Devianart by Moribato.


Selama miliaran tahun, Matahari hanya diam.

Ia membakar, memelihara, dan menyaksikan.

Manusia menyebutnya bintang, dewa, inti kehidupan—tapi sesungguhnya, ia hanya tidur.


Namun pada tahun yang tak pernah lagi dicatat, Matahari bangun. Pada abad ke-48, setelah miliaran tahun dalam kestabilan bintang, sesuatu yang tak pernah diperkirakan terjadi — Matahari “terbangun.”

Tidak dalam bentuk bola api yang dingin dan tanpa jiwa, melainkan sebagai bayi kosmik—mata bersinar seperti plasma, suaranya getaran yang mengguncang orbit.

Matahari yang selama ini dianggap hanya sebagai benda mati, sebuah bola gas raksasa ternyata adalah mahluk hidup yang memiliki emosi dan kesadaran. Bahkan, bisa dibilang sebuah dewa kosmik yang marah terhadap kerusakan manusia.



Fenomena itu dimulai dengan anomali gravitasi dan denyutan energi yang tak dapat dijelaskan. Dalam hitungan minggu, wajah bercahaya muncul di permukaan fotosfer — menyerupai bayi, menangis tanpa suara, namun tiap “isakannya” melepaskan gelombang radiasi gamma yang menembus atmosfer.


Teleskop di seluruh dunia merekamnya: sebuah entitas kosmik yang tampak sadar.

Para ilmuwan menyebutnya Solar Sentience Event, tapi bagi umat manusia, itu adalah Hari Kebangkitan Dewa Matahari.


Gelombang radiasi pertama memusnahkan 70% kehidupan di Bumi. Dalam dua tahun berikutnya, atmosfer berubah menjadi lautan ion panas. Kota-kota meleleh, lautan menguap, dan hanya sedikit manusia yang berhasil bersembunyi di bawah tanah.


Ketika Matahari melihat Bumi, ia menangis layaknya bayi. Matahari itu sering mengeluarkan air mata merah darah yang membakar benua.

Tangisnya bukan suara, tapi gelombang radiasi yang melahap samudra dan membakar langit.

Ia menangis karena melihat semua kenangan kekerasan—perang, kelaparan, senjata yang mencabik sesama makhluk ciptaan cahaya akibat ulah manusia.

Setiap air mata nuklirnya menghancurkan benua.


Manusia mencoba melawannya—membangun cermin raksasa, menembakkan misil ke angkasa—tapi bagaimana melawan bintang yang hidup?

Dalam seabad, peradaban lenyap.

Yang tersisa hanyalah mereka yang bersembunyi di bawah tanah, jauh dari sinar sang bayi Matahari.

Para penyintas membangun koloni bawah tanah bernama Erebos, di mana kehidupan bertahan dengan teknologi biologis yang diciptakan dari sisa DNA manusia. Untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan abadi, tubuh mereka bermutasi: kulit pucat, mata menyala merah, dan metabolisme mereka berubah.

Mereka tidak lagi manusia — mereka adalah Homo Sanguinis, ras baru yang bergantung pada darah sintetis untuk hidup. Mereka menyebut diri mereka Nosferan, keturunan gelap yang hidup dari darah sintetis… hingga bahan itu habis.


Namun ketika bahan sintetis habis, mereka menemukan satu-satunya cara untuk bertahan: menembus waktu.

Mereka kembali ke masa lalu, ke zaman ketika Matahari masih tertidur dan manusia masih bermimpi di bawah sinarnya.

Manusia masa lalu menjadi satu-satunya sumber kehidupan mereka.


Dengan teknologi kronosfer — hasil penelitian kuantum dari abad terakhir — para ilmuwan vampir membuka lorong waktu menuju masa sebelum Matahari bangun, ke zaman kuno ketika manusia masih hidup di bawah cahaya hangat yang “tidur.”


Misi mereka bukan menyelamatkan sejarah, melainkan berburu. Karena mereka tahu waktu adalah sungai yang tak bisa dibelokkan dengan pengetahuan mereka yang masih terbatas


Mereka menculik manusia dari masa lalu, memanen darah dan jaringan, dan mengirimnya kembali ke Erebos. Tapi dari generasi ke generasi, beberapa vampir muda mulai mempertanyakan moralitas ini.


Mereka bertanya:


“Jika Matahari pernah tidur dan kini bangun karena dosa manusia, apakah kita — yang hidup dari darah manusia — akan membangunkannya lagi?”

Namun, beberapa Nosferan—yang lahir dari keluarga rendah—memiliki tugas lain  untuk mencegah kemarahan Matahari:

Mereka naik ke permukaan bumi, ke reruntuhan dunia lama, untuk menghibur bayi Matahari.

Mereka menari di bawah radiasi, membawakan lagu, puisi, dan kisah tentang perdamaian agar sang bayi percaya:

“Manusia, atau apa pun yang tersisa darinya, masih mampu mencintai.”

Mmproyeksikan ilusi kehidupan bahagia agar bayi kosmik itu percaya bahwa manusia masih baik.

Namun, setiap kali Matahari tersenyum, radiasi meningkat — seolah ia tahu mereka berbohong.

Lima abad berlalu.

Manusia tak lagi disebut manusia.

Tubuh mereka berevolusi, darah mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan.

Mereka menemukan cara terakhir untuk bertahan hidup: melintasi waktu.

XXX


Lima abad kemudian, Erebos hampir runtuh.

Bangsa vampir memutuskan untuk meninggalkan Bumi — mencari bintang lain yang masih “tertidur.”


Dalam mitos Nosferan, ada ramalan:

suatu hari mereka akan meninggalkan Bumi, berlayar menuju bintang lain yang masih tertidur,

agar bisa membangun dunia baru sebelum matahari berikutnya terbangun dan kembali menangis.


Dan mungkin, di alam semesta yang luas dan sunyi,

bayi-bayi bintang sedang bermimpi yang sama —

tentang makhluk kecil yang menyebut dirinya manusia,

dan tentang harapan kecil untuk dimaafkan oleh cahaya.


Tapi sebelum mereka berangkat, satu di antara mereka, seorang anak vampir kasta rendah yang lahir dari gen manusia murni, mendengar suara dalam tidurnya:


“Aku belum selesai bermimpi. Jangan bangunkan Aku lagi.”


XXX

Bumi 800 tahun yang lalu.....

 Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku.

Mereka bilang aku ditemukan di depan panti asuhan pada malam hujan, terbungkus kain lusuh dan membawa kalung kecil bertuliskan satu kata: “Constantine.”

Itu satu-satunya hal yang kumiliki dari masa lalu. Tak ada catatan lahir, tak ada asal-usul. Hanya nama itu.


Hidup di panti asuhan membuat waktu terasa datar, seperti hari-hari yang menolak berubah. Tapi aku selalu merasa... ada sesuatu yang menungguku di luar.



Aku tumbuh tanpa banyak kenangan, tanpa masa lalu untuk dirindukan.

Kadang, aku bermimpi tentang seseorang — seorang gadis yang menatapku di bawah cahaya matahari sore, rambutnya panjang, suaranya lembut.

Dia memanggilku adik kecil.

Tapi setiap kali aku mencoba mengingat wajahnya, cahaya itu menelan semuanya.

Dan setiap kali aku mencoba mendekat, dunia di sekeliling kami hancur menjadi serpihan cahaya.


Beberapa tahun kemudian, Suatu hari, pasangan suami-istri datang ke panti.

Mereka tampak tenang dan kaya, tapi wajah mereka suram, seperti orang yang baru kehilangan sesuatu.

Aku tak tahu kenapa, tapi ketika mata Ibu itu bertemu mataku, dia langsung menangis.

Ayahnya hanya berdiri diam, menatapku lama, seolah mengenal wajahku.


Aku tersenyum kikuk. Tapi di dalam hatiku, aku merasa... aneh.

Karena aku yakin, aku pernah mendengar suara itu sebelumnya.

Suaranya sama seperti gadis dalam mimpiku.


Hari itu aku benar-benar merasa hidupku dimulai. 

Mereka membawaku ke rumah besar di pinggiran kota, rumah dengan taman bunga lavender dan jendela tinggi yang membiarkan matahari masuk seperti sungai cahaya.

Rumah mereka besar dan tenang, dipenuhi cahaya matahari yang menembus kaca jernih.

Ibu memelukku erat malam itu, lalu berkata pelan,


 “Mulai sekarang, kau bagian dari keluarga ini, Constantine.”


Ibu gemar menanam bunga, Ayah sibuk di ruang kerjanya, dan aku hanya anak kecil yang masih canggung memanggil mereka “Ayah” dan “Ibu.”

Tapi ada sesuatu yang aneh sejak pertama kali aku melangkah ke ruang tamu.


Di rak foto keluarga, ada satu bingkai kosong.

Bingkai itu berdebu, tapi di kacanya masih ada bekas jari — seolah seseorang pernah sering mengelapnya.

Di ujung lantai dua, ada sebuah kamar dengan pintu yang selalu terkunci.

Aku sempat bertanya,


“Kamar siapa itu, Bu?”

Tapi Ibu diam lama, lalu menjawab tanpa menatapku:

“Tidak ada siapa-siapa di sana.”


---


Suatu sore, aku membantu Ibu membersihkan gudang.

Di antara tumpukan buku lama, aku menemukan foto keluarga.

Ada Ayah, Ibu, dan... seorang gadis berambut panjang, tersenyum di tengah mereka.

Di bawah foto itu tertulis:


“Keluarga Asteria — Ayah, Ibu, dan Catrina.”

Aku tahu bahwa dia anak kandung mereka, kakakku yang dulu sering datang ke panti membawa kue, yang tersenyum dan berkata,

 “Aku ingin punya adik laki-laki, supaya rumah ini tidak sepi lagi.”

Dialah yang memilihku.
Dialah yang membujuk Ayah dan Ibu agar mengadopsiku.
Dialah alasan aku berada di rumah ini.

Tapi kini, dia seperti tak pernah ada.
Nama Catrina tak muncul di dokumen, tak ada catatan lahir, tak ada makam, bahkan potret dirinya seolah terhapus dari semua foto.
Semua orang — bahkan Ayah dan Ibu — benar-benar melupakannya.

---

Malam-malamku berubah gelisah.
Aku sering mendengar musik piano di rumah, padahal tak ada yang bisa bermain.
Langkah kaki di koridor, bayangan rambut panjang di jendela, dan aroma lavender yang datang tanpa sebab.
Sampai suatu malam, aku menemukan kamar yang selalu terkunci itu... terbuka.

