Prolog: Dua Jiwa di Bawah Langit yang Terbakar


Musim gugur terakhir sebelum tanah Tiongkok benar-benar terbagi dua. Langit berwarna tembaga, asap membubung dari desa-desa yang baru saja dilalui pasukan Jepang. Di antara reruntuhan sebuah desa kecil di provinsi Shanxi, dua anak berlari di tengah kobaran api.


Meilin, sang kakak, berumur enam belas. Bajunya compang-camping, darah menetes dari pelipisnya. Di tangannya, ia menarik seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun: Haoran, adiknya.


“Tahan sedikit lagi, Ran,” bisiknya, napas tersengal. “Kita hampir selamat.”


Tapi takdir sudah menunggu di belokan jalan.


Sebuah peluru nyasar meledakkan pohon di samping mereka. Meilin terlempar ke semak-semak, Haoran jatuh ke tanah, tak bergerak. Ketika ia membuka mata, wajah-wajah asing menyambutnya: tentara Jepang, dengan sorot mata tanpa ampun.


Meilin sadar kembali di atas tandu, diangkut oleh pasukan berpakaian sederhana, bersenjata seadanya—pemberontak anti-Jepang, kelompok rakyat yang berjuang di balik bayang-bayang perang. Mereka memberitahunya: adiknya tak bisa diselamatkan. Ia hilang—mungkin tewas, mungkin ditangkap.


Tapi Meilin tahu hatinya: Haoran masih hidup.


Sejak malam itu, Meilin tak pernah berhenti mencari.


---


Bertahun-tahun berlalu. Di pegunungan Wu Dang, seorang wanita muda dengan napas dalam dan langkah ringan menari mengikuti angin. Rambutnya panjang, wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.


Ia bukan sekadar murid Taichi. Ia adalah Meilin, yang kini dikenal sebagai Murid Utama Guru Bai Chan, pewaris ajaran Taichi Langit Sembilan. Tapi lebih dari itu—Meilin telah mengetahui jati dirinya:


“Kau bukan sekadar anak desa,” kata gurunya suatu malam. “Kau adalah titisan Kwan Im. Sang Welas Asih yang diturunkan kembali saat dunia dikuasai oleh penderitaan.” Guru Bai Chan menepuuk pundak Meilin.


---


Di utara, di dalam istana dingin Changchun, seorang pemuda berdiri di depan cermin. Seragam Jenderal Manchukuo melekat sempurna di tubuhnya. Ia dikenal sebagai Jenderal Besar Hoshikawa Ren, tangan kanan Jepang, penumpas pemberontak, simbol kekuatan baru.


Setelah Haoran ditemukan oleh pasukan Jepang dan diidentifikasi memiliki kekuatan luar biasa, ia dibawa ke Changchun dan diberikan nama baru: Hoshikawa Ren. Nama yang dipilih untuk menandai kelahirannya kembali sebagai putra Manchukuo dan lambang kekaisaran boneka Jepang.


Sebagai Hoshikawa Ren yang telah dicuci otak oleh Jepang hingga hampir lupa masa lalunya, ia bukan lagi anak kecil yang lari dari pembantaian. Ia adalah jenderal muda yang tangguh, yang akan menjadi wajah dan tangan kekuasaan Jepang di Manchukuo.

Namun, dalam dirinya masih ada sisa-sisa Haoran yang asli—yang terkadang muncul dalam mimpi dan keraguan batin.


Namun nama aslinya… adalah Haoran.


Pikiran dan ingatannya telah dicuci. Tapi jiwanya, tak bisa dihapus seluruhnya. Dan itu yang membuatnya berbahaya.


Karena dalam dirinya, tertanam kekuatan lama: roh Yanwang, Dewa Keadilan dan Kematian, yang kembali ke dunia… tapi salah jalan.


---


Dua saudara. Dua jiwa. Dua jalan yang berseberangan.


Satu menuju cahaya.

Satu tenggelam dalam bayangan.

Tapi keduanya ditakdirkan untuk bertemu kembali.


Bukan sebagai saudara.


Tapi sebagai musuh dalam takdir kekaisaran terakhir.


---

Di balik bayang-bayang kekaisaran boneka Manchukuo, Jepang mengadakan rapat rahasia di Tokyo. Di antara para jenderal dan pejabat tinggi, beredar kabar tentang seorang anak laki-laki yang ditemukan di reruntuhan desa di utara.


Para perwira intelijen Jepang sudah menyaksikan sesuatu yang luar biasa:

Anak itu—Haoran—memiliki aura aneh, kekuatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa.


“Ini bukan sekadar anak biasa,” ujar seorang jenderal dengan nada serius. “Ada sesuatu di dalam dirinya. Kekuatan magis kuno, yang bisa menjadi senjata paling ampuh kita—atau bencana terbesar jika salah arah.”


Para pemimpin Jepang pun sepakat untuk mengambil langkah berbeda dari biasanya. Mereka tidak hanya ingin mengubahnya menjadi prajurit biasa, tapi mengolahnya agar menjadi simbol sekaligus alat kendali.


Maka, Haoran diperkenalkan kepada Gichin Funakoshi, sang master karate legendaris yang memang sudah dikenal di lingkaran militer Jepang sebagai guru yang mampu mendisiplinkan dan membentuk pemuda menjadi prajurit unggul. Namun Funakoshi juga dikenal memahami aspek spiritual dalam seni beladiri.

“Jika kau bisa mengasah kemampuan fisik dan jiwa anak ini,” kata seorang perwira Jepang, “kita bisa menciptakan pejuang sempurna—pahlawan yang akan membungkam pemberontak sekaligus menguatkan rezim boneka kita.”


Funakoshi menerima tugas itu, menyadari bahwa pelatihan ini bukan sekadar soal teknik, tapi juga pengendalian kekuatan mistis yang terpancar dari Haoran.


Untuk menambah legitimasi politik dan menjaga kontrol, Jepang memutuskan untuk menyerahkan Haoran secara resmi kepada Kaisar Puyi. Secara simbolis, Haoran diangkat sebagai anak angkat Puyi sekaligus Jendral Besar Kekaisaran Manchukuo, agar masyarakat Manchukuo dan dunia percaya bahwa pemuda ini adalah bagian dari garis kekaisaran—bukan sekadar boneka Jepang.


Puyi sendiri, yang sejak lama merasa terperangkap oleh takdir dan kekuasaan asing, menerima Haoran dengan hati berat.


 “Kau adalah harapan terakhirku,” bisik Puyi pada Haoran di sebuah malam yang sunyi. “Aku tak pernah meminta menjadi kaisar boneka, tapi aku akan melindungi kau seperti anak sendiri. Jangan biarkan mereka mengambil jiwamu.”


Puyi melihat dalam diri Haoran bukan hanya pewaris, tapi juga lambang penderitaan dan penyesalan yang selama ini membelenggunya.




Dengan status anak angkat kaisar dan murid langsung Funakoshi, Haoran menjalani latihan keras, dibentuk sebagai prajurit sekaligus simbol kekuasaan dan mistik. Ia dididik dengan disiplin ketat, namun selalu dipantau agar kekuatannya tidak melampaui kontrol Jepang.


Namun kekuatan magis yang ada di dalam dirinya tidak bisa dijinakkan begitu saja.


Dan takdir mulai berjalan, membawa Haoran menuju konfrontasi dengan masa lalunya sendiri—dengan kakak yang selama ini mencari dan menunggu dia.

Bab 1: Kekalahan dan Awal Baru

Musim semi tahun 1946 menyelimuti Beijing dengan udara dingin yang menggigit. Kota yang dulu megah kini berubah menjadi ibu kota dua dunia yang bertentangan. Di utara, bayang-bayang Manchukuo merayap perlahan ke jantung negeri. Di selatan, Republik Tiongkok di bawah Wang Jingwei berusaha mengukir namanya sebagai harapan baru. Di balik layar, kekuatan besar Jepang mengatur papan catur yang rumit, memastikan semua bidak bergerak sesuai kehendaknya.

Setelah Blok poros memenangkan perang dunia 2, Jepang dan negara-negara bonekanya menguasai bumi bagian timur sedangkan bumi bagian barat dikuasai oleh Nazi Jerman.

Puyi, Kaisar terakhir Qing, berdiri di balkon istana besar di Changchun. Mata mandarin kuno itu menatap ke cakrawala yang luas, namun jauh di dalam hatinya ada rasa getir yang tak terucapkan. Ia adalah simbol masa lalu, namun terjebak dalam peran boneka. Jepang telah mengembalikannya ke singgasana—bukan sebagai penguasa sejati, melainkan sebagai alat legitimasi.

Di sisi lain, Wang Jingwei mengumpulkan kabinetnya di Nanjing. Mantan pejuang nasionalis yang dulu menentang Jepang, kini ia menjadi pemimpin rezim boneka yang diakui oleh Negeri Matahari Terbit. Ia berbicara dengan suara penuh tekad, “Persatuan adalah jalan satu-satunya. Tapi persatuan di bawah bimbingan Jepang adalah satu-satunya yang memungkinkan kita hidup damai.”

Namun, di bawah kata-katanya, tersimpan ambisi yang membara. Wang ingin membuktikan bahwa ia bukan hanya boneka, tapi pewaris sah peradaban Cina modern. Ia bermimpi menyatukan kembali bangsa yang terpecah dan mengembalikan kejayaan masa depan—meskipun dengan biaya harga dirinya sendiri.

Di antara dua rezim itu, rakyat Cina hidup dalam ketidakpastian. Banyak yang membenci keduanya sebagai kolaborator, namun tidak sedikit yang memilih bertahan dan menunggu saat perubahan datang. Di desa dan kota, gerakan bawah tanah mulai bergerak, menanam benih-benih perlawanan yang kelak akan membakar seluruh negeri.

Di ruang-ruang rahasia Tokyo, para jenderal dan politikus Jepang memandang Cina sebagai ladang kekuasaan dan sumber daya yang tak ternilai. Mereka tahu, menjaga agar Manchukuo dan Republik Wang tetap terpisah dan saling bertentangan adalah strategi terbaik untuk mengontrol wilayah luas itu. Namun, mereka juga menyadari, ketegangan itu seperti bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi api perang.

Musim semi itu bukan hanya musim bunga yang merekah. Itu adalah awal dari babak baru perjuangan, intrik, dan pertempuran di negeri terbelah yang dipertaruhkan oleh ambisi dua manusia dan satu kekaisaran.


Waktu Haoran berusia 13 tahun, seorang guru dari Jepang tiba di Manchukuo: Gichin Funakoshi. sang pendiri Karate Shotokan. Meski sudah tua, ia diundang oleh militer Jepang untuk "melatih disiplin kekaisaran" pada para pemuda pilihan.


Puyi sendiri yang memilih Ren untuk dikirim ke pelatihan itu.


 “Karena jika aku tak bisa melindungi rakyatku dengan pena, mungkin kau bisa melindungi mereka dengan tanganmu.”


Funakoshi bukan pelatih kejam. Ia keras, ya—tapi terhormat. Di bawah bimbingannya, Haoran belajar karate bukan sebagai seni membunuh, tapi seni pengendalian diri.


 “Orang kuat bukan yang mengalahkan musuhnya, tapi yang bisa mengalahkan amarahnya,” kata sang guru.

“Jika kau berdiri sebagai pemimpin, kau harus bisa berdiri juga saat semua orang menunduk.”


Tapi militer Jepang tak suka prinsip itu. Mereka mencoba mendorong Ren jadi alat propaganda. Dan meskipun ia dilatih dalam disiplin Jepang, jiwanya tak sepenuhnya tunduk.


Kini, sebagai jenderal muda Manchukuo, Ren adalah simbol. Wajahnya di poster. Namanya dielu-elukan. Tapi di dalam hatinya, ia dihantui mimpi—mimpi seorang gadis remaja, dengan mata lembut dan suara samar yang memanggilnya dari gunung bersalju.


Ia tak tahu itu adalah Meilin, kakaknya.


Dan ia tak tahu bahwa di dalam tubuhnya mengalir roh Yanwang, yang haus keadilan... dan sedang bertarung melawan penjara ideologi yang dipaksakan padanya.


Di malam yang tenang, Puyi dan Ren berdiri di balkon istana.


Jika kau jadi penguasa suatu hari, Ren,” kata Puyi sambil menatap bulan, “jangan jadi aku. Jangan diam. Jangan jinak.”


Ren menunduk.


“Tapi... bukankah kaisar harus taat pada langit?”


Puyi tertawa lirih.


 “Langit tidak butuh taat, anakku. Langit butuh keberanian.”


Di balik tirai sutra merah yang menutup jendela kamar istana Changchun, Puyi duduk termenung. Cahaya lampu minyak menari di wajahnya yang tampak letih. Di depannya, Haoran berdiri dengan sikap tegap—namun matanya menyimpan keraguan yang tak terucapkan.


Puyi memandang anak angkatnya itu dengan lembut, namun ada kesedihan mendalam yang tersirat.


“Ren,” panggilnya pelan, “kau tahu aku bukan kaisar sesungguhnya. Aku hanyalah boneka dalam permainan yang jauh lebih besar.”


Haoran menunduk, tidak berani membalas.


“Kau adalah anak yang paling kupercayai di dunia ini,” lanjut Puyi, “namun aku takut... aku takut kekuatan yang mengalir dalam darahmu bisa menjadi pedang yang melukainya sendiri.”


Haoran terdiam. Sepanjang hidupnya, ia telah dididik sebagai prajurit, tapi tak pernah benar-benar tahu arti dari kekuatan yang dimilikinya—atau bagaimana mengendalikannya.


Puyi melanjutkan, “Wang Jingwei, orang itu... aku cemburu padanya, Ren. Ia punya suara rakyat, meski mungkin salah arah. Aku hanya punya tahta kosong dan bayang-bayang yang mengikuti setiap langkahku.”


Haoran mengangkat kepala, “Ayah Kaisar, aku ingin menjadi lebih dari sekadar bayangan. Aku ingin melindungi negeri ini, walau harus menghadapi segala kegelapan.”


Puyi tersenyum tipis, “Itulah yang membuatku bangga padamu. Tapi ingat, Ren, kekuatan besar datang dengan tanggung jawab besar. Jangan sampai kau kehilangan diri sendiri.”



Di luar istana, malam menyelimuti Changchun. Tapi di dalam hati Haoran, badai mulai mengamuk. Suara-suara masa lalu dan masa depan berbaur menjadi satu. Mimpi-mimpi tentang seorang gadis dengan mata lembut terus mengganggu tidurnya.

Bab 2: Politik Bayangan dan Persaingan Simbolik

Sejak usia 13 tahun, Ren menjalani pelatihan keras di bawah bimbingan Gichin Funakoshi, guru karate yang disegani dan dihormati. Funakoshi bukan hanya mengajarkan teknik bela diri, tapi juga filosofi dan kedisiplinan.


Funakoshi melihat potensi besar dalam diri Ren, bukan hanya dari sisi fisik, tapi juga kekuatan mistis yang terpancar dari jiwanya.

Kadang, dalam latihan, Funakoshi akan menegur Ren:


“Ren, kau harus mengendalikan amarahmu. Kekuatan terbesar bukanlah yang menghancurkan, tapi yang mampu menjaga keseimbangan.”


Di saat lain, sang guru berbicara tentang kehormatan dan pengorbanan:


 “Seorang pejuang sejati adalah dia yang berjuang bukan karena membenci musuh, tapi karena cinta pada kehidupan.”


Namun, Ren merasa terjebak di antara dua dunia. Pelatihan Funakoshi yang menanamkan nilai-nilai kedamaian dan pengendalian diri berseberangan dengan tugasnya sebagai jenderal yang harus membasmi pemberontak.

Ia sering merasa bersalah saat harus memimpin serangan, terutama saat mendengar tentang gerakan bawah tanah yang semakin kuat.


Meski Funakoshi adalah mentor dan figur ayah, Ren tahu bahwa guru dan rezim Jepang memiliki tujuan berbeda.

Funakoshi berusaha menjaga kemanusiaan Ren, tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menentang kehendak kekaisaran.


Suatu malam, setelah latihan panjang, Funakoshi mendekati Ren dengan suara pelan.


“Kau bukan hanya pejuang, Ren. Kau adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jangan biarkan dirimu terperangkap di masa kini yang gelap.”


Ren memandang guru yang dihormatinya itu dengan mata berkaca-kaca. Dalam hati, ia tahu perjuangannya belum berakhir—dan bahwa kekuatan mistis yang mengalir dalam darahnya bukan hanya berkah, tapi juga kutukan.

XXX

Ketika pagi pertama menyinari Nanjing, Wang Jingwei sudah duduk di mejanya, memeriksa laporan dari para pejabatnya. Di balik senyum yang terlatih dan tutur kata yang halus, ada kepanikan yang ia sembunyikan dengan rapi. Rezimnya bukanlah penguasa sejati, melainkan pion di atas papan catur Jepang yang lebih besar. Namun, Wang menolak menjadi sekadar boneka.


Dalam pidatonya di depan ribuan pendukung di alun-alun kota, Wang berusaha membangun citra sebagai penyelamat bangsa. "Kami membawa kedamaian dan harapan di tengah kegelapan perang," katanya, suaranya bergema penuh semangat. "Bersama Jepang, kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah untuk Cina!"


Di Changchun, Puyi mengamati situasi dari istananya yang megah namun sunyi. Para penasihatnya melaporkan aktivitas propaganda Wang yang semakin gencar, mencoba menarik simpati rakyat Cina yang masih merindukan persatuan nasional. Puyi tahu, legitimasi tradisionalnya sebagai Kaisar Qing tidak cukup untuk menghadapi Wang yang piawai berpolitik modern.


Maka dimulailah perang dingin yang tak terlihat: propaganda, spionase, sabotase kecil, dan diplomasi gelap. Kedua rezim berlomba menampilkan diri sebagai satu-satunya wakil sah Cina di hadapan Jepang dan dunia internasional.


Jepang, yang mengawasi persaingan ini dengan penuh kepentingan, sesekali memfasilitasi pertemuan rahasia antara para perwira militer Manchukuo dan pejabat Wang, mencoba menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun di balik layar, mereka bersiap menghadapi kemungkinan terburuk: jika perang antara dua rezim boneka itu meletus, Jepang harus memastikan bisa mengendalikan situasi dengan tangan besi.


Sementara itu, rakyat biasa hidup dalam kebingungan. Beberapa memilih bergabung dengan pasukan Wang demi janji stabilitas dan modernisasi. Sebagian lagi melihat Puyi sebagai simbol masa lalu yang harus dilestarikan, walau dalam status yang terbelah. Namun yang paling berbahaya adalah kelompok bawah tanah yang menolak kedua rezim dan Jepang, mengorganisir diri mereka menjadi perlawanan yang tersebar luas.


Di malam yang dingin, Wang Jingwei menatap peta Cina yang terbentang di dinding kantornya. Ia tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal wilayah, tapi soal masa depan bangsa yang terpecah-belah. Dan ia bersumpah, apapun yang terjadi, ia akan menjadi nama yang dikenang sebagai penyatu, bukan pecah belah.


Bab 3: Gerakan Bawah Tanah dan Ketegangan


Di sebuah desa kecil di perbatasan selatan Manchukuo, seorang pria tua menggali di kebun saat matahari hampir tenggelam. Dari balik tanah, ia menarik sebuah kotak kayu lapuk, isinya bukan emas atau harta perang, melainkan bendera merah dengan bintang kuning, usang tapi masih utuh. Ia menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca.


"Bendera rakyat," bisiknya. "Bendera sejati."


---


Jauh dari istana megah Puyi dan ruang pertemuan mewah Wang Jingwei, rakyat Cina mulai menggeliat. Gerakan bawah tanah yang selama perang besar tidur seperti bara, kini mulai menyala kembali.


Di wilayah utara, sebuah kelompok rahasia yang menyebut diri mereka "Sisa-Sisa Kiri" mulai melakukan sabotase terhadap jalur suplai militer Manchukuo. Mereka dulunya adalah sisa Tentara Merah Komunis yang bersembunyi ketika Mao Zedong gugur dalam invasi Jepang. Kini, mereka menyebarkan pamflet anti-Puyi dan anti-Jepang ke desa-desa, merekrut petani dan buruh yang muak dijadikan alat oleh kekuatan luar.


Di selatan, wilayah Wang Jingwei, kelompok lain muncul: "Persatuan Han Baru", kumpulan bekas loyalis Chiang Kai-shek, reformis muda, bahkan mantan simpatisan Wang sendiri yang kini kecewa. Mereka menuduh Wang telah menjual kedaulatan bangsa, dan memimpikan kebangkitan republik tanpa bayang-bayang Jepang.


---


Di Nanjing, intelijen Jepang melaporkan peningkatan aktivitas "subversif". Jenderal Hirose, perwakilan Tokyo di Cina selatan, memandang tajam laporan di mejanya.


"Perang mungkin belum terjadi di medan tempur," katanya kepada asistennya, "tapi sudah dimulai di kepala rakyat mereka."


Wang Jingwei tahu soal ini. Ia perintahkan penangkapan besar-besaran di universitas dan mencurigai pasukan Manchukuo diam-diam menyuplai senjata ke para pemberontak sebagai cara melemahkan rezimnya.


Di Changchun, Puyi merasa situasi memburuk. Ia menerima laporan bahwa tentara Wang menyusup ke daerah perbatasan timur, berpura-pura sebagai pedagang, padahal menyebarkan ide “Republik Bersatu”. Puyi mulai curiga—bukan hanya pada Wang, tapi pada Jepang sendiri. Apakah Jepang sengaja membiarkan api kecil ini membesar agar bisa turun tangan langsung?


---


Malam itu, untuk pertama kalinya sejak perang berakhir, radio gelap yang dipancarkan dari pegunungan barat menyiarkan suara asing:


“Bangkitlah rakyat Tiongkok. Kekaisaran palsu dan Republik palsu sama-sama musuhmu. Kami belum mati. Kami menunggu saatnya.”


Puyi mendengarkan siaran itu dalam diam, wajahnya membeku. Wang Jingwei memerintahkan pelacakan frekuensi. Jenderal Jepang menandai lokasi transmisi di peta, lalu hanya berkata,

“Biarkan mereka berbicara sebentar lagi. Dari kekacauan, kita akan temukan siapa yang patut dibinasakan.”


Perang dingin itu kini menyentuh tanah. Bukan lagi perang antara dua pria boneka, tapi antara masa depan yang belum ditentukan dan masa lalu yang tak mau mati.


---


Salju belum sepenuhnya mencair di perbatasan timur antara wilayah Manchukuo dan zona pengaruh Wang Jingwei ketika tembakan pertama terdengar. Bukan dari senapan resmi, tapi dari senjata buatan Soviet—diselundupkan entah oleh siapa. Mayat lima tentara muda ditemukan di sebuah hutan pinus, seragam mereka bercampur: dua dari Manchukuo, tiga dari pasukan lokal pro-Wang. Tidak ada penjelasan, tidak ada pengakuan. Hanya pesan yang dibakar separuhnya: "Ini bukan lagi perang kalian."


Puyi, mendengar kabar itu, menggelar rapat darurat. Ia memandang ke luar jendela istana Changchun yang dikelilingi dinding dingin dan bayang-bayang Jepang.


“Jika Wang yang memulai ini,” katanya pelan, “maka ini saatnya membalas... tanpa Jepang pun, jika perlu.”


Bab 4: Dua Api, Satu Negara


Angin musim semi membawa bau mesiu dan tanah basah. Di pegunungan barat Hubei, di dalam gua sempit yang dulunya digunakan Tentara Merah sebagai pos terakhir, sebuah kongres rahasia berlangsung. Lilin menyala, asap tembakau bercampur dengan bisikan. Di tengah ruangan, berdiri seorang wanita muda dengan bekas luka di wajah dan mata yang menyala seperti bara:


“Kita sudah lihat boneka berbicara seolah-olah mereka raja. Kita sudah lihat para pengkhianat menyebut diri mereka penyelamat. Tapi malam ini, kita tak lagi bersembunyi. Kita adalah api ketiga.”


Namanya Lin Xue, bekas kurir Tentara Merah. Ia kini memimpin faksi baru yang mencoba menyatukan“Sisa-Sisa Kiri” dan “Persatuan Han Baru”—dua kelompok yang sebelumnya bersaing. Ia tidak percaya pada Mao, tidak percaya pada Chiang, tidak percaya pada Wang ataupun Puyi. Tapi ia percaya pada satu hal: bahwa Cina harus kembali jadi milik rakyatnya sendiri.


---


Sementara itu, di Changchun dan Nanjing, kedua pemimpin boneka mulai kehilangan cengkeraman. Tentara yang dulu setia mulai membelot. Kota-kota kecil menyatakan “netralitas bersenjata.” Dan jaringan radio gelap mulai menyebarkan sebuah simbol baru—gabungan bintang merah dan matahari biru, dikitari tulisan:


“Satu negara, bebas dari kekaisaran dan koloni. Kami tak lagi diam.”


Puyi mengurung diri, hanya ditemani pelayannya yang setia dan sebotol sake. Di dinding, ia memandangi lukisan dirinya dalam jubah kekaisaran, lalu memutar radio lagi dan lagi, mendengarkan suara Lin Xue.


Wang Jingwei tidak tinggal diam. Ia mencoba menghubungi kelompok Persatuan Han Baru, menawarkan amnesti dan posisi politik, tapi tak ada jawaban. Di saat yang sama, para mahasiswa yang dulu ia lindungi kini membakar poster dirinya di jalanan.


---


Pada 15 Mei, sesuatu yang tak terduga terjadi: di kota Luoyang, sebuah garnisun Manchukuo dan satuan lokal pro-Wang justru berhenti bertempur, lalu bersatu. Mereka mengibarkan bendera merah-matahari biru baru itu dan menulis di gerbang kota:


“Kami hanya akan patuh pada suara rakyat. Bukan kekaisaran palsu. Bukan republik boneka.”


Berita itu menyebar cepat.


Tokyo panik.


Jenderal Hirose dipanggil kembali, dan digantikan oleh seorang pejabat sipil yang lebih “halus.” Tapi Lin Xue tahu, itu artinya satu hal: Jepang sedang mempersiapkan sesuatu. Sesuatu besar.


---


Di akhir bab, kita melihat Lin Xue menulis surat:


“Aku tak tahu apakah kita akan menang. Tapi untuk pertama kalinya sejak perang besar itu, kita tak lagi bertarung demi nama orang mati. Kita bertarung demi hidup kita sendiri.”


---



Namun para penasihatnya terbagi. Sebagian curiga kelompok ‘Sisa-Sisa Kiri’ yang mulai bertindak sendiri, mencoba memancing perang antarrebutan boneka. Sebagian lain justru mencurigai Jepang... menciptakan insiden kecil untuk memperkuat alasan menduduki kembali kedua wilayah secara terbuka.


---


Sementara itu, di Nanjing, Wang Jingwei gelisah. Ia telah memerintahkan operasi penyusupan ke timur hanya untuk propaganda, bukan penyerangan. Tapi situasi memburuk. Intelnya menyebut ada mantan jenderal Kuomintang yang kini memimpin operasi lapangan secara liar, tanpa kendali penuh dari pemerintah pusat.


“Bagian dari saya ingin menyerang balik,” ujar Wang pada Jenderal Hirose yang datang berkunjung, “tapi bagian lain sadar... setiap peluru yang dilepaskan bisa membuka jalan bagi pasukan Jepang untuk masuk sebagai ‘penjaga damai’.”


Jenderal Hirose hanya tersenyum tipis. “Terkadang, satu ledakan kecil lebih berguna daripada sepuluh tahun diplomasi.”


---


Di medan, ketegangan makin panas. Desa-desa di perbatasan terbagi: sebagian menyembunyikan pejuang gerilya, sebagian menyerah pada tekanan militer. Seorang pemuda dari “Persatuan Han Baru” tertangkap saat mencoba meledakkan jembatan suplai Manchukuo. Sebelum dieksekusi, ia hanya berkata:


“Tidak penting siapa menembak siapa. Asal semua saling menembak, Jepang akan panik. Dan kalau Jepang panik, mereka akan menunjukkan wajah aslinya.”


---


Akhir bulan itu, di sebuah perbatasan kecil bernama Gaotai, terjadi bentrokan besar pertama. Dua batalion saling klaim wilayah. Pertempuran berlangsung 11 jam, dengan artileri ringan dan dukungan udara terbatas dari Jepang—yang kali ini datang terlambat.


Ketika debu mengendap, lebih dari 200 orang tewas. Tidak ada deklarasi perang, tidak ada pernyataan resmi. Tapi dunia tahu: perang saudara sedang menetas di antara reruntuhan koloni.


---


Di Tokyo, para pejabat militer berselisih. Ada yang ingin mengintervensi penuh, mengganti kedua pemimpin boneka dengan wajah baru yang lebih patuh. Ada pula yang menyarankan membiarkan mereka hancur sendiri, lalu datang sebagai “penyelamat”.


Dan di balik layar, sebuah pesan lain disiarkan oleh radio gelap:


“Tunggu badai pertama. Lalu kita akan bicara di reruntuhan mereka.”


 Bab 5: Bayang-Bayang Intervensi


Langit di atas Laut Tiongkok Timur dipenuhi awan berat. Di pelabuhan Shanghai, sebuah kapal asing merapat diam-diam malam itu. Bukan kapal Jepang. Bukan kapal Inggris. Tapi kapal dagang Jerman—berbendera swastika, dengan lambung yang memuat lebih dari sekadar barang industri.

Senjata. Propaganda. Dan seorang "penasihat khusus" dari Berlin.


---


Dalam istana Wang Jingwei yang penuh ketegangan, sang pemimpin menerima tamu asing itu dengan senyum hambar. Ia tahu siapa mereka: utusan dari Berlin* yang kini secara resmi menyatakan “dukungan penuh untuk stabilitas dan kedaulatan pemerintahan Nanjing.”


Dibalik kata-kata diplomatik itu, tersimpan niat yang lebih gelap: Nazi Jerman menganggap Wang lebih bisa diajak bicara daripada Puyi Mereka ingin mengimbangi pengaruh Jepang, sekaligus membuka jalur pengaruh mereka sendiri di Asia Timur—melalui politik rasial, teknologi propaganda, dan taktik kontra-gerilya yang telah mereka uji di Eropa Timur.


Penasihat Jerman, Kolonel Krüger, menawarkan pelatihan intelijen, penataan kembali satuan milisi, dan sistem kamp interniran bergaya Gestapo untuk menumpas “elemen subversif”. Wang ragu, tapi juga putus asa. Ia menandatangani perjanjian awal.


 “Kita tak boleh kalah,” katanya kepada kabinetnya. “Jepang mempermainkan kita. Setidaknya Jerman membuat kita kuat.”


Di sisi lain, Jepang khawatir. Mereka tahu, jika Wang dikuatkan oleh Nazi, maka dominasi Jepang di Asia bisa tergoyahkan. Mereka segera meningkatkan kontrol di Manchukuo. Bukan hanya lewat pasukan, tapi lewat budaya, sekolah, dan simbol.


Puyi dipaksa menghadiri parade militer di Mukden, mengenakan seragam gaya Jepang, mengangkat tangan dengan gaya shinto. Di sekolah-sekolah Manchukuo, bahasa Mandarin dikurangi—diganti dengan bahasa Jepang. Anak-anak diajarkan bahwa Puyi adalah pemimpin surgawi, tapi Kaisar Jepang adalah ayah semesta.


Tapi upaya ini gagal total di lapisan bawah. Petani tetap menyembunyikan pamflet pemberontakan di bawah karung beras. Di antara para perwira muda Manchukuo, beredar desas-desus bahwa mereka akan dikhianati—dikirim ke medan perang sebagai umpan jika Jepang memutuskan turun tangan penuh.


Puyi sadar akan gelombang ketidaksetiaan itu. Ia mengumpulkan sekelompok loyalis—bukan kepada Jepang, tapi kepadanya pribadi Ia mulai berbisik tentang menghidupkan kembali Dinasti Qing tanpa Jepang, bahkan menawarkan pembicaraan rahasia dengan kelompok Lin Xue. Tapi Lin menolak.


“Kami tidak butuh kaisar baru. Kami butuh akhir dari segala boneka.”


---

Di Nanjing, parade militer dengan bendera swastika kecil berdampingan dengan bendera Tiongkok versi Wang. Di menara kontrol, Kolonel Krüger mencatat tiap langkah pasukan, dengan mata tajam.


Di Changchun, parade ulang tahun Kaisar Jepang, dengan Puyi berdiri di podium, namun Tangannya gemetar “Aku orang Tionghoa. Bukan boneka.”


Dan dari pegunungan barat, radio Lin Xue kembali bersuara:


“Mereka mendatangkan orang asing untuk mempertahankan tahta. Kita hanya perlu rakyat untuk merobohkannya.”

XXX

Sementara itu, di pegunungan Wu Dang, Meilin tengah melatih gerakan Taichi yang diajarkan gurunya. Ia tak tahu bahwa adiknya kini menjadi musuh yang paling berbahaya.


Perjalanan Haoran dan Meilin akan segera bertemu. Tapi sebelum itu, mereka harus berhadapan dengan bayang-bayang yang lebih besar: masa lalu yang tak terhapus dan kekuatan yang siap membakar negeri.


Di bawah bayangan Gunung Taihang, suara genderang bambu menggema ke seluruh lembah. Pasukan rakyat berkumpul—para petani, mantan serdadu, biksu-biksu dari kuil yang hancur, bahkan anak-anak desa. Mereka semua berkumpul di belakang satu sosok: Meilin.


Kini ia bukan hanya murid Taichi, tapi komandan spiritual dan simbol pemberontakan. Ia mengenakan pakaian putih sederhana, rambut dikuncir tinggi, dan matanya bersinar lembut tapi tajam. Di tangannya tidak ada pedang—hanya jurus dan niat yang tak tergoyahkan.


Di tengah medan pertempuran kecil di dekat Hebei, sekelompok tentara Jepang menghadang pasukan rakyat. Mereka datang dengan bayonet dan senapan, penuh keyakinan bahwa rakyat takkan mampu melawan.


Tapi Meilin melangkah ke depan, berdiri sendiri.


“Letakkan senjatamu,” katanya tenang. “Kalian takkan bisa menembus langit yang aku jaga.”


Para prajurit tertawa, menodongkan senapan. Tapi dalam satu tarikan napas, angin berubah.


Meilin mulai bergerak. Jurus demi jurus Taichi mengalir seperti air: lambat, tapi penuh tenaga dalam. Ia menggeser langkah seperti awan, dan saat lawan menyerang, ia membalikkan arah serangan mereka sendiri.

Tubuh-tubuh beterbangan tanpa ia menyentuh langsung. Angin yang dihasilkan dari gerakannya menciptakan tekanan udara, seperti tamparan langit.


“Ini bukan serangan biasa,” gumam seorang prajurit Jepang. “Ini... sihir!”


Di momen kritis, saat tembakan diarahkan ke arah anak-anak desa yang ikut mengungsi, mata Meilin menyala lembut keperakan. Sosok siluet seorang wanita berjubah putih muncul di belakangnya—bayangan Dewi Kwan Im.

Tangan Meilin bergerak seperti membelah udara. Senjata-senjata terlempar dari tangan lawan.

Tanah bergetar.

Bunga-bunga kecil mekar di bekas medan perang.

Para prajurit Jepang lari tunggang-langgang.


Kabar tentang "Perempuan Dewa dari Wu Dang" menyebar seperti api. Pasukan rakyat anti-Jepang kini berjumlah ribuan. Mereka berhasil merebut kembali wilayah dari utara Hebei hingga pinggiran Beijing.

Panji merah dengan simbol awan dan matahari terbit dibentangkan di atas gerbang kota kecil.


Jepang mulai panik. Mereka tahu ini bukan lagi soal perang biasa. Ini sudah menyentuh dimensi spiritual dan simbolik yang tidak bisa ditumpas dengan meriam.


Akhirnya, Tokyo memberi perintah khusus. Di sebuah siaran radio yang diterjemahkan ke bahasa Cina dan disebarkan lewat selebaran dari udara, Jepang mengumumkan:


“Kami tidak ingin menghancurkan rakyat. Kami ingin menunjukkan bahwa kekuatan sejati adalah kehormatan.

 Karena itu, kami menantang Meilin, sang pemimpin pemberontak, untuk duel tunggal.

> Wakil kami: Jenderal Muda Hoshikawa Ren.”


Meilin, yang sedang duduk bersila di dalam kuil rusak dekat Sungai Yongding, mendengar nama itu dan tubuhnya gemetar.


“Ren...?” bisiknya.

Dan dalam mimpinya malam itu, ia melihat bayangan anak kecil dengan wajah yang ia kenali—tapi dengan mata yang kini asing, tajam, dan penuh luka.

Dua kekuatan.

Dua saudara.

Dua kutub yang sama-sama diberkati—dan dikutuk—oleh langit.

Satu membawa kasih.

Satu membawa keadilan.

Keduanya dipaksa bertarung bukan untuk menang, tapi untuk menentukan masa depan Tiongkok.


Kabut pagi menyelimuti sebuah celah kuno di kaki Tembok Besar, wilayah yang dulunya dijaga dinasti, kini menjadi medan duel. Tanah ini tak berpihak—neither milik pemberontak, maupun Jepang. Tempat suci bagi duel kehormatan.


Dari arah utara, Meilin datang dengan langkah ringan. Pakaiannya putih sederhana, membawa hanya satu benda: sehelai pita merah dari masa kecilnya


Dari arah selatan, Hoshikawa Ren muncul dengan pasukan kehormatan kecil. Ia turun sendiri dari kudanya, membuka helm perangnya, dan melangkah maju. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai. Di pinggangnya, tergantung sabuk hitam karate.

Meilin berdiri diam, matanya tertuju pada sosok di depannya. Hoshikawa Ren sudah menanggalkan jubah komandannya. Ia hanya mengenakan seragam latihan hitam dengan simbol karate di dada. Kaki telanjangnya menapak tanah seperti akar bambu, tubuhnya tegak seperti pilar kuil Shinto.

Gichin Funakoshi berdiri jauh di sisi Jepang, mata tajamnya mengamati muridnya dengan berat hati. Di sisi lain, Guru Taichi Meilin hanya duduk diam, tangan di lutut, seperti biksu yang siap menerima takdir.

Meilin menatapnya.

“Haoran... itu kau?”


Ren tak menjawab.

Tatapannya menusuk, lalu melembut sejenak.

“Aku... bukan siapa pun dari masa lalumu. Aku adalah Hoshikawa Ren. Jenderal Manchukuo.”


“Jangan bohong pada darahmu sendiri,” jawab Meilin dengan tenang.



Tiga tabuh genderang dari arah pasukan Jepang.

Tiga sorakan lembut dari arah pemberontak.


Ren menyerang lebih dulu, gerakan karate-nya cepat, presisi, seperti badai tajam yang menyayat udara. Tendangannya melesat ke arah Meilin, tapi gadis itu memutar tubuhnya seperti daun jatuh. Jurus Taichi-nya bukan untuk melawan langsung, tapi  menyerap, mengalir, lalu memutar balik energi lawan


Tubuh Meilin seperti air. Tubuh Ren seperti batu.Tapi air yang cukup kuat bisa mengikis batu.


Mereka bertarung lama, dan setiap gerakan adalah puisi kemarahan, kerinduan, dan nasib.

Saat pertarungan mencapai puncak, mata Ren menyala merah darah. Di belakangnya, bayangan besar muncul: Yanwang, dewa dunia bawah, sosok berjubah hitam dengan mata api. Aura kematian menyelimuti tanah.


Namun Meilin berdiri, napasnya teratur. Di belakangnya, muncul siluet Dewi Kwan Im: berjubah putih, mata penuh belas kasih. Udara jadi sejuk. Bunga-bunga mekar di celah batu. Dua kekuatan dewa bertabrakan—bukan untuk membunuh, tapi untuk menguji keseimbangan semesta.


 “Kau bukan musuhku, Ren,” bisik Meilin. “Kau adalah doaku yang belum pulang.”


Gerakan Pertama: Batu Menyerang. Ren menyerang lebih dulu. Ia bergerak seperti panah, dengan  kihon (teknik dasar) yang sempurna:

Gyaku zuki—pukulan lurus ke tengah dada.

Mae geri—tendangan lurus ke perut.

Lalu uraken—pukulan balik cepat seperti cambuk ke pipi kanan.


Pukulan Ren berderak seperti petir, disertai teriakan khas karate, *"KIAI!


Meilin bergerak lambat. Tapi di balik lambat itu, ada kepekaan mutlak.


Ia miringkan tubuh, membiarkan pukulan lewat sepersekian inci dari wajahnya.

Tangan kirinya memutar lembut, mengarahkan tenaga pukulan ke tanah.

Kaki kanannya hanya bergeser sejari—cukup untuk menghindari tendangan mematikan.


---


Gerakan Kedua: Air Melawan Balik


Lalu, saat Ren hendak mengulang serangan, Meilin bergerak.

Tidak cepat, tapi mengalir seperti sungai turun dari gunung.


Jurus "Yun Shou" (Tangan Awan)

Tangannya melingkar seperti kabut, mengalihkan arah energi lawan.

Ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum Ren sendiri untuk membuatnya kehilangan pijakan.


Ren terlempar setengah langkah. Ia mencengkeram tanah, berdiri lagi, mata sedikit goyah.


-


Pertarungan Fisik Jadi Psikis.


Ren mulai frustrasi.


 “Kenapa kau tidak menyerang?! Ini bukan tarian! Ini perang!”


Meilin tidak menjawab. Ia hanya berkata,


“Karena tubuhku tak mau membunuhmu. Dan jiwaku belum menyerah.”


Ren menyerang lagi—kata beruntun (rangkaian serangan karate): pukulan, tendangan, lutut, siku. Setiap gerakan presisi, penuh niat menghancurkan.


Meilin mengalir.

Ia menghindar, menyerap, mengarahkan ulang tenaga.

Tangan kirinya memotong ke bawah, menjatuhkan pukulan.

Tangan kanannya menekan ke atas dada Ren dengan dua jari.


Ren terpental empat langkah. Tapi tidak cedera—hanya kehilangan keseimbangan total.


Saat Ren berdiri lagi, mata Meilin berubah perak samar. Angin berhenti.

Di belakangnya, bayangan Dewi Kwan Im muncul setengah transparan, tangan membentuk mudra kedamaian.


Ren merasakan tekanan aneh. Dada sesak. Kakinya berat.

Bukan karena teknik—tapi karena hatinya mulai retak.


 “Kenapa... aku merasa aku tidak ingin menang?”

 “Karena kau belum sepenuhnya lupa siapa kau.”.


Meilin menunduk, tangan siap menyerah.

Ren mengepalkan tinju, lalu perlahan melepaskannya.


“Kita belum selesai.”

“Tapi aku harap... kita tidak akan selesai dengan saling membunuh.”



Ren gemetar. Tangannya terhenti. Untuk pertama kalinya, ia mendengar suara yang tak diajarkan oleh Jepang.Suara yang berasal dari kenangan... suara kakaknya... suara hatinya sendiri.


Sebelum Meilin bisa mendekat, pasukan Jepang menembakkan artileri ke arah pemberontak. Pelanggaran terhadap perjanjian duel.

Tepat saat Meilin akan mengakhiri pertarungan dengan jurus "Badai Tanpa Bentuk",

dentuman meriam menggelegar dari kejauhan.

Langit terbakar oleh bom-bom dari pesawat Wang Jingwei yang didukung Jerman Nazi.

Pertempuran besar dimulai lebih cepat dari yang mereka kira.


Mereka saling menatap—keringat, napas, luka kecil, dan masa lalu

Meilin dipaksa mundur oleh pasukannya. Ren berdiri sendiri, tak ikut menyerang. Ia hanya menatap ke arah Meilin yang makin jauh… dan menggenggam pita merah yang dijatuhkan kakaknya di tanah.

XXX


Melihat ancaman dari barat, Jepang panik. Mereka tak siap menghadapi dua front sekaligus: pemberontak rakyat di selatan dan Wang Jingwei yang kini berubah menjadi musuh yang kembali dengan kekuatan baru.


Di saat genting itu, perwakilan militer Jepang dan para pemimpin pemberontak—termasuk Meilin—mengadakan perundingan rahasia di kuil tua di Shanxi.


“Untuk saat ini,” kata perwira Jepang, “kita punya musuh yang sama. Wang Jingwei lebih berbahaya daripada kalian. Ia ingin menjadi kaisar dengan darah rakyat.”


Meilin menyetujui gencatan senjata dengan satu syarat: rakyat di wilayah selatan yang mereka kuasai tak boleh disentuh. Jepang setuju, dengan tekanan dari Puyi—yang diam-diam masih menghormati keberadaan Meilin.


---


Di tengah kabut pagi yang menyelimuti pinggiran Hebei, Meilin dan Ren bertemu untuk terakhir kalinya sebelum masing-masing mundur: satu ke selatan, satu kembali ke istana.


Meilin berjalan mendekat, membawa satu kantong kecil berisi manik-manik putih dan merah—mainan masa kecil mereka.

 “Kita tidak selesai,” ucapnya. “Tapi... aku takkan membunuhmu, Ren.”


Ren menatapnya lama, mata yang dulu penuh kebanggaan kini diliputi kabut.


 “Aku masih tak tahu siapa aku. Tapi aku tahu satu hal...

 Jika ada orang yang bisa menghentikan dunia ini dari runtuh, itu... kau, kak.”

Mereka berpelukan. Diam. Tak ada senjata. Tak ada perintah. Hanya adik dan kakak.


Lalu Ren berbalik, jubah jenderalnya mengepak pelan tertiup angin.

Meilin menatap punggung itu hingga lenyap.



Pasukan pemberontak mundur dengan teratur ke selatan, membawa serta rakyat yang ingin mengungsi. Di belakang mereka, api membakar perbatasan Manchukuo dan China selatan.

Di utara, pasukan Nazi-Wang semakin mendekati Beijing.


Langit mendung menggantung rendah di atas lembah batu. Tanah berdebu, udara diam, burung pun menepi.

Bab 6: Kota yang Membakar


Nanjing, Mei akhir. Hujan turun tipis sejak pagi, menyelimuti ibu kota Wang Jingwei dengan kesan tenang. Tapi di balik ketenangan itu, api sedang dikumpulkan—bukan dari luar, tapi dari dalam. Mahasiswa yang kecewa, buruh yang ditindas, tentara yang lapar, semua mulai bicara dalam diam. Dan di tengah mereka, menyusup agen-agen Lin Xue.


Malam itu, ledakan mengguncang distrik selatan. Gudang senjata meledak. Api membumbung, sirene meraung. Tapi tidak ada yang datang memadamkan. Sebaliknya, kerumunan mulai berdatangan.


Pasukan keamanan Wang bereaksi terlalu lambat. Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, lima barak sudah dikuasai pasukan pembelot. Komandan militer distrik timur, Kolonel Lu Han—yang diam-diam menjalin kontak dengan kelompok “Persatuan Han Baru”—mengumumkan pemisahan diri dari rezim Wang.

“Kami bukan komunis. Kami bukan loyalis. Kami hanya ingin negara ini kembali kepada rakyatnya.”


Tembakan bersahutan di sepanjang Jalan Zhongshan. Poster Wang dibakar di depan universitas. Mahasiswa memegang bendera merah-matahari biru dan meneriakkan:

Hidup Tiongkok yang Merdeka! Turunkan boneka penjajah!”


Kolonel Krüger, dari balkon gedung konsulat Jerman, menyaksikan kekacauan itu. Ia langsung memerintahkan pasukannya mundur. “Orang Tionghoa tak bisa dikendalikan lewat ketakutan selamanya,” gumamnya. “Mereka sedang belajar cara membakar tuan-tuan mereka.”


Di dalam istana presiden, Wang bingung. Para menterinya bertengkar. Sebagian menyarankan panggil bantuan Jepang. Sebagian menyarankan evakuasi ke selatan. Tapi Wang tahu—jika ia kabur, ia akan dicap pengecut dan pengkhianat sejati. Maka ia memilih bertahan. Ia menulis pidato darurat, disiarkan dari radio nasional:


“Saya bukan boneka. Saya seorang nasionalis. Ini bukan akhir dari republik. Ini awal dari penertiban.”


Tapi siaran itu diputus di tengah kalimat. Sistem radio kota telah dikuasai para pemberontak. Dan dari celah siaran resmi, muncul suara lain. Tenang, tajam, dikenal rakyat:


 Suara Lin Xue menggelegar “Saudara-saudaraku di Nanjing. Jangan biarkan api ini padam. Jangan ganti satu tiran dengan yang lain. Rebut kota ini. Untuk kalian. Untuk kita semua.” 


Di Tokyo, perintah dikeluarkan. Armada Ketiga mulai bergerak ke Laut Tiongkok Timur. Peta dikerahkan. Target ditentukan: Nanjing dan Changsha.

“Jika boneka tak bisa berdiri, gantilah dengan pasukan. Kita akan ‘menertibkan Asia’ kembali.”


Puyi diberi tahu, dan wajahnya pucat. Ia sadar: setelah Nanjing dibakar, Changchun mungkin berikutnya.Tapi kali ini, bukan untuk mempertahankan dirinya. Jepang akan datang bukan untuk menyelamatkan, tapi mengambil alih.


Nanjing kini kota terbagi. Distrik utara dikuasai tentara setia Wang. Distrik tengah dikuasai pemberontak. Distrik selatan terbakar. Di gerbang kota, dua tank yang disita dari gudang senjata kini mengarah ke istana presiden. Seorang pemuda berdiri di atasnya, membawa bendera merah-matahari biru.


Dan di atas langit yang menggelap, pesawat Jepang mulai terlihat di kejauhan.

XXX

Malam sunyi di Istana Changchun. Angin dari utara membawa hawa dingin dari Siberia, membuat lentera bergoyang pelan di koridor batu.

Salju turun perlahan di atas istana kecil Changchun. Bukan istana megah seperti di Beijing masa lalu, melainkan versi sederhana dari kejayaan yang hilang, dikelilingi kawat berduri dan bayangan tentara Jepang. Di dalamnya, Kaisar Puyi duduk di kursi rotan tua, memandangi foto masa kecilnya bersama Empress Wanrong.

Di dalam paviliun tertutup salju, Puyi duduk berselimut jubah kekaisaran usang yang bahkan tak lagi dihormati oleh pengawal Jepang.

Di sampingnya, duduk seorang pemuda berusia sekitar 18 tahun. Seragam jenderalnya baru, tapi mata pemuda itu menatap penuh kehormatan dan ketegangan.


“Ayah Kaisar,” katanya pelan.

Puyi tersenyum sendu.

“Jangan sebut aku begitu, Ren. Aku bukan kaisar. Aku hanya... bayangan dari negeri yang sudah dijual.”


Setiap malam, Puyi bercerita pada Haoran—yang kini diberi nama Jepang “Ren” oleh perwira Jepang yang mengangkatnya sebagai anak negara. Tapi Puyi menolak melihat Ren sebagai alat. Ia membesarkannya  dengan kasih sayang yang tak pernah ia berikan bahkan kepada adik-adiknya sendiri.

Puyi menatap pemuda itu lama, lalu berkata lirih:


> “Tahukah kau, Ren... dulu aku naik tahta saat usiaku tiga tahun. Semua tunduk padaku. Tapi tak satu pun yang ku mengerti.”


Ia tersenyum pahit.


> “Aku bukan kaisar. Aku anak kecil yang ditaruh di takhta emas agar para jenderal dan penjilat bisa menyebut dirinya abdi langit... sambil menjarah negeriku sendiri.”


Ren diam, menunduk.


> “Lalu datang Jepang. Mereka menjanjikan kebangkitan. Mereka bilang aku bisa jadi Kaisar lagi—di sini, di Manchukuo. Tapi apa yang kudapat?

Takhta tanpa kuasa. Lagu kebangsaan tanpa rakyat.”


Puyi membuka laci kayu, mengeluarkan sehelai surat kuno, ditulis dengan tinta merah dan emas.


 “Ini... surat penobatan. Aku sudah menandatanganinya. Bila aku mati—kau, Ren, akan menjadi Kaisar berikutnya. Kaisar Manchukuo... atau... sesuatu yang lebih besar.”


Ren mengangkat kepala, terkejut.


 “Aku? Tapi aku... bukan darah Qing.”


Puyi tertawa kecil, lalu batuk keras.


“Kau lebih dari darah. Kau adalah penebus. Aku tak pernah punya anak, dulu punya tapi meninggal. Tapi kau... adalah harapanku.”


Puyi mendekat, suaranya menurun seperti bisikan hantu:


“Ren... Jepang melemah. Wang Jingwei haus kekuasaan. Tapi rakyat... mereka tak percaya pada siapa pun lagi.”


Ia menggenggam tangan Ren.


“Mereka akan percaya pada lambang yang lama, jika datang dengan wajah baru.”


Ren terdiam.


 “Kau ingin aku... membangkitkan Qing?”


“Tidak seperti dulu. Bukan kekaisaran dari emas dan pelacur politik. Tapi sebuah kerajaan spiritual dan moral.Kau harus memimpin rakyat, bukan memperbudak mereka.”


Puyi berdiri dengan susah payah, lalu menatap langit.


 “Kita tak bisa terus jadi boneka Jepang. Dan kau tahu sendiri, Wang Jingwei adalah ular berbisa.

Hanya satu jalan: kau harus bangkit bukan sebagai panglima Jepang, tapi sebagai kaisar Tionghoa. Dan untuk itu, kau harus menangkap hati rakyat—bahkan jika itu berarti... melawan Jepang itu sendiri.”


Ren menatap wajah Puyi: lemah, tapi bercahaya.

Ia melihat seseorang yang tak ingin mati sebagai simbol kekalahan, tapi benih harapan terakhir.


 “Lalu bagaimana dengan kakakku?”


 “Kalau dia masih percaya padamu... maka mungkin, langit masih mau memaafkan kita semua.”


Malam itu, Ren berdiri lama di balkon istan, menatap bintang-bintang.

Di dadanya masih tergantung pita merah dari Meilin.

Di tangannya, surat wasiat yang menyatakan dia sebagai Kaisar berikutnya.


Di pikirannya... bukan lagi Jepang, bukan lagi Manchukuo,

tapi Tiongkok yang belum pernah ada:

satu negeri bersatu... yang hanya bisa dibangun oleh dua saudara yang hampir saling membunuh.

“Wang Jingwei... ia punya suara. Aku punya mahkota. Tapi ia lebih didengar,” gumam Puyi sambil menatap langit. “Mereka menjadikanku lambang, tapi bukan pemimpin. Aku duduk di tahta, tapi tak pernah punya tanah. Kau tahu, Ren? Kadang aku iri padanya. Ia... bebas memilih pengkhianatan. Aku hanya dijebak olehnya.”

Ren berdiri di seberangnya, diam, mendengarkan.

“Ren…” suara Puyi lirih tapi jelas, “ada sesuatu yang harus kau tahu sebelum aku mati.”

Ia mengambil gulungan dengan stempel kekaisaran Jepang dan menggelar pelan di depan Ren. Di atas kertas itu tercatat perjanjian tahun 1934, saat Jepang masih menjanjikan restorasi penuh Dinasti Qing setelah mereka menguasai Tiongkok melalui perang Asia Timur Raya.

“Mereka datang padaku, para jenderal dari Tokyo. Mereka berkata: 'Tolong tenangkan rakyat Han. Setelah perang selesai, seluruh tanah Tiongkok akan kami kembalikan padamu. Qing akan bangkit, dan Jepang hanya akan menjadi penjamin stabilitas.'”

Puyi tersenyum hambar, penuh getir.

“Aku percaya. Atau mungkin, aku ingin percaya. Aku pikir, mungkin aku bisa menebus kegagalanku sebagai kaisar kecil yang dijatuhkan terlalu dini…”

Ia menunjuk peta Tiongkok yang digantung di dinding. Separuh bagian timur laut disorot tinta merah, wilayah Manchukuo. Tapi selatan—dari Nanjing ke Guangzhou—ditandai dengan tinta hitam dan cap Nazi kecil di pojoknya.

“Lalu Perang Dunia berakhir. Jepang menang… tapi tidak mempercayakan negeri ini pada Qing.”

Ren menatap peta itu dengan dahi berkerut.

“Sebaliknya,” lanjut Puyi, suaranya meninggi, “mereka memberi dua pertiga Tiongkok kepada Wang Jingwei! Kepada seorang politisi licik yang bahkan tak punya darah ningrat! Mereka menyebutnya strategi pengendalian dua kutub—Manchukuo untuk militer, Nanjing untuk administrasi dan ekonomi.”

Ia meninju meja dengan lembut, seperti meninju kenangan.

“Kau tahu kenapa, Ren? Karena Jepang tak ingin satu Tiongkok. Mereka ingin negeri ini terbelah selamanya, mudah dikendalikan, saling curiga. Boneka di utara, boneka di selatan. Dan rakyat? Dibiarkan bertarung satu sama lain seperti binatang di kandang besi.”

Ren menatap surat-surat itu, mulutnya mengering. Janji kejayaan Qing ternyata hanya alat propaganda. Ia merasa tubuhnya digerogoti kemarahan yang selama ini terkunci di dadanya.

“Kenapa kau ceritakan ini padaku sekarang?” tanyanya pelan.

Puyi menatap lurus ke matanya.

“Karena aku tak punya anak. Dan karena aku tahu… meski mereka mengubah namamu, mendandanimu dengan seragam Jepang, dan melatihmu untuk menjadi alat mereka, di tubuhmu mengalir darah tanah ini. Aku memilihmu, Ren. Aku ingin kau ambil alih, tapi bukan untuk jadi boneka sepertiku. Aku ingin kau menyalakan ulang api yang mati. Bukan kekaisaran, bukan republik. Tapi kebenaran.”

Ia menggeser gulungan surat wasiat ke arah Ren. Di sana, tertulis dengan tinta hitam:

“Jika Kaisar Kangde wafat, maka Zhao Haoran, putra bumi, akan mewarisi tahta Manchukuo…”

Tapi Ren tak langsung menyentuhnya. Ia menatap peta, lalu berkata dengan suara berat:

“Aku tidak akan menjadi kaisar boneka lain. Tapi aku akan menjadi akhir dari permainan boneka ini.”

Haoran—Ren—tak tahu harus menjawab apa. Tapi tiap malam, ia mendengarkan. Ia mulai mencintai Puyi bukan sebagai Kaisar, tapi sebagai ayah, yang terus-menerus dihantui penyesalan terhadap rakyatnya dan kekuasaan Jepang yang makin tak terkendali.

Tiga hari setelah duel Meilin dan Ren di bawah Tembok Besar, langit Beijing berubah warna. Bukan karena cuaca—tapi karena pesawat-pesawat berlogo swastika Naz kini membelah udara dari arah barat daya.


Wang Jingwei, yang selama ini tunduk di bawah bayang-bayang Jepang, membalikkan keadaan Dengan dukungan logistik dan udara dari Nazi Jerman, ia mengerahkan Pasukan Pan-Han—tentara bayaran, bekas loyalis Kuomintang, dan milisi Han garis keras—menuju wilayah timur laut Manchukuo.


“Hari ini, aku bukan lagi pengikut Jepang,” ucap Wang dalam siaran radio. “Hari ini, aku adalah suara terakhir bangsa Han!”

Salju turun diam-diam. Di halaman belakang istana, Ren berdiri sendirian, memegang seragam militernya yang telah menemaninya selama bertahun-tahun: seragam hitam dengan lambang kekaisaran Jepang dan pangkat jenderal Manchukuo.


Dari balik gerbang, tidak ada suara. Semua pasukan telah pergi bertempur ke Beijing atau ditarik ke pangkalan. Puyi telah hilang. Diduga ditangkap atau dibunuh saat melarikan diri ke arah barat.


Ren berdiri di atas lapangan batu yang beku, di tangan kirinya ia menggenggam surat wasiat dari Puyi. Di tangan kanannya, obor.


Aku bukan Hoshikawa.

Aku bukan jenderal Jepang.

Aku bukan alat dari kerajaan asing…”


Ia menarik napas panjang.


“Aku juga bukan pewaris tahta. Tapi aku adalah—manusia yang tidak mau lagi dibungkam oleh sejarah orang lain.”


Obor menyentuh ujung lengan seragam.


Api menjalar cepat, membakar lambang kekaisaran Jepang, bendera matahari, pangkat kehormatan, dan semua ilusi yang pernah ia percaya.


Ren tak berpaling.. Ia menatap apinya sampai seragam itu menjadi abu.


“Namaku bukan Hoshikawa Ren.”

 “Aku adalah... Zhao Haoran. Pewaris tanah ini. Putra dari rakyat yang terluka. Saudara dari Meilin.”


Tank-tank bergerak, artileri berat menghantam Changchun, dan pos-pos Jepang di timur mulai runtuh satu demi satu.

XXX

-

Bab 7: Di Bawah Bayang-Bayang Kunlun — Meilin dan Sekte Pemberontak


Di tengah rimbunnya hutan pegunungan Kunlun, kabut pagi menyelimuti pepohonan tinggi yang berdiri kokoh. Udara dingin menyapa lembut wajah Meilin saat ia melangkah menyusuri jalan setapak menuju sebuah pagoda tua yang berdiri sunyi di antara pepohonan. Tempat itu adalah markas Sekte Kunlun, kelompok pemberontak yang selama ini bersembunyi dan menolak tunduk pada penjajahan Jepang maupun rezim Wang Jingwei.


Meilin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih penuh waspada. Ia tahu, dalam dunia yang penuh pengkhianatan, kepercayaan adalah barang mahal. Namun, yang menyambutnya di halaman pagoda bukan hanya para pendekar yang siap berperang, melainkan sosok yang membuatnya sedikit terkejut.


Lao Zhang, pria paruh baya berotot besar dengan sorot mata penuh ketegasan, berdiri di depan barisan pendekar Sekte Kunlun. Ia adalah master Baijiquan yang dihormati, pemimpin yang bijaksana dan penuh wibawa.


Di dekatnya berdiri seorang pemuda seumuran Meilin, berpostur sedang dan lincah, dengan mata yang penuh perhatian. Namanya Wei Jun, penguasa Wing Chun yang sejak awal menunjukkan sikap protektif pada Meilin. Sesekali ia melirik dengan senyum malu-malu, tapi tetap penuh hormat.


Saat perkenalan berlangsung, Meilin tetap tenang, menahan rasa curiga yang biasa menghinggapi hatinya. Namun, perlahan ia merasakan kehangatan dari Wei Jun yang tidak pernah memaksa, melainkan hanya hadir sebagai teman sejati.


Hari-hari berikutnya dihabiskan Meilin berlatih Tai Chi dan jurus-jurus sakti Dewi Kwan Im, sementara sore hari ia mengikuti latihan Baijiquan bersama Lao Zhang dan Wing Chun dengan Wei Jun. Setiap gerakan yang mereka lakukan memancarkan keindahan sekaligus kekuatan, seolah menyatukan seni dan semangat perlawanan dalam satu tarian maut.


Suatu sore saat langit jingga mulai merunduk, Wei Jun menatap Meilin dengan tulus. “Jurusanmu sangat kuat, Meilin,” ucapnya. “Tapi di Kunlun, kita bertarung bukan hanya untuk menang, tapi agar bisa berdiri untuk sesuatu yang lebih besar.”


Meilin mengangguk, hatinya mulai membuka sedikit demi sedikit. Dia merasakan, di tempat ini, ia menemukan keluarga baru—orang-orang yang sama-sama mendambakan kebebasan dan keadilan.


Namun kedamaian itu tak berlangsung lama. Kabar tentang gerakan "Langit Tengah" yang dipimpin Ren sampai ke telinga mereka, dan kabar buruk tentang mata-mata Wang Jingwei yang mulai mengintai.


Lao Zhang memperingatkan dengan suara berat, “Kita harus siap, Meilin. Perang ini bukan sekadar soal kekuatan, tapi juga hati dan jiwa. Jangan biarkan mereka memecah belah kita.”


Di penghujung hari, Meilin berdiri di puncak bukit Kunlun, angin menerbangkan jubahnya yang tipis. Di sampingnya, Wei Jun dan para pendekar Kunlun lainnya menatap jauh ke cakrawala.


Meilin berkata, “Ini bukan lagi perjuangan sendiri. Kita adalah satu gerakan. Satu kekuatan yang tak bisa dilawan.”


Di tengah latihan pagi yang penuh semangat, dua sosok perempuan muncul seperti badai di markas Sekte Kunlun—mereka adalah Lin Xue dan Fang Rui, dua pendekar yang dikenal sebagai “Dua Macan Kunlun.”


Lin Xue adalah wanita berambut panjang hitam legam yang diikat rapi, dengan mata tajam penuh tekad. Ahli dalam Shaolin Drunken Boxing, gaya kungfu yang terlihat seperti menari dalam pengaruh anggur tapi sangat mematikan. Gerakannya lincah dan tak terduga, selalu menyembunyikan serangan mematikan di balik tawa dan canda.


Meski ramah, Lin Xue punya sifat keras kepala dan tak mudah menerima arahan. Dia sering berselisih pendapat dengan Fang Rui, terutama soal strategi dan cara melatih anggota baru.


Fang Rui adalah sosok lebih kecil dan lebih gesit, dengan rambut pendek dan ekspresi tajam. Dia penguasa Bagua Zhang, seni bela diri yang mengandalkan kelincahan, gerakan melingkar, dan teknik mengelak yang sempurna. Fang Rui dikenal disiplin dan perfeksionis, terkadang terlalu serius sampai membuat Lin Xue gemas.


Hubungan Fang Rui dan Lin Xue seperti dua kutub yang saling tarik menarik. Mereka sering bertengkar sengit, tapi saat beraksi di medan pertempuran, sinergi mereka tak tertandingi. Mereka juga teman dekat Meilin, sering bertukar teknik dan cerita.


Ketiganya, Meilin, Lin Xue, dan Fang Rui, sering terlihat bersama di bawah naungan pohon tua, saling menantang dan melengkapi, membentuk trio pemberontak yang kuat dan penuh warna 


XXX

Bab 8: Wang Jingwei Menyulut Neraka


Langit Beijing berwarna merah darah saat deretan panser buatan Jerman dan pesawat Luftwaffe menderu ke utara.

Wang Jingwei tak lagi menunggu. Ia menyerang.

Di belakangnya, selain pasukan Nazi dan pasukan Pan-Han, Wang membawa sesuatu yang bahkan membuat jenderal Nazi hening ketakutan:

“Tujuh Pendeta Yinyang”, kelompok okultis sesat yang telah ia bangkitkan dari kuil bawah tanah di Henan. Mereka menguasai ilmu sihir hitam Dinasti Qin dan konon bisa memanggilroh-roh perang dari ribuan tahun lalu.

“Jepang dan Manchukuo adalah abu,” kata Wang kepada bawahannya.

“Sudah saatnya dunia kembali ditaklukkan oleh kekuatan sejati: kehendak manusia, bukan langit.”

Beijing dikepung dari tiga arah. Jepang terpukul mundur, dan Puyi terpaksa mengungsi ke kuil tua di luar kota.

Namun sebelum itu, ia menyampaikan pesan terakhir kepada Ren:

 “Kau adalah darah terakhir dari kehormatan. Jika aku mati, hidupkan kembali langit itu dengan pilihanmu sendiri.”

Di sisi militer Jepang, Ren mulai bermain dua peran.


Secara resmi, ia masih Jenderal Hoshikawa, pemimpin pasukan elit Manchukuo. Tapi di balik layar, ia mulai mengumpulkan orang-orang yang setia bukan kepada Jepang, tapi kepada rakyat Tiongkok—mereka yang ingin menyelamatkan tanah ini dari kekacauan dua penjajah: Wang dan Jepang.


Ia menyusun kelompok rahasia bernama:

"Langit Tengah", terdiri dari eks tentara Qing, pemberontak yang dibebaskan diam-diam, dan bahkan beberapa biksu dari Wu Dang yang diam-diam datang mendukung.


---


Sementara itu di selatan, Meilin mulai kehilangan kendali.

Setiap malam ia bermeditasi di bawah air terjun, namun suara-suara dari langit, Dewi Kwam Im yang bersemayam ditubuhnya kini membisikkan sesuatu yang tak ia mengerti.


“Langit akan runtuh jika kamu terus menunggu,” kata bisikan itu.

“Saudara atau bukan, sang Kaisar Bayangan harus dihentikan sebelum terlambat.”


Guru Hua memperingatkannya:


 “Wang Jingwei bukan manusia biasa. Ia bukan hanya haus kekuasaan, tapi... tubuhnya mulai dikuasai oleh entitas yang lebih tua dari sejarah.”


Wang Jingwei berdiri di atas altar batu di Kuil Surga yang terbakar.

Di sekelilingnya, roh-roh jenderal kuno dari zaman Dinasti Zhou bangkit dari tanah—dirantai oleh mantera hitam para Pendeta Yinyang.


“Aku akan jadi Kaisar Dunia,” teriak Wang, “dan kalian semua... akan memilih antara tunduk atau terbakar bersama langit!”


---


Dunia makin kacau. Jepang dan pemberontak yang sebelumnya saling bunuh, kini menghadapi musuh yang jauh lebih gelap.

Meilin di selatan. Ren di utara.

Keduanya tak sadar bahwa dalam waktu dekat... mereka tak akan punya pilihan selain bertarung di sisi yang sama.


Keesokan harinya, Ren muncul di tengah barak bekas markas pasukan elit Jepang. Ia mengenakan baju petarung abu-abu polos, lambang Qing kecil tergantung di lehernya—bukan sebagai simbol kekaisaran, tapi simbol perlawanan moral.


Di hadapannya, dua ratus tentara muda Manchukuo berdiri bimbang.


Ren melempar surat wasiat Puyi ke tanah.


“Ini bukan perintah kekaisaran. Ini adalah permintaan dari seorang ayah tua yang akhirnya sadar dia sudah membuat terlalu banyak kesalahan.”


“Jika kalian ingin terus tunduk pada Jepang... pergi. Tapi jika kalian ingin membela tanah air ini untuk anak-anak yang belum lahir, maka ikutlah denganku.”


Setengah dari pasukan berlutut. Setengah lainnya menunduk dan pergi.


Ren tidak tersenyum. Ia hanya menatap ke timur, ke arah Beijing,

lalu ke selatan—ke arah Meilin.


Malam itu, ia mendirikan markas kecil di dalam kuil tua Tao yang terbengkalai. Di sanalah lahir gerakan:


Langit Tengah” (Zhongtian) sebuah faksi rahasia yang bukan mendukung kekaisaran, bukan pula komunisme—

melainkan kebangkitan budaya, spiritualitas, dan kemanusiaan Tiongkok


---

Satu Kalimat Terakhir Sebelum Langit Pecah


Saat menulis jurnalnya di malam hari, Ren menulis:


Jika nanti aku mati di tangan kakakku, itu lebih baik daripada hidup sebagai hamba Jepang.”


-


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama