Di lembah luas Vallis Serenum, berdirilah Kerajaan Martian, kerajaan terbesar di utara Planet Mars, sedangkan wilayah selatan mars dihuni oleh suku nomaden barbar yang sering memberontak dan menolak bayar pajak.
Bagi putri Aéris Valora hanya Aragorn yang menjadi satu satunya keluarga yang selalu hadir di masa susah dan senang.
Sejak mendengar jawaban itu, Aeris sering menghilang dari istana untuk berbaur dengan rakyatnya.
Di sebuah dusun di selatan Tharsia, tinggal seorang pemuda — Aragorn, penggembala kuda pasir yang suka ke pusat kerajaan di utara untuk menjual hasil ternak.
Ia tak punya titel, tak punya harta, hanya nyanyiannya yang membuat padang pasir serasa hangat.
Aragorn dan Aéris Valora bertemu di pasar, ketika angin merah membawa badai kecil dan membuat putri terjebak di bawah tenda.
Percakapan kecil itu menjadi titik awal sesuatu yang terlalu besar untuk zaman mereka.
Mereka jatuh cinta, seperti dua bintang yang saling menyala di langit tipis Mars.
XXX
Duchess Aurora, putri sulung Duke Valerian yang juga merupakan teman masa kecil Putri Aelaria, menatap istana megah dari balkon kamarnya. Sejak kecil, dia selalu memiliki kemampuan yang tak biasa: melihat kilasan masa depan. Namun, kemampuan itu bukanlah hadiah ringan—ia selalu membawa beban berat tentang nasib yang tak bisa diubah begitu saja, belum lagi dia mendapatkan penglihatan jika dia akan dinikahkan oleh Pangeran Carl di usianya yang masih remaja.
Kerajaan Aeloria sudah lama menunggu keajaiban. Raja Aldric dan Ratu Selene telah menikah selama dua puluh tahun, namun tak kunjung dikaruniai anak hingga Raja Aldric harus menikahi seorang selir yang melahirkan Putri bernama Aéris Valora, namun kerajaan ini sama sekali tak menyukai pemimpin perempuan hingga legitimiasinya lemah dan membuat raja semakin khawatir dengan potensi pemberontakan.
Kekhawatiran akan perang saudara dan perebutan takhta selalu membayangi istana. Sampai suatu malam, ketika langit gelap diterangi kilatan cahaya, sebuah kapsul luar angkasa menghantam halaman kerajaan dengan ledakan yang memekakkan telinga.
Bayi itu berasal dari planet Tordom yang ada di galaksi Andromeda, dia dikirim oleh sisa sisa penduduk planet Tordom ke mars dengan kapsul luar angkasa untuk bayi karena planet Tordom hancur dan meledak akibat gempa bumi raksasa.
Di dalamnya, bayi laki-laki yang kecil namun tampak aneh ditemukan. Mata bayi itu berkilau seperti planet yang hancur dari mana ia berasal. Raja dan Ratu, setelah bertemu dengan anak itu, memutuskan mengangkatnya sebagai putra mahkota kerajaan—namun dari awal, sesuatu tentang bayi itu terasa berbeda.
Seiring bertambahnya usia, anak laki-laki itu—yang diberi nama Pangeran Carl —tidak mampu menguasai sihir apapun. Para guru sihir di istana sering kali frustrasi, namun ada satu hal yang membuat Karl menakutkan: kekuatan fisiknya yang luar biasa. Ia bisa mengangkat kuda dengan satu tangan, menghancurkan dinding latihan, dan bahkan guru pedang yang berpengalaman terluka saat mencoba mengajarinya.
Aelaria merasa sangat iri dengan kasih sayang yang diberikan Raja pada pangeran Carl, selama dia tumbuh dewasa dia berusaha menahan rasa cemburu di hadapan Carl karena dia menganggap Carl sebagai adiknya sendiri, meski dia sebenarnya menyayangi Carl dia tak bisa menyembunyikan perasaan tak nyaman dengan kasih sayang yang didapatkan Carl dari raja serta kekuatan supernya yang membuat Aelaria iri.
Desas-desus pun muncul: apakah Carl benar-benar putra Raja dan Ratu, ataukah anak iblis? Kerajaan mulai berspekulasi, terutama setelah Carl mengembangkan kemampuan lebih menakjubkan: terbang di udara dan menembakkan laser dari matanya. Namun di balik semua kekuatan itu, Karl memiliki kelemahan fatal—ia sangat rentan terhadap sihir ilusi.
XXX
Aurora, yang dinikahkan dengan Carl saat masih berusia dua belas tahun sesuai perjanjian politik kerajaan, melihat masa depan yang mengerikan. Dalam kilasan penglihatannya, ia melihat dirinya sendiri bunuh diri setelah mengetahui siapa Carl sebenarnya dan ketidakpastian hidup yang akan mereka jalani.
Namun Aurora tidak ingin membiarkan takdir itu terjadi. Ia memutuskan untuk mengubah sejarah, pelan tapi pasti. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap perhatian yang ia tunjukkan kepada Carl, dirancang untuk membuatnya merasa diterima dan dicintai. Ia mencoba menembus dinding kekuatan fisik Carl dengan kelembutan dan pengertian.
Carl, yang terbiasa dihukum karena kekuatannya dan dicurigai sebagai ancaman, perlahan mulai membuka hatinya kepada Aurora. Ia belajar bahwa ada satu hal yang tidak bisa dilukiskan atau diukur dengan kekuatan: kepercayaan dan kasih sayang. Aurora pun mulai melihat sisi manusiawi Carl—anak yang hanya ingin diterima, bukan ditakuti.
Namun bayangan masa depan tetap menghantui. Aurora tahu bahwa bahaya sebenarnya bukan dari kerajaan atau ancaman luar, melainkan dari masa depan yang mungkin datang jika ia gagal membimbing Carl dengan hati-hati. Ia harus menemukan cara agar Kael belajar mengendalikan kekuatannya, memahami kelemahannya, dan menjadi pelindung, bukan ancaman.
Seiring waktu, kisah mereka perlahan berubah dari legenda tentang “anak iblis” menjadi cerita tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta yang menentang takdir. Aurora dan Karl berjuang bersama, mencoba menulis ulang masa depan yang telah ditakdirkan untuk mereka.
Di suatu sore, ketika matahari terbenam dan cahaya emas memantul di istana, Aurora menatap Kael dengan tekad yang tak tergoyahkan:
“Jika kita bisa menghadapi dunia ini bersama-sama, mungkin takdir pun bisa menunggu.”
Dan untuk pertama kalinya, Kael tersenyum—bukan karena kekuatannya, tetapi karena ia akhirnya menemukan tempat di mana ia benar-benar diterima.
Berikut versi naratif yang emosional dan mendalam tentang kondisi batin Carl dan dinamika politik di sekitarnya:
---
Di lorong-lorong panjang Istana Aeloria, bisikan selalu mengikuti langkah Carl seperti bayangan yang tak pernah mau pergi. Para pelayan menunduk ketika ia lewat—bukan karena hormat, melainkan karena ketakutan. Mereka membeku ketika melihat matanya yang berkilau aneh, seolah menyimpan cahaya dari dunia yang telah mati.
Carl tahu. Ia selalu tahu.
Tak ada yang benar-benar melihatnya sebagai anak. Mereka melihat ancaman. Senjata. Monster.
Kadang, waktu makan malam, ia duduk di ujung meja panjang keluarga kerajaan, mencoba meniru cara orang lain menggunakan sendok dan garpu. Namun pelayan selalu bersembunyi di balik pilar, takut mendekat, seolah sentuhannya bisa menghancurkan mereka. Ada pelayan baru yang pernah menjatuhkan piring karena melihat Carl tersenyum—senyum biasa, tapi baginya tampak seperti ancaman tersembunyi.
Carl tertunduk waktu itu, perlahan sadar bahwa bahkan senyumnya pun menakuti orang.
---
Para bangsawan tidak lebih baik.
Mereka tersenyum ramah di depan Raja Aldric, memuji “keajaiban” pangeran mereka. Namun begitu Raja pergi, lirikan sinis mulai muncul.
“Itu bukan anak manusia…”
“Bagaimana jika suatu hari ia berbalik pada kita?”
“Raja bodoh jika mengira ia bisa mengendalikan kekuatan sebesar itu.”
Carl mendengarnya. Pendengarannya lebih tajam dari manusia biasa, dan ia sering berharap ia bisa menutup telinganya dari segala bisikan itu.
Ia tahu ia berbeda.
Ia hanya tidak tahu apakah perbedaan itu membuatnya berharga… atau berbahaya.
---
Berbeda dari semua orang, Raja Aldric menunjukkan senyum bangga setiap kali melihat putranya. Namun, itu bukan senyum ayah yang penuh kasih. Ada sesuatu yang lain… sesuatu yang membuat Carl merasa semakin asing.
Bangga—dan puas.
Aldric sering memanggil para bangsawan saingan, para duta dari wilayah luar, bahkan para penyihir tingkat tinggi, hanya untuk menunjukkan kekuatan Carl.
Di arena latihan, Carl berdiri di tengah-tengah, dikelilingi penyihir berbaju jubah ungu. Aldric mengangkat tangan dan berkata lantang:
“Lihatlah sendiri. Inilah masa depan Aeloria.”
Para penyihir melemparkan mantra demi mantra: petir, api, bahkan ilusi untuk menggoncang pikiran. Carl bertahan. Tubuhnya tak robek, kulitnya tak terbakar. Dalam hitungan detik ia membalas dengan tenaga yang begitu besar, menghancurkan lingkaran latihan hingga debu beterbangan.
Para penyihir tersungkur, sebagian ketakutan, sebagian terluka.
Aldric tertawa senang.
“Tak ada kerajaan yang bisa menandingi kekuatan putraku!”
Bangsawan yang hadir saling berpandangan. Mereka bertepuk tangan, tapi Carl bisa merasakan ketakutan dan kebencian di baliknya.
Carl tidak pernah diminta apakah ia ingin dijadikan tontonan.
Ia bahkan tidak tahu apakah ia ingin dianggap senjata.
Yang ia tahu hanyalah satu hal:
Ia hanya ingin diakui sebagai manusia… atau sesuatu yang mendekati itu.
---
Suatu malam, Carl duduk sendirian di kamar latihan yang hancur separuh akibat kejadian hari itu. Tangan dan tubuhnya tak apa-apa—bahkan ia tidak merasa lelah. Namun hatinya seakan retak.
“Ayah bangga padamu,” kata Aldric beberapa jam lalu, menepuk bahunya dengan kekuatan penguasa.
Tetapi Carl ingin bertanya:
“Apakah ayah bangga karena aku anakmu… atau karena aku adalah senjata kerajaanmu?”
Namun kata-kata itu tak pernah keluar. Carl terlalu takut mengetahui jawabannya.
---
Di tengah keterasingan itu, hanya Aurora yang tak menghindarinya.
Hanya Aurora yang menatap Carl tanpa rasa takut—hanya iba dan ketulusan.
Suatu sore ketika Carl duduk di balkon, menatap kota yang seakan terlalu kecil untuk menampung dirinya, Aurora datang membawa selimut.
“Kau terlihat kedinginan,” katanya lembut.
“Aku tidak bisa merasakan dingin,” jawab Carl lirih.
Aurora tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi kadang, bukan tubuh yang butuh hangat.”
Carl menoleh. Itu pertama kalinya seseorang berkata hal seperti itu padanya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tidak merasa seperti makhluk asing.
---
Meski Aurora ada di sisinya, Carl tahu bahwa dunia di luar sana belum siap menerima dirinya. Para bangsawan masih memandangnya sebagai ancaman. Pelayan masih membisu ketakutan. Para penyihir berbisik-bisik tentang potensi bencana jika Carl kehilangan kendali.
Dan ayahnya—satu-satunya yang bangga padanya—bahkan kebanggaannya terasa seperti rantai yang menahan Carl menjadi makhluk yang ia takutkan.
Carl tidak tahu apakah ia diciptakan untuk menjadi pelindung… atau pembawa kehancuran.
Namun jauh di lubuk hati, ia berharap.
Ia berharap suatu hari nanti, seseorang akan melihat dirinya bukan sebagai senjata, bukan sebagai monster, tapi sebagai seorang anak laki-laki yang hanya ingin hidup tanpa harus membuat orang lain gemetar.
---
Kekuatan Carl berkembang jauh lebih cepat daripada dugaan siapa pun. Pada usia di mana anak-anak biasa baru belajar menunggang kuda, Carl telah melakukan sesuatu yang hanya ada dalam legenda tua yang bahkan para penyihir pun menyebutnya mustahil.
Suatu hari, di wilayah perbatasan Aeloria, gempa besar mengguncang Pegunungan Eirath. Tanah terbelah, batu-batu raksasa jatuh, dan desa-desa di kaki gunung hampir terkubur. Para penyihir bergegas ke sana, namun sihir pengendali bumi tidak cukup kuat untuk menahan keruntuhan itu.
Carl ikut bersama rombongan, meski para bangsawan yang berada di sana langsung memandangnya dengan campuran kekaguman dan ketakutan.
Ketika tanah mulai runtuh dan batu sebesar istana meluncur ke arah desa, Carl maju tanpa ragu.
Dengan satu tangan, ia menahan bongkahan raksasa itu. Para penyihir terhenti. Para prajurit membeku. Tak ada satu pun yang berani bernapas.
Kemudian, tanpa tampak kesulitan, Carl mengangkat seluruh bongkahan gunung itu dari lereng, seolah-olah beratnya tak lebih dari tumpukan kayu.
“A… apakah itu mungkin…?” bisik salah satu penyihir gemetar.
“Itu bukan manusia…” gumam bangsawan tua sambil memeluk jubahnya ketakutan.
Carl tidak berkata apa-apa. Ia hanya memindahkan batu-batu itu ke tempat aman, menyusunnya kembali dengan ketelitian seorang pengrajin, bukan seorang pejuang.
Namun tatapan orang-orang—takut, terkejut, terasing—menggores perasaannya jauh lebih berat daripada batu yang ia angkat.
---
Beberapa bulan kemudian, gempa yang jauh lebih besar terjadi di selatan Aeloria. Tanah bergetar keras, retakan memanjang puluhan meter, dan sebuah danau hampir tumpah ke kota kecil di dekatnya.
Para penyihir datang lagi, namun sihir bumi tak mampu menahan kekuatan alam itu.
“Tidak ada cara menghentikannya… kita harus evakuasi!” seru salah satu dari mereka.
Namun Carl tidak mundur. Ia berdiri di tengah retakan yang terus melebar.
Aurora—yang menyadari apa yang hendak Carl lakukan—berlari ke arahnya.
“Carl! Kau tidak harus—”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Carl mengangkat tinjunya.
Dan menghantam tanah.
Bukan sembarang pukulan.
Bukan sebagai serangan.
Melainkan sebagai tinjuman yang memaksa energi bumi berhenti bergejolak.
Tanah yang terbelah langsung tertutup kembali. Retakan menyusut. Gelombang gempa berhenti seketika, seperti jantung bumi yang dipaksa diam oleh kekuatan di luar nalar manusia.
Para penyihir mundur beberapa langkah, wajah mereka pucat.
“Dia… menghentikan gempa bumi dengan tinjunya…”
“Itu kekuatan dewa…”
“Tidak… itu kekuatan bencana berjalan…”
Dan sekali lagi, pandangan Carl berubah kosong. Ia tak merasakan bangga. Ia hanya merasakan jauh—seolah dunia manusia bukan tempat yang bisa menampung dirinya.
Aurora memegang tangannya setelah semuanya tenang.
Tangan itu begitu kuat, namun terasa dingin.
“Kau menyelamatkan mereka, Carl,” katanya pelan.
Carl menunduk.
“Tidak ada yang memandangku seperti penyelamat… Aurora. Mereka melihatku seperti… sesuatu yang seharusnya tidak ada.”
Aurora memeluknya.
---
Raja Aldric tiba di tempat kejadian beberapa hari kemudian. Ia tidak peduli dengan tatapan takut para bangsawan atau kegelisahan para penyihir. Ia hanya melihat satu hal:
Kekuatan yang tak tertandingi.
Kekuatan yang bisa menjadikan Aeloria kerajaan terkuat di benua mana pun.
Dengan bangga, ia berdiri di hadapan semua orang dan berkata:
"Inilah putra mahkotaku!
Dengan kekuatannya, tidak ada pemberontak di selatan yang berani menantang Aeloria!”
Para bangsawan bertepuk tangan—karena terpaksa.
Para penyihir menunduk—karena ketakutan.
Dan Carl berdiri di belakang raja, tidak mengucap sepatah kata pun.
Bukan bangga.
Bukan bahagia.
Ia merasa seperti rantai semakin mengikat lehernya.
Aurora melihat itu.
Ia tahu bahwa kekuatan Carl yang bisa memindahkan gunung dan menghentikan gempa bukanlah anugerah…
Melainkan beban yang membuatnya semakin merasa sendirian.
---
Carl bukan hanya pangeran yang bisa menggenggam gunung atau memukul bumi hingga diam.
Ia adalah anak laki-laki yang menginginkan satu hal yang bahkan kekuatannya yang luar biasa tidak bisa memberinya—
tempat di mana ia diterima, bukan ditakuti.
Di Planet Mars, setiap orang—bahkan bayi yang baru lahir—memiliki Mana, energi sihir alami yang mengalir di tubuh mereka. Mana adalah tanda kehidupan, tanda kemanusiaan. Para penyihir bisa mengukur Mana sama mudahnya seperti mengukur suhu tubuh.
Namun Carl…
Carl tidak memiliki apa-apa.
Ketika para tabib kerajaan pertama kali memeriksa tubuhnya, mereka terguncang.
“Dia kosong… benar-benar kosong.”
“Tidak ada Mana, tidak ada jejak sihir dalam tubuhnya. Seperti… badan tanpa jiwa.”
Namun tubuh itu hidup. Bahkan lebih hidup daripada manusia mana pun.
Guru-guru sihir mencoba puluhan teknik untuk memaksanya menghasilkan Mana, tetapi tidak pernah berhasil. Seolah tubuhnya menolak sihir, seperti batu hitam yang aneh.
Ketidakmampuan Carl menggunakan sihir membuat seluruh istana bingung—dan takut.
Karena meski tidak memiliki Mana sama sekali…
…ia memiliki kekuatan yang seharusnya mustahil bagi makhluk tanpa sihir mana pun:
kekuatan mengangkat gunung, terbang, menghentikan energi bumi dengan tinjunya.
Dalam kepercayaan lama Aeloria, ada mitos tentang makhluk tanpa Mana yang memiliki kekuatan tak terkendali: iblis. Meski legenda itu sudah ratusan tahun tidak disebut, kemunculan Carl membuat bisikan lama itu hidup kembali.
Para bangsawan pun berbisik di balik pilar istana:
“Mana bisa seseorang tanpa Mana memiliki kekuatan seperti itu?”
>“Itu bukan sihir… bukan juga kekuatan manusia.”
“Kalau bukan manusia… apa dia?”
Setiap kali kata “iblis” terucap, hati Carl seperti ditusuk.
Ia mencoba menenangkan diri dengan latihan, tetapi setiap kali ia menunjukkan kekuatannya, justru semakin banyak yang meragukannya.
---
Aurora, dengan kemampuan melihat masa depan, mulai melihat kilasan aneh tentang Carl—begitu berbeda dari visi mengenai manusia mana pun.
Dalam penglihatannya, ia melihat
langit merah
planet pecah
sebuah cahaya putih menghantam bumi
dan
bayi kecil yang melayang di dalam kapsul logam yang tak dikenal.
Ketika ia memeriksa kapsul tempat Carl ditemukan dua belas tahun lalu, Aurora menemukan sesuatu yang para penasihat kerajaan sengaja sembunyikan, logam kapsul itu tidak dikenal dalam dunia mana pun, tidak ada jejak sihir, tulisan asing terpahat di dindingnya dan sisa energi radiasi yang tidak berasal dari Mana, tetapi dari teknologi.
Aurora sadar satu hal yang menakutkan sekaligus melegakan:
Carl bukan iblis.
Carl bukan makhluk jahat.
Carl adalah makhluk asing—alien dari planet yang sudah hancur, bukan makhluk kegelapan yang ingin merusak.
Namun dunia tidak siap menerima kenyataan seperti itu.
---
Ketika Aurora mencoba memberi sinyal pada Raja Aldric tentang kemungkinan asal-usul Carl, sang raja mengabaikannya.
“Tidak masalah dari mana ia berasal.
Yang penting adalah kekuatannya.
Dengan Carl, tak ada yang berani menentang Aeloria.”
Bagi Aldric, Carl adalah keajaiban yang diberikan langit—atau alat yang diberikan takdir.
Namun bagi Aurora, Carl adalah anak yang tersesat dari dunia yang sudah tidak ada lagi.
---
Carl sendiri perlahan mulai merasa bahwa tubuhnya memang berbeda.
Ia tidak merasakan Mana, tidak bisa mempelajari sihir, tidak bisa merasakan panas atau dingin seperti manusia lainnya.
Dan yang lebih mengejutkan:
Setiap kali ia terluka—luka itu menutup sendiri dalam hitungan detik.
Sifat itu membuat manusia semakin takut.
“Manusia Mars tidak bisa seperti itu.”
“Tidak ada makhluk hidup yang bisa melakukan semua itu.”
“Dia… makhluk dari dunia lain.”
Carl mendengar semuanya.
Ia tahu mereka tidak sepenuhnya salah.
Kadang-kadang, saat ia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, ia merasa seperti sedang menatap kampung halaman yang telah hilang.
Planetnya hancur.
Bangsa dan keluarganya musnah.
Dunia tempat ia seharusnya berada sudah tidak lagi ada.
Dan kini ia hidup di dunia yang memanggilnya monster.
---
Namun Aurora Lahir Bukan untuk Menakutinya.
Suatu malam, ketika Carl duduk sendirian di menara tertinggi, Aurora mendekatinya tanpa rasa takut sedikit pun.
“Kau dengar apa yang mereka katakan,” kata Aurora lembut.
Carl menunduk.
“Aku… bukan manusia, Aurora.”
Aurora menggeleng.
“Kau lebih dari itu.”
Carl menatap matanya, bingung.
“Apa maksudmu?”
“Kau bukan iblis, bukan makhluk gelap. Kau adalah satu-satunya yang tersisa dari dunia yang sudah runtuh. Kau tidak diciptakan untuk menghancurkan… tapi untuk bertahan.”
Aurora menyentuh dadanya.
> “Tidak punya Mana bukan berarti tidak punya hati, Carl.”
Untuk pertama kalinya, Carl merasa bahwa meski ia bukan manusia…
ia mungkin masih bisa menemukan tempatnya.
Bukan sebagai pangeran terkuat.
Bukan sebagai senjata kerajaan.
Bukan sebagai “anak iblis”.
Tapi sebagai dirinya sendiri.
---
Langit Aeloria pada malam itu bukan sekadar gelap. Ia terbelah oleh cahaya biru keperakan, seperti retakan di ruang angkasa. Aurora merasakan getaran di tanah sebelum suara ledakan terdengar dari kejauhan.
Para penjaga istana menjerit melihat objek raksasa turun dari langit—kapal luar angkasa berbentuk serpihan bintang, membawa emblem yang tak dikenal siapa pun… kecuali Carl.
Di dadanya, sesuatu bergetar, seolah memanggil darahnya sendiri.
---
Kapal itu mendarat di padang timur Aeloria. Dari dalam, keluar puluhan prajurit berzirah hitam dengan mata berpendar putih—kaum terakhir dari bangsa Valtor, bangsa para pengembara bintang.
Lalu seseorang melangkah keluar.
Tinggi. Berotot. Mata biru terang seperti nebula. Wajahnya memantulkan kesedihan dan amarah yang hanya dimiliki oleh orang yang kehilangan seluruh dunia… namun tetap memilih bertahan.
Terukir jelas tanda yang sama seperti di bahu Carl: lambang keluarga mereka.
Dialah Orion.
Kakak kandung Carl.
Yang diyakini tewas saat planet mereka hancur.
Ia memandang kerajaan Manusia Mars dengan jijik.
“Ini adalah planet pengganti yang kalian pilih?”
“Planet yang dipenuhi makhluk lemah tanpa kekuatan?”
Prajuritnya bersiap.
Tujuan mereka jelas: menaklukkan.
Karena dalam bangsa Valtor, hanya ada satu aturan:
“Jika dunia lama mati, dunia baru harus dikuasai.”
---
Carl terbang dari istana begitu mendengar kehadiran Orion.
Ketika ia mendarat di hadapan pasukan Valtor, udara bergetar.
Orion berhenti.
Mata kakaknya membesar.
“Adikku… Carl.”
Suara itu bukan marah—itu lega.
Namun hanya sesaat.
Orion mendekat dengan langkah berat.
“Bagaimana bisa kau berada di planet ini?”
Carl menelan ludah.
“Aku terlempar saat planet kita hancur. Aku dibesarkan oleh Manusia Mars.”
Orion mengerutkan dahi, suaranya mengeras:
“Manusia Mars? Makhluk lemah yang mengandalkan sihir rapuh itu?”
“Kau seharusnya menjadi penakluk mereka, bukan pet yang mereka rawat!”
Carl mengepalkan tangan.
“Aku tidak akan membiarkanmu menyerang kerajaan ini. Ini rumahku.”
Orion menatapnya tajam—penuh kekecewaan sekaligus rasa sayang yang tidak hilang.
“Kalau begitu, kau berdiri sebagai musuh bangsamu.”
Dan tanpa peringatan—
Orion menyerang.
---
Para prajurit Aeloria lari ketakutan.
Mana terpental.
Sihir terpecah.
Dan dua makhluk dari dunia lain bertarung dengan kekuatan yang tak pernah disaksikan bumi.
Orion menancapkan Carl ke tanah dengan sekali pukulan, menciptakan kawah selebar istana.
“Kaulah adikku… tapi kekuatanmu masih mentah,” katanya dingin.
Carl terbatuk.
Tulangnya retak—dan sembuh dalam detik yang sama.
Mereka terbang ke udara.
Pertarungan menciptakan gelombang kejut yang merusak awan di langit.
Orion lebih cepat.
Lebih terlatih.
Lebih berpengalaman.
Dan sejak kelahiran, ia adalah prajurit bintang yang sempurna.
Namun Carl memiliki satu hal yang tidak dimiliki Orion:
Carl sejak kecil hidup di dunia dengan matahari yang kuat dan berbeda dari planet asal mereka. Tubuhnya menyerap energi itu selama bertahun-tahun. Setiap detik ia hidup dalam sinar matahari, kekuatannya tumbuh tanpa disadari.
Saat Orion memukulnya, Carl menahan pukulan itu untuk pertama kalinya.
Orion terkejut.
“Bagaimana mungkin?”
Carl menjawab dengan satu pukulan yang membuat Orion terpental ke pegunungan.
Pertarungan menjadi seimbang.
Dua saudara.
Dua pewaris bangsa Valtor.
Dua bintang jatuh yang menemukan kekuatan sebanding.
---
Akhirnya, setelah puluhan pukulan yang mengguncang bumi, Orion berhenti.
Napasnya berat.
Ia menatap Carl bukan sebagai musuh… tetapi sebagai adik kecil yang dulu pernah ia lindungi.
Orion mendekat perlahan.
Carl bersiap—namun Orion justru mengulurkan tangan dan mengusap rambutnya, seperti ketika mereka masih anak-anak di planet yang sudah hilang.
“Kau sudah tumbuh begitu kuat, Carl.”
“Lebih kuat dariku… karena matahari planet ini memilihmu.”
Orion menutup mata sebentar, lalu menarik napas panjang.
“Jika ini dunia yang ingin kau lindungi… maka aku tak akan merusaknya.”
Prajurit Valtor terdiam, tak percaya pemimpin mereka menarik pasukan.
Carl, bingung, bertanya lirih:
“Orion… kau akan ke mana?”
Orion tersenyum tipis, penuh kepedihan namun juga kebanggaan.
“Mencari planet lain.
Planet yang kosong.
Planet yang tidak kau sebut rumah.”
Ia menepuk pundak Carl.
“Tetap hidup, adikku.
Dan lindungi dunia yang kau pilih.”
Dengan itu, Orion melesat ke langit bersama pasukannya.
Kapal mereka menembus awan, menuju bintang-bintang yang jauh.
---
Carl berdiri seorang diri di tanah hancur bekas pertempuran.
Aurora mendekatinya, memeluknya tanpa berkata apa-apa.
Carl menatap langit.
Orion masih hidup.
Bangsa mereka masih ada, meski sedikit.
Dan suatu hari nanti, mereka mungkin kembali.
Tetapi kali ini bukan untuk menaklukkan…
…melainkan untuk bertemu kembali sebagai saudara.
---
XXX
Dalam hitungan detik, Carl lenyap. Menuju matahari. Menuju pengasingan.
Menuju tempat yang menurutnya satu-satunya yang bisa menerima dirinya apa adanya. Dia merasa tak ada orang di Mars yang menganggapnya sebagai manusia.
Kepergian Carl mengguncang seluruh Mars.
Raja murka, lalu terpukul, lalu hancur. Carl menolak tahta, menolak kekuasaan, dan mengurung diri dalam kesunyian.
Kerajaan tak punya penerus.
Sampai akhirnya, dengan wajah muram namun tak punya pilihan lain, raja naik ke singgasana dan mengumumkan:
“Putri Aéris Valora… meski ia hanya anak dari seorang selir… akan menjadi penerus tahta Mars.”
Sorak marah dan bisik-bisik ketidakpuasan menyambar seluruh balairung. Aéris sendiri terpaku, tak pernah membayangkan bahwa dirinya—anak yang selalu dibayangi status rendah—kini menjadi pewaris Mars.
Tetapi jauh di luar orbit planet merah itu… seorang sosok bersinar perlahan membuka mata di tengah badai api matahari.
Carl.
Ia menatap ke arah Mars, wajahnya tenang, emosinya jernih—untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
“Aéris… … Mars… semoga kalian menemukan jalan yang tak pernah bisa kutempuh. Mahluk menjijikkan seperti aku tak memiliki tempat di planet kecil it”
Api bintang menelan tubuhnya, namun bukan untuk membakar—melainkan untuk menjadikan dirinya sesuatu yang baru.
Dan legenda baru pun dimulai.
XXX
Malam itu, angin dari dataran tinggi Valora berembus membawa aroma batu merah yang hangat. Di balkon tertinggi Istana Pualam, Putri Aéris Valora berdiri sendirian, memandang langit Mars yang dipenuhi debu berkilau. Dua bulan kecil—Pharos dan Demos—menggantung seperti mata dewa kuno yang mengawasi dunia mereka.
Ia seharusnya sudah tidur; besok ada upacara Equinox, dan para tetua sudah berulang kali mengingatkannya. Tetapi malam itu… ada rasa aneh di udara. Seolah langit menahan napas.
Kemudian ia melihatnya.
Sebuah cahaya putih muncul dari ufuk utara,arah planet bumi — bukan kilatan petir, bukan meteor, bukan apa pun yang pernah diajarkan para astronom Valora.
Cahaya itu turun perlahan.
Tidak jatuh.
Tidak terbakar.
Seolah—dikendalikan.
Aéris menahan teriakannya.
Benda itu berdenyut, memancarkan cahaya buatan dalam ritme yang tak alami bagi alam Mars.
“Itu… apa?” bisiknya.
Tiba-tiba langit bergemuruh lembut. Suara asing, seperti napas besi yang panjang, mengguncang udara.
Benda itu menembus awan debu dan mendarat di gurun utara, perlahan seperti burung raksasa yang menyentuh tanah.
Aéris mundur.
Ia tidak tahu bahwa malam itu, peradaban Mars yang berusia ribuan tahun baru saja berakhir.
XXX
New York, Bumi.
Tahun 1964.
Bangsa Valtor yang dipimpin Orion bukan satu satunya peradaban asing yang ingin menaklukkan Planet Mars dan menguasai sumber daya alamnya.
Planet terdekat yang menjadi tetangga planet merah itu sendiri. Bumi, dihuni mahluk yang jauh lebih serakah dan mengerikan daripada bangsa Valtor, manusia bumilah ya akan mengubah wajah Planet Mars untuk selamanya.
Di ruang sidang kaca Perserikatan Bangsa-Bangsa, dunia masih dipenuhi hawa Perang Dingin. Tetapi hari itu, sidang terasa lebih ganjil dari biasanya: bukan tentang rudal, bukan tentang Kuba, bukan tentang Timur Tengah. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, umat manusia berdebat bukan tentang negara, perang, atau senjata… melainkan tentang spesies baru.
Hari itu, mereka membahas Mars—planet merah yang belum pernah disentuh manusia, tetapi entah bagaimana sudah menjadi rebutan.
Gedung PBB dipenuhi wajah tegang. Bumi memasuki era baru: Perlombaan Antariksa.
Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba membuat roket lebih cepat, lebih kuat, lebih jauh.
Foto-foto kota Mars yang diambil oleh misi pengintaian menunjukkan:
bangunan batu,
sistem irigasi,
pasar,
huruf dan simbol,
manusia bermata indah bagaikan berlian.
Semua delegasi terdiam melihatnya.
Ketua sidang mengetuk palu.
“Agenda hari ini:
Apakah penghuni Mars adalah manusia?
Jika ya, mereka dilindungi Resolusi 1514 tentang dekolonisasi.
Jika tidak… maka hukum kolonial tidak berlaku.”
Delegasi AS berdiri duluan.
Wajahnya kaku.
“Mereka bukan Homo sapiens.
Biologi mereka berbeda.
Hukum kolonialisme tidak relevan.”
Gedung bergemuruh.
Ketegangan naik.
Delegasi Uni Soviet langsung membantah:
“Mereka cerdas. Mereka punya bahasa.
Mereka layak dilindungi — dari dominasi kapitalis Barat.”
Suara delegasi Non-Blok menyusul:
“Jika mereka memiliki seni dan hukum, mereka manusia menurut budaya.”
Debat berlangsung delapan jam.
Di Mars, Aéris dan Kael tidak tahu bahwa nasib mereka diputuskan oleh ratusan diplomat asing yang tidak pernah menyentuh pasir Mars.
Delegasi Brasil berdiri lebih dulu, suaranya lantang menembus riuh mikrofon tua.
“Jika kita benar-benar hendak menginjakkan kaki di Mars,” ujarnya, “maka kita harus memastikan satu hal: kolonialisme tidak boleh terulang. Dunia kita telah cukup memakan luka.”
Para delegasi mengangguk. Mereka mengingat Afrika, Asia, Amerika Latin — semua bekas luka dari perebutan tanah dan manusia.
Lalu draf resolusi muncul di layar:
“PBB mengusulkan larangan kolonialisme di Mars dan benda langit lainnya.”
Sesaat ruang sidang menjadi hening. Semua orang tahu tiga negara yang paling menentukan sudah bersiap mengangkat tangan.
Ketua sidang mengetuk palu.
“Amerika Serikat?”
Delegasi AS bangkit. “Veto.” Amerika dengan tegas menolak resolusi PBB.
Suara palu menegas, dingin.
“Uni Soviet?”
“Veto.”
Terdengar bisik-bisik cemas di seluruh ruangan.
“Republik Rakyat Cina?”
Delegasinya tak berdiri lama.
“Veto.” Mereka semua mendukung intervensi militer ke Planet Mars
Dan hanya begitu saja, resolusi yang dibangun atas mimpi dunia lebih adil… runtuh.
Dalam riuh ketegangan, seorang diplomat Kenya berbisik pada rekannya:
“Lucu, ya? Kita bahkan belum tahu apa yang ada di sana, tapi sudah ingin memilikinya.”
Di sudut lain, seorang diplomat Swedia menggenggam kertas resolusi yang gagal disahkan. Ia menatap peta tata surya yang tergantung di dinding, seolah mencoba membaca masa depan.
“Kalau Mars ternyata dihuni,” katanya pelan, “apa yang akan mereka pikirkan tentang kita? Tentang bumi yang bahkan belum sampai, tapi sudah ingin menguasai?”
Tak ada yang menjawab.
Di luar gedung PBB, Manhattan bersinar di antara kabut dingin. Tak seorang pun di Bumi menyadari bahwa jauh dari sana, di langit merah Mars, seorang putri kerajaan sedang menunggang kuda merah muda Mars di antara bukit-bukit pasir ungu. Ia menatap langit malam, di mana Bumi tampak hanya sebagai bintang kecil.
Ia tidak tahu bahwa dunia kecil itu baru saja gagal mencegah bencana besar.
Ia tidak tahu bahwa resolusi yang jatuh hari itu akan mengubah masa depan negerinya.
Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa suatu hari, orang-orang dari bintang kecil itu akan datang — bukan sebagai tamu, tetapi sebagai kekuatan.
Mars telah resmi menjadi kawasan abu-abu hukum internasional.
Dan di tempat-tempat paling gelap dari kekosongan luar angkasa, ambisi dua adidaya mulai menyala seperti bara yang sulit padam.
Akhirnya, dengan suara mayoritas tipis, PBB menciptakan kategori baru:
Species of Human Intelligence (SHI)
— makhluk berakal tinggi non-Homo sapiens
— memiliki hak
— dapat bergabung dengan dunia internasional
— tetapi tidak dilindungi larangan kolonialisme 1960
Putusan yang mengerikan.
Celah hukum sebesar samudra.
Superpower tersenyum.
Mars menjadi panggung baru perang ideologi.
Dan malam itu juga, dua roket besar diluncurkan:
Apollo-Mars dari Amerika
Voskhod-Mars dari Uni Soviet
Keduanya menuju planet merah.
Ketika roket Amerika pertama mendarat di gurun Valora, rakyat Mars menganggapnya dewa langit. Ketika tentara berzirah metal keluar dari perut mesin raksasa itu, rakyat mundur dengan ketakutan bercampur kagum.
Aéris dipaksa menemui para pendatang itu—yang menyebut dirinya astronaut.
Mereka membawa senjata api, radio, drone kecil dan kendaraan lapis baja ringan.
Mereka tersenyum, tapi setiap gerak mereka dingin dan terlatih.
Aéris merasakan sesuatu yang baru dan menakutkan:
dominasi tanpa kekerasan yang nyata.
Langit Mars tampak seperti kabut merah muda ketika modul pendarat ARGO-1 memasuki atmosfer. Panas gesekan memercikkan cahaya oranye di luar jendela kecil kokpit. Di dalam kabin sempit, Komandan Elias Carter menekan sabuknya lebih kencang.
“Kecepatan turun ke 2500 meter per detik… parasut utama siap,” lapor kopilot, Letnan Harris.
Sebuah hentakan keras terdengar saat parasut supersonik terbuka. ARGO-1 terguncang hebat. Alat di panel berbunyi bertubi-tubi, tetapi Carter hanya tersenyum samar.
“Tenang saja, Harris. Apollo 15 lebih goyang dari ini.”
Beberapa menit kemudian, mesin pendarat menembakkan semburan perlahan, menurunkan ARGO-1 ke dataran luas berdebu keemasan. Debu melesat seperti badai mini.
Thump.
Kaki-kaki pendarat menyentuh tanah.
“Houston,” ucap Carter, suaranya bergetar, “ARGO-1 telah mendarat. Mars kini resmi menerima kunjungan Amerika Serikat.”
Sorak-sorai memenuhi pusat kendali di Bumi. Namun yang tidak diketahui para teknisi adalah… beberapa ratus meter dari sana, dari balik tebing merah tua, puluhan warga Martian berkumpul, mengenakan jubah tenun biru dan emas. Mata mereka melebar melihat benda metalik itu.
Putri Aeris, pewaris kerajaan Mars, berbisik:
“Bintang jatuh… hidup.”
Ketika pintu modul terbuka dan tangga diturunkan, Althaea menahan napas. Makhluk asing itu melangkah keluar dengan pakaian putih tebal, helm mengilap.
Elias Carter menancapkan bendera Amerika dengan gerakan lambat namun tegas.
Bagi bangsa Mars, itu adalah ritual aneh.
Bagi Amerika, itu adalah momen sejarah.
Bagi dunia… itu adalah awal pecahnya sebuah planet.
Kerajaan Mars menyambut Amerika dengan rasa ingin tahu yang penuh sopan. Kuda-kuda Mars yang berbulu merah dan bercula pendek ikut mengiringi rombongan kecil menuju ibu kota, Aeralis.
Di singgasana batu hijau, Raja Orryn VII memandang komandan Carter seperti memandang legenda.
“Kalian datang dari bintang kecil itu?” tanya sang raja.
Carter mengangguk. “Dari Bumi, Paduka. Kami datang bersahabat… dan membawa janji keamanan.”
Raja mengernyit. “Keamanan dari apa?”
Carter menatap langit. “Dari bangsa lain yang akan segera tiba. Bangsa yang pernah mengkhianati dan membunuh raja mereka sendiri atas nama keadilan dan rakyat”
Raja tidak mengerti, tetapi ia melihat semacam kekuatan di mata manusia asing itu. Setelah jamuan pertama, perjanjian ditandatangani:
Amerika menjadi pelindung resmi Kerajaan Mars.
Kerajaan menjadi sekutu Amerika di luar bumi pertama dalam sejarah.
Di Aeralis, pesta digelar. Namun di lembah-lembah selatan, kabar itu disambut dengan gumam kesal.
“Pelindung? Atau penjajah yang lebih halus?” tanya seorang petani martian di Mavros, wilayah selatan.
Tidak ada yang menjawab.
Belum saatnya.
XXX
Beberapa bulan kemudian, Uni Soviet mendarat di selatan, di lembah tempat Kael tinggal.
Kael melihat manusia Bumi untuk pertama kali—dengan seragam abu-abu dan bendera merah.
Mereka berbicara bahasa aneh.
Tetapi mereka tersenyum.
Mereka memberikan Kael roti kaleng.
Mereka merekam lagunya.
Lalu mereka berkata:
“Kami datang sebagai saudara.
Kami akan melindungi rakyat Mars dari penindasan Barat.”
Kael tidak mengerti siapa “Barat”, tetapi ia merasakan ketakutan baru saat melihat drone bulat kecil yang mengikuti mereka.
Suasana sepenuhnya berbeda ketika pendarat Soviet ZARYA-2 menghantam tanah merah di wilayah selatan Mars. Tidak ada gaya elegan Apollo. Tidak ada jamuan. Tidak ada sambutan kerajaan.
ZARYA-2 mendarat kasar, nyaris terguling.
Parasutnya robek sebagian.
Kaki pendaratnya bengkok.
Namun Koronel Anton Volkov bangkit dari kursinya sambil menggeram:
“Pendaratan keras tetap pendaratan!”
Ia keluar dari kapsul, menancapkan bendera merah palu-arit sambil tertawa keras.
“Kami tiba… tanpa upacara.”
Penduduk selatan Mars—orang-orang yang selama ini terbebani pajak tinggi oleh ibu kota Kerajaan—memandang para kosmonot dengan campuran takut dan kagum.
Volkov mengamati desa-desa itu, rumah-rumah batu hitam, dan ladang lumut merah yang menjadi sumber pangan utama mereka.
“Terisolasi. Diperas pajak. Tidak ada bantuan kerajaan,” kata seorang penduduk pada Volkov.
Volkov tersenyum tipis.
Sejarah dunia telah memberinya pelajaran: ketidakpuasan adalah bahan bakar revolusi.
Dalam beberapa minggu, Volkov sudah bicara layaknya politisi:
“Kerajaan kalian kini antek Amerika. Mereka membawa teknologi asing untuk memperkuat tahta, bukan untuk rakyat. Kalian diperas, mereka berpesta.”
Pidato-pidatonya menyebar seperti api. Para pemuda selatan mulai membentuk kelompok-kelompok bersenjata tombak dan busur Mars kuno. Soviet secara diam-diam memberikan radio, logam ringan, dan prototipe senjata kecil.
“Bebaskan diri dari penindasan utara,” ujar Volkov.
“Bangun Republik Mars Selatan—sekutu sah Uni Soviet.”
Kerajaan di utara terpukul. Amerika mengirim penasihat.
Soviet mengirim instruktur militer.
Benteng-benteng kuno di perbatasan mulai ditembaki.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Mars, darah Martian sendiri tumpah bukan karena tradisi duel, tetapi karena ideologi Bumi.
Pada tahun keempat setelah kontak dengan Bumi, Mars resmi terbelah. Garis perbatasan ditetapkan:
Utara: United Kingdom of Free Martian
— Kerajaan demokratis yang mendapat dukungan Amerika, NATO, dan sekutu lainnya
Selatan: Martian People’s Soviet Republic
— Republik komunis yang didukung Uni Soviet dan Pakta Warsawa
Bendera asing berkibar di dua benua Mars.
Tank-tank ringan buatan Bumi bergerak di padang pasir merah.
Jet tempur eksperimental melintasi lembah raksasa Valles Marineris.
Dan di tengah semua itu…
Putri Althaea di utara dan si penggembala Kael di selatan hanya bisa saling memandang bintang yang sama, namun terhalang tembok ideologi yang bukan milik mereka.
XXXX
Tahun 1975.
Mars berubah.
Amerika menjadikan Valora dan wilayah di utara sebagai United Kingdom of Free Martians — sebuah kerajaan konstitusional yang dipaksa meniru model Inggris.
Uni Soviet menjadikan wilayah selatan sebagai Martian People’s Soviet Republic — republik rakyat yang meniru sistem ekonomi terencana.
Di antara dua wilayah itu dibangun tembok raksasa sepanjang ratusan kilometer:
Aéris dan Aragorn tidak lagi bisa bertemu.
Mars menjadi seperti Jerman, Korea, dan India pada masa kolonial dalam satu waktu.
Dan tak ada seorang pun Martian yang memintanya.
Setiap tahun, Kael menyeberangi Red Divide dengan resiko ditembak drone. Ia membawa sesuatu:
sebuah puisi, atau lagu, atau ukiran batu.
Ia menyelinap ke taman tersembunyi di pinggir Valora, di mana Aéris menunggu dengan jubah gelap.
“Kael… kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Aéris dengan suara gemetar.
“Aku tahu,” jawab Kael, menatap matanya.
“Tapi lagu terakhirku belum sampai kepadamu.”
Ia menyerahkan gulungan halus berisi lirik kuno:
Jika dunia dibelah oleh dewa-dewa asing,
maka biarkan cinta kita menjadi kerajaan ketiga.
Yang tidak pernah bisa mereka kuasai.
Aéris menahan air mata.
Mars telah direbut oleh bangsa asing dari langit.
Tetapi hatinya belum.
Dan pada suatu hari —
langit Mars berubah.
Sebuah objek raksasa, seperti tombak perak, memasuki atmosfer dengan suara gemuruh rendah.
Seluruh kerajaan Mars berlari keluar.
Sang raja Tharsia berpikir itu meteor besar.
Ternyata itu kapsul pendarat Bumi.
Amerika mendarat di utara.
Dua bulan kemudian, Uni Soviet mendarat di selatan.
Mars yang damai berubah menjadi papan catur geopolitik dalam hitungan minggu.
Di istana Tharsia, diplomat NATO menghadiri jamuan makan bersama raja.
Di selatan, di kubu komunal Desharr, Soviet mendirikan markas dan mengibarkan bendera merah dengan palu-planet.
Kael—yang lahir di wilayah selatan—bangga melihat cahaya pertama dari dunia asing.
Ia tidak tahu bahwa cahaya itu juga membawa perpecahan.
XXX
Tahun berikutnya, terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh Mars.
Pasukan Soviet melatih milisi lokal untuk melawan kerajaan yang dianggap “feodal.”
CIA diam-diam membantu kerajaan utara membentuk Garda Royalis bersenjata.
PBB mencoba mengirim utusan,
namun sidang khusus gagal karena AS dan Soviet saling veto.
Akhirnya, satu garis perbatasan ditarik di tengah dataran Dorsa.
Peta Mars—yang dulu hanya penuh bukit dan kawah—sekarang memiliki garis hitam seperti bekas luka.
Mars Utara → United Kingdom of Free Martian (UKFM).
Mars Selatan → Martian People’s Soviet Republic (MPSR).
Lysera berada di istana Tharsia, kini jadi ibu kota kerajaan-demokratis yang disokong NATO.
Kael berada di kampung halamannya yang kini diperintah oleh Partai Rakyat Mars dengan dukungan Soviet.
Dalam satu malam, dua kekasih itu terpisah oleh tembok, ranjau, dan rogue drones patroli.
Kael tidak menerima kenyataan.
Ia berjalan 30 hari 30 malam melewati lembah, gurun, dan reruntuhan benteng Mars kuno.
Ia tiba di Tembok Darsa — penghalang 12 meter dari baja Marsium, dijaga oleh milisi Selatan dan drone Amerika di seberang.
Ia tahu itu gila.
Ia tahu para penjaga bisa menembaknya.
Ia tahu Soviet memantau setiap gerak.
Tapi cinta lebih kuat daripada propaganda.
Di malam paling sunyi, saat badai debu menutupi radar, Kael menyelinap ke bagian tembok yang retak —
sebuah celah kecil yang hanya diketahui penggembala setempat.
Ia menyelipkan selembar puisi ke dalam retakan batu.
“Untukmu, Lysera.
Jika Mars dibelah dua oleh manusia Bumi,
hatiku tidak.
Biar mereka punya roket, satelit, dan veto,
aku hanya punya satu hal:
namamu.”
Lalu ia menyanyikan lagu lembut yang dulu abangnya ajarkan.
Lagu tentang dua bintang yang tak pernah bisa bersatu,
namun tetap saling memancarkan cahaya di malam gelap.
Di balik tembok, Lysera mendengar suara itu.
Ia mengenal suara itu — meski diredam oleh baja dan angin.
Ia menangis tanpa suara.
Ia tidak berani memanggil Kael.
Karena di puncak tembok ada lampu sorot NATO dan Soviet bersilang seperti dua pedang raksasa.
Namun pada pagi hari, ia menemukan kertas puisi itu di celah batu.
Ia menyimpannya dekat jantungnya, sebagai sesuatu yang lebih berharga dari mahkota.
Kerajaan Mars Utara mulai mempercepat modernisasi:
meriam uap, menara komunikasi orbit, unit pertahanan udara berteknologi Bumi.
Mars Selatan membalas:
reaktor kecil, rudal atmosfer, mobil lapis baja buatan Soviet.
Perang Dingin Mars dimulai.
Dan Lysera tahu:
Jika kedua kekuatan itu benar-benar bertarung,
entah siapa yang akan selamat.
Namun ia berjanji:
Selama Kael hidup, selama puisi itu belum terbang,
ada harapan bahwa dua dunia —
yang dipisahkan oleh ideologi, planet, dan galaksi —
suatu hari akan bersatu kembali.
XXX
Selama sepuluh tahun terakhir, tembok Tharsis—garis panjang dari batu merah dan menara baja yang dibangun oleh Amerika dan Uni Soviet—menjadi semakin gelap, semakin tinggi, semakin sunyi. Drone penjaga berkeliaran siang dan malam; bahkan burung‐burung Mars yang melintas akan ditembak oleh detektor otomatis. Tidak ada seorang pun yang bisa menyeberang lagi.
Sepuluh tahun… dan tidak ada lagi kabar yang dibawa angin utara maupun selatan.
Putri Elyra—yang dulu suka menyelinap keluar istana dan menunggu penggembala kecil itu datang membacakan puisi di tepi sungai—kini duduk di singgasana biru kerajaan. Ayahandanya, Raja Thelon II, wafat tiga musim lalu. Namun Elyra bukanlah ratu seperti yang dibayangkan dongeng.
Setiap keputusan kerajaan harus melewati Council of Advisors—dewan yang para anggotanya bukan orang Martian, melainkan diplomat Bumi:
Senator Amerika yang memakai pin elang emas.
Laksamana NATO dengan seragam putih mengkilap.
Penasihat ekonomi Jepang yang bicara lembut tapi membawa kontrak tambang puluhan halaman.
Elyra menandatangani semuanya.
Ia tersenyum di depan kamera.
Ia melambaikan tangan ketika orang-orang berteriak, “Hidup Ratu!”
Tetapi ketika pintu ruang takhta tertutup, ia duduk lama dalam gelap, memegang surat-surat lama dari seseorang yang kini berada jauh di seberang tembok.
Di selatan, Kael—si penggembala yang dulu hanya membawa suling bambu Mars dan seekor hoptar kecil—berubah menjadi sosok lain. Ia belajar membaca cepat, menulis propaganda, memimpin pertanian kolektif, dan mengubah padang gersang selatan menjadi ladang hidroponik yang memukau para ilmuwan Soviet.
Prestasinya membuat namanya naik tanpa ia inginkan:
Direktur pertanian → Komisaris pangan → Anggota Presidium →
…hingga akhirnya menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Buruh Martian.
Para perwira KGB Mars menepuk bahunya.
“Kael, kau contoh rakyat revolusioner,” kata mereka.
Namun Kael tidak menyimpan kegembiraan dari jabatan itu.
Setiap malam, ketika sensor gedung utama dimatikan, ia menyalakan peta lama Mars sebelum terpecah. Ia menyentuh kota Elyra dengan ujung jarinya.
HGari Perundingan Damai
PBB akhirnya berhasil memaksa kedua belah pihak bertemu di kota netral: Haven Crater, sebuah lembah hijau kecil yang dijaga kehadiran pasukan biru.
Delegasi utara datang dulu. Elyra turun dari kapsul diplomatik, pakaian kebesarannya berkilau biru perak. Kamera pers bumi sibuk memotretnya—gambar yang akan dikirim ke jutaan layar di Amerika dan Eropa.
Di sisi lain lapangan, Kael turun dari pesawat kargo Soviet—sederhana, penuh debu, dan tanpa hiasan. Ia mengenakan mantel merah gelap dengan lambang roda pekerja dan delapan bintang Mars.
Keduanya tidak tahu satu sama lain ada di daftar delegasi…
PBB sengaja menyembunyikannya untuk menghindari ketegangan politik.
Ruang pertemuan dibangun dari kaca—transparan, sunyi, hanya suara mesin penyeimbang tekanan atmosfer. Di tengah ruangan, meja panjang membelah dua delegasi.
Dan di sanalah mereka berdua akhirnya saling melihat.
Aeris berhenti bernapas.
Aragorn menjatuhkan berkasnya.
Sepuluh tahun lenyap dalam satu detik.
Tubuh Aeris gemetar; ia sempat ingin menahan diri, menjaga wibawa kerajaan, menjaga kamera internasional. Tetapi sesuatu di dalam dirinya—yang telah ia tekan selama sepuluh tahun—pecah seperti kaca retak.
Ia melangkah cepat, melintasi garis diplomatik, melewati tatapan kaget para diplomat AS dan teriakan tercekik dari penasihatnya.
Kael juga bergerak. Mantel merahnya berkibar, sepatu militernya menghentak lantai kaca.
Mereka bertemu di tengah ruangan.
Tak ada kata-kata.
Tak ada protokol.
Elyra memeluknya lebih dulu.
Kael membalas, memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam satu dekade, ia membiarkan dirinya rapuh.
Sebelah kiri: Delegasi NATO membeku, tidak percaya.
Sebelah kanan: Pejabat Soviet berdiri kaku, hampir ingin berteriak.
Tetapi dua manusia Mars itu… berdiri saling berpegangan.
“Kael…” Elyra berbisik. “Aku kira aku tak akan melihatmu lagi.”
“Ratu atau bukan,” jawab Kael pelan, “kau tetap Elyra bagiku.”
Air mata Elyra jatuh di bahunya.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Mars yang terbelah oleh dua kekuatan Bumi, seluruh delegasi, kamera, dan penjaga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah mereka rencanakan:
Dua hati yang lebih setia pada satu sama lain daripada pada ideologi mana pun.
.jpg)
Posting Komentar