Udara di dalamnya dingin dan berat.
Dindingnya dipenuhi coretan tangan kecil, seperti mantra yang tergores di atas debu.
Di meja, ada buku harian berdebu — dengan tulisan yang samar namun masih bisa kubaca.

“Jika dunia menolak mengingatku, biarlah aku lenyap... asalkan Constantine tetap hidup.”
Catrina.


---


Suatu malam, aku mendengar suara dari kamar atas.

Suara musik — lembut, seperti seseorang sedang memainkan piano.

Aku berjalan pelan menaiki tangga, mengikuti melodi itu, tapi ketika sampai di depan pintu, suara itu berhenti.


Kamar itu terkunci.

Ibu bilang itu kamar yang sudah lama tidak dipakai.

Tapi anehnya, setiap kali aku lewat, aku merasa ada seseorang di dalam — mengintip dari balik tirai.

Dan setiap kali aku menyebut soal itu, wajah Ibu langsung berubah.


 “Constantine,” katanya pelan, “di rumah ini cuma ada kita bertiga. Jangan menakut-nakuti Ibu, ya?”


---


Suatu sore, aku sedang membantu Ibu membersihkan lemari lama di ruang bawah tanah.

Di antara tumpukan buku dan mainan tua, aku menemukan foto keluarga.

Ada Ayah, Ibu, dan seorang gadis — kira-kira tujuh belas tahun.

Dia tersenyum, berdiri di tengah mereka, dan anehnya, wajahnya sama persis dengan gadis dari mimpiku.


Aku menunjukkannya ke Ibu.

Dia menatap foto itu lama sekali, lalu tiba-tiba tersenyum kaku dan merenggutnya dari tanganku.


“Kamu salah lihat. Foto ini rusak. Tak ada siapa-siapa di situ.”


Malamnya, foto itu hilang.


---


Tapi sejak hari itu, semuanya berubah.

Aku sering mendengar langkah kaki di koridor, suara bisikan di tengah malam, bahkan semerbak wangi lavender setiap kali aku sendirian.

Suatu malam, aku bermimpi gadis itu datang padaku.

Dia duduk di tepi ranjangku dan berkata lembut:


 “Kau adikku… jangan dengarkan mereka.”


Aku terbangun dengan air mata mengalir di pipi.

Dan di meja belajarku — entah bagaimana — terletak seikat bunga lavender segar.


---


Hari berikutnya, aku memberanikan diri bertanya pada Ayah.


“Ayah, dulu aku punya kakak, ya?”


Wajahnya kaku.


“Tidak, Constantine. Kami tidak pernah punya anak perempuan, kami tak punya anak kandung.”


“Tapi aku menemukan fotonya—”


“Tak ada siapa siap di foto itu” potongnya cepat.


Aku bisa merasakan ketakutan di suaranya.

Bukan kemarahan — tapi benar-benar ketakutan.

Seolah ada sesuatu yang tak boleh disebut.


---


Malam itu, aku kembali ke kamar atas.

Pintu yang selalu terkunci kini terbuka.

Di dalamnya, debu menutupi segalanya — tapi di dinding tergantung lukisan matahari.

Aneh sekali: matahari itu punya wajah, seperti bayi yang sedang menangis.

Dan di bawah lukisan itu, tergeletak boneka tua berbentuk kelinci, dengan pita biru di lehernya.


Ketika aku menyentuh boneka itu, udara di ruangan berubah dingin.

Bayangan gadis itu muncul di cermin, memandangku dengan mata basah.


“Constantine… aku Catrina. Aku bukan ilusi. Aku hanya… terlupakan.”


Lalu semuanya runtuh — cermin pecah, dinding bergetar, dan suara jeritan menyerupai nyanyian matahari menggema di kepalaku.

Sebelum pingsan, aku sempat mendengar satu kalimat terakhir dari bibirnya:


“Mereka membuatku menjadi dewi agar dunia tetap hidup. Tapi sekarang waktu mulai patah, Constantine. Dan kau… bukan manusia biasa.”


---


Ketika aku terbangun, rumah itu sudah gelap.

Langit di luar berdenyut seperti jantung.

Dan di dadaku, kalung logam yang dulu pudar kini bersinar samar, menulis kata baru yang belum pernah kulihat:


 “Anak Sang Waktu.”


XXX

Beberapa tahun kemudian, aku mulai memahami sedikit demi sedikit.

Potongan mimpi itu bukan sekadar kenangan—melainkan pecahan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dunia ini pernah hampir hancur. 

Dan di tengah kehancuran itu, Catrina-lah yang menyelamatkannya.


Dia bukan manusia biasa. Dia seorang penyihir—gadis penyihir yang ditakdirkan menjadi tumbal bagi perdamaian dunia.


Semuanya berawal dari gadis pemalu dan lemah bernama Jadis yang baru saja pindah ke sekolah baru, di sekolah baru itu dia bertemu kelompok yang disebut gadis penyihir, Magical Girl atau yang biasa disebut sebagai Mahou Shoujo oleh orang Jepang termasuk Catrina sendiri yang menjadi sahabat dekatnya,


Ketika kota mereka diserang oleh Gurita telekinesis raksasa milik Time Patrol, kedua temannya menyelamatkannya.kemudian menjadi magical girl untuk melindungi Jadis.


Time Patrol bukan lagi pasukan penjaga waktu — mereka sudah jadi mesin paranoia.  

Selama berabad-abad mereka kalah dalam perang yang tak dicatat sejarah: Perang Sihir Waktu, antara mereka dan para Mahou Shoujo — gadis-gadis anomali yang lahir dari percikan kekuatan mimpi dan emosi manusia.  


Setiap kali Time Patrol mencoba memusnahkan mereka di masa lalu, realitas justru berubah — sejarah memperbaiki diri sendiri, dan para penyihir muda itu selalu muncul kembali, dalam bentuk dan era berbeda.  


Lelah kalah, para petinggi Time Patrol memutuskan membuat senjata yang tak berasal dari waktu, tak dari sihir, tak dari manusia. Mereka menamainya   Extra-Dimensional Biological Entity

Time Patrol menciptakan makhluk mirip gurita raksasa dari dimensi lain.

Itu bukan alien sungguhan — melainkan rekayasa biologis buatan manusia.

Diciptakan oleh ilmuwan, seniman, dan penulis fiksi ilmiah yang mereka culik dari berbagai zaman  dan pekerjakan diam-diam. Time Patrol membuat mereka bekerja di proyek rahasia di Antarktika, di mana mereka menciptakan makhluk biologis yang terlihat alien.


Ilmuwan waktu membangun reaktor neural — mesin yang bisa mengumpulkan seluruh pikiran manusia dari masa depan dan masa lalu. Dari jutaan jiwa itu, mereka menyatukan satu kesadaran tunggal: makhluk yang lahir dari rasa takut kolektif manusia terhadap kehilangan kendali.  


Ia tidak punya nama pada awalnya. Hanya bentuk: kumpulan neuron cair, menjelma menjadi gurita raksasa karena sistem komputer tak mampu memberi wujud yang stabil.  


Makhluk itu diisi dengan jaringan otak kloning dari psionik (manusia dengan kemampuan telepati), agar kematiannya bisa memancarkan gelombang psikis yang menyebabkan jutaan orang di kota  mati mendadak karena mimpi buruk dan trauma mental ekstrem.


Gurita itu adalah senjata biologis telepati hasil rekayasa genetik, bukan monster luar angkasa sungguhan.

Banyak orang masih trauma psikologis karena “serangan alien” itu.


Hujan berisi potongan mini-octopus kadang turun sebagai pengingat.



---


Ketika  Extra-Dimensional Biological Entity diaktifkan, tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya.  

Yang berubah hanyalah suara di kepala semua anggota Time Patrol: dengung lembut, seperti napas panjang.  


Di dunia lain, para Mahou Shoujo tiba-tiba mulai bermimpi hal yang sama — lautan hitam, mata raksasa, dan bisikan yang menyebut nama mereka satu per satu. Mereka terbangun dengan hidung berdarah dan ingatan kabur.  


Beberapa kehilangan kemampuan sihirnya. Beberapa menjadi gila.  

Dan satu dari mereka —  mulai mendengar suara halus yang berkata,  

“Aku tidak diciptakan untuk melawan kalian. Aku diciptakan untuk memahami kalian.”  


---



Time Patrol tak tahu gurita sudah berkembang di luar kendali.  

Makhluk itu mulai memanipulasi memori para ilmuwan, membuat mereka percaya bahwa mereka sedang bermimpi. Lalu ia muncul di dunia nyata — bukan dari portal, tapi dari pikiran manusia yang cukup takut untuk membayangkannya.  


Langit pecah. Kota tenggelam dalam gelombang psionik.  



Namun satu hal jadi jelas:  


Time Patrol menciptakan dewa — dan dewa itu tak tahu bedanya antara cinta dan kehancuran.  


Para Mahou Shoujo berkumpul, bukan untuk melawan, tapi untuk menahan kewarasan dunia.  


Tetapi  beberapa diantara mereka termasuk Catrina sendiri akhirnya mati saat melawan Entitas Biologis Ekstra-Dimensi terkuat.

Jadis yang sedih membuat kontrak dengan para dewa perusak agar bisa menjadi gadis penyihir untuk mengulang waktu agar bisa menyelamatkan teman temannya.

Jadis yang telah menjadi gadis penyihir terus mengulang waktu berkali-kali.  Mencoba berbagai cara untuk mencegah kematian. Setiap kali gagal, dia memutar balik dunia lagi dan lagi, menentang hukum realitas dan para dewa.


Tapi di setiap timeline, Catrina selalu mati atau berubah menjadi monster.


Setiap pengulangan membuat Jadis semakin dingin, keras, dan sinis — kehilangan sifat lembutnya demi menyelamatkan Catrina.


Ia menjadi sangat kuat dan berpengalaman dalam strategi serta senjata, menggantikan kekuatan sihir dengan senjata modern.


Tujuannya hanya satu: selamatkan Catrina, apapun caranya.

Menyadari bahwa semakin banyak ia mengulang waktu, semakin besar potensi kekuatan Catrina— sampai akhirnya Catrina  bisa menjadi dewi.


Pada akhirnya, Catrina menggunakan keinginannya untuk menghapus seluruh penyihir dari segala waktu dan ruang, bahkan dirinya sendiri untuk menghilangkan penderitaan para penyihir.


Dunia berubah total, Catrina naik menjadi entitas kosmik, Law of Cycles, dan menghapus keberadaannya dari sejarah.

Dengan pengorbanannya, dunia kembali tenang. Tapi sebagai gantinya, keberadaannya terhapus dari segalanya—bahkan dari waktu itu sendiri.


Hanya Jadis yang masih mengingatnya. Namun Jadis  menolak menerima nasib itu.


Dalam dunia pasca-penghapusan Catrina, Jadis mulai curiga bahwa dunia ini tidak nyata.

Ternyata ia berada dalam ruang ilusi yang diciptakan oleh jiwanya sendiri — karena ia berubah menjadi entitas abstrak setelah terus menekan kesedihan dan kerinduan terhadap Catrina.

Catrina  sebagai dewi turun untuk menyelamatkannya.


Tapi di akhir, Jadis membelot: ia mencuri kekuatan dewi Catrina dan membaginya, menciptakan realitas baru di mana Catrina hidup sebagai manusia biasa dan bahagia.



Hingga akhirnya... cintanya berubah menjadi kutukan.

Dia menjadi iblis bernama Eru Loviatar—makhluk abadi yang kekuatannya setara dengan Dewi itu sendiri.


Dan di antara dua makhluk abadi yang saling mencintai tapi tak bisa bersatu itu, aku berdiri…

sebagai satu-satunya manusia yang masih mengingat keduanya.


Aku tidak tahu kenapa aku bisa mengingat Catrina.

Mungkin karena aku adiknya, atau mungkin aku entitas yang seharusnya tak pernah ada disini.

Atau mungkin karena di antara semua dunia yang telah diulang dan dihapus, aku adalah satu-satunya “anomali” yang tersisa—satu jiwa yang tak bisa dihapus oleh waktu.


Tapi satu hal yang pasti:

Aku akan menemukannya lagi.

Entah di dunia ini, atau di antara serpihan waktu yang telah ditelan kegelapan.


XXX

Jadis yang kini menjadi iblis dengan gelar Eru Loviatar sangat membenci Time Patrol karena merekalah biang keladi yang menyebabkan kematian Catrina dan kawan kawan. Namun, mereka kini memiliki aliansi pragmatis. 

Karena Time Patrol dan Eru Loviatar sama sama ingin melawan Timeline asli mereka bekerjasama dan para Time Patrol kini  menjadi kaki tangan Eru Loviatar yang paling setia demi keberlangsungan universe mereka.

Time Patrol adalah pasukan polisi waktu dari abad ke-22 yang sangat canggih. Mereka bekerja sama dengan Sang Ratu Penyihir yang dijuluki iblis, bernama Eru Loviatar — sosok yang pernah menyebabkan peristiwa besar bernama Fantasia, ketika hukum fisika dan sihir saling bertabrakan.


Para Time Patrol berasal dari semesta lain — sebuah universe yang dunianya berhasil diselamatkan dari kehancuran akibat badai matahari. Mereka berhasil kembali ke masa lalu dan mencegah bencana itu dengan bantuan Eru Loviatar, yang juga berkeinginan untuk mengubah takdir. Namun, perjalanan waktu yang mereka lakukan menyebabkan cabang-cabang realitas baru bermunculan.


Akibatnya, ketika universe asal mereka berhasil diselamatkan, universe lain — yaitu universe  tempat asalku di masa depan — justru hancur karena kebangkitan "Bayi Matahari". Para Time Patrol kini berusaha mencegahku mengalahkan Eru Loviatar, sebab jika sang Penyihir dikalahkan, dan  universe tempat asalku di masa depan berhasil diselamatkan dari kebangkitan bayi matahari karena Fantasia, akan berimbas pada stabilitas waktu dan membuka kembali ancaman badai matahari di universe asal para Time Patrol. 

Satu dari dua universe — universe Time Patrol atau universe Constantine — harus dikorbankan demi kelangsungan yang lain. Namun baik aku maupun para Time Patrol sama-sama menolak untuk menyerah. Masing-masing berjuang demi menyelamatkan dunia mereka sendiri. 


Pada akhirnya, semua pihak bertindak demi kepentingan sendiri. Setiap orang ingin menyelamatkan universe-nya masing-masing. Para Time Patrol bahkan rela membiarkan universe tempat asalku di masa depan tetap hancur, agar dunia mereka yang indah dan futuristik di abad ke-22 tetap aman dari badai matahari.

XXX

Aku tidak pernah mengerti kenapa cahaya terasa menyakitkan.
Anak-anak lain di sekolah senang bermain di bawah matahari. Aku justru pusing, mual, bahkan kulitku melepuh tipis kalau terlalu lama di luar. Ibu angkatku bilang aku hanya “alergi panas,” tapi aku tahu itu bukan sekadar panas.
Cahaya matahari... seolah membenciku.

Sejak Catrina menghilang — atau lebih tepatnya, dihapus dari dunia — aku sering bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, aku berada di ruangan seperti laboratorium kuno. Mesin-mesin berkarat berdengung di antara kabut merah. Di tengahnya, berdiri seorang perempuan berambut perak panjang, kulitnya pucat seperti lilin, matanya merah bercahaya lembut.
Dia menatapku dari balik kaca cair dan berkata:

“Maafkan ibu kandungmu... ini satu-satunya cara agar kau tetap hidup.”

Aku selalu terbangun setelah mendengar kata “ibu.” Aku tidak punya ibu kandung — aku anak panti asuhan. Tapi mimpi itu terasa lebih nyata daripada masa laluku sendiri.

Malam itu, sesuatu akhirnya berubah.

Langit berwarna ungu tua, seperti luka terbuka. Udara bergetar. Aku melihat lingkaran aneh di halaman belakang rumah: garis cahaya yang membentuk pusaran vertikal di udara, mengisap embun dan daun-daun ke tengahnya. Dari sana muncul sosok perempuan itu — sama seperti di mimpiku.

Kulitnya pucat seperti batu bulan, matanya merah bercahaya. Tapi suaranya lembut. Bukan suara iblis.
Suara seorang ibu.

“Kau sudah tumbuh besar, Nak,” katanya, lirih tapi jelas. “Waktu di sini berjalan jauh lebih lambat dari dunia asal kita.”

Aku tak bisa bergerak. “Dunia... asal kita?”

Ia mengangguk. “Aku bukan manusia. Aku dari masa depan. Dunia kami sudah mati, terbakar oleh Dewa Matahari yang terbangun setelah tidur miliaran tahun. Kami, para penyintas, berevolusi — atau mungkin terkutuk — menjadi ras baru: Homo Sanguinis. Vampir.”

Aku tercekat.
Kata itu— vampir —selalu terasa seperti dongeng murahan. Tapi wajahnya tidak terlihat jahat. Ia hanya tampak... sedih.

 “Kami hidup di bawah tanah, di kota bernama Erebos,” lanjutnya. “Untuk menenangkan Dewa Matahari yang bangkit, para vampir menciptakan anak-anak seperti kau — anak penghibur, yang dikirim ke permukaan untuk bernyanyi, menari, dan berpura-pura bahagia di hadapan matahari agar ia tidak menghancurkan bumi sepenuhnya.”

Aku nyaris muntah mendengarnya. “Jadi... aku—?”

 “Kau seharusnya salah satunya,” katanya cepat, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Aku mencuri satu mesin kronosfer — alat yang bisa membuka pintu waktu — dan mengirimmu ke masa lalu, ke zaman ini. Aku menitipkanmu di panti asuhan, di era ketika matahari masih ‘tertidur’.”

Aku menatapnya, berusaha memahami absurditas yang baru saja kuketahui. “Jadi aku... bukan manusia.”

Ia menggeleng pelan. “Setengah. Separuh darahku mengalir di tubuhmu, tapi separuh lagi berasal dari manusia murni. Itulah kenapa kau berbeda. Itulah kenapa matahari menyakitimu tapi tak membunuhmu.”

Aku ingin bertanya banyak hal, tapi ia menatapku dengan ekspresi yang aneh — campuran kasih dan ketakutan.

 “Ada hal lain yang harus kau tahu,” katanya. “Gadis bernama Catrina... kakak perempuan yang masih kau ingat — dia bukan khayalan. Dia adalah penyihir terakhir dunia ini, terpilih menjadi tumbal untuk menenangkan kekacauan waktu. Dia ditakdirkan menjadi Dewi perdamaian.”

“Catrina... jadi nyata?” suaraku bergetar. “Dia benar-benar ada?”

“Ya. Tapi ia telah dihapus dari eksistensi agar dunia tetap stabil. Semua orang melupakannya — kecuali kau, karena darahmu tidak sepenuhnya terikat pada arus waktu ini.”
\
 “Dan Jadis ,” lanjutnya, suaranya mulai parau, “terlalu mencintainya. Ia terus mengulang waktu, mencoba menyelamatkan Catrina dari kematian, hingga dirinya sendiri berubah... menjadi iblis waktu. Kekuatan mereka kini setara. Keduanya menahan keseimbangan dunia seperti dua sisi cermin yang retak.”

Ia menatap langit yang berdenyut pelan. “Namun pengulangan waktu itu menimbulkan retakan baru — Fantasia. Dunia mulai kehilangan logikanya. Hukum fisika dan sihir bertabrakan. Jika terus berlanjut, realitas akan hancur, dan kebangkitan Dewa Matahari akan dimulai dari sini... masa ini.”

Angin berhenti bertiup. Aku mendengar suara detak aneh dari dalam dadaku — bukan detak jantung, tapi denyutan ritmis seperti mesin tua.
Darahku bergetar.

“Kau harus menghentikan mereka,” katanya. “Temukan Catrina. Selamatkan dia — tapi jangan biarkan waktu diulang lagi. Jika tidak, kau akan menghidupkan kembali api yang menghanguskan masa depan.”

Tubuh ibuku mulai retak seperti kaca pecah diterpa cahaya.
Ia mencoba tersenyum, menatapku terakhir kali. “Aku mencintaimu, Nak. Maafkan aku karena membebanimu dengan takdir yang seharusnya menjadi tugasku.”

Lalu ia lenyap, tersedot ke dalam pusaran cahaya yang segera padam.
Yang tersisa hanya lingkaran gosong di tanah dan aroma logam terbakar.

Aku berdiri lama, tubuhku gemetar, hingga aku melihat ke langit.
Malam itu, di antara bintang-bintang, aku melihat matahari — bukan seharusnya di sana, tapi ada, menggantung seperti bola api raksasa di kegelapan malam, seolah menatapku.
Dan di kepalaku, suara Catrina berbisik pelan:

 “Jangan biarkan aku menjadi Dewi, adikku... sebelum dunia terulang lagi.”

Berbeda dengan ras vampir lain yang hanya kembali ke masa lalu untuk memburu manusia sebagai sumber darah, lalu putus asa ketika menyadari dunia tak bisa diubah, aku memilih jalan lain. Aku berusaha mengubah sejarah dunia, karena aku tahu ada kekuatan sihir yang mampu menantang takdir waktu. Dengan kekuatan itu, aku ingin menyelamatkan kakakku—dan mencegah terjadinya Fantasia serta kebangkitan Matahari.

XXX

 Aku masih ingat malam itu—angin berhenti berembus, bintang-bintang seperti bergetar di langit, dan udara di sekelilingku terasa seperti kaca yang akan pecah kapan saja. Sejak beberapa minggu terakhir, dunia mulai menunjukkan tanda-tanda yang tak bisa dijelaskan: air mengalir ke atas, bayangan menolak mengikuti tubuh, dan waktu… terkadang berhenti sesaat sebelum melanjutkan seperti tak terjadi apa-apa.

Aku tahu itu bukan kebetulan. Aku tahu itu adalah gejala awal Fantasia—sebuah distorsi realitas yang menurut naskah kuno baru akan terjadi tiga abad lagi, ketika Dewa Matahari bangun dari tidur kosmiknya. Tapi sesuatu membuatnya datang lebih cepat.

Suatu malam, di reruntuhan observatorium tua di tepi kota, aku bertemu dengannya.
Seorang gadis dengan mata berwarna ungu tua, memantulkan cahaya bintang seperti pusaran air. Ia berdiri di antara lingkaran simbol sihir yang mengambang di udara, seolah melawan sesuatu yang tak bisa kulihat. Saat ia menoleh, ada rasa aneh di dadaku—perasaan bahwa aku pernah mengenalnya.

 “Kau juga mengingat Catrina , bukan?” katanya pelan, tanpa menunggu sapaan.
“Aku Guinevere. Temannya. Satu-satunya yang tersisa.”

Aku nyaris tak bisa bernapas. Nama itu—Catrina—tak seorang pun pernah menyebutnya selain aku. Dunia seolah telah melupakan keberadaannya, bahkan orang tuaku sendiri tak ingat pernah memiliki anak perempuan. Tapi gadis ini… gadis ini tahu.

Guinevere menjelaskan bahwa Catrina bukan hanya seorang penyihir, tapi penyeimbang dunia, gadis yang ditakdirkan untuk menjadi tumbal demi perdamaian, berubah menjadi Dewi Harmonia. Namun sahabatnya, seorang penyihir lain yang tak sanggup kehilangan Catrina , telah berulang kali mengulang waktu untuk mencegah kematiannya. Pengulangan itu merusak tatanan realitas dan menciptakan retakan—asal mula Fantasia.

Sekarang, retakan itu mulai menyebar kembali.
Dari celah-celah waktu yang tidak stabil, muncul makhluk-makhluk abstrak: bayangan tanpa wujud, suara tanpa sumber, dan entitas yang hanya bisa dilihat di sudut mata. Mereka berjalan di antara manusia, meniru wajah, meniru suara, tapi kosong di dalamnya.

Manusia menganggap itu halusinasi, gangguan listrik, atau fenomena alam yang belum dipahami.
Tapi aku dan Guinevere tahu lebih baik—mereka adalah pion Dewa Matahari, gema dari masa depan yang terpantul ke masa kini.

Kami berdua membentuk lingkaran rahasia. Mempelajari sihir waktu yang pernah digunakan sahabat Catrina, mencoba menutup celah realitas satu demi satu. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain—menyegel kota yang mulai diselimuti kabut bercahaya, memusnahkan bayangan yang muncul di mata manusia saat mereka bermimpi.

Setiap malam kami menulis ulang mantra baru, setiap fajar kami melihat dunia sedikit lebih rusak dari sebelumnya. Tapi kami tak berhenti.

Karena jika kami gagal—Fantasia akan tiba lebih cepat, dan Dewa Matahari akan bangun, membakar dunia ini bahkan sebelum umat manusia sempat menyadari bahwa mereka hidup di atas ilusi yang retak.

Dan di lubuk hatiku, aku tahu: menyelamatkan Catrina mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan segalanya.
XXX

Aku pernah berpikir bahwa asal-usulku hanya mimpi buruk yang terlalu hidup. Tapi semakin jauh aku berjalan bersama Guinevere , semakin jelas kebenaran itu: aku bukan manusia. Aku adalah hasil dari dunia yang belum lahir—keturunan kota bawah tanah yang disebut, masa depan di mana manusia telah berubah menjadi vampir untuk bertahan hidup di bawah reruntuhan bumi yang ditelan radiasi Matahari yang bangkit.

Aku berbeda dari mereka yang tinggal di masa ini. Dagingku lebih kuat, tulangku bisa memulihkan diri dalam hitungan detik, dan darahku membawa ingatan tentang teknologi yang bahkan belum ditemukan di era ini. Tapi aku juga cacat: aku tak memiliki sihir.
Tak ada mantra, tak ada lingkaran energi, tak ada kemampuan memanggil unsur alam. Aku hanyalah tubuh dengan kekuatan brutal dan luka masa depan yang belum terjadi.

Dan kini, aku harus melawan entitas yang disebut “Dewi Iblis Eru Loviatar.”
Dialah sahabat Catrina—penyihir yang tak sanggup menerima takdir kematian Catrina dan terus mengulang waktu, merobek realitas hingga lahirlah Fantasia. Ia bukan manusia lagi. Ia telah melampaui semua batas waktu, menjadi kekuatan murni yang bahkan Dewa Matahari pun takut bangunkan.

Setiap kali aku membayangkan itu, rasa takut menyelinap di tenggorokanku.
Bagaimana mungkin aku—yang hanya terbuat dari darah sintetis dan daging hasil laboratorium—mampu menandingi makhluk yang bisa menulis ulang sejarah?

Guinevere  bilang aku satu-satunya yang bisa menghentikannya, karena aku tidak terikat oleh hukum sihir. Tubuhku tak tunduk pada logika Fantasia, tak bisa dihapus oleh distorsi waktu. Aku eksis di luar siklus itu—anomali dari masa depan yang tak seharusnya ada di sini.
Namun keistimewaan itu juga kutukan. Aku merasakan tubuhku semakin asing terhadap dunia ini. Nafasku lebih berat, dan setiap kali matahari terbit, kulitku membakar perlahan, seolah dunia menolakku keberadaanku.

Kadang aku berpikir untuk menyerah.
Membiarkan waktu berjalan sebagaimana mestinya, membiarkan Catrina menjadi dewi, dan dunia tenggelam dalam Fantasia yang tak berujung.
Tapi tiap kali aku menutup mata, aku melihat wajah Catrina—senyum lembutnya saat memintaku menjadi adik kecilnya di panti asuhan, tangannya yang hangat di kepalaku.

Dia satu-satunya alasan aku masih percaya pada dunia ini.
Dan karena itu, aku harus melawan.

Bukan demi umat manusia, bukan demi keseimbangan dunia, tapi demi satu hal sederhana: Aku ingin kakakku hidup.

Mungkin tubuhku tak punya sihir. Tapi darahku membawa warisan masa depan—logika, mesin, dan kekuatan yang tak lagi mengenal batas moral. Jika penyihir itu mengubah waktu dengan mantra, maka aku akan melawannya dengan ilmu dan kekuatan fisik.
Jika dia menulis ulang takdir, aku akan menulis ulang realitas dengan tangan dan darahku sendiri.

Meski aku tahu, pada akhirnya, mungkin aku harus menghancurkan satu-satunya sahabat Catrina… demi menyelamatkan Catrina dari dunia yang diciptakan oleh cinta yang tak mau melepaskan.
xxx

Dilema itu membunuhku perlahan, bahkan sebelum pertempuran dimulai.

Setiap malam, aku duduk di bawah langit yang sudah mulai retak — bintang-bintang bergetar, seperti kaca yang menahan tekanan dari luar realitas. Gejala Fantasia sudah muncul di mana-mana: burung yang terbang terbalik, bayangan yang berjalan tanpa tubuh, dan laut yang berdenyut seperti makhluk hidup. Semua orang mengira itu fenomena alam. Tapi aku tahu — itu tanda-tanda bahwa dunia sedang kehilangan logikanya.

Dan di tengah kekacauan itu, aku tahu apa yang harus kulakukan.
Jika aku berhasil mengalahkan Dewi Iblis, Fantasia akan berhenti. Dunia akan selamat.
Tapi… Catrina akan hilang selamanya.

Itulah hukum waktu yang kejam: Lyra menjadi dewi karena harus mati, dan dunia bisa tetap utuh hanya jika dia tetap tak ada. Tapi sahabatnya, yang kini telah menjadi iblis, berjuang untuk mengembalikannya — mengulang waktu berkali-kali, berteriak menantang dewa dan hukum semesta, hanya agar Lyra bisa tetap hidup di dunia yang tak mengizinkannya.

Dan aku berdiri di tengah dua cinta yang saling menghancurkan itu.

Aku tak bisa berpihak tanpa merasa berdosa.
Jika aku membunuh Dewi Iblis, aku menyelamatkan dunia tapi mengkhianati kakakku — aku menghapus satu-satunya orang yang pernah benar-benar menyayangiku.
Tapi jika aku biarkan Dewi Iblis menang, maka dunia akan meleleh ke dalam mimpi yang tak berujung, realitas akan runtuh, dan Dewa Matahari akan terbangun 300 tahun lebih cepat dari seharusnya.

Kadang aku berpikir — mungkin dunia ini memang harus berakhir bersama Catrina.
Apa gunanya bumi tanpa dia di dalamnya?
Apa gunanya cahaya matahari, jika ia harus menyinari dunia yang melupakan kakakku seolah ia tak pernah ada?

Namun di lubuk hatiku, aku tahu Catrina tak akan menginginkan itu.
Dia akan tersenyum, menatapku dengan lembut seperti dulu di panti asuhan, dan berkata:

 “Adik kecilku, jangan pilih aku. Pilih dunia yang masih bisa bermimpi.”

Dan setiap kali bayangan itu muncul, aku menangis — karena aku tahu aku akan menepati pesan itu, walau artinya aku harus membunuh harapan terakhirku.

Mungkin di akhir segalanya, hanya aku yang akan mengingat Catrina.
Dan mungkin itu sudah cukup.

Karena selama aku masih mengingatnya, selama namanya masih hidup di pikiranku — dia tidak benar-benar lenyap.
Dia akan hidup dalam setiap langkahku, dalam setiap darah yang kupompa untuk melawan Dewi Iblis itu, dan dalam setiap matahari yang kubiarkan tetap tidur.

Aku tidak menyelamatkan dunia demi manusia. Aku menyelamatkan dunia demi mengenangnya.

---


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama