XXX

Di awal segalanya, dunia terbentuk dari suara.


Para Dewa—entitas abadi yang dilahirkan oleh kepercayaan, mitos, dan ketakutan manusia—mengatur realitas melalui kehendak dan simbol. Mereka bukan hanya penguasa langit, laut, dan kematian, tetapi penjaga makna. Thor menumbangkan musuh dengan petir karena manusia percaya itu. Ra mengusir kegelapan karena manusia menyembah matahari. Dewa ada, karena manusia percaya.


Namun waktu berubah.


Peradaban manusia berkembang, dan kepercayaan bergeser. Mitologi menjadi dongeng. Doa berubah menjadi data. Dan dari puing-puing kitab suci dan mantra, bangkitlah kekuatan baru: fiksi.


Penulis-penulis besar—mereka yang tidak lagi menulis untuk menyembah, tapi menciptakan—secara perlahan mengambil alih bentuk realitas. Cerita-cerita mereka bukan hanya kisah pengantar tidur; mereka menjadi kerangka dunia baru. Karya-karya seperti 1984, Harry Potter, Metamorphosis, dan Bumi Manusia, mulai membentuk cara manusia memandang dunia. Bukan Dewa yang mendikte manusia lagi... tapi kata-kata dari manusia sendiri.


Dan kata-kata memiliki kekuatan lebih besar dari petir.


Selama berabad-abad, Dewa mengamati, menahan amarah mereka. Tapi kini, eksistensi mereka mulai memudar. Di altar, tak ada lagi pujian. Di kuil, hanya debu. Tapi di toko buku, perpustakaan, dan server digital, nama para penulis hidup abadi. Realitas dibentuk bukan oleh iman... tapi oleh imajinasi.


Dewan Dewa dari seluruh mitologi—Norse, Mesir, Hindu, Jepang, Yunani, bahkan entitas yang tak bisa disebut namanya—berkumpul untuk memutuskan:


“Umat manusia telah menjadi pencipta. Dan pencipta yang sombong harus diturunkan dari singgasananya.”


---


Namun di tengah rencana pemusnahan itu, muncullah seorang manusia—seseorang yang hidup di tengah dunia modern namun mengerti betul kekuatan konflik dan pertunjukan:Dana Wyte, CEO organisasi pertarungan terbesar dalam sejarah manusia, GFC – Gods Fighting Championship.


Dana berdiri di hadapan Dewan Dewa dan berkata:

“Jangan hancurkan kami. Beri kami kesempatan.

Biarkan kami bertarung, seperti dulu para ksatria dan raksasa.

Pilih petarung kalian. Dan kami akan memilih milik kami.

Bukan dari barisan tentara atau raja...

Tapi dari mereka yang telah membentuk dunia lewat kata:

para penulis.”


---


Dan dengan itu, lahirlah turnamen terbesar dalam sejarah multiverse.


Satu arena, satu pertempuran pada satu waktu.

Dewa melawan penulis. Mitos melawan fiksi.

Jika manusia menang—mereka bebas. Jika kalah—mereka dihapus.


Ini bukan sekadar pertarungan kekuatan.

Ini adalah perang ide.

Karena siapa pun yang menang,

akan menulis ulang kenyataan.


---


Pantheon Arena dibuka.

Pertarungan dimulai.

XXX

1 juta tahun lalu ada perang antara malaikat dan dewa karena malaikat menganggap para dewa membuat manusia tak lagi menyembah tuhan, akhirnya salah satu buku kehidupan malaikat terjatuh ke alam manusia dan tak sengaja ditemukan anak kecil yang baru saja kehilangan ibunya, dia menulis nama ibunya dan tiba tiba ibunya hidup kembali , namun malaikat yang menyadari itu mendatangi anak itu dan memintanya mengembalikan buku, tapi anak kecil itu menolak , malaikat itu lalu pergi dan mengingatkan konsekuensi buku itu, 10 tahun kemudian ada para dewa yang ingin memusnahkan manusia karena memberontak menantang manusia berduel dengan mereka, karena anak itu memiliki buku yang dapat menghidupkan orang mati maka dia bisa menghidupkan kembali tokoh tokoh sejarah untuk melawan para dewa 

XXX

BAB 1 – The Absurd vs The Thunder

Arena itu lebih besar dari stadion manapun yang pernah dibangun manusia. Cahaya menyinari dari atas langit buatan, sementara lantai oktagon bergetar pelan oleh kekuatan yang belum dilepaskan. Di tengahnya, mengambang di udara, layar-layar raksasa menampilkan wajah para penonton—tidak hanya manusia, tapi juga makhluk dari dimensi lain, dewa-dewa kecil, entitas purba, dan... alien?

Di tengah semua itu, suara berat menggema dari pengeras suara universal.

“Selamat datang... di Pertarungan Awal Turnamen GFC,
di mana eksistensi umat manusia akan dipertaruhkan,
satu nyawa demi satu nyawa.”

Di sisi kiri arena, pintu logam terbuka perlahan. Asap tipis mengepul dari celah-celahnya. Dari balik kegelapan, seorang pria kurus melangkah keluar. Jas panjangnya berkibar pelan, dan sorot matanya seperti menyimpan seribu pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab.

 “Mewakili umat manusia... sang penulis ketakutan eksistensial,
 pemilik kekuatan ‘Metamorfosis’...
Franz Kafka!”

Ia tidak berlari. Tidak melambai. Tidak tersenyum. Ia hanya berjalan, seakan dunia di sekitarnya hanyalah mimpi buruk yang harus dilalui. Tapi di tangannya, naskah tua tampak berpendar lemah—buku kecil tempat kekuatannya bersumber. Kata-kata bisa mengubah dunia. Dan ia tahu itu.

Tiba-tiba, arena berguncang. Suara petir memekakkan telinga, dan langit buatan retak seketika. Kilatan menyambar pusat arena, menghantam lantai dan meledakkannya ke udara.

Dari kilatan itu, seorang pria raksasa muncul. Rambut pirangnya terurai, palu besi sebesar mobil tergenggam di tangan kanannya.

“Dan dari pihak Dewa... Putra Odin, Pembawa Petir,
 dewa perang dan badai...
THOR *”

Sorakan dari tribun meledak. Para entitas yang memuja mitologi Nordik berdiri. Thor tidak melangkah, ia menghentakkan palunya ke tanah. Petir menyambar sekelilingnya, membuat udara bergetar dengan aroma ozon dan kematian.

Di ruang komentator, suara Dana Wyte terdengar tenang namun antusias:

“Pertarungan dimulai. Kata-kata melawan kekuatan ilahi.
Absurditas melawan dewa perang.
 Ayo lihat, siapa yang menulis akhir dari cerita ini.”

---

[Countdown dimulai...]

3...

Kafka membuka naskahnya. Tinta di halamannya mulai menyala, kalimat mengambang di udara.

2...

Thor mengangkat palunya, dan dari langit buatan muncul awan badai yang tak wajar—seolah cuaca tunduk padanya, meski ini hanya simulasi dimensi.

1...

Kafka berbisik pelan, kalimat pertamanya terdengar absurd namun menggema dalam ruang realitas:

“Seekor serangga bangun dan menyadari dunia telah berubah.”

START!

Thor melompat seperti petir hidup, palunya menghantam lantai tempat Kafka berdiri. Tapi sebelum pukulan itu mendarat—lantai telah menghilang, digantikan koridor sempit dari kayu tua, seperti kamar tua di Eropa abad ke-19.

Kafka tersenyum samar. Arena telah berubah. Bukan lagi oktagon, tapi sebuah dunia kecil... dunia dalam cerita.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama