tak lupa padamu, bahkan saat dikejar naga langit.
Jangan menangis. Kau harus belajar lari seperti Timun Mas, dan berpikir seperti kancil. Dunia akan mengujimu juga suatu hari nanti, dan saat itu tiba, ingatlah bahwa darah petualang juga mengalir dalam nadi kecilmu.
Aku titip rumah ya, dan pohon jambu belakang. Jangan biarkan siapa pun menebangnya.
Aku menyayangimu, adik kecilku. Dan jika aku tak kembali, ingatlah—kakakmu pernah menulis ini sambil duduk di kapal, di bawah langit abu-abu, menatap masa depan yang bahkan para peramal pun takut untuk membacanya.
Putu
(Yang masih suka sembunyi di balik pintu kalau ketakutan.)
---
Putu melipat surat itu perlahan, membungkusnya dengan kulit, dan menatapnya lama. Lalu ia memasukkannya ke dalam botol bambu kecil dan menyerahkannya pada burung laut yang sudah dilatih oleh para pelaut roh. Burung itu terbang tinggi—menuju kampung, menuju rumah, menuju dunia yang ia jaga dari kejauhan.
---
Dan ketika malam jatuh, dan langit membuka tirainya perlahan, Putu berdiri di haluan kapal. Angin memukul wajahnya, tapi tidak menusuk.
Karena kini ia tahu… bahwa meski tubuhnya melintasi samudra, hatinya tetap tertambat pada rumah.
Petualangan baru menanti.
Tapi sebelum itu, ia sudah pulang dalam kata.
XXX
Malam itu, kapal Angin Laut Selatan diam seperti ikan mati di tengah samudra. Angin mengendap. Awan tak bergerak. Para awak tidur nyenyak—kecuali satu jiwa gelisah.
Putu Sawerigading.
Ia terlelap di geladak kapal, namun bukan dalam tidur biasa. Ia tenggelam dalam sesuatu yang lebih dalam dari mimpi… lebih nyata dari dunia itu sendiri.
---
Ia berdiri sendirian di dataran tak bernama. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya putih. Sunyi. Kekosongan yang berdenyut seperti jantung semesta.
Lalu muncul sosok.
Wandaru.
Tapi ia bukan lagi penyihir tua dengan jubah sobek dan tongkat kayu. Wajahnya bercahaya. Rambutnya menjuntai seperti sungai-sungai bintang. Tubuhnya mengambang. Dan di matanya, Putu melihat sesuatu yang tak dapat ia jelaskan—bukan kebijaksanaan, tapi kesunyian abadi.
“Wahai Putu Sawerigading,”
"Engkau berjalan di jalan yang bahkan para dewa pun takut menapakinya.”
Putu berlutut.
“Aku... tak bisa. Aku hanya seekor kancil. Aku bukan penyelamat dunia…”
Wandaru menatapnya lama. Lalu ia berkata:
“Aku bukan datang untuk menyelamatkanmu.”
“Aku hanyalah perpanjangan tangan dari kehendak tertinggi—Avatar dari Sanghala, dewa yang tak ikut campur pada urusan makhluk-makhluknya.”
"Tugas-Ku bukan mengubah jalanmu... tapi menguatkan hatimu.”
---
Tiba-tiba, ruang putih itu mulai bergetar.
Wandaru mengangkat tangannya. Dan dari tubuhnya memancar cahaya keemasan yang tak menyilaukan—tapi menelanjangi seluruh keberadaan. Wujud ragawinya hancur perlahan, digantikan oleh bentuk sejati yang tak bisa dimengerti.
Ia adalah Sanghala.
Bukan sebagai dewa perang.
Bukan sebagai penyelamat.
Tapi sebagai Kesadaran Murni—wujud tak berbentuk, tak bernama, tak berawal, tak berakhir.
Ia berubah jadi api, jadi sungai, jadi bintang, jadi anak kecil, jadi bayangan, jadi akar, jadi tawa, jadi keheningan.
Putu menatap… dan tubuhnya mulai meleleh. Tidak secara fisik, tapi jiwanya remuk.
Ia menangis. Ia berteriak. Ia gemetar.
“Aku… tidak sanggup…”
Dan dalam bentuknya yang tak bisa dituliskan, Sanghala berkata:
“Karena itu Aku tidak pernah muncul pada makhluk-makhluk lain.
Karena tak seorang pun dapat melihat-Ku dan tetap utuh.”
---
Sebelum penglihatan itu menghilang, sesuatu mengambang turun di hadapan Putu: sebuah *kitab yang terbungkus cahaya daun dan roh.
“Ini adalah Tataba Banua.”
“Kitab kelahiran dunia. Kitab yang mencatat asal-mula Sanghala, munculnya Senghala, dan bagaimana Lamakara Lowu adalah hasil dari celah kehendak yang retak.”
“Tapi kitab ini tidak akan membantumu berperang. Ia hanya mengingatkanmu—mengapa kau harus tetap berjalan.”
Putu memeluk kitab itu. Dengan tangan yang gemetar. Dengan hati yang belum utuh. Dengan tekad yang masih dibalut rasa takut.
Dan saat ia menatap Sanghala yang mulai memudar, ia bertanya:
“Kalau kau adalah Sanghala... kenapa bukan Kau sendiri yang menghancurkan Lamakara Lowu?”
Dan Sanghala menjawab:
“Karena kehancuran hanya bisa dilawan oleh kehendak yang tumbuh dari tanah, bukan dari langit.”
“Karena aku tidak ditakdirkan mengalahkannya. Engkaulah yang ditakdirkan.”
“Karena bahkan kancil kecil pun bisa menggigit naga, bila ia tahu kemana harus menggigit.”
---
Putu terbangun dengan tubuh dingin. Kitab itu berada di sampingnya—nyata. Ia memeluknya erat.
Malam masih sunyi. Tapi hatinya tidak lagi kosong.
Ia telah melihat Sanghala.
Ia telah menerima kitab suci.
Dan meski tubuhnya lemah… jiwanya kini tak bisa dihancurkan.
XXX
Kapal telah merapat di pelabuhan terakhir wilayah tengah, di perbatasan antara dunia manusia dan lembah para dewa yang nyaris punah. Di sana, kabut tak pernah benar-benar pergi, dan suara burung hantu menggantikan nyanyian pagi.
Di pagi muram itu, seorang utusan datang.
Ia membawa surat bersegel bunga matahari, tanda dari Kerajaan Musim Panas, tanah tempat ayah Putu menetap setelah pengasingan damainya.
Putu membukanya dengan tangan gemetar. Surat itu singkat—terlalu singkat.
---
“Yang terhormat Putu Sawerigading,
Ayahmu, meninggal pagi kemarin. Ia wafat dalam tidur, tak sempat mengucap pesan terakhir. Kami telah memakamkannya dengan upacara air dan cahaya sesuai kehendak para penjaga lama.
Dunia lebih sepi tanpanya.”
---
Putu tak bergerak. Surat itu menetes ke tanah. Ia memejamkan mata, dan dalam heningnya, langit terasa seperti runtuh ke dadanya. Ia, sang pemegang Keris Arcapada, sang kancil penjelajah dunia, *tidak bisa menyelamatkan orang yang paling ia cintai*.
---
Malam harinya, Putu duduk sendirian di atas menara pelabuhan. Angin dingin menyapu rambutnya. Ia memandangi dunia manusia dari ketinggian.
Tapi untuk pertama kalinya, dunia itu tampak keji dan suram.
Ia menyaksikan:
Seorang anak kecil mati kelaparan di dekat rumah bangsawan yang mewah.
Seorang wanita tua dicaci karena tak mampu membayar pajak pada pejabat istana.
Seorang prajurit memukul orang sakit yang dianggap membawa "nasib buruk".
Putu menggenggam kerisnya… tapi tak menghunusnya.
Apa gunanya menyelamatkan dunia… jika dunia ini tak layak diselamatkan?
---
Dan di dalam sunyi, Lamakara Lowu datang—bukan sebagai monster, tapi sebagai bisikan dalam pikiran.
“Apakah ini dunia yang kau bela, Putu?”
“Kerajaan manusia yang congkak… berbeda dengan Kerajaan Musim Panas yang lembut.”
“Kau sudah melihatnya sendiri: kematian, kebodohan, penderitaan.”
“Apa kau benar-benar ingin mengorbankan jiwamu demi mereka?”
Putu menunduk. Dalam hatinya, sesuatu mulai retak.
Ia mulai bertanya-tanya:
“Apa aku memilih jalan yang salah?”
---
Hari-hari berikutnya, Putu berjalan sendirian di desa-desa perbatasan.
Ia untuk pertama kalinya melihat orang sekarat. Tubuh kurus, napas tersengal, dan anak-anak menangisi ibu yang tak bangun lagi.
Ia melihat orang tua yang dibuang karena dianggap beban.
Ia melihat manusia mencuri dari sesama, bukan karena jahat, tapi karena lapar.
Dunia manusia jauh lebih kejam daripada naga, raksasa, atau roh jahat yang pernah ia lawan.
---
Di malam yang sunyi, Putu duduk di bawah pohon tua, memandang bintang-bintang mati di langit gelap. Ia menggumam:
“Kalau semua akan mati… apa gunanya menjadi baik?”
“Kalau aku ingin menyelamatkan dunia… aku harus melampaui kematian itu sendiri.”
“Aku harus… menjadi abadi.”
Dan dengan pikiran itu, sesuatu di dalam dirinya menerima api baru:
keinginan untuk menguasai waktu, menaklukkan takdir, dan menyalip para dewa.
---
Putu menoleh. Tapi tidak ada Wandaru.
Sudah berhari-hari sejak penyihir itu menghilang. Tak ada pesan. Tak ada jejak. Hanya kesunyian.
Putu kini sendirian.
Dan dalam kesendirian itu, Lamakara Lowu tersenyum di kejauhan, karena benih keabadian telah ditanam di jiwa sang ksatria.
---
Di akhir malam, Putu berdiri di atas bukit batu, memandang dunia di bawahnya.
Di satu tangannya, keris Arcapada.
Di tangan satunya, lembaran daun tempat ia mulai menulis rencana baru:
“Cara mendapatkan keabadian.”
XXX
Sepuluh tahun setelah pengasingan Jayasena, saat konflik kecil antara dua kerajaan berubah menjadi perang semesta antara pengikut Sanghala dan Lamakara Lowu.
---
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Jayasena, putra Pangeran Siliwangi, kalah dalam permainan dadu yang mematikan nasib. Ia telah menjalani pengasingan tanpa keluhan, mengembara dari satu gunung suci ke samudra keramat, dari gua para dewa hingga lembah para roh. Ia mendalami ilmu kesunyian, menahan amarah, dan menunggu waktu.
Kini waktunya tiba.
Pada perayaan Dekade Kesepakatan, Jayasena kembali ke istana Surupala, didampingi hanya oleh dua pengikut: seorang pendeta buta dari Pegunungan Kelam, dan seorang bocah misterius yang disebut anak dari naga langit.
Di hadapan ratu Pitaloka dan seluruh bangsawan Surupala, Jayasena menyampaikan tuntutannya:
"Waktuku telah genap. Mahkota yang dicabut melalui permainan, kini harus dikembalikan menurut hukum leluhur."
Namun Pitaloka menatapnya dingin, kekuasaan telah membentuknya menjadi ratu dengan kehendak baja.
"Tidak, Jayasena. Sepuluh tahun telah mengubah segalanya. Aku takkan mengembalikan hak yang sudah gugur. Surupala kini bukan wilayah Kandis, dan mahkota bukan milik masa lalu."*
Perang pun pecah.
Tapi bukan perang biasa.
---
Apa yang dimulai sebagai konflik antara dua kerajaan berubah menjadi benturan antara dua kekuatan metafisik.
Jayasena, dalam pengembaraannya, telah menerima penglihatan dari Sanghala, sang harmoni pencipta. Ia telah diangkat sebagai Avatar Cahaya, titisan baru kekuatan yang menolak ikut campur selama ribuan tahun. Ia kembali bukan sebagai pangeran, tapi pembawa keadilan semesta.
Sementara itu, Pitaloka telah sepenuhnya berada dalam pengaruh Lamakara Lowu, yang menanamkan kekuatan gaib padanya, memunculkan makhluk-makhluk hitam dari cermin dunia, dan membangkitkan monster-monster api dari reruntuhan Sundalandia.
Pengikut Sanghala bangkit.
Para kera putih dari Gunung Tarasu, pengikut Sanghala yang pernah berdiam dalam kabut suci.
Para Elang Abadi dari Tunggul Awar, membawa pesan langit.
Manusia Perak dari Laut Tengah, prajurit bisu penjaga keseimbangan.
Pengikut Lamakara Lowu merajalela:
Grandong, monster bergigi seribu, merobek lembah dengan satu injakan. Bangsa Bajau purba roh dendam dari masa silam yang terikat janji pada Lowu. Orang bati dan Ahool serta Dewa-dewa jatuh, makhluk langit yang membelot pada cahaya demi kebebasan mereka sendiri.
---
Di puncak konflik, pertempuran terakhir pecah di Langit Ketujuh, tempat antara dunia manusia dan dunia asal para dewa.
Jayasena berhadapan langsung dengan Pitaloka, kini berubah menjadi avatar kegelapan. Rambutnya telah memutih seperti iblis, matanya menyala merah — bukan lagi ratu, tapi tangan kanan Lamakara Lowu.
Pertempuran mereka memecah bintang-bintang, menciptakan kilat petir dalam dimensi waktu yang membeku.
Jayasena berteriak:
"Kau bukan lagi Pitaloka yang dulu! Ini bukan kehendakmu, tapi tipu daya bayangan!"
Pitaloka membalas:
"Aku adalah aku! Cahaya terlalu lemah untuk melindungi dunia. Lebih baik dunia tunduk dalam kekuasaan Lamakara daripada dibiarkan terbakar dalam kehampaan!"
---
Saat pertempuran mencapai puncak, Sanghala turun langsung — bukan sebagai dewa, tapi sebagai suara dalam hati Jayasena.
Dan Lamakara Lowu muncul sepenuhnya, menampakkan wujud aslinya: komodo raksasa sebesar gunung yang mampu terbang tanpa sayap, mencengkeram waktu dengan cakarnya, menertawakan harmoni, menantang Sanghala di hadapan semesta.
"Hari ini, tak ada lagi kebaikan dan kejahatan. Hanya kehendak yang menang!"
Cerita berakhir saat Jayasena dan Pitaloka saling tebas di tengah medan perang kosmik, dan langit retak menjadi dua. Sebuah pertanda bahwa semesta ini akan memasuki zaman baru — zaman tanpa kepastian, saat semua kepercayaan diuji dan sejarah kembali ditulis dari awal.
XXX
Dari dalam lautan yang kelam, suara terdengar—bukan dari mulut Putu Sawerigading, tapi dari dalam pikirannya:
“Kau telah menyelamatkan mereka… Tapi apa balasanmu?”
“Kau melihat sendiri bagaimana para raja tetap berbohong. Mereka membiarkan bumi terluka, rakyat terabaikan…”
“Dan para dewa?”
“Senghala? Ia membiarkan Kadita jatuh. Ia membiarkan Sundalandia tenggelam.”
Putu gemetar.
“Siapa kamu?” gumamnya.
Gelombang naik… dan di balik kabut air laut, sesosok bayangan muncul—raksasa, tak berbentuk, seolah dilukis dari bayangan dan magma.
“Aku adalah kau… bagian darimu yang kau tolak.”
“Aku adalah warisan darahmu. Aku adalah kekuatan dari kedalaman yang kamu simpan sejak kelahiranmu. Akulah—LAMAKARA WOLU.”
Putu berteriak, mencoba menusukkan Keris Arcapada ke ombak. Tapi air justru menyelimuti dirinya. Sekujur tubuhnya terasa terbakar, bukan oleh api, melainkan oleh amarah yang selama ini ia pendam.
---
Matanya terbuka lebar. Tapi kini yang ia lihat bukan lagi dunia luar—melainkan lautan dalam dirinya sendiri. Di dalamnya, ia melihat dunia penuh pengkhianatan: anak-anak yang kelaparan, raja yang mengorbankan rakyat, para ksatria yang berkhianat demi kekuasaan.
“Senghala diam… Karena dunia ini tidak layak diselamatkan.”
“Bersatulah denganku. Biarkan kekuatan Ombak Hitam menjadi tubuhmu. Dunia ini perlu ditenggelamkan. Lalu dibentuk ulang.”
“Kita bukan pembunuh. Kita adalah awal.”
Dan Putu… tak menjawab.
Tangannya terulur. Keris Arcapada mulai retak di ujungnya, dan dari dalam retakan itu, muncullah api hitam—nyala purba dari dalam jiwa Lamakara.
Putu menatap bayangannya di genangan air dermaga. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat seekor kancil kecil yang takut gelap. Ia melihat makhluk baru:
Separuh cahaya, separuh kegelapan. Separuh dewa, separuh naga.
Dan di kejauhan, di bawah laut, seekor naga raksasa tanpa tubuh membuka matanya…
---
XXX
Hanya sekitar 10 tahun setelah Perusahaan Wentira semakin merajalela, seluruh umat manusia di dunia akhirnya terancam punah setelah sebelumnya keadaan alam berangsur angsur memburuk. Hutan sama sekali tak tersisa di Bumi, hanya tersisa gedung gedung tinggi yang kumuh, penuh sampah dan udara yang kotor, Putu yang hatinya kini dipenuhi oleh kegelapan merasa tak sudi berjuang demi kepentingan Kerajaan Surupala, meskipun hewan hewan di hutan terlarang Kamyaka tak bisa bicara layaknya hewan di kerajaan Musim Panas Putu tetap menganggap mereka sebagai saudara. Dia muak melihat Perusahaan Wentira yang menguasai hutan Kamyaka menebang pohon, merusak habitat dan menyiksa serta memakan bianatang-bianatang disana.
Kehilangan hutan secara besar-besaran menyebabkan punahnya manusia melalui berbagai cara secara bertahap. Tanpa hutan, sumber daya alam yang esensial seperti oksigen dan air bersih dapat berkurang secara signifikan. Selain itu, perubahan iklim yang diakibatkan oleh deforestasi dapat menyebabkan kondisi cuaca ekstrem, naiknya suhu global, dan kenaikan permukaan air laut.
Kehilangan keanekaragaman hayati juga dapat mengurangi ketersediaan pangan dan sumber daya alam lainnya yang esensial bagi kehidupan manusia. Disparitas ekonomi dan sosial dapat meningkat karena masyarakat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka kehilangan sumber penghasilan.
Kehilangan hutan mengakibatkan krisis ekologis dan kemanusiaan yang serius, mempengaruhi kelangsungan hidup manusia secara langsung.
Sebelum benar benar punah, umat manusia merasa menyesal karena tak mendengarkan ajakan Samburanjana dan teman temannya dan malah bertepuk tangan saat perusahaan menghukum mati mereka di depan banyak orang. Menurut perusahaan seluruh Bumi adalah properti pribadi milik mereka sebagai orang paling kaya dan berkuasa.
Ternyata hidup sebagai manusia hutan jauh lebih baik daripada menjadi manusia modern yang diperbudak oleh kerakusan akan harta hingga mengorbankan bumi.
Terbukti, hidup sebagai manusia tanpa peradaban, berprilaku seperti monyet, tanpa pakaian, tanpa kemampuan bahasa, dan tanpa bicara, serta bergelayutan di pohon seperti orang gila, justru lebih baik daripada kehidupan manusia modern. Manusia hutan hidup selaras dengan alam, bersama binatang dan tumbuhan yang memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.
Bagaimana bisa mereka menyebut penghuni hutan sebagai orang barbar ketika mereka hidup selaras dengan alam? Mungkinkah Tarzan dan manusia purba lebih beradab daripada manusia modern?
Di atas pulau baru dari sisik naga, Putu berdiri dalam diam. Laut di sekelilingnya bersinar seperti darah. Ia menatap ke langit, ke bintang-bintang yang semakin redup.
Dalam benaknya, suara Lamakara terus berbisik:
“Besok, mereka akan melawanku. Mereka akan memanggil nyanyian Sanghala.”
“Tapi ingat, anakku... kau bukan Putu lagi. Kau adalah yang terakhir. Dan yang pertama.”
Putu tak menjawab. Tapi air matanya jatuh satu. Hanya satu.
Di antara dua kekuatan, sebuah jiwa kecil masih bergelut. Apakah itu cukup untuk menyelamatkan dunia? Ataukah Ombak Ketiga akan menelan segalanya?


Posting Komentar