Prolog: Legenda Naga Pharaoh dan Penahanan Kekuatannya
Di masa lalu yang sangat jauh, di planet merah yang kini dikenal sebagai Mars, hiduplah makhluk-makhluk luar biasa: naga perkasa dan dinosaurus bijaksana.
Mars adalah planet keempat dari Matahari, sering disebut "planet merah" karena warnanya yang merah kemerahan. Mars adalah planet berbatu dengan atmosfer tipis dan sering dijuluki "planet merah". Mars juga dikenal sebagai planet yang musimnya paling mirip dengan Bumi.
Naga Pharaoh, penguasa kejahatan, bangkit dengan kekuatan kegelapan yang mengerikan. Ia ingin menaklukkan seluruh Mars dan menindas semua kehidupan di sana. Untuk menghentikannya, empat Dewa Naga bersatu dan menggunakan empat Senjata Dewa yang legendaris. Mereka dibantu oleh dua belas dinosaurus Shio, yang merupakan penjaga zaman purba dengan kekuatan luar biasa.
Setelah pertarungan sengit, Pharaoh berhasil dikurung dalam penjara magis yang tersembunyi di dalam gunung tertinggi Mars. Namun, kekuatannya tidak benar-benar lenyap.
Dewa Naga dan para dinosaurus Shio tahu suatu saat nanti Pharaoh akan bangkit kembali. Mereka pun mengadakan pertemuan rahasia.
“Kita harus mempersiapkan generasi baru untuk melawan Pharaoh,” kata salah satu Dewa Naga.
“Tapi kita tidak bisa menggunakan makhluk dari dunia kita saja,” jawab seekor dinosaurus Shio.
“Kita harus mencari bantuan dari makhluk lain, dari planet lain…”
Namun kekuatannya tidak benar-benar lenyap.
“Mereka yang memiliki jiwa yang kacau, namun memiliki potensi besar…”
“Mereka harus dipanggil… melalui dunia digital…”
Beberapa abad kemudian, di planet Bumi, sebuah game misterius mulai muncul di forum-forum gelap: Mars: Awakening of Beasts. Game ini konon mampu membaca kepribadian pemainnya dan mengakses “dimensi lain”.
Namun tak banyak yang tahu: game itu adalah alat pemanggil kuno. Program dari Mars yang disamarkan dalam bentuk hiburan. Pemain yang “lulus” ujian dalam game ini akan menjadi kandidat penjaga Mars.
XXX
Di kota Margahayu, Arman, seorang anak Kelas 4 SD yang tinggal di pinggir jalan, merasa kesepian karena rumahnya sepi dan kedua orangtuanya sering bekerja. Terbiasa membaca komik superhero, Arman merasa bosan dengan kehidupan sehari-harinya yang monoton.
"Hidupku di pinggir jalan selalu terasa sepi. Orangtuaku sibuk bekerja, dan teman-teman sepertinya tak pernah ada waktu untukku. Sementara aku, Arman, tenggelam dalam dunia komik superhero yang membawa warna kehidupan yang tak kunjung hadir dalam keseharianku." Gerutu Arman.
Meskipun menyukai komik superhero, Arman tidak tertarik pada pahlawan yang selalu menang. Sebaliknya, dia terpesona oleh penjahat super yang terlihat keren dan penuh tantangan. Suatu hari, kota itu diguncang oleh kehadiran seorang gadis penyihir cantik berkekuatan super yang menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan.
Terciptalah ide brilian dalam pikiran Arman. Dia memutuskan untuk menjadi penjahat super dan menjadikan gadis penyihir itu sebagai musuhnya. Dengan semangat yang baru ditemukan, Iliad bergegas ke gudang keluarganya, mulai membangun robot canggih dan senjata-senjata aneh untuk melawan sang gadis penyihir.
Arman, yang sebelumnya merasa kesepian, kini memiliki tujuan baru yang membuatnya antusias. Setiap malam, dia bekerja dengan penuh semangat di gudangnya, menciptakan perangkat-perangkat yang dia yakini akan membuatnya menjadi penjahat super yang menantang.
XXX
Di Studio Berita TV, sorotan kamera bergeser ke presenter berita yang menyambut pemirsa dengan senyuman tulus.
Presenter: "Selamat malam, pemirsa setia! Kita memiliki berita istimewa hari ini yang akan membawa sentuhan keajaiban ke kehidupan kita. Di tengah kekacauan dan kegelapan, hadir sosok penuh cahaya yang siap membawa harapan bagi kita semua."
Layar belakangnya berubah, memperlihatkan adegan kota yang diliputi kegelapan dan kekhawatiran.
Presenter: "Ya, pemirsa, inilah Selene, gadis penyihir yang tiba-tiba muncul sebagai pelindung kita dari ancaman tersembunyi. Dengan kekuatan super yang dimilikinya, dia telah memulihkan harapan dan memancarkan cahaya di saat kita membutuhkannya."
Cuplikan video memperlihatkan Selene dalam aksi, menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan dan melindungi penduduk kota.
Presenter: "Selene, dengan tongkat ajaibnya dan tekad yang kuat, telah menghadapi Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan kepada kita. Kehadirannya adalah bukti bahwa pahlawan sejati dapat muncul di saat-saat sulit."
Layar berubah menampilkan wawancara singkat dengan Selene yang tersenyum penuh kepercayaan.
Selene: "Saya di sini untuk melindungi dan membawa harapan kepada kalian semua. Bersama-sama, kita dapat menghadapi tantangan dan membangun masa depan yang lebih cerah."
Dalam sebuah konferensi pers di berita TV, Selena mengungkapkan identitasnya sebagai Magical Girl atau Mahou Shoujo, putri dari dimensi lain. Dengan penuh keanggunan, ia berbicara tentang misinya untuk melawan Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan pada manusia.
Selena menjelaskan bahwa kekuatannya berasal dari harapan dan cinta, yang menjadi senjata utamanya dalam melawan kegelapan. Ia diutus ke Bumi untuk memerangi Hollow dan menjaga keberlangsungan harapan di hati manusia.
Tak hanya melawan makhluk supernatural, Selena juga memiliki tanggung jawab untuk melawan berbagai kejahatan yang dilakukan manusia di Bumi. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia bersumpah untuk menjaga perdamaian dan keadilan di dunia ini.
Berita ini menjadi pusat perhatian, dan masyarakat pun mulai memahami bahwa di balik penampilan gadis penyihir yang misterius, Selena adalah pelindung yang gigih, membawa harapan dan cinta untuk melawan kegelapan yang mengintai dunia.
Presenter: "Pesan optimis dari Selene untuk kita semua. Mari kita dukung gadis penyihir pemberani ini dalam perjuangannya melawan kegelapan. Terima kasih, Selene, atas dedikasimu untuk menyelamatkan bumi!"
Seiring presenter mengakhiri berita, gambar Selene yang menjulang di langit mengakhiri siaran dengan pesan kekuatan dan harapan bagi seluruh penonton.
XXX
Aku membaca tentang pahlawan super di buku komik yang selalu menang, tapi itu membuatku bosan. Mereka terlalu sempurna, terlalu baik, terlalu tak terkalahkan dan membuat semua cerita berakhir klise. Aku lebih tertarik pada penjahat super yang terlihat keren dan selalu memberikan tantangan nyata bagi pahlawan.
Hingga suatu hari, kota ini dikejutkan oleh kehadiran gadis penyihir bernama Selena. Dia punya kekuatan super dan menggunakan keahliannya untuk melawan kejahatan. Ide langsung muncul dalam pikiranku: kenapa tidak aku jadi penjahat super? Mungkin dengan cara itu, aku bisa menarik perhatian dan mengubah kehidupanku yang monoton. Aku bisa menjadi penjahat super dan musuh bebuyutan Selena.
Langsung saja aku pergi ke gudang keluargaku. Alat-alat canggih dan rencana jahat pun mulai tercipta. Meskipun sebenarnya aku tak punya niat jahat, aku hanya ingin hidupku menjadi lebih berwarna. Kekacauan yang aku ciptakan di kota ini hanya untuk menarik perhatian Selena. Aku hampir lupa selain teknologi canggih aku sebenarnya lumayan jago akrobat, selain itu kemampuanku dalam bela diri Muay Thai juga terbilang hebat.
Sebagai Anonymous Hatter, identitasku tersembunyi di balik topeng berbentuk Tes Psikologi Rorschach yang polanya berubah mengikuti ekspresi wajahku dan topi ala detektif. aku menciptakan kekacauan di kota ini.
Dibalik topeng Anonymous Hatter, aksiku menciptakan kekacauan dengan mencoret-coret tembok stasiun kereta api. Menggunakan skateboard mesin jet, aku dengan cepat melarikan diri saat dikejar petugas kereta, memberikan sentuhan aksi yang spektakuler.
Aku tak berhenti di situ. Dengan kekuatan teknologi, aku menciptakan hologram raksasa berbentuk monster, menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk kota. Kembang api yang menyala membuat malam menjadu berisik dan kacau, mengganggu ketenangan kota tanpa seorangpun mengetahui identitasku.
Meskipun mungkin terlihat aneh dan misterius, niatku sebenarnya tidak jahat. Semua ini hanyalah cara ekstrem untuk menarik perhatian Selena dan mewujudkan impianku menjadi penjahat super buku komik di dunia nyata. Aku menyiapkan senjata dan robot raksasa untuk melawan Selena, bukan untuk membuat orang terluka tapi sebagai bentuk usaha ekstrim untuk menariknya keluar dari kesehariannya yang penuh tanggung jawab.
Mungkin keputusanku terlalu ekstrim. Topengku dan kekacauanku hanya upaya untuk menarik perhatian Selena, gadis penyihir yang telah membawa warna baru dalam hidupku. Dibalik kesepian dan kekacauan, aku berusaha menemukan arti kehidupan yang lebih dalam,
Aku yakin bahwa dengan cara ini, aku bisa mendapatkan perhatian Selena dan mengubah kehidupanku yang sebelumnya monoton menjadi petualangan yang lebih berwarna bersama gadis penyihir baru yang misterius ini.
Namun, semuanya berubah ketika Selena mengetahui niat sebenarnya di balik kekacauanku. Dia melihat kesepian di balik setiap perbuatan, dan tiba-tiba aku merasa tak sendiri lagi. Bersama Selena, aku belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam tindakan baik dan persahabatan. Kami pun tidak hanya menjadi pahlawan dan penjahat, tapi juga sahabat yang saling mendukung dan menghadapi kehidupan bersama-sama.
Bersama Selena, aku menemukan bahwa persahabatan adalah kekuatan sejati. Anonymous Hatter tidak hanya sebuah identitas, melainkan perjalanan untuk menemukan kebahagiaan dan arti dalam kehidupan yang sebelumnya terasa monoton.
XXX
Anonymous Hatter mengangkat topinya dengan senyum misterius, "Hei, hei, hei. Lihat siapa yang memutuskan untuk melangkah ke dalam dunia kacauku. Selene, gadis ajaib. Kesempatan bagus untuk bertemu. Namaku Anonymous Hatter"
Selene menatap tajam, "Anonymous Hatter, keusilanmu berakhir di sini. Aku tak akan membiarkanmu menyakiti penduduk kota ini lebih lama."
"Oh, bukankah kamu yang selalu mencoba menyelamatkan hari? Apa yang membawamu ke sudut kacauku ini, gadis ajaib?" tanya Anonymous Hatter, matanya berkilat.
"Aku mendengar tentang tindakanmu, dan aku tak akan mentolerirnya. Kelakuanmu mungkin menghiburmu, tetapi menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang. Saatnya mengakhiri ini," ujar Selene dengan ketegasan.
"Kegelisahan, katamu? Nah, aku tak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Aku hanya ingin menambahkan sedikit kegembiraan ke dunia yang monoton ini," Anonymous Hatter menjawab dengan senyum penuh misteri.
"Kegembiraan dengan mengorbankan kedamaian orang lain tidak dapat dibenarkan. Aku tak akan membiarkanmu terus menyebarkan kekacauan," tegas Selene.
"Kau bisa mencoba, Selene. Tapi aku peringatkan, tidak selalu semua seperti yang terlihat. Bersiaplah untuk sedikit kejutan dalam pertemuan ajaib ini," kata Anonymous Hatter sembari menghilang dalam bayangan kekacauannya.
Selene menyikapi, "Aku akan menghadapi semua tantangan yang datang. Tugasku melindungi kota ini dari orang sepertimu, Anonymous Hatter."
[Pertemuan ini berlanjut setiap malam dengan pertarungan ajaib antara Selene dan Anonymous Hatter, masing-masing bertekad untuk mempertahankan versi keadilan mereka sendiri.]
XXX
Setelah sekian lama menikmati pertarungan melawan Selena sebagai Anonymous Hatter, Arman tersentak saat membaca surat kabar dan menonton berita di TV.
Arman merasa panik dan cemas ketika melihat berita di TV jika Selene yang kini tinggal di bumi akan bersekolah di sekolah yang sama dengan Arman. Kecemasannya bertambah saat menyadari jika mereka akan menjadi teman sekelas.
Setiap langkah Selene di sekolah menjadi sorotan, dan dia cepat menjadi gadis paling populer. Cantik, baik. Meskipun dia terkadang agak polos dan lugu, ia menarik banyak penggemar. Namun, Arman merasa panik menyadari bahwa Selene berada di sekolahnya.
Dia datang ke sekolah dengan Limosin yang dikawal oleh pasukan dimensi lain dan selalu disertai karpet merah.
Arman tahu betul bahwa jika identitasnya sebagai Anonymous Hatter akan terbongkar jika dia dekat dekat dengan Selene, segala kekacauan yang ia ciptakan mungkin akan membahayakan dirinya jika diketahui banyak orang. Meskipun Selene sepertinya tak menyadari sisi gelapnya, Arnman berusaha menjaga rahasia itu agar tak terungkap.
Sementara Selene dengan santainya menjalani kehidupan sekolahnya, Arman berusaha menjaga jarak, takut bahwa ketika waktu tiba, seluruh sekolah akan mengetahui keberadaan Anonymous Hatter dan seluruh kekacauan yang ia ciptakan untuk menarik perhatian Selene.
Namun, karena Selene adalah seorang gadis yang polos dan ceria, ia justru merasa penasaran dengan keberadaan Arman yang pendiam, satu-satunya anak yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya. Arman memang dikenal sebagai anak yang sangat cerdas dan rajin, tapi ia juga pemalu, pendiam, pemarah, agak suram, dan pemurung hingga tak memiliki seorangpun teman. Selene mencoba mendekati Arman meski Arman merasa tak nyaman.
Selene melangkah mendekati Arman dengan senyum ramah, "Hai, namaku Selene. Aku baru saja pindah ke sekolah ini. Kamu Arman, kan?"
Arman melirik ke atas dari bukunya, "Oh, eh, iya. Salam kenal, Selene. Kamu baru pindah? Bagaimana pendapatmu tentang sekolah ini?" Iliad berusaha ramah dan terlihat normal.
Dengan semangat, Selene menjawab, "Iya, benar. Sekolah ini besar sekali! Aku senang bisa bertemu dengan teman baru. Bagaimana denganmu, Arman? Apakah kamu suka di sini?"
Iliad menyipitkan matanya sedikit, "Hmm, ya, sih. Ini tempat yang baik. Tapi aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca komik di sudut perpustakaan."
"Oh, itu menarik! Aku suka membaca juga, terutama tentang pahlawan super. Kamu suka komik pahlawan super juga?" Selene bertanya dengan antusias.
Arman melihat Selene dengan ekspresi sedikit ragu, "Eh, bukan, sebenarnya aku lebih suka cerita tentang penjahat super yang keren. Mereka terkadang lebih menarik."
Senyum Selene tidak luntur, "Wow, kau benar-benar memiliki selera yang unik, Arman. Mungkin suatu hari kita bisa membahas lebih banyak tentang komik."
Arman mengangguk pelan, "Mungkin... ya, tentu. Itu akan bagus."
Dengan penuh semangat, Selene menyimpulkan, "Oke, Arman. Aku senang bisa bertemu denganmu. Mari kita menjadikan tahun ajaran ini tahun yang menyenangkan bersama!"
Arman tersenyum kecil, "Iya, Selene. Aku rasa itu akan menjadi hal yang baik."
Pertemuan mereka tak terduga membuat Arman berpikir ulang tentang rencananya menjadi penjahat super. Selena membantu Arman menyadari bahwa kebaikan bisa membawa kebahagiaan lebih daripada kejahatan.
Akhirnya, Arman pun menerima Selene sebagai teman baiknya. Namun, hubungan mereka membuat teman sekelas Arman yang naksir dan mengagumi Selene salah paham dan merasa cemburu. Kedekatan Arman dengan Selene memicu ketegangan di antara mereka, menciptakan dinamika yang rumit dan lucu di lingkungan sekolah.
XXX
Hujan turun dengan ragu di kota kecil itu. Langit berwarna abu, tapi bukan abu biasa. Arman, bocah kelas dua SD, berdiri di pinggir jalan dengan wajah kebingungan. Ia baru saja tersesat.
Ibunya menyuruhnya pulang duluan, tapi Arman mengambil jalan berbeda, jalan yang belum pernah ia lewati. Entah karena iseng, atau karena ada sesuatu yang menarik langkah kecilnya ke sana.
Lalu… klakson keras membelah udara. Sebuah mobil melaju terlalu cepat di tikungan.
Arman tak sempat bergerak.
Tapi waktu seakan membeku.
Udara menjadi berat. Bunyi kendaraan melambat, seperti diputar dalam slow motion. Dan dari sisi jalan, muncullah seorang gadis kecil, mengenakan mantel merah gelap dan payung ungu yang tak terbuka.
Dia melangkah masuk ke jalan dengan tenang, mengangkat satu tangan ke arah mobil. Dalam sekejap, kendaraan itu berhenti, bukan karena rem, tapi seperti… terhisap oleh ruang yang tak terlihat.
Arman terjatuh karena syok, tapi tubuhnya tak terluka sedikit pun.
“Tenang saja,” kata gadis itu.
Suara yang lembut tapi bergema, seperti bisikan dari dalam gua yang sangat luas.
“Aku di sini.”
Arman menatap gadis itu. Rambutnya perak, matanya kuning keemasan. Tak ada anak SD seperti itu. Bahkan orang dewasa pun tak ada yang punya aura seaneh ini.
“Siapa kamu?” tanya Arman.
“Namaku Selene,” jawabnya sambil tersenyum. “Aku penyihir dari tempat jauh. Aku datang ke dunia ini untuk menjagamu.”
Arman yang masih polos memiringkan kepala. “Menjagaku? Dari apa?”
Selene tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang masih muram. Di balik awan gelap, sesaat tampak semburat merah aneh—bukan warna senja. Lebih menyerupai bara api dari tempat yang sangat jauh.
“Dari sesuatu yang sedang bangkit… sesuatu yang pernah membakar dunia.”
Mata Arman membelalak. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Selene berjongkok dan menggenggam tangannya.
Tangan itu dingin, tapi juga penuh cahaya. Sesuatu seperti percikan bintang mengalir dari telapak tangan Selene ke dada Arman.
“Di dalammu ada kekuatan yang belum bangun,” katanya.
“Apakah aku... penyihir juga?” Arman bertanya dengan polos.
Selene tersenyum lebih lembut.
“Belum. Tapi kamu akan menjadi penjaga. Kalau kau mampu bertahan.”
Arman tak mengerti. Tapi sesuatu dalam dirinya merasa hangat, seperti… ditemukan. Dikenali.
“Kenapa aku?” bisiknya.
“Karena hanya jiwa yang pernah dilukai… yang bisa memahami kehancuran. Dan menolaknya.”
Arman tak mengerti sepatah kata pun.
Tapi ia mengangguk.
---
Saat langit kembali cerah dan mobil itu hilang entah ke mana, Selene berdiri dan berkata pelan, “Waktu kita belum tiba. Tapi kamu akan mengingatku... saat kamu paling membutuhkannya.”
Lalu, seperti bayangan yang tertiup angin, dia lenyap.
---
Arman pulang ke rumah dengan langkah berat. Ia mencoba menceritakan semua kepada ibunya, tapi sang ibu hanya berkata:
“Kamu kelelahan. Mungkin kamu mimpi.”
Tapi Arman tahu itu bukan mimpi.
Ia tahu sesuatu telah berubah dalam dirinya.
Hanya saja... seiring waktu berlalu, dan hidup makin berat, ia mulai meragukan ingatannya sendiri.
XXX
Arman melanjutkan aksinya sebagai Anonymous Hatter, namun kali ini dia berfokus untuk mengalahkan penjahat sungguhan yang berbahaya, seperti perampok dan pembegal, dengan tujuan mencegah mereka melukai Selene. Dalam upayanya untuk menjaga Selene tetap aman, Arman memutuskan untuk melawan Selene tanpa membawa hal-hal yang dapat membahayakannya, menunjukkan niat baiknya yang tulus agar popularitasnya meningkat dan dia lebih diterima banyak orang.
Selene berdiri di ruangan gelap yang dipenuhi oleh aroma mistis. Di tangannya, tongkat ajaibnya berkilauan pelan, memantulkan cahaya lembut. Tiba-tiba, pintu di ujung ruangan terbuka perlahan, dan langkah kaki yang dikenalnya dengan baik terdengar di keheningan.
Selene yang berhasil merebut topeng Anonymous Hatter sebelum Arman melarikan diri melemparkan tatapan tajam pada Anonymous Hatter. "Kau, Anonymous Hatter, akhirnya muncul juga."
Arman, yang selama ini bersembunyi di balik topeng misteriusnya, melangkah masuk. Sorot mata penuh misteri menggambarkan kejenakaan dan rahasia yang selama ini menyelimuti identitasnya.
Arman dengan senyuman misterius menjawab "Selene, gadis penyihir yang penuh cahaya. Kau memang bisa melihat melampaui ilusi yang kupasang."
Selene menyuarakan ketajamannya "Identitasmu terungkap, Arman. Mengapa kau melakukan semua ini?"
Arman menjawab dengan nada misterius "Sebab kehidupan ini adalah panggung, dan kita semua hanyalah pemain di dalamnya. Aku, Anonymous Hatter, hanya menciptakan drama agar dunia bisa menyaksikan keajaiban dan ketidakpastian."
Wajah Serius Selene mengungkapkan keprihatinan "Tapi tindakanmu telah membawa kekacauan dan kekhawatiran. Mengapa harus dengan cara seperti ini?"
Arman tersenyum misterius "Kekacauan memunculkan perubahan, dan ketidakpastian melahirkan keajaiban. Kau, Selene, adalah bagian dari pertunjukan besar ini."
Dengan tekad yang meyakinkan, Selene menyatakan: "Aku tidak akan membiarkan pertunjukanmu terus berlanjut. Aku di sini untuk membawa cahaya, bukan untuk menjadi bagian dari drama gelapmu."
Arman menjawab dengan mata penuh kejenakaan "Ah, Selene, gadis penyihir pemberani. Mari kita lihat bagaimana kau menanggapi ketidakpastian yang kubawa." Selene mengangkat tongkat ajaibnya, siap menghadapi Anonymous Hatter dalam pertunjukan dramatis antara cahaya dan kegelapan. Namun Arman hanya menyerah tanpa syarat.
Selene berhasil menangkap Anonymous Hatter dan membuka topeng Arman. Dalam kekecewaan dan kemarahannya, Selene menyadari bahwa teman sekelasnya yang baik ternyata adalah musuh bebuyutannya selama ini. Tanpa ragu, Selene membawa Iliad terbang menuju orangtuanya yang berada di luar negeri dengan kekuatan sihir teleportasi .
Selene memasuki ruangan dengan wajah serius, "Permisi, apa kalian orangtua Arman? saya membawa dia ke sini karena saya menemukan sesuatu yang mungkin akan membuat Anda terkejut."
Orangtua Arman yang cemas bertanya, "Apa yang terjadi, Selene? Apa yang kamu maksud?" Selene sangat terkenal, bahkan untuk orang di luar negeri.
Dengan suara gemetar, Selene mengungkapkan, "Iliad sebenarnya adalah Anonymous Hatter, orang yang menciptakan kekacauan di kota Abarjeijan. Saya tidak tahu bahwa dia adalah teman sekelas saya."
"Oh, Tuhan! Apakah ini benar? Iliad, apa yang kamu pikirkan?" seru Orangtua Arman, terkejut.
Armandengan wajah bersalah menjawab, "Maaf, Ma, Pa. Saya tidak bermaksud membuat masalah. Saya hanya mencoba membuat hidup saya lebih menarik."
Orangtua Arman dengan ekspresi serius mencela, "Kamu perlu menyadari bahwa tindakanmu dapat berdampak besar, Nak. Kami harus menangani ini bersama-sama."
Selene memberi penjelasan, "Saya membawa Arman ke sini agar dia bisa belajar dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Saya berharap Anda bisa membantunya melalui proses ini."
Ayah Arman menyampaikan, "Kami berterima kasih, Selene. Kami akan mendukung Arman dan berusaha memahaminya lebih baik. Semoga dia bisa memperbaiki kesalahannya."
Selene menambahkan dengan harapan, "Terima kasih, Pa, Ma. Saya yakin Iliad memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita bisa bersama-sama membimbingnya ke arah yang benar."
Dengan tegas, Selene meminta orang tua Arman untuk menjaganya agar tidak berbuat kenakalan dan terus mengawasinya. Keputusan ini diambil sebagai langkah untuk meneguhkan perubahan dalam hidup Iliad, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan memberinya kesempatan untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Tak lama setelah Arman dihukum dan dikurung di kamarnya oleh orangtuanya akibat kenakalannya, dia menonton berita di TV yang melaporkan bahwa Selene ditangkap oleh Hollow. Arman merasa terpukul dan berkeinginan untuk berubah menjadi Anonymous Hatter demi menyelamatkan Selene.
Namun, orangtuanya melarangnya dengan tegas. Sebagai hukuman tambahan, Iliad diisolasi dalam kamar selama seminggu dan dilarang memegang perangkat gadget apa pun. Arman pun dipenuhi rasa dilema: apakah dia harus tetap mematuhi larangan orangtuanya, meski melihat Selene dalam bahaya? Ataukah dia harus tetap bersikeras menyelamatkan Selene, terlepas dari konsekuensi yang mungkin terjadi?
Para guru seakan tidak merasakan bagaimana menjadi siswa yang disiksa. Aku memukul-mukuli buku matematika yang membuat tanganku semakin berkeringat karena tidak ada kipas angin yang cukup untuk menurunkan suhu di kamarku. Hanya kipas yang patah setengah. Tapi kalaupun aku mengeluh, aku yakin tidak akan menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Aku bagaikan telur di ujung tanduk saat besok menemui Pak Tejo, guru matematikaku.
Di sekolah sering kali aku dihukum oleh guru BP di tiang bendera karena dituduh tawuran. Padahal sering kali bukan aku yang mencari masalah lebih dulu, biasanya Hasan dan teman-temannya dari SMP M yang suka mengeroyokku dan teman temanku dengan gesper.
Sungguh tak adil hukum di sekolahku. Harusnya aku dipuji sebagai pahlawan karena menolong teman. Sungguh tak adil hukum di dunia ini, aku dan teman temanku melindungi Malin yang tengah berjalan sendirian dan dipalak oleh anak SMP M. Bahkan aku dipaksa tanda tangan di atas materai untuk tidak mengulang tawuran.
Aku berpikir setengah mampus untuk menyelesaikan PR matematikaku. Selembar kertas soal itu bagaikan berton-ton di suhu panas dalam kamarku. Agar suasana lebih lunak dan adem aku menyetel lagu Mbah Surip, kakek bertopi Jamaika, itu selalu bisa menghapus segala kepahitan dalam hidup. Aku juga membeli es lilin seharga dua ribu rupiah untuk mendinginkan suasana.
Begitulah diriku. Aku memang punya banyak masalah. Ibuku pun selalu menangis saat aku terima rapor. Ibuku ingin aku menjadi sukses di masa depan, itu sebabnya dia tak menginginkanku punya masalah di sekolah karena aku satu-satunya tulang punggung yang ia impikan di masa depan untuk menggantikan peran ayahku yang sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu tak pernah marah, hanya menangis, tapi tangisnya itulah yang kerap membekukan nyali dan langkahku.
Inilah aku
sirip matahari yang jelajah
setiap bias cuaca
sejarah daun daun memori di ujung kota
ku tak akan menghindar dari rasa takut walaupun selangkah
Untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku terutama matematika, seringkali aku menulis ulang soalnya dalam lembar jawaban, sama seperti temanku, Wildan, sang berandalan di mata guru.
"Woy, Arman lu udah beresin PR belom?" tanya Wildan teman satu gengku.
"Udahan gue tapi jawabannya ditulis ulang dari soalnya," jawabku.
"Sama wkwkwk, udah ngasal aja terima nasib," cetus Wildan.
Terjadi obrolan yang cukup seru antara kami berdua, tanpa kami sadari tak lama kemudian datanglah Pak Tejo, guru killer matematika, membawa tongkat penggaris kayu panjang yang siap memukul para berandalan pembangkang.
Para murid langsung mengucap salam dan tersenyum manis dengan terpaksa melihat orang yang mereka takuti ada di hadapan mata. Tapi guru yang mendapat julukan Raja Iblis dari Gunung Merapi itu hanya menjawab dengan raut wajah marah dan mata melotot, mungkin agar terlihat berwibawa.
"Assalamualaikum, Pak Tejo," ujar para murid dengan senyum kecut.
"Wa alaikum salam," dengan nada tegas Pak Tejo menjawab. "Anak anak sudah mengerjakan PR?"
Hampir seluruh siswa di kelas menjawab "sudah" karena takut terkena sabetan kayu. Tapi aku dan Wildan hanya membisu.
Pak Tejo pun berkeliling kelas sambil mengelus-elus penggaris kayu kesayangannya dengan mata setajam burung pemakan bangkai, ia seakan bisa mencabik dan menerkam kami, kapan saja.
Ramalanku benar. Ia pun langsung menghardikku bagai sambaran geledek sambil memukul mejaku dan Wildan dengan penggaris panjangnya itu.
"Mana PR-nya?" teriak Pak Tejo.
"I-ini, Pak," jawab kami.
Hening. Sesaat kemudian. "Kok ditulis ulang soalnya, kamu gak belajar?" hardik Pak Tejo lagi.
"Belajar Pak tapi," kami tertunduk.
"Gak usah ngomong ini buktinya," bentak Pak Tejo sambil memukul meja kami dengan kayu.
Pak Tejo pun langsung menggiring kami keluar kelas sambil menjepit telinga kami. "Berdiri kalian di sini! Dasar berandalan sekolah," gerutunya.
Aku sudah terbiasa dihukum. Inilah diriku apa adanya, setidaknya ini melunasi rasa puasku. Tak lengkap rasanya jika hidup tanpa tantangan, bagaikan kopi tanpa kafein.
Aku dan Wildan dihukum dan hukumannya pun akhirnya berakhir pada saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring.
Saat pulang sekolah aku tidak langsung balik ke rumah, sangat membosankan. Aku sering nongkrong di pangkalan tukang ojek pengkolan. Teman-temanku yang lain, termasuk juga Hasan anak SMP M yang menjadi musuh abadiku juga ada di sana. Aku pun berpura pura tidak melihatnya. Mereka sedang menonton TV yang tersedia di pangkalan ojek. Mereka tak bisa memalingkan pandangan dari aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. Tak hanya mahasiswa, ternyata pelajar SMP, SMA, dan SMK ada juga yang terlibat dalam demonstrasi itu.
Wildan berbicara pada seorang temanku di pos ojek, "Abid, Bang Nasrul udah jalan belom?"
"Udah dari tadi, kenapa?" tanya Abid balik.
"Gak apa apa emang dia ngapain?" tanya Wildan lagi.
"Dia bantuin Bang Cecep yang udah kuliah buat demo"
"Bantuin ngapain?"
"Masih nanya lagi? Ya bantuin demolah tuh liat aja di TV!"
"Luh di sini ngapain Bid?"
"Nungguin bak terbuka gelombang kedua, lu mau ikut?"
"Ya iyalah solidaritas!"
Wildan pun menepuk pundakku.
"Woi, Arman lo mau ikut gak?"
"Gak ah entar emak gua nyariin gua kasihan."
Abid dengan senyum yang agak sinis mengatakan, "Mental tempe luh!"
Wildan ikut menimpali. "Iya Man lu bilang lu suka hidup yang penuh tantangan."
"Gua emang suka tapi gua khawatir emak gua nyariin ke Jakarta pasti pulangnya malam," timpalku.
"Yah elah Man kita kan sahabat harus saling kompak."
Tak lama setelah mereka berdebat, bus besar pun datang di halte dekat pengkolan ojek. Anak-anak Pancoran Mas sudah siap dan mulai menyanyikan yel yel. Mobil bak terbuka urung datang dan diganti bus karena jumlah peserta semakin banyak. Rahmat memilih menggunakan bus untuk mengangkut massa para pelajar itu.
Rahmat adalah anak kelas 2 SMA. Ia ketua berandal Pancoran Mas. Ia menamai gengnya, Pancoran Mas, untuk menyatukan seluruh sekolah di Kota Depok, seperti Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa. Seluruh geng Pancoran Mas yang dibawa oleh Rahmat berjumlah sekitar 75 orang.
Aku tak ingin mengecewakan teman-temanku, jadi aku memutuskan ikut. Aku ikut untuk mencari pengalaman baru. Aku yakin petualanganku kali ini berbeda dengan tawuran yang biasa aku lakukan.
Hasan yang biasanya menjadi musuhku saat tawuran tersenyum dengan giginya yang bersih. Ia menjulurkan tangannya. "Kita bukan musuh lagi ingat PERSATUAN INDONESIA." Dari raut mukanya dia sudah melupakan permusuhan selama ini yang terjadi di antara kami berdua. Aku pun mau bersalaman dengannya.
Aku punya prinsip dalam petualangan terbaruku ini, "Cintailah perdamaian, tapi lebih cintailah keadilan."
Aku merasa langkahku sudah tepat untuk mewujudkan kata-kataku. Di dalam bus aku tidur lelap sambil memangku ransel merahku...
Mendadak, teriakan dan ledakan gas air mata memecahkan gelembung tidur siangku. "Woy bangun woy!!!" teriak Wildan padaku dengan sangat panik.
Seluruh temanku menyiapkan gespernya. Tampak Rahmat membawa peralatan huru-hara yang lengkap, petasan, botol berisi bensin, dan korek api.
"Ayo tempur, ayo tempur!!!" teriak yang lain dengan semangat ala jihad.
Aku pun langsung menarik gesper dari celana. Aku melihat dari kejauhan seorang polisi yang babak belur menjadi bulan-bulanan para pelajar dari berbagai sekolah.
Gas air mata yang digunakan polisi seakan tak dapat memadamkan semangat para pelajar yang meledak-ledak. Gas air mata itu bagaikan obat nyamuk semprot murahan yang tak mempan mengusir nyamuk.
Wildan berkata di tengah kebisingan huru-hara massa bahwa dahi Hasan tertimpa batu dan berdarah. Aku tahu Hasan musuh bebuyutanku, tapi hatiku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sekali pun dalam hidup. Sedih dan marah. Aku dan Wildan berusaha menolongnya dengan cara menggotongnya ke tempat yang aman.
Setelah polisi yang menjadi bulan-bulanan pelajar itu pingsan, langsung datang ratusan polisi memakai perisai menutup jalan menuju Gedung DPR/MPR. Tapi Rahmat, pemimpin geng Pancoran Mas, tak kehabisan akal untuk situasi apapun.
"Ya udah gini aja kita kita dorong mobil pick-up itu ke arah kerumunan polisi biar kita bisa lewat," ujar Rahmat dengan sedikit raut muka yang agak panik.
Sekitar sepuluh orang berdiri di atas pick-up untuk menambah berat pick-up serta puluhan lainnya mendorong dari belakang. Mereka akhirnya berhasil memporakporandakan barisan polisi berperisai itu.
Para polisi itu pun mulai kehabisan kesabaran. Setelah jumlahnya bertambah banyak, polisi merangsek. Beberapa dari kami yang lari lebih dulu akhirnya berhasil lolos dari kejaran para polisi. Tetapi yang berjalan agak lamban tertangkap. Aku dan Wildan pun tertangkap karena menggotong Hasan. Ini membuat langkah kami terhambat dan polisi pun berhasil menangkap rombongan kami. Kami lalu dibawa ke kantor polisi terdekat.
Di kantor polisi, kami pun akhirnya disetrap dengan push-up, sit-up, dan jongkok sebagai hukuman. Saat push-up aku menoleh ke atas. Ada seorang polisi menghampiriku, dia punya kumis yang cukup panjang dan agak beruban di alisnya.
Dia menanyaiku beberapa hal, "Dari mana, dek?" tanya polisi separuh baya tersebut.
"Dari SMP di Depok," jawabku dengan cemberut dan agak kesal.
"Ke sini dalam rangka apa?"
"Demo RUKUHP," jawabku dengan polos meskipun sebenarnya aku tak paham benar masalah yang terjadi.
"Tau gak salah kamu apa?"
"Gak tau tuh"
Suara polisi itu mulai meninggi. "Jadi kamu gak merasa salah?!" hardiknya dengan mata melotot.
"Tidak saya merasa baik baik saja, justru menurut saya bapak dan rekan rekan bapak yang salah. Bapak tega menembaki kami dengan gas air mata, padahal kami memiliki hak untuk berdemokrasi dan menuntut hak kami. Bapak lebih sayang pejabat daripada kami rakyat yang harusnya Bapak lindungi. Bapak dan rekan rekan Bapak rela melindungi pejabat yang mendzalimi rakyat. Menurut saya para pejabat di DPR itulah yang pantas disirami gas air mata," ujarku sambil senyum dengan agak belagu.
"Gak usah sok pinter kamu. Kok bisa bikin huru-hara kayak gini kamu bilang gak salah?!" sepertinya kesabaran polisi separuh baya itu hampir habis.
"Saya tidak tahu mengapa saya tidak merasa salah yang jelas saya yakin melangkah dengan tepat tak pernah seyakin ini," jawabku dengan tegas dan penuh keyakinan.
"Berani kamu ngelawan hah," dia sudah siap melakukan apa saja.
Polisi itu pun mulai menampariku bertubi tubi hingga pipiku kemerah-merahan. Untunglah, polisi lain dengan sigap memisahkanku dengan orang itu.
Aku sama sekali tidak melawan biar bagaimana pun dia orang tua harus tetap dihormati.
Sesudah semua kejadian itu, aku dan teman teman berandal Pancoran Mas dipulangkan ke sekolah masing masing.
Aku sampai di sekolahku kira kira pukul 11.30 malam. Saat baru turun dari mobil, aku tak menyangka ibuku telah menantiku di lapangan sekolahku yang gelap gulita.
Ibu tampak gelisah. Aku mendatanginya dan ia menoleh ke mobil itu sambil menangis bahagia. Seakan hartanya yang paling berharga selamat dan masih utuh.
"Sayang, ibu sangat khawatir sama kamu," ucapnya sambil berlari mendekapku.
"Ibu, ibu gak marah lagi?" tanyaku dengan kaget.
"Gak Nak, Gak tau kenapa ibu gak pengen marah atau sedih ibu malah bangga sama kamu, ibu jadi inget sama ayahmu yang meninggal karena kebakaran saat kerusuhan di pabrik untuk menuntut haknya sebagai buruh. Dia adalah pejuang demokrasi sama sepertimu, tapi usiamu lebih muda. Kamu memang anak yang pemberani," ujarnya deng
Ibu memelukku erat-erat seakan tak mau melepaskan pelukan hangatnya. Tapi aku sebenarnya masih tak mengerti mengapa ibu benar-benar tidak marah. Sampai akhir zaman perasaan ibu yang seperti itu lebih baik tetap jadi misteri.
Besok, aku harus menyiapkan diri untuk berdiri di depan tiang bendera saat upacara. Awalnya aku merasa menjadi jagoan yang tak terkalahkan, tapi saat merantau sehari di Jakarta, aku menyadari aku bukan siapa-siapa.
Kamar Atap Depok, 2019
Aku melangkah kaki menuju masjid untuk Shalat Jumat dan terus mengingat-ingat kejadian beberapa pekan lalu yang membuat kelas heboh seperti kawanan cacing yang kepanasan. Bukan tanpa alasan mengapa aku flashback kisahku ini pada hari Jumat karena hanya di hari yang mulia ini orang tuaku mengizinkanku bermain-main setan gepeng.
Ya, aku menyebut benda yang sebenarnya handphone alias telepon genggam itu sebagai setan gepeng. Aku menyebutnya demikian karena salah seorang guruku saat upacara menjuluki benda itu sebagai setan gepang. Ia mengganggap handphone yang berbentuk datar tersebut adalah setan karena membuat banyak siswa malas belajar. Menurut guruku, setan yang sesungguhnya saat ini adalah handphone yang membuat hampir semua siswa lalai terhadap segala-galanya dan membuat banyak siswa gagal dalam ujian.
Sejak Wildan hilang, kini aku sendirian. Aku sering dikeroyok oleh anak anak brandalan yang menjadi musuh gengku di masa lalu. Gengku yang dulu besar kini sudah bubar sejak Wildan lenyap tanpa jejak, aku jadi pemurung dan kesepian lagi. Wildan hilang saat kami berdua ikut Ekskul hiking yang berakhir bencana, jeritan Wildan teredam oleh kabut tebal, dan pencarian selama berhari-hari tidak pernah membuahkan hasil. Itu adalah pengalaman paling traumatis dalam hidupku
Namun, kesedihan itu tak bertahan lama karena Selene kembali ke bumi dan menjadi murid baru di SMPku.
Hari Jumat pada siang hari yang sangat cerah namun terik, seperti biasanya mataku seakan penuh dengan cahaya. Sangat menyilaukan. Terkadang aku berjalan menuju masjid dengan mata yang terpicing atau menutup sebagian wajahku dengan sarung saking membanjirnya cahaya.
Hari yang cerah itu mengingatkanku pada beberapa pekan lalu saat aku membeli akun e-mail dari David, teman sekelasku di SMP, untuk bermain game Clash of Clans (COC). Ini adalah salah satu pengalaman terburuk selama aku menjadi seorang gamer, tapi biar bagaimanapun aku harus menanggung risiko untuk menjadi seorang gamer sejati.
Game itu memang kuno dan bagi sebagian gamer, COC dianggap ketinggalan zaman. Tetapi aku sangat menyukai COC sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari diriku dan kenangan masa kecilku.
Tentu saja aku sangat tergiur dengan penawaran David. Ia menjual akun itu seharga 25 ribu rupiah. Ia menjual akun COC tersebut dengan harga yang benar-benar rendah, jika dibandingkan harga yang ditawarkan gamer-gamer lain di toko online.
Saat itu, David bertanya padaku seperti biasa, hanya basa-basi menayakan mengapa aku tak pernah membawa handphone ke sekolah.
"Eh Arman elu ngapa dah ke sekolah gak pernah bawa handphone?" tanya David padaku.
"Nggak apa apa aku cuma takut aja kalau dibawa nanti handphone-nya bisa rusak atau ilang, lagian orang tuaku juga gak ngizinin aku main handphone setiap hari. Orang tuaku cuma ngizinin aku main handphone hari Jumat pas pulang sekolah sampai Sabtu, karena Sabtu sekolah libur. Itu pun cuma sampai baterainya habis," jawabku sambil tersenyum.
Dengan basa-basi David bertanya lagi padaku. "Ngomong-ngomong elu kalo di rumah main game gak?"
"Iya maen sih kadang-kadang kalo lagi bosen hehehe,"jawabku.
"Elu main game apa?” tanya David penasaran.
"Yah palingan aku sih main COC, game kesukaanku sejak masih kelas 5 SD," jawabku.
"Emangnya elu maen COC udah level TH berapa?" tanya David yang sepertinya penasaran.
"Yah masih TH 7 sih, aku kan jarang maen hehehe," jawabku agak malu-malu.
"Ngomong-ngomong elu mau akun gua nih TH 11 gak prematur kok," tawarnya basa basi.
TH 11? Ini pasti hari keberuntunganku, "Mau! memang kamu mau ngasih harga berapa?" tanyaku antusias.
"Murah kok cuman 25 ribu," jawabnya sambil memiringkan topi dengan sok keren.
"Ok maulah yang penting dapet akun TH 11," cetusku dengan perasaan senang.
Aku sangat senang karena akhirnya aku memiliki jalan pintas yang tak kuduga sebelumnya untuk menamatkan game yang membutuhkan kesabaran dan sudah susah payah kumainkan sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Aku tidak akan ketinggalan jauh dengan teman teman alumni SD ku yang sudah mencapai TH 13. Aku pun langsung tergesa gesa mencatat alamat e-mail beserta passwordnya agar bisa kutautkan ke handphoneku, serta membayar 10 ribu lebih dulu karena David mengizinkan untuk mencicilnya.
Kini seakan aku merasakan segentong manisnya madu setelah berjuang mengeluarkan keringat dan darah di medan perang. Aku pulang sekolah dan bergegas menyembunyikan password email itu di lemariku. Aku berharap tak ada yang dapat menjumpainya.
Saat aku menyimpannya, aku teringat kembali jika aku ada tugas bahasa Indonesia di rumah temanku. Aku pun langsung izin ke orang tua untuk pergi belajar kelompok di rumah teman.
Setelah aku diberikan izin untuk menyalakan handphone, aku langsung login di tengah kerja kelompok bareng teman-teman. Aku sangat senang karena berhasil login tetapi agar lebih yakin aku membuka Google Play Games untuk memeriksa kemajuan gamenya. Dan, aku benar benar gembira begitu aku tahu bahwa COC-nya memang sudah TH 11.
Aku langsung memainkanya sampai lupa dengan tugas yang seharusnya kuselesaikan. Sampai-sampai Selena yang kini menjadi teman sekelasku langsung menegurku hingga aku terkaget karena terlalu asyik bermain game.
"Woi kerjain gak kamu, kerjanya diem mulu kaya patung, aku sendirian terus kan yang ngerjain tugasnya," ujar Selena nasambil bersungut-sungut.
"Maaf iya sebentar kukerjain," jawabku sambil mengelus rambut.
Selena yang dulu seperti tuan putri kini menjadi anak perempuan di kelasku yang cerewet dan suka ngatur-ngatur teman-teman lainnya, termasuk diriku. Ia selalu detail dan selalu mengomeliku. Tetapi kuakui dia satu-satunya teman di sekolah yang peduli padaku.
XXX
Bel berbunyi nyaring, menandakan pergantian pelajaran. Arman menghela napas, menatap buku matematikanya yang penuh coretan tak bermakna, ia sedih karena sahabat baiknya Wildan kini telah tiada. Pikirannya melayang ke masa kecilnya, saat ia masih percaya pada sihir dan petualangan.
"Kamu pasti jadi penyihir hebat, Nana!"
"Aku akan kembali, Arman! Janji!"
Suara tawa kecil itu masih terngiang di kepalanya, meski sudah delapan tahun berlalu.
"Arman, dengerin nggak? Katanya ada murid pindahan!" teriak Rizal, sahabatnya, menyodok lengannya.
"Ah, biasa aja kali. Lagian siapa sih yang mau pindah ke sekolah kita?" jawab Arman sambil menguap.
Tiba-tiba, kelas yang riuh menjadi hening.
Guru kelasnya, Bu Dian, masuk diikuti seorang gadis. Rambut peraknya yang panjang terurai hingga pinggang, matanya biru seperti langit musim dingin. Tapi yang membuat Arman tersentak—kalung berbentuk bulan sabit di lehernya.
Kalung yang sama.
"Anak-anak, perkenalkan, ini Selena Aurora. Mulai hari ini, dia akan bergabung di kelas kita."
Gadis itu tersenyum, lalu menatap langsung ke arah Arman.
"Senang bertemu kalian semua. Aku sudah lama ingin kembali ke sini."
Suaranya seperti dinginnya embun pagi, tapi ada sesuatu yang hangat—sesuatu yang hanya Arman yang mengenalinya.
Nana.
Istirahat siang. Arman mengejarnya di koridor, jantungnya berdegup kencang.
"Selena, tunggu!"
Gadis itu berhenti, lalu perlahan menoleh.
"Kamu... kamu Nana, kan? Selena yang dulu—"
Dia meletakkan jari di bibirnya, "Sst. Jangan terlalu keras." Tiba-tiba, angin berhembus aneh, meski jendela-jendela tertutup rapat.
"Aku memang janji akan kembali. Tapi sekarang, banyak hal yang berubah, Arman."
Matanya berkedip, dan untuk sesaat, Arman melihat kilatan cahaya ungu di dalamnya.
Sihir.
"Kamu masih... penyihir?" bisiknya.
Selena tersenyum misterius. "Lebih dari itu. Aku kembali karena ada sesuatu yang mengancam Bumi—dan kau adalah kuncinya."
Bel berbunyi lagi, tapi kali ini, suaranya terasa sangat jauh.
Arman berdiri di sana, bingung antara masa kecil yang indah dan kenyataan aneh yang tiba-tiba menyeretnya kembali.
Dia membawa lebih dari sekadar kenangan. Dia membawa rahasia—dan mungkin, petualangan yang bahkan tidak ia sangka.
XXX
Meskipun Selene anak yang terlihat rajin, jangan pernah remehkan kemampuanya dalam bermain game. Dia adalah gamer yang sangat brilian. Dia sering menyelinap ke warnet sepertiku, meskipun ayahnya melarangnya karena takut nilai ulanganya turun. Tapi Selene benar-benar beda dariku meskipun menjadi gamer, itu semua tidak pernah membuatnya kecanduan. Meskipun bermain game sesering aku, nilai ulangan Selene selalu jauh lebih tinggi dari ulanganku. Tapi tetap saja ayahnya tidak memberikan izin untuk bermain game, bahkan pernah dia sampai disetrap berdiri di depan halaman rumah karena ketahuan pergi ke warnet.
Meskipun aku agak teralihkan karena bermain handphone, aku masih berusaha mengerjakan tugas itu semampuku. Teman temanku yang lain tidak bekerja sama sekali dan tak melakukan apa apa.
Selain menonton anime percintaan yang menampilkan adegan tak senonoh, jika dibandingkan dengan kisah cinta Dilan dan Milea yang terkesan lebih sopan. Dan ternyata untuk hal ini aku dan Selene memiliki kesamaan. Kami berdua jijik melihat anime percintaan yang sangat tidak pantas dipertontonkan untuk anak SMP.
Setelah bekerja sangat lama dan menyusahkan, akhirnya pekerjaan kelompok ini pun berakhir, meskipun hanya aku dan Selena yang bekerja. Kerja kelompok yang menyusahkan itu akhirnya selesai. Kini aku sudah sampai di rumah. Aku bergegas menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok.
Hari ini pun tiba. Hari paling menyebalkan dalam ceritaku. Aku mengetahui akun game itu telah diberikan David kepada orang lain karena tiba tiba gamenya suka keluar-keluar sendiri dari klan kelompok. Barang barang dalam gameku tiba-tiba upgrade tanpa sepengetahuanku.
"Maaf nih David, aku merasa ada orang lain yang mainin akun ini, selainku," tanyaku curiga.
"Iya kemarin akunnya gua kasih ke Kaban soalnya dia maksa," jawab David dengan agak panik.
"Kok gitu kan akunnya udah kubeli lunas," hardikku.
"Ya udah elu nanti kan bisa ganti passwordnya," jawab David tak bertanggung jawab.
Emosiku tiba tiba seakan tercampur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Tak kusangka teman yang kupercaya dengan baik selama ini ternyata tega mengkhianatiku. Hatiku terasa terbelenggu kegelapan gerhana. Kejadian itu membuatku tak nyaman mengikuti pelajaran sekolah dan membuat dadaku sesak sewaktu pulang sekolah.
Saat berjalan di koridor menuju tempat parkir sepeda, pikiranku melayang tak karuan memikirkan hal yang jelek-jelek serta memutar otak bagaimana dapat menguasai seluruh akun game itu tanpa campur tangan Si Kaban, perampas akun gameku. "Awas kau Kaban tanggung pembalasanku!"
Meskipun aku membelinya hanya dengan harga 25 ribu, harga yang sangat murah dibandingkan jika aku membelinya di tempat lain yang bisa mencapai 2 juta rupiah, tetap saja barang yang sudah dibeli dan telah terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli, seharusnya tidak boleh diberikan kepada orang lain. Barang itu sudah seratus persen menjadi hak milik pembeli. Lagipula David sudah menerima uang itu secara lunas.
Kepalaku sangat mumet saat berjalan di sepanjang koridor. Ketika langkah kakiku menginjak tanah bertanda aku sudah sampai di parkiran sepeda.
Tiba tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. "Ngapa lu cemberut Arman?" ternyata Selene yang menepukku dari belakang sambil tersenyum.
"Iya nih akun game aku dibajak sama Kaban pusing deh aku," jawabku lesu.
Selene pun memperlebar senyumannya. Entah itu tersenyum atau tertawa mengejek.
Aku selalu menunggu hari Jumat dan sering berlari tergesa-gesa saat pulang ke rumah seusai Shalat Jumat demi memeriksa gameku. Ternyata masih ada orang lain yang memainkan gameku. Huh.
Aku telah melewati hari Sabtu dan Minggu yang menyebalkan. Ini hari Senin aku harus kembali ke sekolah yang membosankan. Saat aku masuk ke pintu kelas, aku disambut dengan kemarahan teman-temanku terutama Kaban. Ia sangat marah padaku meskipun aku tidak tahu tidak tahu apa yang telah terjadi.
“Woy Arman, elu ngeluarin semua anggota kelas kita yah?!!" amuk Kaban sambil mendorong badanku.
"Nggak, aku gak tau apa apa," jawabku kaget.
"Gak usah boong lu kalo gak suka, gak usah gitu dong," ujar Kaban dengan nada tinggi.
"Gak usah nuduh dong salah sendiri nyolong akun orang!" sahutku.
Kaban pun terdiam tetapi kejadian itu benar benar membuatku jengkel. Padahal dia yang salah mengapa justru dia marah-marah padaku.
Tetapi aku juga masih penasaran siapa yang telah memainkan akun itu. Aku semakin tidak suka dengan mereka yang menuduhku melakukan semua itu padahal kalaupun aku memang melakukanya aku tak seharusnya disalahkan karena mempertahankan hak.
Beberapa game online memang memungkinkan untuk dimainkan dengan teman secara berkelompok. Mereka menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok karena mereka memberikan jabatan wakil pemimpin kepada Kaban yang memungkinkan dia mengeluarkan anggota lain. Selain Kaban hanya aku yang bisa mengakses akun itu sekaligus mengeluarkan yang lain. Teman teman lain menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok.
Aku tak nyaman saat hendak pulang ke rumah. Aku dibayang bayangi oleh ketakutan akan dikeroyok oleh teman-teman sekelasku yang akan memburuku. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Aku melintas di jalanan sepi di sisi kiri dan kanan hanya kebun kosong yang jarang dilewati orang. Tapi itu satu satunya jalan untuk menuju rumahku.
Usahaku untuk keluar dari jalanan sepi ini dengan selamat sia-sia.
Ternyata yang kutakutkan benar-benar terjadi! Sungguh sial! Mereka menemukanku di sini sendirian, di tempat sepi!
Mereka langsung menarik kerah bajuku lalu mencari pohon terdekat dan langsung menekan dadaku di pohon tersebut untuk dijadikan korban "skip challange". Aku hanya bisa menahan rasa sakit di dada. Aku terjatuh dan pura-pura pingsan. Mereka pun langsung kabur melarikan diri tanpa satu orang pun yang menjadi saksi mata.
Semua kejadian buruk kemarin membuat kepalaku pusing semalaman. Saat tiba di sekolah aku melihat Mira bersandar di dinding kelas. Ia terlihat santai. Senyumannya tersungging. Aku pun langsung menghampirinya.
"Selene aku mau nanya dong kok tiba tiba tiba ada yang ngeluarin anggota kelompoknya Kaban di game padahal aku gak ngapa-ngapain loh?" tanyaku dengan nada penasaran.
"Eh Arman ngagetin aja! Oh soal itu hmm kayaknya aku tahu siapa pelakunya" ujarnya sambil tersenyum tengil.
"Siapa pelakunya kok kamu bisa tahu?" tanyaku dengan kaget.
"Dasar anak culun, kamu lupa yah kalo pas belajar kelompok kamu sempat main game di sampingku? Aku bisa lihat password-mu. Kamu gak curiga sama sekali aku masukin akun itu ke handphoneku dan aku lalu ngeluarin semua anggota kelompoknya si Kaban di dalam game hahaha…" jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kamu tega ngelakuin itu?” tanyaku terkejut.
"Salah sendiri gak waspada," jawabnya.
Aku hanya terdiam kesal.
Selenen lantas memandang wajahku dan langsung mengeluarkan senyumnya. Kali ini bukan senyum keangkuhan. Baru kali ini sepanjang aku mengenalnya aku melihat senyuman tulus terpajang indah di wajahnya. Ternyata kalau diamati, saat tak sedang jutek, Selene manis juga.
"Denger ya Arman, aku minta maaf aku ngelakuin ini buat ngasih pelajaran ke kamu biar kamu gak kecanduan main game lagi. Soalnya sebenarnya kamu itu gak bodoh tapi sejak kamu kecanduan main game nilai ulangan kamu mulai turun, kamu juga mulai malas ngerjain tugas, tolong maafin aku ya aku sebenernya gak punya hak buat lancang maenin akun kamu, "jawabnya dengan senyuman seperti malaikat.
Sejenak aku terdiam. Di antara marah atau bahagia. Tapi rasa bahagia agaknya yang lebih kuat menghinggapiku.
"Iya aku maafin kamu kok, mulai sekarang aku bakal berusaha ngilangin game dari pikiranku," jawabku membalas senyumannya.
Setelah kejadian itu aku berusaha membuang kesialan dari akun terkutuk itu. Akhirnya aku menjual akun itu. Aku menjualnya kepada anak sekolah lain karena jika kujual akun itu kepada anak satu sekolah aku takut anak itu akan diganggu oleh Kaban.
Aku menjual akun itu seharga 180 ribu. Mungkin ada hikmah dari semua kejadian ini. Aku mendapatkan keuntungan berlipat lipat daripada saat aku membeli akun itu dari David. Aku juga sadar di balik kecerewetannya, Selene ternyata sangat peduli padaku,
Aku sudah memberi tahu pembeli akun itu jika akan ada pemain lain yang mengakses akun itu. Aku pun memberi tahu Kaban jika ada pemain lain yang memainkan akun itu, maka itu bukanlah aku karena aku telah menjualnya.
Kaban terlihat agak menyesal karena tidak mencoba membeli akun itu dariku. Sekarang aku yakin dia tidak akan pernah bisa memainkan akun itu dengan tenang.
Langit malam tampak biasa saja di atas kota Depok, Jawa Barat pada tahun 2020—dipenuhi cahaya lampu jalan dan dengung motor yang terus berlalu-lalang. Tapi di sebuah rumah dua lantai di pinggiran kota, tiga anak sedang larut dalam dunia yang lebih jauh dari apa pun yang bisa dijangkau kendaraan: dunia Mars. Aku dan Selene dalam perjalanan ke ruimah mereka untuk melihat mereka bermain game meskipun saat ini ditengah pandemi covid 19.
"Lina, coba buka petanya. Gue yakin gua tempat telur itu ada di dekat Pegunungan Dusk!" seru Raka, dengan nada penuh semangat sambil mencondongkan tubuh ke arah layar laptop Lina.
Lina Chen, gadis keturunan Tionghoa berambut pendek dan berkacamata, menggeser layar sentuh di depannya. “Sebentar, Raka. Jangan asal nebak. Kita butuh koordinat yang akurat kalau mau buka pintu gua itu.”
Di layar mereka, terbentang peta interaktif yang memperlihatkan permukaan Mars—tapi bukan Mars biasa. Ini adalah dunia dalam game misterius yang baru mereka unduh dari forum tertutup seminggu lalu: Mars: Awakening of Beasts.
Arga, si jenius komputer yang pendiam, mengetik cepat di tablet transparannya. “Ini aneh. Data peta ini nyaris sama dengan hasil pemetaan NASA. Bahkan komposisi bebatuannya pas. Pegunungan Dusk… mungkin itu Olympus Mons.”
“Seriusan?” tanya Raka, matanya membulat.
Arga mengangguk. “Aku ngecek ulang data. Ini bukan main-main. Kalau benar, gua yakin ini lebih dari sekadar game.”
Lina mengerutkan kening. “Tapi ini cuma permainan, kan?”
Seketika layar mereka berkedip. Semua visual berubah menjadi gelap, lalu tulisan merah menyala muncul perlahan:
"TES DIMULAI. TEMUKAN TELUR PENJAGA. WAKTU ANDA TERBATAS."
Seketika, semua perangkat elektronik di kamar mati.
“Apa-apaan itu barusan?” Raka berdiri, cemas. “Gue gak suka ini.”
Belum sempat mereka berbicara lebih lanjut, suara aneh terdengar dari luar jendela. Suara... desiran angin yang membawa bisikan. Tapi tak ada angin malam ini.
Arga mendekati jendela. “Astaga…”
Di kejauhan, di langit malam yang cerah, ada kilatan merah samar. Bukan bintang. Bukan satelit. Seolah... ada sesuatu yang memanggil.
Lina menelan ludah. “Kalian ingat bagian intro gamenya? Katanya, ‘Yang terpilih akan dipanggil oleh Mars sendiri.’ Kalian pikir…”
Raka tertawa kaku. “Udah ah, ini pasti bagian dari promosi marketing atau augmented reality. Gak mungkin nyata.”
Tapi perasaan di dada mereka berkata lain.
---
Dua hari kemudian.
Pegunungan bersalju di wilayah utara Indonesia membentang sunyi. Di tengah badai kecil, Kami berlima yang biasanya duduk di depan layar kini berada di alam liar, mengenakan jaket tebal dan membawa perlengkapan pendaki.
"Menurut koordinat dari game, gua itu ada di balik lereng itu," ujar Lina sambil menunjuk peta di smartwatch-nya.
Raka, meski menggigil, tersenyum lebar. “Gue suka game ini. Seriusan. Gila.”
Arga, dengan drone mini terbang di belakangnya, memperingatkan, “Gua itu seharusnya tidak ada di peta mana pun. Tapi droneku menangkap struktur gua besar 200 meter ke depan.”
Setelah berjalan hampir sejam, mereka tiba di mulut gua yang tak terlihat dari luar. Dindingnya merah kehitaman, mirip bebatuan Mars. Dan di dalamnya... cahaya biru samar memancar.
Ketika mereka melangkah masuk, keheningan menyelimuti seisi gua. Di tengah ruangan, berdiri tiga telur raksasa—satu bersisik merah, satu biru berkilau, dan satu bertanduk kristal.
Seketika, lantai bergetar. Udara menjadi panas. Telur-telur itu berdenyut seakan... hidup.
“Apa kita harus—” tanya Arga, tapi kalimatnya terputus.
Karena saat mereka menyentuh masing-masing telur… dunia mereka runtuh. Cahaya menyilaukan membungkus tubuh mereka. Lantai menghilang di bawah kaki.
Dan mereka terjatuh. Bukan ke dalam lubang, tapi ke langit—menuju dunia merah yang menanti dengan rahasia ribuan tahun.
BAB 10: KONSTITUSI PRINCIPALITY OF MINERVA
Sekelompok pemberontak manusia di bumi yang kalah dan melarikan diri dari pemerintah dunia membangun sebuah kerajaan kecil di planet Mars dan dilindungi oleh para naga dan dinosaurus yang juga ingin melindungi Mars dari serangan bumi.
Di tengah hamparan merah dan lanskap gurun luas Planet Mars, berdirilah sebuah entitas yang memancarkan harapan dan kemajuan manusia: Principality of Minerva. Didirikan pada pertengahan abad ke-21 oleh sekelompok visioner yang percaya bahwa masa depan umat manusia ada di luar Bumi,
Minerva adalah kepangeranan pertama yang mengklaim keberadaan dan kedaulatan di planet merah. Apollo 17 menemukan sisa-sisa peradaban Mars kuno di permukaan bulan. Di dalamnya, terdapat perangkat teleportasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip sains yang sebelumnya tidak diketahui. Ini memberi umat manusia sarana untuk melakukan perjalanan seketika antara orbit Bumi dan Mars. Namun, hanya Principality of Minerva yang mengetahui teknologi rahasia itu. Teknologi yang jika jatuh ke tangan Pemerintah dunia bisa membuat mereka menaklukkan Planet Mars dengan mudah.
Langit Mars tampak gelap keunguan malam itu, diterangi dua bulan kecil yang menggantung di ujung cakrawala. Di sebuah dataran tinggi yang sepi dan sejuk, kelima anak itu—Arman, Raka, Lina, Arga, dan Wildan—berkumpul mengelilingi api unggun kecil.
Di sisi seberang api, duduklah Selene, wajahnya dingin seperti biasa. Tapi malam ini, matanya tampak lelah. Penuh beban. Seakan telah menanggung rahasia terlalu lama.
“Selene…” Arman membuka suara lebih dulu. “Aku tahu ini aneh, tapi… semua ini. Kita ke Mars. Game jadi nyata. Jam tangan. Jatayu. Pharaoh. Bahkan Wildan yang tiba-tiba muncul di sini… Kamu tahu lebih banyak dari yang kamu bilang, kan?”
Selene menatap ke dalam api sejenak, lalu menghela napas. Lalu mengangguk pelan.
“Aku yang membawa kalian ke sini,” katanya.
Semuanya terdiam.
“Apa?” bisik Lina.
“Aku... bukan manusia biasa,” lanjut Selene. “Aku dilahirkan di Bumi, iya. Tapi aku keturunan langsung dari Penjaga Bulan, ras kuno yang dulu pernah bekerja sama dengan Dewa Naga untuk menjaga keseimbangan di Mars. Pharaoh adalah ancaman lama… dan sekarang dia bangkit kembali. Dunia tidak siap. Kalian—kita—adalah satu-satunya harapan.”
Wildan memandangnya tajam. “Kamu tahu semua ini dari awal? Bahkan waktu kita masih SD?”
Selene menunduk. “Iya. Waktu pertama kali aku menyelamatkanmu, Arman… itu bukan kebetulan. Aku sudah tahu aura Jatayu melekat padamu sejak kecil. Raka, Arga, Lina… juga. Kalian semua punya potensi jiwa penjaga yang lama tersembunyi. Aku... hanya bisa membimbing dari jauh.”
Arman berdiri, perasaan campur aduk. “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?! Kenapa harus lewat game, lewat telur, lewat semua kejadian aneh ini?”
Selene bangkit perlahan, wajahnya murung namun tegas.
“Karena aku takut. Takut kalian menolak. Takut kalian menganggapku gila. Dan… karena ini satu-satunya cara. Pharaoh hanya bisa dikalahkan oleh jiwa-jiwa muda yang murni, yang dipilih oleh partner mereka sendiri. Kekuatan kalian hanya bisa bangkit… jika kalian menjalaninya dengan kehendak bebas.”
Ia menatap semua satu per satu.
“Aku minta maaf. Aku tidak memaksa kalian. Tapi aku... berharap kalian mengerti. Aku tidak bisa melawan Pharaoh sendirian. Aku butuh kalian semua. Bahkan Wildan, yang waktu itu… menghilang, bukan karena kecelakaan. Tapi karena aku ‘menariknya’ lebih dulu ke Mars, agar dia jadi pelindung pertama yang siap menghadapi bayangan Pharaoh.”
Wildan menarik napas panjang. “Itu sebabnya… aku merasa sudah lama ada di sini. Tapi tidak mengerti kenapa.”
Selene mendekat ke arah api unggun. “Aku tidak minta kalian memaafkanku sekarang. Tapi ketahuilah satu hal…”
Ia mengangkat tangannya, dan dari langit muncul pancaran cahaya keperakan, lalu turun lambat membentuk simbol bulan sabit di tanah.
“Kalian bukan hanya teman-teman masa kecil. Kalian adalah Penjaga Terakhir Mars.”
Suasana hening.
Lalu, perlahan… Arman duduk kembali. Ia menatap api, lalu menatap Jatayu yang duduk tenang di kejauhan. Mata burung naga itu memancarkan cahaya hangat, seolah memahami semuanya.
Akhirnya, Arman mengangguk pelan. “Kalau kau sudah percaya pada kami sejak awal… maka kami akan percaya padamu sekarang.”
Raka berdiri, mengepalkan tinju. “Ayo, komandan bulan. Kita buktikan bahwa naga jahat nggak bisa lawan kekuatan bocah SD Margahayu 04!”
Lina tertawa kecil sambil mengusap matanya. “Kita selesaikan ini bersama, ya.”
Arga hanya mengangguk—diam tapi penuh makna.
Dan malam itu, di bawah langit asing Mars, lima sahabat dan seorang gadis bulan meneguhkan niat mereka: *menghadapi Pharaoh dan menyelamatkan dunia merah ini dari kehancuran*.
---
Posting Komentar