Prolog: Legenda Naga Pharaoh dan Penahanan Kekuatannya


Di masa lalu yang sangat jauh, di planet merah yang kini dikenal sebagai Mars, hiduplah makhluk-makhluk luar biasa: naga perkasa dan dinosaurus bijaksana. 

Mars adalah planet keempat dari Matahari, sering disebut "planet merah" karena warnanya yang merah kemerahan. Mars adalah planet berbatu dengan atmosfer tipis dan sering dijuluki "planet merah". Mars juga dikenal sebagai planet yang musimnya paling mirip dengan Bumi. 


Naga Pharaoh, penguasa kejahatan, bangkit dengan kekuatan kegelapan yang mengerikan. Ia ingin menaklukkan seluruh Mars dan menindas semua kehidupan di sana. Untuk menghentikannya, empat Dewa Naga bersatu dan menggunakan empat Senjata Dewa yang legendaris. Mereka dibantu oleh dua belas dinosaurus Shio, yang merupakan penjaga zaman purba dengan kekuatan luar biasa.


Setelah pertarungan sengit, Pharaoh berhasil dikurung dalam penjara magis yang tersembunyi di dalam gunung tertinggi Mars. Namun, kekuatannya tidak benar-benar lenyap.


Dewa Naga dan para dinosaurus Shio tahu suatu saat nanti Pharaoh akan bangkit kembali. Mereka pun mengadakan pertemuan rahasia.


“Kita harus mempersiapkan generasi baru untuk melawan Pharaoh,” kata salah satu Dewa Naga.

“Tapi kita tidak bisa menggunakan makhluk dari dunia kita saja,” jawab seekor dinosaurus Shio.

“Kita harus mencari bantuan dari makhluk lain, dari planet lain…”

Namun kekuatannya tidak benar-benar lenyap.


“Mereka yang memiliki jiwa yang kacau, namun memiliki potensi besar…”


“Mereka harus dipanggil… melalui dunia digital…”


Beberapa abad kemudian, di planet Bumi, sebuah game misterius mulai muncul di forum-forum gelap: Mars: Awakening of Beasts. Game ini konon mampu membaca kepribadian pemainnya dan mengakses “dimensi lain”.


Namun tak banyak yang tahu: game itu adalah alat pemanggil kuno. Program dari Mars yang disamarkan dalam bentuk hiburan. Pemain yang “lulus” ujian dalam game ini akan menjadi kandidat penjaga Mars.

Arman, seorang anak SMP dari Depok, adalah salah satu dari mereka.

Mars: Awakening of Beasts adalah alat seleksi dari Mars yang menyamar sebagai game biasa, muncul di ponsel anak-anak seperti Arman.


Ia tidak tahu bahwa hidupnya—yang dipenuhi kekacauan, demo pelajar, konflik sosial, dan kecanduan game—telah membuatnya diperhatikan oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.

XXX

Di kota Margahayu, Arman, seorang anak Kelas 4 SD yang tinggal di pinggir jalan, merasa kesepian karena rumahnya sepi dan kedua orangtuanya sering bekerja. Terbiasa membaca komik superhero, Arman merasa bosan dengan kehidupan sehari-harinya yang monoton.

"Hidupku di pinggir jalan selalu terasa sepi. Orangtuaku sibuk bekerja, dan teman-teman sepertinya tak pernah ada waktu untukku. Sementara aku, Arman, tenggelam dalam dunia komik superhero yang membawa warna kehidupan yang tak kunjung hadir dalam keseharianku." Gerutu Arman.

Meskipun menyukai komik superhero, Arman tidak tertarik pada pahlawan yang selalu menang. Sebaliknya, dia terpesona oleh penjahat super yang terlihat keren dan penuh tantangan. Suatu hari, kota itu diguncang oleh kehadiran seorang gadis penyihir cantik berkekuatan super yang menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan.

Terciptalah ide brilian dalam pikiran Arman. Dia memutuskan untuk menjadi penjahat super dan menjadikan gadis penyihir itu sebagai musuhnya. Dengan semangat yang baru ditemukan, Iliad bergegas ke gudang keluarganya, mulai membangun robot canggih dan senjata-senjata aneh untuk melawan sang gadis penyihir.

Arman, yang sebelumnya merasa kesepian, kini memiliki tujuan baru yang membuatnya antusias. Setiap malam, dia bekerja dengan penuh semangat di gudangnya, menciptakan perangkat-perangkat yang dia yakini akan membuatnya menjadi penjahat super yang menantang.

XXX

Di Studio Berita TV, sorotan kamera bergeser ke presenter berita yang menyambut pemirsa dengan senyuman tulus.

Presenter: "Selamat malam, pemirsa setia! Kita memiliki berita istimewa hari ini yang akan membawa sentuhan keajaiban ke kehidupan kita. Di tengah kekacauan dan kegelapan, hadir sosok penuh cahaya yang siap membawa harapan bagi kita semua."

Layar belakangnya berubah, memperlihatkan adegan kota yang diliputi kegelapan dan kekhawatiran.

Presenter: "Ya, pemirsa, inilah Selene, gadis penyihir yang tiba-tiba muncul sebagai pelindung kita dari ancaman tersembunyi. Dengan kekuatan super yang dimilikinya, dia telah memulihkan harapan dan memancarkan cahaya di saat kita membutuhkannya."

Cuplikan video memperlihatkan Selene dalam aksi, menggunakan kekuatannya untuk melawan kejahatan dan melindungi penduduk kota.

Presenter: "Selene, dengan tongkat ajaibnya dan tekad yang kuat, telah menghadapi Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan kepada kita. Kehadirannya adalah bukti bahwa pahlawan sejati dapat muncul di saat-saat sulit."

Layar berubah menampilkan wawancara singkat dengan Selene yang tersenyum penuh kepercayaan.

Selene: "Saya di sini untuk melindungi dan membawa harapan kepada kalian semua. Bersama-sama, kita dapat menghadapi tantangan dan membangun masa depan yang lebih cerah."

Dalam sebuah konferensi pers di berita TV, Selena mengungkapkan identitasnya sebagai Magical Girl atau Mahou Shoujo, putri dari dimensi lain. Dengan penuh keanggunan, ia berbicara tentang misinya untuk melawan Hollow, mahluk kegelapan yang membawa keputusasaan pada manusia.

Selena menjelaskan bahwa kekuatannya berasal dari harapan dan cinta, yang menjadi senjata utamanya dalam melawan kegelapan. Ia diutus ke Bumi untuk memerangi Hollow dan menjaga keberlangsungan harapan di hati manusia.

Tak hanya melawan makhluk supernatural, Selena juga memiliki tanggung jawab untuk melawan berbagai kejahatan yang dilakukan manusia di Bumi. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia bersumpah untuk menjaga perdamaian dan keadilan di dunia ini.

Berita ini menjadi pusat perhatian, dan masyarakat pun mulai memahami bahwa di balik penampilan gadis penyihir yang misterius, Selena adalah pelindung yang gigih, membawa harapan dan cinta untuk melawan kegelapan yang mengintai dunia.

Presenter: "Pesan optimis dari Selene untuk kita semua. Mari kita dukung gadis penyihir pemberani ini dalam perjuangannya melawan kegelapan. Terima kasih, Selene, atas dedikasimu untuk menyelamatkan bumi!"

Seiring presenter mengakhiri berita, gambar Selene yang menjulang di langit mengakhiri siaran dengan pesan kekuatan dan harapan bagi seluruh penonton.

XXX

Aku membaca tentang pahlawan super di buku komik yang selalu menang, tapi itu membuatku bosan. Mereka terlalu sempurna, terlalu baik, terlalu tak terkalahkan dan membuat semua cerita berakhir klise. Aku lebih tertarik pada penjahat super yang terlihat keren dan selalu memberikan tantangan nyata bagi pahlawan.

Hingga suatu hari, kota ini dikejutkan oleh kehadiran gadis penyihir bernama Selena. Dia punya kekuatan super dan menggunakan keahliannya untuk melawan kejahatan. Ide langsung muncul dalam pikiranku: kenapa tidak aku jadi penjahat super? Mungkin dengan cara itu, aku bisa menarik perhatian dan mengubah kehidupanku yang monoton. Aku bisa menjadi penjahat super dan musuh bebuyutan Selena.

Langsung saja aku pergi ke gudang keluargaku. Alat-alat canggih dan rencana jahat pun mulai tercipta. Meskipun sebenarnya aku tak punya niat jahat, aku hanya ingin hidupku menjadi lebih berwarna. Kekacauan yang aku ciptakan di kota ini hanya untuk menarik perhatian Selena. Aku hampir lupa selain teknologi canggih aku sebenarnya lumayan jago akrobat, selain itu kemampuanku dalam bela diri Muay Thai juga terbilang hebat.

Sebagai Anonymous Hatter, identitasku tersembunyi di balik topeng berbentuk Tes Psikologi Rorschach yang polanya berubah mengikuti ekspresi wajahku dan topi ala detektif. aku menciptakan kekacauan di kota ini. 

Dibalik topeng Anonymous Hatter, aksiku menciptakan kekacauan dengan mencoret-coret tembok stasiun kereta api. Menggunakan skateboard mesin jet, aku dengan cepat melarikan diri saat dikejar petugas kereta, memberikan sentuhan aksi yang spektakuler.

Aku tak berhenti di situ. Dengan kekuatan teknologi, aku menciptakan hologram raksasa berbentuk monster, menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk kota. Kembang api yang menyala membuat malam menjadu berisik dan kacau, mengganggu ketenangan kota tanpa seorangpun mengetahui identitasku.

Meskipun mungkin terlihat aneh dan misterius, niatku sebenarnya tidak jahat. Semua ini hanyalah cara ekstrem untuk menarik perhatian Selena dan mewujudkan impianku menjadi penjahat super buku komik di dunia nyata. Aku menyiapkan senjata dan robot raksasa untuk melawan Selena, bukan untuk membuat orang terluka tapi sebagai bentuk usaha ekstrim untuk menariknya keluar dari kesehariannya yang penuh tanggung jawab.

Mungkin keputusanku terlalu ekstrim. Topengku dan kekacauanku hanya upaya untuk menarik perhatian Selena, gadis penyihir yang telah membawa warna baru dalam hidupku. Dibalik kesepian dan kekacauan, aku berusaha menemukan arti kehidupan yang lebih dalam, 

Aku yakin bahwa dengan cara ini, aku bisa mendapatkan perhatian Selena dan mengubah kehidupanku yang sebelumnya monoton menjadi petualangan yang lebih berwarna bersama gadis penyihir baru yang misterius ini.

Namun, semuanya berubah ketika Selena mengetahui niat sebenarnya di balik kekacauanku. Dia melihat kesepian di balik setiap perbuatan, dan tiba-tiba aku merasa tak sendiri lagi. Bersama Selena, aku belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam tindakan baik dan persahabatan. Kami pun tidak hanya menjadi pahlawan dan penjahat, tapi juga sahabat yang saling mendukung dan menghadapi kehidupan bersama-sama.

Bersama Selena, aku menemukan bahwa persahabatan adalah kekuatan sejati. Anonymous Hatter tidak hanya sebuah identitas, melainkan perjalanan untuk menemukan kebahagiaan dan arti dalam kehidupan yang sebelumnya terasa monoton.

XXX

Anonymous Hatter mengangkat topinya dengan senyum misterius, "Hei, hei, hei. Lihat siapa yang memutuskan untuk melangkah ke dalam dunia kacauku. Selene, gadis ajaib. Kesempatan bagus untuk bertemu. Namaku Anonymous Hatter"

Selene menatap tajam, "Anonymous Hatter, keusilanmu berakhir di sini. Aku tak akan membiarkanmu menyakiti penduduk kota ini lebih lama."

"Oh, bukankah kamu yang selalu mencoba menyelamatkan hari? Apa yang membawamu ke sudut kacauku ini, gadis ajaib?" tanya Anonymous Hatter, matanya berkilat.

"Aku mendengar tentang tindakanmu, dan aku tak akan mentolerirnya. Kelakuanmu mungkin menghiburmu, tetapi menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang. Saatnya mengakhiri ini," ujar Selene dengan ketegasan.

"Kegelisahan, katamu? Nah, aku tak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Aku hanya ingin menambahkan sedikit kegembiraan ke dunia yang monoton ini," Anonymous Hatter menjawab dengan senyum penuh misteri.

"Kegembiraan dengan mengorbankan kedamaian orang lain tidak dapat dibenarkan. Aku tak akan membiarkanmu terus menyebarkan kekacauan," tegas Selene.

"Kau bisa mencoba, Selene. Tapi aku peringatkan, tidak selalu semua seperti yang terlihat. Bersiaplah untuk sedikit kejutan dalam pertemuan ajaib ini," kata Anonymous Hatter sembari menghilang dalam bayangan kekacauannya.

Selene menyikapi, "Aku akan menghadapi semua tantangan yang datang. Tugasku melindungi kota ini dari orang sepertimu, Anonymous Hatter."

[Pertemuan ini berlanjut setiap malam dengan pertarungan ajaib antara Selene dan Anonymous Hatter, masing-masing bertekad untuk mempertahankan versi keadilan mereka sendiri.]

XXX

Setelah sekian lama menikmati pertarungan melawan Selena sebagai Anonymous Hatter, Arman tersentak saat membaca surat kabar dan menonton berita di TV.

Arman merasa panik dan cemas ketika melihat berita di TV jika Selene yang kini tinggal di bumi akan bersekolah di sekolah yang sama dengan Arman. Kecemasannya bertambah saat menyadari jika mereka akan menjadi teman sekelas.

Setiap langkah Selene di sekolah menjadi sorotan, dan dia cepat menjadi gadis paling populer. Cantik, baik. Meskipun dia terkadang agak polos dan lugu, ia menarik banyak penggemar. Namun, Arman merasa panik menyadari bahwa Selene berada di sekolahnya.

Dia datang ke sekolah dengan Limosin yang dikawal oleh pasukan dimensi lain dan selalu disertai karpet merah.

Arman tahu betul bahwa jika identitasnya sebagai Anonymous Hatter akan terbongkar jika dia dekat dekat dengan Selene, segala kekacauan yang ia ciptakan mungkin akan membahayakan dirinya jika diketahui banyak orang. Meskipun Selene sepertinya tak menyadari sisi gelapnya, Arnman berusaha menjaga rahasia itu agar tak terungkap.

Sementara Selene dengan santainya menjalani kehidupan sekolahnya, Arman berusaha menjaga jarak, takut bahwa ketika waktu tiba, seluruh sekolah akan mengetahui keberadaan Anonymous Hatter dan seluruh kekacauan yang ia ciptakan untuk menarik perhatian Selene.

Namun, karena Selene adalah seorang gadis yang polos dan ceria, ia justru merasa penasaran dengan keberadaan Arman yang pendiam, satu-satunya anak yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya. Arman memang dikenal sebagai anak yang sangat cerdas dan rajin, tapi ia juga pemalu, pendiam, pemarah, agak suram, dan pemurung hingga tak memiliki seorangpun teman. Selene mencoba mendekati Arman meski Arman merasa tak nyaman.

Selene melangkah mendekati Arman dengan senyum ramah, "Hai, namaku Selene. Aku baru saja pindah ke sekolah ini. Kamu Arman, kan?"

Arman melirik ke atas dari bukunya, "Oh, eh, iya. Salam kenal, Selene. Kamu baru pindah? Bagaimana pendapatmu tentang sekolah ini?" Iliad berusaha ramah dan terlihat normal.

Dengan semangat, Selene menjawab, "Iya, benar. Sekolah ini besar sekali! Aku senang bisa bertemu dengan teman baru. Bagaimana denganmu, Arman? Apakah kamu suka di sini?"

Iliad menyipitkan matanya sedikit, "Hmm, ya, sih. Ini tempat yang baik. Tapi aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca komik di sudut perpustakaan."

"Oh, itu menarik! Aku suka membaca juga, terutama tentang pahlawan super. Kamu suka komik pahlawan super juga?" Selene bertanya dengan antusias.

Arman melihat Selene dengan ekspresi sedikit ragu, "Eh, bukan, sebenarnya aku lebih suka cerita tentang penjahat super yang keren. Mereka terkadang lebih menarik."

Senyum Selene tidak luntur, "Wow, kau benar-benar memiliki selera yang unik, Arman. Mungkin suatu hari kita bisa membahas lebih banyak tentang komik."

Arman mengangguk pelan, "Mungkin... ya, tentu. Itu akan bagus."

Dengan penuh semangat, Selene menyimpulkan, "Oke, Arman. Aku senang bisa bertemu denganmu. Mari kita menjadikan tahun ajaran ini tahun yang menyenangkan bersama!"

Arman tersenyum kecil, "Iya, Selene. Aku rasa itu akan menjadi hal yang baik."

Pertemuan mereka tak terduga membuat Arman berpikir ulang tentang rencananya menjadi penjahat super. Selena membantu Arman menyadari bahwa kebaikan bisa membawa kebahagiaan lebih daripada kejahatan. 

Akhirnya, Arman pun menerima Selene sebagai teman baiknya. Namun, hubungan mereka membuat teman sekelas Arman yang naksir dan mengagumi Selene salah paham dan merasa cemburu. Kedekatan Arman dengan Selene memicu ketegangan di antara mereka, menciptakan dinamika yang rumit dan lucu di lingkungan sekolah.

XXX

Hujan turun dengan ragu di kota kecil itu. Langit berwarna abu, tapi bukan abu biasa. Arman, bocah kelas dua SD, berdiri di pinggir jalan dengan wajah kebingungan. Ia baru saja tersesat.


Ibunya menyuruhnya pulang duluan, tapi Arman mengambil jalan berbeda, jalan yang belum pernah ia lewati. Entah karena iseng, atau karena ada sesuatu yang menarik langkah kecilnya ke sana.


Lalu… klakson keras membelah udara. Sebuah mobil melaju terlalu cepat di tikungan.


Arman tak sempat bergerak.


Tapi waktu seakan membeku.


Udara menjadi berat. Bunyi kendaraan melambat, seperti diputar dalam slow motion. Dan dari sisi jalan, muncullah seorang gadis kecil, mengenakan mantel merah gelap dan payung ungu yang tak terbuka.


Dia melangkah masuk ke jalan dengan tenang, mengangkat satu tangan ke arah mobil. Dalam sekejap, kendaraan itu berhenti, bukan karena rem, tapi seperti… terhisap oleh ruang yang tak terlihat.


Arman terjatuh karena syok, tapi tubuhnya tak terluka sedikit pun.


“Tenang saja,” kata gadis itu.


Suara yang lembut tapi bergema, seperti bisikan dari dalam gua yang sangat luas.


“Aku di sini.”


Arman menatap gadis itu. Rambutnya perak, matanya kuning keemasan. Tak ada anak SD seperti itu. Bahkan orang dewasa pun tak ada yang punya aura seaneh ini.


“Siapa kamu?” tanya Arman.


“Namaku Selene,” jawabnya sambil tersenyum. “Aku penyihir dari tempat jauh. Aku datang ke dunia ini untuk menjagamu.”


Arman yang masih polos memiringkan kepala. “Menjagaku? Dari apa?”


Selene tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang masih muram. Di balik awan gelap, sesaat tampak semburat merah aneh—bukan warna senja. Lebih menyerupai bara api dari tempat yang sangat jauh.


“Dari sesuatu yang sedang bangkit… sesuatu yang pernah membakar dunia.”


Mata Arman membelalak. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Selene berjongkok dan menggenggam tangannya.


Tangan itu dingin, tapi juga penuh cahaya. Sesuatu seperti percikan bintang mengalir dari telapak tangan Selene ke dada Arman.


“Di dalammu ada kekuatan yang belum bangun,” katanya.


“Apakah aku... penyihir juga?” Arman bertanya dengan polos.


Selene tersenyum lebih lembut.


“Belum. Tapi kamu akan menjadi penjaga. Kalau kau mampu bertahan.”


Arman tak mengerti. Tapi sesuatu dalam dirinya merasa hangat, seperti… ditemukan. Dikenali.


“Kenapa aku?” bisiknya.


“Karena hanya jiwa yang pernah dilukai… yang bisa memahami kehancuran. Dan menolaknya.”


Arman tak mengerti sepatah kata pun.


Tapi ia mengangguk.


---


Saat langit kembali cerah dan mobil itu hilang entah ke mana, Selene berdiri dan berkata pelan, “Waktu kita belum tiba. Tapi kamu akan mengingatku... saat kamu paling membutuhkannya.”


Lalu, seperti bayangan yang tertiup angin, dia lenyap.


---


Arman pulang ke rumah dengan langkah berat. Ia mencoba menceritakan semua kepada ibunya, tapi sang ibu hanya berkata:


“Kamu kelelahan. Mungkin kamu mimpi.”


Tapi Arman tahu itu bukan mimpi.


Ia tahu sesuatu telah berubah dalam dirinya.


Hanya saja... seiring waktu berlalu, dan hidup makin berat, ia mulai meragukan ingatannya sendiri.

XXX

Langit di atas sekolah dasar itu cerah, tapi panas menyengat seperti biasanya. Lonceng istirahat berbunyi, dan murid-murid SD Negeri Margahayu 04 berserakan ke segala arah. Sebagian menuju kantin, sebagian main bola plastik, sebagian lagi berebut ayunan yang hampir rubuh.

Di pojok lapangan, di bawah pohon asam yang besar, lima anak duduk melingkar di atas tikar plastik warna biru. Mereka membawa selembar peta lusuh, tiga tutup botol yang diwarnai seperti kapsul luar angkasa, dan beberapa batu kecil sebagai “laser penembak alien”.

Kelima anak itu adalah Arman, Selene, dan tiga sahabat mereka sejak kelas empat: Raka, Lina, dan Arga.

Raka adalah anak yang paling berisik dan paling aktif di antara mereka. Ia memiliki suara yang selalu terdengar lima meter lebih jauh dari yang lain, dan punya obsesi aneh terhadap dinosaurus, robot, dan kekuasaan. Ia sering menyebut dirinya “komandan misi” meski tidak ada yang mengangkatnya secara resmi.

Arga duduk sedikit menjauh dari lingkaran, seperti biasa. Ia lebih pendiam, tapi diamnya bukan karena pemalu—lebih karena pikirannya selalu sibuk dengan hal-hal lain. Anak ini jenius dalam hal teknologi. Di usia sembilan tahun, ia sudah bisa memperbaiki kipas angin rusak dan membaca manual perakitan drone seolah itu komik anak-anak.

Lina Chen adalah yang paling rasional di antara mereka. Keturunan Tionghoa dengan rambut pendek rapi dan kacamata besar yang kadang-kadang melorot ke ujung hidungnya, Lina membawa buku catatan biru ke mana pun ia pergi. Ia menyukai data, logika, dan sering menjadi juru damai ketika Raka mulai terlalu menghayati peran sebagai pemimpin misi luar angkasa.

“Menurut kalian, kalau Mars itu benar-benar hidup, bentuk aliennya gimana?” tanya Raka, dengan mulut penuh gorengan.

“Kayak amoeba bersayap,” jawab Lina cepat, mencoret-coret sesuatu di bukunya. “Aku baca di National Geographic, kemungkinan bentuk kehidupan ekstraterestrial itu ekstremofil.”

Arga mengangguk pelan. “Aku pernah mimpi ada dinosaurus di Mars. Tapi bukan dinosaurus biasa. Mereka bisa bicara. Dan punya armor di punggung.”

Raka terkekeh. “Armor? Kayak robot dong. Dinosaurus Iron Man!”

Arman duduk bersila, menggambar sesuatu di tanah dengan ranting. “Tapi kalau ada kehidupan, berarti Mars bisa sadar dong? Kayak planet hidup.”

Selene—yang baru duduk di pinggiran lingkaran, seperti biasa tiba-tiba muncul tanpa suara—menatap mereka semua dengan tenang. Rambut peraknya sedikit berkibar tertiup angin sore. “Mars bukan cuma hidup. Mars bisa memilih siapa yang dipanggil.”

Semuanya langsung menoleh.

“Apaan sih?” celetuk Raka sambil melempar kulit gorengan ke semak-semak.

“Tapi kayaknya keren juga,” kata Lina pelan.

“Kalau Mars manggil kita, kalian mau?” tanya Arman setengah bercanda.

“Kalau ada naga,” jawab Arga. “Gue ikut.”

Raka berdiri dengan gaya teatrikal, menunjuk ke langit biru. “Kalau Mars punya kerajaan dinosaurus, gua bakal jadi rajanya! Raka si Pemimpin Ganas!”

Mereka semua tertawa.

Selene hanya tersenyum tipis, menatap Arman. “Siapa tahu… kalian memang akan dipanggil.”

---

Beberapa detik sunyi. Hanya suara bel istirahat kedua yang memanggil mereka kembali ke kelas.

“Ayo masuk sebelum Pak Eko lempar kapur lagi,” kata Lina, menutup bukunya.

Arman berdiri, menatap gambar di tanah—seekor naga bersayap besar dengan mata bulat tajam. Ia memandangi langit biru sebentar sebelum berlari mengikuti teman-temannya.

Ia tidak tahu… bahwa apa yang mereka bayangkan hari itu bukan sekadar khayalan anak-anak.
Tapi janji masa depan.
Dan Mars memang sedang mendengarkan.

XXX

Arman melanjutkan aksinya sebagai Anonymous Hatter, namun kali ini dia berfokus untuk mengalahkan penjahat sungguhan yang berbahaya, seperti perampok dan pembegal, dengan tujuan mencegah mereka melukai Selene. Dalam upayanya untuk menjaga Selene tetap aman, Arman memutuskan untuk melawan Selene tanpa membawa hal-hal yang dapat membahayakannya, menunjukkan niat baiknya yang tulus agar popularitasnya meningkat dan dia lebih diterima banyak orang.

Selene berdiri di ruangan gelap yang dipenuhi oleh aroma mistis. Di tangannya, tongkat ajaibnya berkilauan pelan, memantulkan cahaya lembut. Tiba-tiba, pintu di ujung ruangan terbuka perlahan, dan langkah kaki yang dikenalnya dengan baik terdengar di keheningan.

Selene yang berhasil merebut topeng Anonymous Hatter sebelum Arman melarikan diri melemparkan tatapan tajam pada Anonymous Hatter. "Kau, Anonymous Hatter, akhirnya muncul juga."

Arman, yang selama ini bersembunyi di balik topeng misteriusnya, melangkah masuk. Sorot mata penuh misteri menggambarkan kejenakaan dan rahasia yang selama ini menyelimuti identitasnya.

Arman dengan senyuman misterius menjawab "Selene, gadis penyihir yang penuh cahaya. Kau memang bisa melihat melampaui ilusi yang kupasang."

Selene menyuarakan ketajamannya "Identitasmu terungkap, Arman. Mengapa kau melakukan semua ini?"

Arman menjawab dengan nada misterius "Sebab kehidupan ini adalah panggung, dan kita semua hanyalah pemain di dalamnya. Aku, Anonymous Hatter, hanya menciptakan drama agar dunia bisa menyaksikan keajaiban dan ketidakpastian."

Wajah Serius Selene mengungkapkan keprihatinan "Tapi tindakanmu telah membawa kekacauan dan kekhawatiran. Mengapa harus dengan cara seperti ini?"

Arman tersenyum misterius "Kekacauan memunculkan perubahan, dan ketidakpastian melahirkan keajaiban. Kau, Selene, adalah bagian dari pertunjukan besar ini."

Dengan tekad yang meyakinkan, Selene menyatakan: "Aku tidak akan membiarkan pertunjukanmu terus berlanjut. Aku di sini untuk membawa cahaya, bukan untuk menjadi bagian dari drama gelapmu."

Arman menjawab dengan mata penuh kejenakaan "Ah, Selene, gadis penyihir pemberani. Mari kita lihat bagaimana kau menanggapi ketidakpastian yang kubawa." Selene mengangkat tongkat ajaibnya, siap menghadapi Anonymous Hatter dalam pertunjukan dramatis antara cahaya dan kegelapan. Namun Arman hanya menyerah tanpa syarat.

Selene berhasil menangkap Anonymous Hatter dan membuka topeng Arman. Dalam kekecewaan dan kemarahannya, Selene menyadari bahwa teman sekelasnya yang baik ternyata adalah musuh bebuyutannya selama ini. Tanpa ragu, Selene membawa Iliad terbang menuju orangtuanya yang berada di luar negeri dengan kekuatan sihir teleportasi .

Selene memasuki ruangan dengan wajah serius, "Permisi, apa kalian orangtua Arman?  saya membawa dia ke sini karena saya menemukan sesuatu yang mungkin akan membuat Anda terkejut."

Orangtua Arman yang cemas bertanya, "Apa yang terjadi, Selene? Apa yang kamu maksud?" Selene sangat terkenal, bahkan untuk orang di luar negeri.

Dengan suara gemetar, Selene mengungkapkan, "Iliad sebenarnya adalah Anonymous Hatter, orang yang menciptakan kekacauan di kota Abarjeijan. Saya tidak tahu bahwa dia adalah teman sekelas saya."

"Oh, Tuhan! Apakah ini benar? Iliad, apa yang kamu pikirkan?" seru Orangtua Arman, terkejut.

Armandengan wajah bersalah menjawab, "Maaf, Ma, Pa. Saya tidak bermaksud membuat masalah. Saya hanya mencoba membuat hidup saya lebih menarik."

Orangtua Arman dengan ekspresi serius mencela, "Kamu perlu menyadari bahwa tindakanmu dapat berdampak besar, Nak. Kami harus menangani ini bersama-sama."

Selene memberi penjelasan, "Saya membawa Arman ke sini agar dia bisa belajar dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Saya berharap Anda bisa membantunya melalui proses ini."

Ayah Arman  menyampaikan, "Kami berterima kasih, Selene. Kami akan mendukung Arman dan berusaha memahaminya lebih baik. Semoga dia bisa memperbaiki kesalahannya."

Selene menambahkan dengan harapan, "Terima kasih, Pa, Ma. Saya yakin Iliad memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita bisa bersama-sama membimbingnya ke arah yang benar."

Dengan tegas, Selene meminta orang tua Arman untuk menjaganya agar tidak berbuat kenakalan dan terus mengawasinya. Keputusan ini diambil sebagai langkah untuk meneguhkan perubahan dalam hidup Iliad, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan memberinya kesempatan untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik.

Tak lama setelah Arman dihukum dan dikurung di kamarnya oleh orangtuanya akibat kenakalannya, dia menonton berita di TV yang melaporkan bahwa Selene ditangkap oleh Hollow. Arman merasa terpukul dan berkeinginan untuk berubah menjadi Anonymous Hatter demi menyelamatkan Selene.

Namun, orangtuanya melarangnya dengan tegas. Sebagai hukuman tambahan, Iliad diisolasi dalam kamar selama seminggu dan dilarang memegang perangkat gadget apa pun. Arman pun dipenuhi rasa dilema: apakah dia harus tetap mematuhi larangan orangtuanya, meski melihat Selene dalam bahaya? Ataukah dia harus tetap bersikeras menyelamatkan Selene, terlepas dari konsekuensi yang mungkin terjadi?

XXX

Langit sore waktu itu mendung, seperti ingatan yang nyaris pudar.

Sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu. Sejak Arman bertemu Selene di tengah jalan, waktu ia nyaris ditabrak mobil. Sejak gadis kecil berambut perak itu mengangkat tangannya dan menghentikan dunia seolah-olah waktu sendiri tunduk padanya. Sejak ia berkata, “Namaku Selene. Aku penyihir dari dimensi lain.”

Tapi kini semua itu tinggal serpihan. Entah mimpi masa kecil, delusi karena trauma, atau benar-benar terjadi. Arman sendiri tak lagi yakin.

Saat ia pindah ke Depok setelah kematian ayahnya, semuanya terasa berat. Ibunya makin jarang bicara. Rumah makin sempit. Dan sekolah… adalah tempat yang membuatnya merasa lebih kesepian dari siapa pun.

Pelajaran bertumpuk. PR datang setiap hari. Guru-guru lebih suka berteriak daripada mendengar. Teman-teman hanya tertawa saat bisa memanfaatkan. Dunia seperti tak peduli pada anak-anak sepertinya.

“Kalau kau tak bisa jadi pemenang, jadilah yang ditakuti,” kata Wildan, salah satu teman sekelasnya, suatu hari.

Arman nyaris percaya.

Tapi jauh di dalam dirinya, ada bagian kecil yang menolak. Bagian yang masih percaya pada dunia lain, dunia tempat makhluk bersisik terbang di langit merah, tempat keajaiban adalah hal nyata. Dunia tempat seseorang seperti Selene bisa muncul hanya untuk menyelamatkannya.

Beberapa malam, Arman bermimpi: dia berjalan di gurun merah, mendengar suara sayup-sayup memanggil namanya. Kadang ia melihat bayangan naga di langit, kadang suara detak jam tangan berbunyi seperti jantungnya sendiri.

 “Arman…”

Ia selalu bangun dengan napas terengah dan peluh dingin. Tapi esok harinya, hidup kembali menuntutnya untuk lupa.

---

Di sekolah, ia mulai lebih banyak diam. Ia bukan anak baik, tapi juga bukan penjahat. Ia berada di antara — liminal — tak punya tempat. Ia tidak pandai dalam pelajaran, tidak pula cukup kuat untuk dianggap jagoan.

Saat ia duduk di bangku SMP dan menjalani kehidupan yang makin keras, ia kadang melihat rambut perak itu di kerumunan, atau mata keemasan yang menatapnya dari kejauhan.

Dan pada suatu malam yang paling gelap dalam hidupnya...

...ketika semuanya terasa sia-sia...

...ia akan mengingat Selene.

Dan dari sanalah semuanya dimulai.


Malam itu, saat ia sendirian di kamar, jam tangannya menyala merah.

Dan di pojok layar ponsel, muncul ikon aplikasi yang tak pernah ia unduh.


XXX

Aku benar benar muak dengan sekolahku. Ini baru sehari diberi pekerjaan rumah (PR), besoknya diberi PR lagi, terkadang dua mata pelajaran diberikan PR di hari yang sama. Jika tidak dikerjakan sudah pasti akan dihukum. Saat ini bertahun tahun sejak aku berpisah dengan Selena, aku sekarang sudah SMP.

Aku pindah ke kota Depok Jawa Barat sejak ayahku meninggal.

Para guru seakan tidak merasakan bagaimana menjadi siswa yang disiksa. Aku memukul-mukuli buku matematika yang membuat tanganku semakin berkeringat karena tidak ada kipas angin yang cukup untuk menurunkan suhu di kamarku. Hanya kipas yang patah setengah. Tapi kalaupun aku mengeluh, aku yakin tidak akan menyelesaikan masalah yang kuhadapi. Aku bagaikan telur di ujung tanduk saat besok menemui Pak Tejo, guru matematikaku.

Di sekolah sering kali aku dihukum oleh guru BP di tiang bendera karena dituduh tawuran. Padahal sering kali bukan aku yang mencari masalah lebih dulu, biasanya Hasan dan teman-temannya dari SMP M yang suka mengeroyokku dan teman temanku dengan gesper.

Sungguh tak adil hukum di sekolahku. Harusnya aku dipuji sebagai pahlawan karena menolong teman. Sungguh tak adil hukum di dunia ini, aku dan teman temanku melindungi Malin yang tengah berjalan sendirian dan dipalak oleh anak SMP M. Bahkan aku dipaksa tanda tangan di atas materai untuk tidak mengulang tawuran.

Aku berpikir setengah mampus untuk menyelesaikan PR matematikaku. Selembar kertas soal itu bagaikan berton-ton di suhu panas dalam kamarku. Agar suasana lebih lunak dan adem aku menyetel lagu Mbah Surip, kakek bertopi Jamaika, itu selalu bisa menghapus segala kepahitan dalam hidup. Aku juga membeli es lilin seharga dua ribu rupiah untuk mendinginkan suasana.

Begitulah diriku. Aku memang punya banyak masalah. Ibuku pun selalu menangis saat aku terima rapor. Ibuku ingin aku menjadi sukses di masa depan, itu sebabnya dia tak menginginkanku punya masalah di sekolah karena aku satu-satunya tulang punggung yang ia impikan di masa depan untuk menggantikan peran ayahku yang sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu tak pernah marah, hanya menangis, tapi tangisnya itulah yang kerap membekukan nyali dan langkahku.

Inilah aku
sirip matahari yang jelajah
setiap bias cuaca
sejarah daun daun memori di ujung kota
ku tak akan menghindar dari rasa takut walaupun selangkah


Untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku terutama matematika, seringkali aku menulis ulang soalnya dalam lembar jawaban, sama seperti temanku, Wildan, sang berandalan di mata guru.

"Woy, Arman lu udah beresin PR belom?" tanya Wildan teman satu gengku.

"Udahan gue tapi jawabannya ditulis ulang dari soalnya," jawabku.

"Sama wkwkwk, udah ngasal aja terima nasib," cetus Wildan.

Terjadi obrolan yang cukup seru antara kami berdua, tanpa kami sadari tak lama kemudian datanglah Pak Tejo, guru killer matematika, membawa tongkat penggaris kayu panjang yang siap memukul para berandalan pembangkang.

Para murid langsung mengucap salam dan tersenyum manis dengan terpaksa melihat orang yang mereka takuti ada di hadapan mata. Tapi guru yang mendapat julukan Raja Iblis dari Gunung Merapi itu hanya menjawab dengan raut wajah marah dan mata melotot, mungkin agar terlihat berwibawa.

"Assalamualaikum, Pak Tejo," ujar para murid dengan senyum kecut.

"Wa alaikum salam," dengan nada tegas Pak Tejo menjawab. "Anak anak sudah mengerjakan PR?"

Hampir seluruh siswa di kelas menjawab "sudah" karena takut terkena sabetan kayu. Tapi aku dan Wildan hanya membisu.

Pak Tejo pun berkeliling kelas sambil mengelus-elus penggaris kayu kesayangannya dengan mata setajam burung pemakan bangkai, ia seakan bisa mencabik dan menerkam kami, kapan saja.

Ramalanku benar. Ia pun langsung menghardikku bagai sambaran geledek sambil memukul mejaku dan Wildan dengan penggaris panjangnya itu.

"Mana PR-nya?" teriak Pak Tejo.

"I-ini, Pak," jawab kami.

Hening. Sesaat kemudian. "Kok ditulis ulang soalnya, kamu gak belajar?" hardik Pak Tejo lagi.

"Belajar Pak tapi," kami tertunduk.

"Gak usah ngomong ini buktinya," bentak Pak Tejo sambil memukul meja kami dengan kayu.

Pak Tejo pun langsung menggiring kami keluar kelas sambil menjepit telinga kami. "Berdiri kalian di sini! Dasar berandalan sekolah," gerutunya.

Aku sudah terbiasa dihukum. Inilah diriku apa adanya, setidaknya ini melunasi rasa puasku. Tak lengkap rasanya jika hidup tanpa tantangan, bagaikan kopi tanpa kafein.

Aku dan Wildan dihukum dan hukumannya pun akhirnya berakhir pada saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring.

Saat pulang sekolah aku tidak langsung balik ke rumah, sangat membosankan. Aku sering nongkrong di pangkalan tukang ojek pengkolan. Teman-temanku yang lain, termasuk juga Hasan anak SMP M yang menjadi musuh abadiku juga ada di sana. Aku pun berpura pura tidak melihatnya. Mereka sedang menonton TV yang tersedia di pangkalan ojek. Mereka tak bisa memalingkan pandangan dari aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. Tak hanya mahasiswa, ternyata pelajar SMP, SMA, dan SMK ada juga yang terlibat dalam demonstrasi itu.

Wildan berbicara pada seorang temanku di pos ojek, "Abid, Bang Nasrul udah jalan belom?"

"Udah dari tadi, kenapa?" tanya Abid balik.

"Gak apa apa emang dia ngapain?" tanya Wildan lagi.

"Dia bantuin Bang Cecep yang udah kuliah buat demo"

"Bantuin ngapain?"

"Masih nanya lagi? Ya bantuin demolah tuh liat aja di TV!"

"Luh di sini ngapain Bid?"

"Nungguin bak terbuka gelombang kedua, lu mau ikut?"

"Ya iyalah solidaritas!"

Wildan pun menepuk pundakku.

"Woi, Arman lo mau ikut gak?"

"Gak ah entar emak gua nyariin gua kasihan."

Abid dengan senyum yang agak sinis mengatakan, "Mental tempe luh!"

Wildan ikut menimpali. "Iya Man lu bilang lu suka hidup yang penuh tantangan."

"Gua emang suka tapi gua khawatir emak gua nyariin ke Jakarta pasti pulangnya malam," timpalku.

"Yah elah Man kita kan sahabat harus saling kompak."

Tak lama setelah mereka berdebat, bus besar pun datang di halte dekat pengkolan ojek. Anak-anak Pancoran Mas sudah siap dan mulai menyanyikan yel yel. Mobil bak terbuka urung datang dan diganti bus karena jumlah peserta semakin banyak. Rahmat memilih menggunakan bus untuk mengangkut massa para pelajar itu.

Rahmat adalah anak kelas 2 SMA. Ia ketua berandal Pancoran Mas. Ia menamai gengnya, Pancoran Mas, untuk menyatukan seluruh sekolah di Kota Depok, seperti Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa. Seluruh geng Pancoran Mas yang dibawa oleh Rahmat berjumlah sekitar 75 orang.

Aku tak ingin mengecewakan teman-temanku, jadi aku memutuskan ikut. Aku ikut untuk mencari pengalaman baru. Aku yakin petualanganku kali ini berbeda dengan tawuran yang biasa aku lakukan.

Hasan yang biasanya menjadi musuhku saat tawuran tersenyum dengan giginya yang bersih. Ia menjulurkan tangannya. "Kita bukan musuh lagi ingat PERSATUAN INDONESIA." Dari raut mukanya dia sudah melupakan permusuhan selama ini yang terjadi di antara kami berdua. Aku pun mau bersalaman dengannya.

Aku punya prinsip dalam petualangan terbaruku ini, "Cintailah perdamaian, tapi lebih cintailah keadilan."

Aku merasa langkahku sudah tepat untuk mewujudkan kata-kataku. Di dalam bus aku tidur lelap sambil memangku ransel merahku...

Mendadak, teriakan dan ledakan gas air mata memecahkan gelembung tidur siangku. "Woy bangun woy!!!" teriak Wildan padaku dengan sangat panik.

Seluruh temanku menyiapkan gespernya. Tampak Rahmat membawa peralatan huru-hara yang lengkap, petasan, botol berisi bensin, dan korek api.

"Ayo tempur, ayo tempur!!!" teriak yang lain dengan semangat ala jihad.

Aku pun langsung menarik gesper dari celana. Aku melihat dari kejauhan seorang polisi yang babak belur menjadi bulan-bulanan para pelajar dari berbagai sekolah.

Gas air mata yang digunakan polisi seakan tak dapat memadamkan semangat para pelajar yang meledak-ledak. Gas air mata itu bagaikan obat nyamuk semprot murahan yang tak mempan mengusir nyamuk.

Wildan berkata di tengah kebisingan huru-hara massa bahwa dahi Hasan tertimpa batu dan berdarah. Aku tahu Hasan musuh bebuyutanku, tapi hatiku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sekali pun dalam hidup. Sedih dan marah. Aku dan Wildan berusaha menolongnya dengan cara menggotongnya ke tempat yang aman.

Setelah polisi yang menjadi bulan-bulanan pelajar itu pingsan, langsung datang ratusan polisi memakai perisai menutup jalan menuju Gedung DPR/MPR. Tapi Rahmat, pemimpin geng Pancoran Mas, tak kehabisan akal untuk situasi apapun.

"Ya udah gini aja kita kita dorong mobil pick-up itu ke arah kerumunan polisi biar kita bisa lewat," ujar Rahmat dengan sedikit raut muka yang agak panik.

Sekitar sepuluh orang berdiri di atas pick-up untuk menambah berat pick-up serta puluhan lainnya mendorong dari belakang. Mereka akhirnya berhasil memporakporandakan barisan polisi berperisai itu.

Para polisi itu pun mulai kehabisan kesabaran. Setelah jumlahnya bertambah banyak, polisi merangsek. Beberapa dari kami yang lari lebih dulu akhirnya berhasil lolos dari kejaran para polisi. Tetapi yang berjalan agak lamban tertangkap. Aku dan Wildan pun tertangkap karena menggotong Hasan. Ini membuat langkah kami terhambat dan polisi pun berhasil menangkap rombongan kami. Kami lalu dibawa ke kantor polisi terdekat.

Di kantor polisi, kami pun akhirnya disetrap dengan push-up, sit-up, dan jongkok sebagai hukuman. Saat push-up aku menoleh ke atas. Ada seorang polisi menghampiriku, dia punya kumis yang cukup panjang dan agak beruban di alisnya.

Dia menanyaiku beberapa hal, "Dari mana, dek?" tanya polisi separuh baya tersebut.

"Dari SMP di Depok," jawabku dengan cemberut dan agak kesal.

"Ke sini dalam rangka apa?"

"Demo RUKUHP," jawabku dengan polos meskipun sebenarnya aku tak paham benar masalah yang terjadi.

"Tau gak salah kamu apa?"

"Gak tau tuh"

Suara polisi itu mulai meninggi. "Jadi kamu gak merasa salah?!" hardiknya dengan mata melotot.

"Tidak saya merasa baik baik saja, justru menurut saya bapak dan rekan rekan bapak yang salah. Bapak tega menembaki kami dengan gas air mata, padahal kami memiliki hak untuk berdemokrasi dan menuntut hak kami. Bapak lebih sayang pejabat daripada kami rakyat yang harusnya Bapak lindungi. Bapak dan rekan rekan Bapak rela melindungi pejabat yang mendzalimi rakyat. Menurut saya para pejabat di DPR itulah yang pantas disirami gas air mata," ujarku sambil senyum dengan agak belagu.

"Gak usah sok pinter kamu. Kok bisa bikin huru-hara kayak gini kamu bilang gak salah?!" sepertinya kesabaran polisi separuh baya itu hampir habis.

"Saya tidak tahu mengapa saya tidak merasa salah yang jelas saya yakin melangkah dengan tepat tak pernah seyakin ini," jawabku dengan tegas dan penuh keyakinan.

"Berani kamu ngelawan hah," dia sudah siap melakukan apa saja.

Polisi itu pun mulai menampariku bertubi tubi hingga pipiku kemerah-merahan. Untunglah, polisi lain dengan sigap memisahkanku dengan orang itu.

Aku sama sekali tidak melawan biar bagaimana pun dia orang tua harus tetap dihormati.

Sesudah semua kejadian itu, aku dan teman teman berandal Pancoran Mas dipulangkan ke sekolah masing masing.

Aku sampai di sekolahku kira kira pukul 11.30 malam. Saat baru turun dari mobil, aku tak menyangka ibuku telah menantiku di lapangan sekolahku yang gelap gulita.

Ibu tampak gelisah. Aku mendatanginya dan ia menoleh ke mobil itu sambil menangis bahagia. Seakan hartanya yang paling berharga selamat dan masih utuh.

"Sayang, ibu sangat khawatir sama kamu," ucapnya sambil berlari mendekapku.

"Ibu, ibu gak marah lagi?" tanyaku dengan kaget.

"Gak Nak, Gak tau kenapa ibu gak pengen marah atau sedih ibu malah bangga sama kamu, ibu jadi inget sama ayahmu yang meninggal karena kebakaran saat kerusuhan di pabrik untuk menuntut haknya sebagai buruh. Dia adalah pejuang demokrasi sama sepertimu, tapi usiamu lebih muda. Kamu memang anak yang pemberani," ujarnya deng
an pipi yang masih basah sembari tersenyum.

Ibu memelukku erat-erat seakan tak mau melepaskan pelukan hangatnya. Tapi aku sebenarnya masih tak mengerti mengapa ibu benar-benar tidak marah. Sampai akhir zaman perasaan ibu yang seperti itu lebih baik tetap jadi misteri.

Besok, aku harus menyiapkan diri untuk berdiri di depan tiang bendera saat upacara. Awalnya aku merasa menjadi jagoan yang tak terkalahkan, tapi saat merantau sehari di Jakarta, aku menyadari aku bukan siapa-siapa.

Kamar Atap Depok, 2019

XXX

Aku melangkah kaki menuju masjid untuk Shalat Jumat dan terus mengingat-ingat kejadian beberapa pekan lalu yang membuat kelas heboh seperti kawanan cacing yang kepanasan. Bukan tanpa alasan mengapa aku flashback kisahku ini pada hari Jumat karena hanya di hari yang mulia ini orang tuaku mengizinkanku bermain-main setan gepeng. 

Ya, aku menyebut benda yang sebenarnya handphone alias telepon genggam itu sebagai setan gepeng. Aku menyebutnya demikian karena salah seorang guruku saat upacara menjuluki benda itu sebagai setan gepang. Ia mengganggap handphone yang berbentuk datar tersebut adalah setan karena membuat banyak siswa malas belajar. Menurut guruku, setan yang sesungguhnya saat ini adalah handphone yang membuat hampir semua siswa lalai terhadap segala-galanya dan membuat banyak siswa gagal dalam ujian.

Sejak Wildan hilang, kini aku sendirian. Aku sering dikeroyok oleh anak anak brandalan yang menjadi musuh gengku di masa lalu. Gengku yang dulu besar kini sudah bubar sejak Wildan lenyap tanpa jejak, aku jadi pemurung dan kesepian lagi. Wildan hilang saat kami berdua ikut  Ekskul hiking yang berakhir bencana, jeritan Wildan teredam oleh kabut tebal, dan pencarian selama berhari-hari tidak pernah membuahkan hasil. Itu adalah pengalaman paling traumatis dalam hidupku

Namun, kesedihan itu tak bertahan lama karena Selene kembali ke bumi dan menjadi murid baru di SMPku.

Hari Jumat pada siang hari yang sangat cerah namun terik, seperti biasanya mataku seakan penuh dengan cahaya. Sangat menyilaukan. Terkadang aku berjalan menuju masjid dengan mata yang terpicing atau menutup sebagian wajahku dengan sarung saking membanjirnya cahaya.

Hari yang cerah itu mengingatkanku pada beberapa pekan lalu saat aku membeli akun e-mail dari David, teman sekelasku di SMP, untuk bermain game Clash of Clans (COC). Ini adalah salah satu pengalaman terburuk selama aku menjadi seorang gamer, tapi biar bagaimanapun aku harus menanggung risiko untuk menjadi seorang gamer sejati.

Game itu memang kuno dan bagi sebagian gamer, COC dianggap ketinggalan zaman. Tetapi aku sangat menyukai COC sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari diriku dan kenangan masa kecilku.

Tentu saja aku sangat tergiur dengan penawaran David. Ia menjual akun itu seharga 25 ribu rupiah. Ia menjual akun COC tersebut dengan harga yang benar-benar rendah, jika dibandingkan harga yang ditawarkan gamer-gamer lain di toko online.

Saat itu, David bertanya padaku seperti biasa, hanya basa-basi menayakan mengapa aku tak pernah membawa handphone ke sekolah.

"Eh Arman elu ngapa dah ke sekolah gak pernah bawa handphone?" tanya David padaku.

"Nggak apa apa aku cuma takut aja kalau dibawa nanti handphone-nya bisa rusak atau ilang, lagian orang tuaku juga gak ngizinin aku main handphone setiap hari. Orang tuaku cuma ngizinin aku main handphone hari Jumat pas pulang sekolah sampai Sabtu, karena Sabtu sekolah libur. Itu pun cuma sampai baterainya habis," jawabku sambil tersenyum.

Dengan basa-basi David bertanya lagi padaku. "Ngomong-ngomong elu kalo di rumah main game gak?"

 "Iya maen sih kadang-kadang kalo lagi bosen hehehe,"jawabku.

 "Elu main game apa?” tanya David penasaran.

 "Yah palingan aku sih main COC, game kesukaanku sejak masih kelas 5 SD," jawabku.

 "Emangnya elu maen COC udah level TH berapa?" tanya David yang sepertinya penasaran.

 "Yah masih TH 7 sih, aku kan jarang maen hehehe," jawabku agak malu-malu.

 "Ngomong-ngomong elu mau akun gua nih TH 11 gak prematur kok," tawarnya basa basi.

 TH 11? Ini pasti hari keberuntunganku, "Mau! memang kamu mau ngasih harga berapa?" tanyaku antusias.

 "Murah kok cuman 25 ribu," jawabnya sambil memiringkan topi dengan sok keren.

 "Ok maulah yang penting dapet akun TH 11," cetusku dengan perasaan senang.

Aku sangat senang karena akhirnya aku memiliki jalan pintas yang tak kuduga sebelumnya untuk menamatkan game yang membutuhkan kesabaran dan sudah susah payah kumainkan sejak duduk di bangku kelas 5 SD. Aku tidak akan ketinggalan jauh dengan teman teman alumni SD ku yang sudah mencapai TH 13. Aku pun langsung tergesa gesa mencatat alamat e-mail beserta passwordnya agar bisa kutautkan ke handphoneku, serta membayar 10 ribu lebih dulu karena David mengizinkan untuk mencicilnya.

Kini seakan aku merasakan segentong manisnya madu setelah berjuang mengeluarkan keringat dan darah di medan perang. Aku pulang sekolah dan bergegas menyembunyikan password email itu di lemariku. Aku berharap tak ada yang dapat menjumpainya.

Saat aku menyimpannya, aku teringat kembali jika aku ada tugas bahasa Indonesia di rumah temanku. Aku pun langsung izin ke orang tua untuk pergi belajar kelompok di rumah teman.

Setelah aku diberikan izin untuk menyalakan handphone, aku langsung login di tengah kerja kelompok bareng teman-teman. Aku sangat senang karena berhasil login tetapi agar lebih yakin aku membuka Google Play Games untuk memeriksa kemajuan gamenya. Dan, aku benar benar gembira begitu aku tahu bahwa COC-nya memang sudah TH 11.

Aku langsung memainkanya sampai lupa dengan tugas yang seharusnya kuselesaikan. Sampai-sampai Selena yang kini menjadi teman sekelasku langsung menegurku hingga aku terkaget karena terlalu asyik bermain game.

 "Woi kerjain gak kamu, kerjanya diem mulu kaya patung, aku sendirian terus kan yang ngerjain tugasnya," ujar Selena nasambil bersungut-sungut.

 "Maaf iya sebentar kukerjain," jawabku sambil mengelus rambut.

Selena yang dulu seperti tuan putri kini menjadi anak perempuan di kelasku yang cerewet dan suka ngatur-ngatur teman-teman lainnya, termasuk diriku. Ia selalu detail dan selalu mengomeliku. Tetapi kuakui dia satu-satunya teman di sekolah yang peduli padaku.

XXX

Bel berbunyi nyaring, menandakan pergantian pelajaran. Arman menghela napas, menatap buku matematikanya yang penuh coretan tak bermakna, ia sedih karena sahabat baiknya Wildan kini telah tiada. Pikirannya melayang ke masa kecilnya, saat ia masih percaya pada sihir dan petualangan.

"Kamu pasti jadi penyihir hebat, Nana!"

"Aku akan kembali, Arman! Janji!"

Suara tawa kecil itu masih terngiang di kepalanya, meski sudah delapan tahun berlalu.

"Arman, dengerin nggak? Katanya ada murid pindahan!" teriak Rizal, sahabatnya, menyodok lengannya.

"Ah, biasa aja kali. Lagian siapa sih yang mau pindah ke sekolah kita?" jawab Arman sambil menguap.

Tiba-tiba, kelas yang riuh menjadi hening.

Guru kelasnya, Bu Dian, masuk diikuti seorang gadis. Rambut peraknya yang panjang terurai hingga pinggang, matanya biru seperti langit musim dingin. Tapi yang membuat Arman tersentak—kalung berbentuk bulan sabit di lehernya.

Kalung yang sama.

"Anak-anak, perkenalkan, ini Selena Aurora. Mulai hari ini, dia akan bergabung di kelas kita."

Gadis itu tersenyum, lalu menatap langsung ke arah Arman.

"Senang bertemu kalian semua. Aku sudah lama ingin kembali ke sini."

Suaranya seperti dinginnya embun pagi, tapi ada sesuatu yang hangat—sesuatu yang hanya Arman yang mengenalinya.

Nana.

Istirahat siang. Arman mengejarnya di koridor, jantungnya berdegup kencang.

"Selena, tunggu!"

Gadis itu berhenti, lalu perlahan menoleh.

"Kamu... kamu Nana, kan? Selena yang dulu—"

Dia meletakkan jari di bibirnya, "Sst. Jangan terlalu keras." Tiba-tiba, angin berhembus aneh, meski jendela-jendela tertutup rapat.

"Aku memang janji akan kembali. Tapi sekarang, banyak hal yang berubah, Arman."

Matanya berkedip, dan untuk sesaat, Arman melihat kilatan cahaya ungu di dalamnya.

Sihir.

"Kamu masih... penyihir?" bisiknya.

Selena tersenyum misterius. "Lebih dari itu. Aku kembali karena ada sesuatu yang mengancam Bumi—dan kau adalah kuncinya."

Bel berbunyi lagi, tapi kali ini, suaranya terasa sangat jauh.

Arman berdiri di sana, bingung antara masa kecil yang indah dan kenyataan aneh yang tiba-tiba menyeretnya kembali.

Dia membawa lebih dari sekadar kenangan. Dia membawa rahasia—dan mungkin, petualangan yang bahkan tidak ia sangka.


XXX

Meskipun Selene anak yang terlihat rajin, jangan pernah remehkan kemampuanya dalam bermain game. Dia adalah gamer yang sangat brilian. Dia sering menyelinap ke warnet sepertiku, meskipun ayahnya melarangnya karena takut nilai ulanganya turun. Tapi Selene benar-benar beda dariku meskipun menjadi gamer, itu semua tidak pernah membuatnya kecanduan. Meskipun bermain game sesering aku, nilai ulangan Selene selalu jauh lebih tinggi dari ulanganku. Tapi tetap saja ayahnya tidak memberikan izin untuk bermain game, bahkan pernah dia sampai disetrap berdiri di depan halaman rumah karena ketahuan pergi ke warnet.

Meskipun aku agak teralihkan karena bermain handphone, aku masih berusaha mengerjakan tugas itu semampuku. Teman temanku yang lain tidak bekerja sama sekali dan tak melakukan apa apa.

Selain menonton anime percintaan yang menampilkan adegan tak senonoh, jika dibandingkan dengan kisah cinta Dilan dan Milea yang terkesan lebih sopan. Dan ternyata untuk hal ini aku dan Selene memiliki kesamaan. Kami berdua jijik melihat anime percintaan yang sangat tidak pantas dipertontonkan untuk anak SMP.

Setelah bekerja sangat lama dan menyusahkan, akhirnya pekerjaan kelompok ini pun berakhir, meskipun hanya aku dan Selena yang bekerja. Kerja kelompok yang menyusahkan itu akhirnya selesai. Kini aku sudah sampai di rumah. Aku bergegas menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok.

Hari ini pun tiba. Hari paling menyebalkan dalam ceritaku. Aku mengetahui akun game itu telah diberikan David kepada orang lain karena tiba tiba gamenya suka keluar-keluar sendiri dari klan kelompok. Barang barang dalam gameku tiba-tiba upgrade tanpa sepengetahuanku.

 "Maaf nih David, aku merasa ada orang lain yang mainin akun ini, selainku," tanyaku curiga.

 "Iya kemarin akunnya gua kasih ke Kaban soalnya dia maksa," jawab David dengan agak panik.

 "Kok gitu kan akunnya udah kubeli lunas," hardikku.

 "Ya udah elu nanti kan bisa ganti passwordnya," jawab David tak bertanggung jawab.

Emosiku tiba tiba seakan tercampur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Tak kusangka teman yang kupercaya dengan baik selama ini ternyata tega mengkhianatiku. Hatiku terasa terbelenggu kegelapan gerhana. Kejadian itu membuatku tak nyaman mengikuti pelajaran sekolah dan membuat dadaku sesak sewaktu pulang sekolah.

Saat berjalan di koridor menuju tempat parkir sepeda, pikiranku melayang tak karuan memikirkan hal yang jelek-jelek serta memutar otak bagaimana dapat menguasai seluruh akun game itu tanpa campur tangan Si Kaban, perampas akun gameku. "Awas kau Kaban tanggung pembalasanku!"

Meskipun aku membelinya hanya dengan harga 25 ribu, harga yang sangat murah dibandingkan jika aku membelinya di tempat lain yang bisa mencapai 2 juta rupiah, tetap saja barang yang sudah dibeli dan telah terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli, seharusnya tidak boleh diberikan kepada orang lain. Barang itu sudah seratus persen menjadi hak milik pembeli. Lagipula David sudah menerima uang itu secara lunas.

Kepalaku sangat mumet saat berjalan di sepanjang koridor. Ketika langkah kakiku menginjak tanah bertanda aku sudah sampai di parkiran sepeda.

Tiba tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. "Ngapa lu cemberut Arman?" ternyata Selene yang menepukku dari belakang sambil tersenyum.

 "Iya nih akun game aku dibajak sama Kaban pusing deh aku," jawabku lesu.

 Selene pun memperlebar senyumannya. Entah itu tersenyum atau tertawa mengejek.

Aku selalu menunggu hari Jumat dan sering berlari tergesa-gesa saat pulang ke rumah seusai Shalat Jumat demi memeriksa gameku. Ternyata masih ada orang lain yang memainkan gameku. Huh.

Aku telah melewati hari Sabtu dan Minggu yang menyebalkan. Ini hari Senin aku harus kembali ke sekolah yang membosankan. Saat aku masuk ke pintu kelas, aku disambut dengan kemarahan teman-temanku terutama Kaban. Ia sangat marah padaku meskipun aku tidak tahu tidak tahu apa yang telah terjadi.

 “Woy Arman, elu ngeluarin semua anggota kelas kita yah?!!" amuk Kaban sambil mendorong badanku.

 "Nggak, aku gak tau apa apa," jawabku kaget.

 "Gak usah boong lu kalo gak suka, gak usah gitu dong," ujar Kaban dengan nada tinggi.

 "Gak usah nuduh dong salah sendiri nyolong akun orang!" sahutku.

Kaban pun terdiam tetapi kejadian itu benar benar membuatku jengkel. Padahal dia yang salah mengapa justru dia marah-marah padaku.

Tetapi aku juga masih penasaran siapa yang telah memainkan akun itu. Aku semakin tidak suka dengan mereka yang menuduhku melakukan semua itu padahal kalaupun aku memang melakukanya aku tak seharusnya disalahkan karena mempertahankan hak.

Beberapa game online memang memungkinkan untuk dimainkan dengan teman secara berkelompok. Mereka menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok karena mereka memberikan jabatan wakil pemimpin kepada Kaban yang memungkinkan dia mengeluarkan anggota lain. Selain Kaban hanya aku yang bisa mengakses akun itu sekaligus mengeluarkan yang lain. Teman teman lain menuduhku mengeluarkan seluruh anggota kelompok.

Aku tak nyaman saat hendak pulang ke rumah. Aku dibayang bayangi oleh ketakutan akan dikeroyok oleh teman-teman sekelasku yang akan memburuku. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Aku melintas di jalanan sepi di sisi kiri dan kanan  hanya kebun kosong yang jarang dilewati orang. Tapi itu satu satunya jalan untuk menuju rumahku.

Usahaku untuk keluar dari jalanan sepi ini dengan selamat sia-sia.

Ternyata yang kutakutkan benar-benar terjadi! Sungguh sial! Mereka menemukanku di sini sendirian, di tempat sepi!

Mereka langsung menarik kerah bajuku lalu mencari pohon terdekat dan langsung menekan dadaku di pohon tersebut  untuk dijadikan korban "skip challange". Aku hanya bisa menahan rasa sakit di dada. Aku terjatuh dan pura-pura pingsan. Mereka pun langsung kabur melarikan diri tanpa satu orang pun yang menjadi saksi mata.

Semua kejadian buruk kemarin membuat kepalaku pusing semalaman. Saat tiba di sekolah aku melihat Mira bersandar di dinding kelas. Ia terlihat santai. Senyumannya tersungging. Aku pun langsung menghampirinya.

"Selene aku mau nanya dong kok tiba tiba tiba ada yang ngeluarin anggota kelompoknya Kaban di game padahal aku gak ngapa-ngapain loh?" tanyaku dengan nada penasaran.

 "Eh Arman ngagetin aja! Oh soal itu hmm kayaknya aku tahu siapa pelakunya" ujarnya sambil tersenyum tengil.

 "Siapa pelakunya kok kamu bisa tahu?" tanyaku dengan kaget.

 "Dasar anak culun, kamu lupa yah kalo pas belajar kelompok kamu sempat main game di sampingku? Aku bisa lihat password-mu. Kamu gak curiga sama sekali aku masukin akun itu ke handphoneku dan aku lalu ngeluarin semua anggota kelompoknya si Kaban di dalam game hahaha…" jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.

 "Kenapa kamu tega ngelakuin itu?” tanyaku terkejut.

 "Salah sendiri gak waspada," jawabnya.

 Aku hanya terdiam kesal.

Selenen lantas memandang wajahku dan langsung mengeluarkan senyumnya. Kali ini  bukan senyum keangkuhan. Baru kali ini sepanjang aku mengenalnya aku melihat senyuman tulus terpajang indah di wajahnya. Ternyata kalau diamati, saat tak sedang jutek, Selene manis juga. 

"Denger ya Arman, aku minta maaf aku ngelakuin ini buat ngasih pelajaran ke kamu biar kamu gak kecanduan main game lagi. Soalnya sebenarnya kamu itu gak bodoh tapi sejak kamu kecanduan main game nilai ulangan kamu mulai turun, kamu juga mulai malas ngerjain tugas, tolong maafin aku ya aku sebenernya gak punya hak buat lancang maenin akun kamu, "jawabnya dengan senyuman seperti malaikat.

Sejenak aku terdiam. Di antara marah atau bahagia. Tapi rasa bahagia agaknya yang lebih kuat menghinggapiku.

"Iya aku maafin kamu kok, mulai sekarang aku bakal berusaha ngilangin game dari pikiranku," jawabku membalas senyumannya.

Setelah kejadian itu aku berusaha membuang kesialan dari akun terkutuk itu. Akhirnya aku menjual akun itu. Aku menjualnya kepada anak sekolah lain karena jika kujual akun itu kepada anak satu sekolah aku takut anak itu akan diganggu oleh Kaban.

Aku menjual akun itu seharga 180 ribu. Mungkin ada hikmah dari semua kejadian ini. Aku mendapatkan keuntungan berlipat lipat daripada saat aku membeli akun itu dari David. Aku juga sadar di balik kecerewetannya, Selene ternyata sangat peduli padaku,

Aku sudah memberi tahu pembeli akun itu jika akan ada pemain lain yang mengakses akun itu. Aku pun memberi tahu Kaban jika ada pemain lain yang memainkan akun itu, maka itu bukanlah aku karena aku telah menjualnya.

Kaban terlihat agak menyesal karena tidak mencoba membeli akun itu dariku. Sekarang aku yakin dia tidak akan pernah bisa memainkan akun itu dengan tenang.

XXX

ketika dua dunia telah terhubung oleh keajaiban dan kehancuran, hanya satu nama yang dikenang oleh umat manusia dan makhluk Mars: Arman
 
Namun kisahnya tidak dimulai dengan kejayaan. Ia bukan pahlawan. Ia hanyalah anak pinggiran kota Depok. Seorang murid yang sering dihukum guru, dijebak dalam tawuran, tertipu teman karena akun Clash of Clans murahan.

Tapi di balik hidupnya yang penuh konflik dan kekacauan, sistem purba di Planet Mars melihat sesuatu yang istimewa.

Game misterius bernama Mars: Awakening of Beasts tersebar ke jaringan Bumi melalui jalur digital rahasia. Konon, hanya mereka yang memiliki kekacauan batin—dan potensi kebaikan besar—yang bisa membuka dimensi tersembunyi di baliknya.

Dan Arman, dengan semua luka dan amarahnya, terpilih.
 
Saat Selene, seorang penyihir dari dimensi lain, muncul di hidupnya, saat jam tangan futuristik itu menyala merah, dan ketika telur naga dari Mars berdenyut kembali... dunia pun berubah.

Ini bukan sekadar kisah seorang anak dan game. Ini tentang dua planet, dua masa depan, dan satu jiwa yang kacau, yang bisa menyelamatkan segalanya atau menghancurkan semuanya.
XXX

Langit malam tampak biasa saja di atas kota Depok, Jawa Barat pada tahun 2020—dipenuhi cahaya lampu jalan dan dengung motor yang terus berlalu-lalang. Tapi di sebuah rumah dua lantai di pinggiran kota, tiga anak sedang larut dalam dunia yang lebih jauh dari apa pun yang bisa dijangkau kendaraan: dunia Mars. Aku dan Selene dalam perjalanan ke ruimah mereka untuk melihat mereka bermain game meskipun saat ini ditengah pandemi covid 19.


"Lina, coba buka petanya. Gue yakin gua tempat telur itu ada di dekat Pegunungan Dusk!" seru Raka, dengan nada penuh semangat sambil mencondongkan tubuh ke arah layar laptop Lina.


Lina Chen, gadis keturunan Tionghoa berambut pendek dan berkacamata, menggeser layar sentuh di depannya. “Sebentar, Raka. Jangan asal nebak. Kita butuh koordinat yang akurat kalau mau buka pintu gua itu.”


Di layar mereka, terbentang peta interaktif yang memperlihatkan permukaan Mars—tapi bukan Mars biasa. Ini adalah dunia dalam game misterius yang baru mereka unduh dari forum tertutup seminggu lalu: Mars: Awakening of Beasts.


Arga, si jenius komputer yang pendiam, mengetik cepat di tablet transparannya. “Ini aneh. Data peta ini nyaris sama dengan hasil pemetaan NASA. Bahkan komposisi bebatuannya pas. Pegunungan Dusk… mungkin itu Olympus Mons.”


“Seriusan?” tanya Raka, matanya membulat.


Arga mengangguk. “Aku ngecek ulang data. Ini bukan main-main. Kalau benar, gua yakin ini lebih dari sekadar game.”


Lina mengerutkan kening. “Tapi ini cuma permainan, kan?”


Seketika layar mereka berkedip. Semua visual berubah menjadi gelap, lalu tulisan merah menyala muncul perlahan:


"TES DIMULAI. TEMUKAN TELUR PENJAGA. WAKTU ANDA TERBATAS."


Seketika, semua perangkat elektronik di kamar mati.


“Apa-apaan itu barusan?” Raka berdiri, cemas. “Gue gak suka ini.”


Belum sempat mereka berbicara lebih lanjut, suara aneh terdengar dari luar jendela. Suara... desiran angin yang membawa bisikan. Tapi tak ada angin malam ini.


Arga mendekati jendela. “Astaga…”


Di kejauhan, di langit malam yang cerah, ada kilatan merah samar. Bukan bintang. Bukan satelit. Seolah... ada sesuatu yang memanggil.


Lina menelan ludah. “Kalian ingat bagian intro gamenya? Katanya, ‘Yang terpilih akan dipanggil oleh Mars sendiri.’ Kalian pikir…”


Raka tertawa kaku. “Udah ah, ini pasti bagian dari promosi marketing atau augmented reality. Gak mungkin nyata.”


Tapi perasaan di dada mereka berkata lain.


---


Dua hari kemudian.


Pegunungan bersalju di wilayah utara Indonesia membentang sunyi. Di tengah badai kecil, Kami  berlima  yang biasanya duduk di depan layar kini berada di alam liar, mengenakan jaket tebal dan membawa perlengkapan pendaki.


"Menurut koordinat dari game, gua itu ada di balik lereng itu," ujar Lina sambil menunjuk peta di smartwatch-nya.


Raka, meski menggigil, tersenyum lebar. “Gue suka game ini. Seriusan. Gila.”


Arga, dengan drone mini terbang di belakangnya, memperingatkan, “Gua itu seharusnya tidak ada di peta mana pun. Tapi droneku menangkap struktur gua besar 200 meter ke depan.”


Setelah berjalan hampir sejam, mereka tiba di mulut gua yang tak terlihat dari luar. Dindingnya merah kehitaman, mirip bebatuan Mars. Dan di dalamnya... cahaya biru samar memancar.


Ketika mereka melangkah masuk, keheningan menyelimuti seisi gua. Di tengah ruangan, berdiri tiga telur raksasa—satu bersisik merah, satu biru berkilau, dan satu bertanduk kristal.


Seketika, lantai bergetar. Udara menjadi panas. Telur-telur itu berdenyut seakan... hidup.


“Apa kita harus—” tanya Arga, tapi kalimatnya terputus.


Karena saat mereka menyentuh masing-masing telur… dunia mereka runtuh. Cahaya menyilaukan membungkus tubuh mereka. Lantai menghilang di bawah kaki.


Dan mereka terjatuh. Bukan ke dalam lubang, tapi ke langit—menuju dunia merah yang menanti dengan rahasia ribuan tahun.

Bab 2: Jam Tangan Penentu Nasib.

Ketika mereka melangkah masuk, keheningan menyelimuti seisi gua. Di tengah ruangan, berdiri empat telur raksasa—satu bersisik merah, satu biru berkilau, satu bertanduk kristal, dan  satu lagi berwarna keemasan dengan pola seperti bulu burung dan ukiran halus menyerupai Garuda.

Seketika, lantai bergetar. Udara menjadi panas. Telur-telur itu berdenyut seakan... hidup.

“Empat? Tadi cuma tiga yang kita lihat di peta…” gumam Arga.

Arman melangkah mendekat, terpikat oleh telur emas itu. Udara di sekitarnya seperti bergulung lembut, sejuk sekaligus agung. Ia menaruh telapak tangan di atas permukaan telur yang hangat… dan dunia runtuh.

Cahaya putih menyilaukan membungkus tubuh mereka. Lantai gua lenyap. Langit merah menyambut. Mereka jatuh. Tapi bukan ke dalam lubang—melainkan ke langit lain. Menuju Mars.

---

Saat yang lain masih bingung, telur emas Arman pecah lebih dulu. Dari dalamnya keluar sesosok makhluk bersayap raksasa, tubuhnya berlapis sisik emas dan bulu putih. Kepalanya seperti elang, matanya tajam penuh karisma, dan suaranya… membuat bumi terasa diam.

“Aku adalah Jatayu, Penjaga Cahaya. Jiwa langit dan penjaga utara. Engkau yang memanggilku dari tanah ibumu. Kini kita satu.”

Arman menatapnya tanpa bisa berkata-kata. Ia tidak tahu harus takut, kagum, atau menangis. Tapi satu hal pasti: ia merasa utuh.

Raka berteriak, “Itu... itu apa?! Garuda?”

Arga menatap penuh hormat. “Itu… bukan naga biasa.”

Lina menahan napas. “Makhluk campuran. Naga… dan burung suci. Entitas penjaga.”

Jatayu mengepakkan sayapnya, dan angin putih menyapu gurun merah. Debu-debu lenyap, menyingkap lingkaran suci tempat mereka kini berdiri—semacam altar kuno Mars.

 “Kalian yang terpilih,” gema suara Jatayu. “Pharaoh telah bangkit. Dunia ini butuh penjaga, bukan sekadar pejuang. Maka dari itu, kalian tidak datang sendirian.”

Arman menatap jam tangannya. Lambang emas berbentuk sayap muncul perlahan, menyatu di tengah layar.


Cahaya merah lembut menerpa wajah mereka. Perlahan, Lina membuka mata. Dia merasa aneh — bukan hanya karena tempatnya berbeda dari kamar tidur biasa, tapi juga karena pergelangan tangannya terasa berat.

Di sana, terpampang sebuah jam tangan aneh  berdesain futuristik. Bukan jam tangan biasa — bentuknya ramping, dengan layar holografik yang berdenyut pelan seperti ada kehidupan di dalamnya.

“Eh... kalian bangun juga?” suara Raka terdengar di sampingnya, sedikit serak. Dia memutar-mutar pergelangan tangan yang juga mengenakan jam serupa.

Arga membuka matanya dan segera menatap jam di tangannya. “Ini... apa ini? Aku gak pernah punya jam seperti ini,” gumamnya, suara penuh penasaran.

Lina menggeser layar holografik pada jamnya, dan sebuah suara lembut muncul dari dalam perangkat:

“Selamat datang, Penjaga. Jam tangan ini adalah Kunci Dewa Naga dan Dinosaurus. Melalui perangkat ini, kau dapat memanggil dan mengendalikan partner sejati yang akan menemanimu di Mars.”

Ketiganya saling berpandangan, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

“Tunggu, partner? Maksudnya kita... bakal punya dinosaurus dan naga sebagai teman?” tanya Raka, setengah tertawa setengah terkejut.

“Kalau gitu, ini bukan cuma game,” Lina berbisik.

Tiba-tiba, layar holografik menampilkan tiga simbol: seekor naga merah menyala, seekor dinosaurus biru yang gagah, dan sebuah sosok kristal bercahaya.

“Ini... calon partner kalian,” suara dari jam tangan menjelaskan. “Masing-masing akan muncul jika kalian memilih dan memanggilnya dengan benar. Kekuatan mereka akan berhubungan dengan jiwa kalian.”

Arga menggerakkan jarinya dan menyentuh simbol naga merah. Seketika hologram naga itu muncul di udara, berputar-putar lalu menghilang.

“Aku gak yakin ini hanya teknologi hologram,” katanya. “Sepertinya… nyata.”

Jam tangan mereka bergetar lembut, dan sebuah pesan baru muncul:

“Perjalananmu baru dimulai. Naga Pharaoh, penguasa kegelapan di Mars, akan segera bangkit kembali. Hanya kalian yang dapat menghentikannya. Gunakan kekuatan partner kalian dengan bijak.”

Lina menghela napas. “Jadi… kita benar-benar dipilih untuk melawan Pharaoh?”

Raka mengangkat kepalan tangan. “Kalau begitu, kita harus siap. Naga dan dinosaurus itu... partner kita di dunia yang bukan cuma permainan ini.”

Arga tersenyum tipis. “Kita gak hanya main game lagi. Kita sudah masuk ke dalam dunia yang nyata. Dan petualangan baru kita… baru saja dimulai.”

Setelah menerima jam tangan ajaib dan pesan penting tentang Naga Pharaoh, ketiganya berdiri di sebuah padang luas merah yang tak bertepi, dengan langit Mars yang berkelap-kelip aneh. Di depan mereka, hologram simbol naga, dinosaurus, dan kristal masih berpendar.

“Sekarang waktunya untuk memanggil partner kita,” kata Lina, suaranya penuh tekad.

Ketiganya mengangkat pergelangan tangan dan menyentuh simbol masing-masing di layar jam tangan.

---

Lina dan Long Wei

Di depan Lina, dari kabut merah muncul sesosok naga besar dengan sisik merah menyala, mata berapi, dan ekor yang berputar anggun. Naga itu mengaum lembut, mengeluarkan semburan api kecil yang membentuk lingkaran bercahaya di udara.

“Aku Long Wei, kekuatan api dan pelindungmu,” suara naga itu bergema dalam benak Lina. “Bersama, kita akan lawan kegelapan yang bangkit.”

---

Raka dan Koro-chan

Sementara itu, di sisi Raka, sebuah makhluk dinosaurus kecil melompat keluar dari bayangan. Berbulu halus warna biru dengan corak cerah, matanya ceria dan penuh semangat.

“Hai, aku Koro-chan!” suara kecil tapi ceria bergema. “Aku lincah dan cepat, siap menemani dan melindungi kamu!”

Raka tersenyum lebar, mengelus kepala Koro-chan yang mungil tapi kuat itu. “Keren, bro! Kayak partner main game sesungguhnya!”

---

Arga dan Fubuki.

Di sisi Arga, kabut dingin mulai menyelimuti dan dari dalamnya muncul naga kristal bening yang berkilau seperti es. Nafasnya menciptakan kabut beku yang menari di udara.

“Aku Fubuki, badai salju yang tenang dan kuat,” suara lembutnya memenuhi pikiran Arga. “Kita akan berdiri teguh di tengah badai kegelapan.”

Arga menatap Fubuki dengan rasa kagum dan hormat. “Kita akan kuat bersama.”

---

Ketiganya merasakan aliran energi mengalir dari jam tangan ke tubuh mereka, seolah menghubungkan jiwa mereka dengan partner masing-masing. Suasana menjadi lebih hidup, penuh harapan dan tekad.

“Ini bukan hanya permainan,” Lina berkata pelan. “Ini dunia kita sekarang.”

“Dan kita sudah mulai bertarung untuk masa depan Mars,” tambah Raka, mengepalkan tangan.

Arga menatap langit merah yang luas. “Pharaoh, kami datang.”

Bab 4: Latihan dan Persiapan Perang

Matahari merah Mars mulai meninggi, menyinari padang pasir luas di sekitar mereka. Lina, Raka, dan Arga berdiri berhadapan dengan partner masing-masing, yang kini sudah menjadi sosok nyata di dunia Mars.

Lina mengangkat tangan, mencoba mengendalikan Long Wei yang mengepakkan sayap berapi-api. “Long Wei, tunjukkan kekuatan api!”

Naga merah itu mengeluarkan semburan api yang membentuk lingkaran besar, membakar batuan kering di sekeliling mereka. Lina merasakan gelombang panas mengalir dari naga ke dalam dirinya, membuatnya terpacu.

Di sisi lain, Raka berlari bersama Koro-chan yang gesit. “Ayo, Koro-chan! Lincah dan cepat, tunjukkan skillmu!”

Dinosaurus kecil itu melompat tinggi, berlari melewati bebatuan dengan kelincahan luar biasa. Raka mengontrol pergerakannya lewat jam tangan, memerintahkan serangan simulasi yang mengagetkan.

Arga berdiri tenang, mengangkat tangan ke arah Fubuki. “Tahan badai esmu, Fubuki.”

Naga kristal itu menghembuskan angin dingin, membuat kabut beku menari-nari membentuk penghalang pelindung yang memantulkan cahaya merah dari langit Mars.

“Bagus,” puji Lina. “Kita harus menguasai kekuatan ini, sebelum Pharaoh bangkit.”

Tiba-tiba, layar holografik jam tangan mereka berkedip. Muncul pesan baru:

“Ujian pertama dimulai. Kalahkan bayangan Pharaoh untuk membuka kunci senjata Dewa Naga.”

Bayangan hitam besar dengan mata merah menyala muncul di depan mereka, mengeluarkan aura gelap yang mengerikan.

Lina menatap partnernya, “Kita harus siap bertarung.”

Raka mengepalkan tangan, “Ini baru permulaan.”

Arga mengangguk, “Bersama, kita bisa.”


Lina, Raka, dan Arga membuka mata mereka dengan perlahan. Tubuh mereka terasa berat dan aneh. Sekeliling mereka bukan lagi pegunungan di Bumi, tapi sebuah lanskap merah yang luas, di bawah langit oranye gelap khas Mars.

Mereka duduk di atas tanah yang berdebu merah. Di pergelangan tangan masing-masing, terpasang jam tangan bercahaya dengan desain futuristik dan simbol naga serta dinosaurus yang berputar perlahan.

"Ini… bukan lagi permainan," suara Lina bergetar. "Kita benar-benar di Mars."

Raka menatap tangannya yang mengenakan jam tangan itu. "Gila… kita sudah meninggalkan Bumi berapa lama?"

Arga menggerakkan perangkatnya, lalu menatap layar. "Menurut data di sini, waktu kita sudah berjalan selama 500 tahun sejak kita meninggalkan Bumi."

Ketiganya saling pandang dengan ekspresi campur aduk: terkejut, bingung, takut.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara gemuruh keras. Sebuah kawanan dinosaurus besar muncul di cakrawala, diikuti oleh seekor naga besar berkilauan.

Angin Mars menghempas pasir merah ke udara ketika kelompok itu tiba di lembah berlapis batuan ungu dan oranye. Tak jauh dari sana, suara geraman berat menggema, diikuti dentuman tanah yang bergetar.

Lina menunduk, menatap dari balik tebing.

Apa yang ia lihat membuat napasnya tercekat.

Di depan mereka berdiri seekor Tyrannorion, keturunan langsung dari Tyrannosaurus rex, namun berevolusi di Mars selama ribuan tahun. Tubuhnya menjulang hampir tujuh meter, dilapisi sisik hitam kebiruan yang memantulkan cahaya seperti logam cair. Rahangnya bergerak lambat namun pasti, penuh gigi-gigi bergerigi tajam. Matanya menyala oranye seperti bara yang tak pernah padam.

"Dia bisa mengaum sampai menghancurkan batu," bisik Shen pelan. "Nafasnya disebut Sonic Roar. Legenda bilang, cukup satu raungan untuk meluluhlantakkan satu desa di lembah barat."

Tak jauh dari sana, sekawanan makhluk lebih kecil melesat lincah antara celah batu. Makhluk-makhluk setinggi dada manusia dengan bulu biru keunguan dan mata kuning terang. Mereka adalah Veloxraptor—turunan Velociraptor Bumi yang kini telah berevolusi dengan cakar elektromagnetik yang menyala saat berlari.

“Mereka tak hanya cepat,” kata Arga, mengamati dengan tablet canggihnya. “Mereka bisa menyesuaikan gerakan dengan medan Mars. Mereka punya medan gravitasi kecil di kaki—membuat lompatan mereka seperti peluru.”

Di sisi lain lembah, seekor makhluk raksasa bersayap mengepak perlahan di udara tipis Mars. Tubuhnya panjang dan berleher ramping, dengan sayap berselaput berwarna perak pucat. Itu adalah Pteroskyris, turunan Pterosaur, tapi lebih besar dari helikopter militer.

“Dia bisa terbang melintasi seluruh ekuator Mars dalam satu hari,” gumam Raka kagum. “Sayapnya menyerap panas matahari dan mengubahnya jadi dorongan jet alamiah.”

Mereka belum sempat mengagumi lebih jauh ketika tanah di bawah mereka bergetar lagi—tapi kali ini bukan karena langkah raksasa, melainkan suara rendah yang bergemuruh dari bawah permukaan.

Seekor Trikaratheon muncul dari balik kabut pasir. Sepintas ia mirip Triceratops, tapi tanduknya berjumlah lima, memanjang dari sisi rahang dan pelipis seperti mahkota pertempuran. Tubuhnya dilapisi pelat mineral keras, dan di punggungnya tumbuh semacam lumut bercahaya khas Mars.

“Ia herbivora,” jelas Shen sambil memberi isyarat damai. “Tapi jika merasa terancam, ia bisa menghantam batu hingga hancur dan menembakkan duri dari punggungnya.”

Di kejauhan, siluet besar lainnya mulai bergerak perlahan—makhluk seperti gunung hidup. Arman membelalakkan mata.

Itu bukan pegunungan. Itu seekor Brachiosolaris, keturunan Brachiosaurus yang memiliki panel surya alami di punggungnya, menyerap energi matahari Mars untuk bertahan hidup. Tubuhnya begitu besar hingga langit terlihat menyilang di antara leher dan ekornya.

“Ini bukan sekadar dinosaurus biasa,” kata Selene dengan suara lembut. “Mereka adalah Penjaga Purba Mars. Merekalah makhluk yang ditinggalkan Dewa Naga untuk menjaga planet ini.”

Lina menatap langit, merasakan kehormatan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Di dunia ini, legenda dan prasejarah hidup berdampingan dalam bentuk makhluk-makhluk agung — warisan dari Bumi yang kini berkembang bebas dan liar di bawah langit merah.


Jam tangan mereka bergetar dan memunculkan hologram partner masing-masing:

Lina mendapatkan Long Wei, naga api berkilau merah menyala.
Raka mendapatkan Koro-chan, dinosaurus biru kecil yang lincah.
 Arga mendapatkan Fubuki, naga es kristal yang anggun.

Sebuah suara lembut keluar dari jam tangan mereka:

"Kalian telah dipilih menjadi penjaga Mars. Bersama kami, kalian harus melawan kegelapan yang akan bangkit: Naga Pharaoh. Namun kini, ancaman lain telah muncul — Ras Manusia Super, hasil evolusi dan rekayasa genetik dari Bumi masa depan, yang ingin menaklukkan Mars dan memburu makhluk langka seperti dinosaurus."

Lina menggenggam tangan partnernya, Long Wei. "Kita harus melindungi Mars dan makhluk-makhluk di sini. Tapi kita juga harus bersiap menghadapi manusia… mereka sudah berbeda dari yang kita kenal."

Raka mengangguk. "Kalau begitu, gimana kalau kita mulai latihan? Kita harus kuasai kekuatan kita dulu sebelum bertarung."

Arga menatap cakrawala yang mulai gelap, dengan bayangan besar yang tampak di kejauhan. "Waktu kita singkat. Pharaoh akan bangkit. Dan manusia… mereka tidak akan berhenti."

Tiga anak itu memandang ke masa depan yang berat dan penuh tantangan, siap melangkah ke dunia baru yang jauh dari rumah mereka.

Bab 6: Teman Misterius dan Rahasia Jam Canggih

Matahari Mars mulai turun di balik bukit merah, menciptakan bayangan panjang di padang pasir. Lina, Raka, dan Arga tengah berlatih mengendalikan partner mereka — Long Wei, Koro-chan, dan Fubuki — saat tiba-tiba sosok anak muncul dari balik bebatuan.

Anak itu memakai jaket gelap dengan motif naga, dan di tangannya tergenggam kartu-kartu tempur yang bersinar redup. Wajahnya serius tapi penuh percaya diri.

Tiba-tiba, dari balik celah batu muncul bayangan gelap besar — anak buah Pharaoh yang menyeramkan, seekor naga kegelapan dengan sisik hitam legam dan mata merah menyala. Ia mengaum mengancam dan meluncur ke arah Shen.

Shen tidak panik. Dengan tenang, dia mengangkat kartu tempur dari genggamannya dan menepuknya ke tanah. Sebuah cahaya putih terang membara dan dari dalam cahaya itu muncul naga besar, sosok partner tempurnya yang berkilau, dengan sisik biru keperakan dan mata tajam bercahaya—sebuah naga yang melambangkan keberanian dan kekuatan.

Naga Shen mengaum kuat, mengeluarkan semburan angin badai yang menghantam naga kegelapan itu. Pertarungan sengit berlangsung singkat, namun dengan kelincahan dan strategi yang sempurna, Shen dan naganya berhasil melumpuhkan anak buah Pharaoh itu dengan kombinasi serangan angin dan ekor yang memukul keras.

Saat naga gelap itu jatuh, tubuhnya memudar menjadi bayangan dan hilang. Shen berdiri tegak, wajahnya penuh keyakinan.

Lina, Raka, dan Arga terpana melihat kekuatan yang baru saja mereka saksikan.

"Siapa kau?" tanya Lina dengan penuh kekaguman.

Anak itu tersenyum tipis. "Nama saya Shen. Aku datang dari Bumi, seperti kalian. Tapi aku sudah di sini lebih dulu."

Raka mengangkat alis. "Lebih dulu? Maksudmu kita bukan yang pertama datang ke Mars?"

Shen mengangguk. "Betul. Dan aku sudah belajar mengendalikan jam tangan ini lebih dalam. Kartu tempur ini adalah kunci untuk membangkitkan kekuatan tersembunyi dari jam canggih kita."

Arga penasaran. "Apa tujuanmu di sini? Apa kau tahu tentang naga Pharaoh?"

Shen menghela napas. "Pharaoh itu bukan sekadar legenda. Dia ingin membalaskan dendam kepada para Dewa Naga yang mengurungnya, dan mengembalikan Mars ke zaman kegelapan yang penuh kehancuran."

Lina melirik jam tangannya. "Kami juga sudah tahu tentang manusia super di Bumi yang ingin menguasai Mars."

Shen mengangguk serius. "Itu benar. 500 tahun telah berlalu sejak kalian meninggalkan Bumi. Bumi telah berubah drastis, menjadi tempat di mana manusia berevolusi dan di-rekayasa secara genetik menjadi manusia super. Mereka sekarang dipimpin oleh Pemerintah Dunia, yang ingin menguasai Mars karena bumi sudah rusak parah akibat keserakahan manusia."

Raka bergumam, "Jadi, kita benar-benar terlempar jauh ke masa depan. Dan kita harus melawan bukan hanya Pharaoh, tapi juga manusia super itu."

Shen tersenyum penuh keyakinan. "Kita tidak sendiri. Bersama-sama, kita bisa melawan kegelapan dan menjaga Mars tetap aman."

Lina, Raka, dan Arga saling bertukar pandang dan tersenyum. Mereka akhirnya menemukan teman seperjuangan — dan kekuatan baru yang bisa mengubah nasib Mars.

XXX


Matahari Mars mulai merendah, menyeret semburat jingga dan ungu di sepanjang cakrawala. Debu merah berputar-putar di udara, menari-nari di antara formasi batu karang yang menjulang. Kelompok itu beristirahat di balik sebuah batu besar, tubuh mereka masih lelah setelah pertempuran melawan naga kegelapan. Shen—atau setidaknya itulah nama yang dia berikan—duduk terpisah, jarinya menelusuri tepi kartu tempurnya yang masih memancarkan sisa-sisa cahaya redup.  

Arman tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok itu. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang menggelitik ingatannya dengan keras kepala. Setiap gerakan Shen, cara dia menarik napas dalam sebelum bertindak, bahkan cara dia menggesekkan ibu jarinya di sisi kartu—semuanya terlalu akrab. Seperti melodi lama yang pernah dia dengar tapi tidak bisa dia ingat judulnya.  

Lalu, seperti tersambar petir, ingatan itu datang.  

Wildan.  

Sahabatnya yang hilang  saat mereka masih SMP. Ekskul hiking yang berakhir bencana, jeritan Wildan yang teredam oleh kabut tebal, dan pencarian selama berhari-hari yang tidak pernah membuahkan hasil. Arman masih ingat betul bekas luka bulan sabit di pelipis kiri Wildan, hasil jatuh dari pohon saat mereka berusia sepuluh tahun.  

Dengan langkah yang tiba-tiba terasa berat, Arman berdiri dan mendekati Shen.  

"Shen," ujarnya, suaranya lebih kasar dari yang dia maksudkan. "Aku perlu bertanya sesuatu."  

Shen mengangkat kepalanya, matanya yang tajam menatap Arman dengan tenang. Tapi Arman melihat sesuatu yang berkedip di balik ketenangan itu—sebuah pengakuan diam-diam.  

Udara di antara mereka terasa padat, seolah-olah Mars sendiri menahan napas.  

"Kau bukan Shen," Arman akhirnya mengeluarkan kata-kata itu, suaranya bergetar. "Aku mengenalmu. Wildan. Sahabatku yang hilang."  

Detik-detik berikutnya terasa seperti diperpanjang tanpa akhir. Lina, Raka, dan Arga diam, merasakan ketegangan yang tiba-tiba mengisi ruang di antara mereka. Long Wei mengendus-endus udara, bulu di tengkuknya berdiri.  

Shen—Wildan—menatap Arman dengan ekspresi yang perlahan berubah dari netral menjadi sesuatu yang lebih dalam. Lalu, dengan gerakan lambat, dia mengangkat tangan dan melepas ikat kepala hitamnya. Rambut ikalnya yang pendek terurai, dan di pelipis kirinya, terlihat jelas bekas luka berbentuk bulan sabit.  

Arman merasa lututnya hampir tertekuk.  

"Kau ingat," Wildan berkata, suaranya lebih lembut dari biasanya, seolah-olah dia melepaskan topeng yang telah dipakainya terlalu lama.  

Kenangan membanjiri Arman—Wildan kecil yang selalu tersenyum, petualangan mereka di hutan belakang sekolah, janji untuk menjadi partner duel terbaik. Dan kemudian, hari itu—hari ketika kabut turun terlalu cepat, dan Wildan menghilang tanpa jejak.  

"Tapi bagaimana—"  

"Gua tempat kita tersesat dulu," Wildan memotong, matanya berkilau dengan kilasan masa lalu. "Itu bukan gua biasa. Itu adalah portal. Dewa Naga menyelamatkanku, membawaku ke sini, melatihku... untuk hari ini."  

Arman ingin berteriak, ingin memeluk sahabatnya yang telah lama hilang, ingin menuntut penjelasan lebih. Tapi sebelum dia bisa mengeluarkan sepatah kata pun, gemuruh tiba-tiba menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.  

Long Wei menggeram, tubuhnya merunduk dalam posisi siaga. Dari balik bukit-bukit batu merah, bayangan-bayangan gelap mulai merayap keluar—puluhan mata merah menyala seperti bara di kegelapan.  

Wildan segera berdiri, kartu tempurnya sudah berada di tangan.  

"Pharaoh tahu," katanya, suaranya sekarang tegas dan penuh peringatan. "Dan dia tidak akan membiarkan kita hidup setelah ini."  

Dengan gerakan cepat, Wildan menepuk kartu itu ke tanah. Cahaya putih menyilaukan meledak, dan naga peraknya yang perkasa muncul dengan suara mengaum yang mengguncang udara.  

Arman melihat Wildan—Shen—sahabatnya yang hilang dan kini ditemukan—dengan pandangan baru. Di matanya ada permintaan maaf, tapi juga tekad yang membara.  

Pertempuran baru akan segera dimulai. Dan kali ini, mereka akan menghadapinya bersama.

XXX

Tidak semua pahlawan datang dengan suara gemuruh.
Beberapa muncul dalam keheningan.
Seperti bintang yang tetap bersinar, meski tak pernah menuntut dilihat.

Wildan adalah salah satunya.

Ia bukan anak yang populer. Bukan pula yang paling cerdas di kelas. Tapi ia adalah satu dari sedikit orang yang, ketika semua orang meninggalkan Arman… ia tetap berdiri di sisinya.

Hilangnya Wildan saat Ekskul Hiking mengguncang hati Arman lebih dari pukulan mana pun.
Namun setelah hari itu, Wildan menghilang.

Tidak ada kabar. Tidak ada jejak.
Ponselnya tak aktif. Akun game-nya tak pernah online lagi.
Seolah ia ditelan bumi.

Tapi yang sebenarnya terjadi…
Ia ditelan Mars

---

Malam Wildan menghilang, langit mendung seperti biasanya.
Namun ponselnya bergetar, meski tak ada notifikasi masuk.
Sebuah aplikasi muncul dengan ikon merah menyala: lingkaran yang tak sempurna, seperti gerhana yang belum selesai.

Tanpa pikir panjang, Wildan menyentuhnya.

Dan dunia pun runtuh.

---

Ia terbangun di tempat yang mustahil.
Langit Mars bersinar biru, bukan merah, seolah seluruh kutub planet itu dijaga oleh kristal-kristal es dan udara beku yang berkilau.
Ia berada di wilayah Aetherium, sisi suci Mars yang hanya bisa dikunjungi oleh mereka yang telah melewati ujian hati.

Di sana, ia disambut oleh Long Zhi, naga penjaga terakhir klan Aether.

 “Kau datang bukan dengan kebencian, tapi dengan kesetiaan,” kata Long Zhi.
 “Itulah mengapa Mars memilihmu. Karena meski kau tak berteriak, kau tetap berdiri.”

Wildan hanya mengangguk.

Ia tidak banyak bicara. Tapi jiwanya bersih dari dendam.
Ia tak menuntut balas atas ketidakadilan di Bumi.
Ia hanya ingin menjaga… agar tak ada lagi teman seperti Arman yang harus terluka sendirian.

---

Di Sanctum Senyap, tempat latihan roh penjaga Mars, Wildan berlatih dalam diam.
Bertarung melawan bayangannya sendiri.
Menembus kesunyian dimensi-dimensi gersang.
Melawan ilusi bahwa dirinya tidak cukup.
Dan perlahan, ia menyatu dengan napas Mars.

Hingga suatu hari, tubuhnya mulai menyala.
Jam kristal di tangannya bersinar biru perak.
Dari punggungnya muncul sayap cahaya.
Suaranya menggema dalam kehampaan.

“Aku bukan penyelamat.”
“Aku adalah penyeimbang.”

Dan dengan itu, ia menjadi Shén Wu-Dan—
Dewa Keheningan, pelindung yang lahir dari kesetiaan yang tidak meminta balasan.

---

Ia tidak mencari Arman.
Tapi ia menunggu.

Karena ia tahu, suatu saat nanti, sahabatnya akan datang ke Mars.
Dengan luka baru. Dengan pertanyaan lama. Dengan takdir yang tak bisa ditolak.

Dan saat hari itu tiba,
Wildan akan berada di sana.

Bukan untuk menyelamatkan,
Tapi untuk berdiri di sisinya sekali lagi.

Sebagaimana dulu.
Sebagaimana selamanya.


XXX
Bab 7: Air Mata, Realita, dan Misi Para Penjaga Mars

Malam itu, saat angin dingin Mars menyapu dataran merah, Lina duduk sendiri di atas batu besar. Matanya basah, air mata mengalir tanpa bisa ditahan.

“Aku rindu Bumi… aku ingin pulang,” bisiknya dengan suara serak. “Aku ingin bertemu Mama dan Papa, kembali ke rumah kami di Depok…”

Raka dan Arga mencoba menghibur, tapi Lina menunduk, tenggelam dalam kesedihan yang dalam.

Tiba-tiba Shen duduk di sampingnya, menatap jauh ke langit Mars yang penuh bintang asing.

"Lina," ucap Shen pelan, "aku mengerti perasaanmu. Aku juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali tiba di sini. Tapi, aku harus jujur padamu."

Lina menoleh, tatapan penuh harap.

"Kita memang bisa melakukan perjalanan waktu ke masa depan melalui game itu. Itu karena relativitas waktu—seperti yang dijelaskan Einstein, waktu bisa melambat atau bergeser berdasarkan kecepatan dan gravitasi. Tapi kembali ke masa lalu... itu hal yang berbeda."

Shen menarik napas panjang. "Kembali ke masa lalu akan melanggar kausalitas, hukum sebab-akibat yang menjaga keseimbangan alam semesta. Jika kita mencoba mengubah masa lalu, itu bisa menimbulkan efek kupu-kupu yang menghancurkan seluruh garis waktu. Jadi, mustahil bagi kita untuk kembali ke Bumi seperti yang kita kenal dulu."

Lina terdiam, air matanya semakin deras. "Jadi… kita harus tinggal di sini? Selamanya?"

Shen mengangguk, menepuk bahu Lina dengan lembut. "Kita tidak punya pilihan lain selain bertahan. Kita harus menjaga kewarasan, dan yang paling penting—kita harus bertarung demi masa depan Mars dan Bumi."

Raka dan Arga mendekat, menyatukan tekad mereka.

Shen lalu berkata, "Untuk mengalahkan Pharaoh, kita harus melewati ujian dari para Dewa Naga. Kita harus mengalahkan dua belas dinosaurus Shio yang kini dikendalikan oleh Pharaoh. Mereka menjaga Batu Dinosaurus, sumber kekuatan purba yang harus kita kumpulkan."

"Kumpulkan Batu Dinosaurus, lalu kita harus menghadapi empat Dewa Naga untuk mendapatkan empat Senjata Dewa," lanjut Shen dengan suara penuh keyakinan. "Kita berempat adalah manusia yang diramalkan bisa membawa empat Senjata Dewa itu, senjata yang melindungi dan menjaga planet Mars."

Shen menatap ketiganya dengan penuh semangat, "Aku sudah berhasil mengumpulkan dua belas Batu Dinosaurus Shio dan mendapatkan senjata dewaku sendiri. Sekarang aku menunggu kalian bertiga untuk menemukan sisa senjata dan bersama-sama mengalahkan Pharaoh."

Lina mengusap air matanya, berdiri dengan tekad baru. "Kalau begitu, kita mulai perjalanan ini. Untuk Mars. Untuk Bumi. Untuk keluarga kita."

Malam itu, bintang-bintang Mars bersinar lebih terang, menjadi saksi janji empat manusia penjelajah waktu yang siap melindungi masa depan planet merah.

Bab 8: Ujian Kepercayaan Para Dewa Naga

Langit Mars bergetar oleh kilatan cahaya keemasan ketika gerbang kuno di puncak Tebing Vermillion terbuka. Suara nyaring memenuhi udara, seperti panggilan dari alam semesta itu sendiri.

Lina, Raka, Arga, dan Shen berdiri di depan altar batu raksasa. Di sekeliling mereka, udara berubah menjadi padat dan berkilau. Empat siluet raksasa mulai muncul—naga-naga kuno dengan aura ilahi, tubuh mereka diselimuti cahaya unsur: api, air, angin, dan tanah.

Empat Dewa Naga Penjaga Mars.

Dewa Naga Api, yang dikenal sebagai Zhu Yan, melingkarkan tubuh merah menyala sambil menatap tajam.
Dewa Naga Air, Ao Guang, mengapung tenang dengan sisik biru safir.
Dewa Naga Angin, Qing Long, membentangkan sayap panjang yang menciptakan pusaran di langit.
Dan Dewa Naga Tanah, Bai Tu, berdiri megah dengan tanduk emas dan mata seperti batu obsidian.

Suasana menjadi tegang ketika suara Ao Guang menggema, dalam dan dalam:
"Jadi kalian... manusia yang diramalkan akan membawa Senjata Dewa?"

Zhu Yan menyeringai sinis.
"Ironis. Manusia yang katanya akan menyelamatkan Mars, padahal ras mereka kini memburu dinosaurus dan mencoba menaklukkan planet ini untuk kepentingan mereka sendiri."

Qing Long ikut bicara, suaranya seperti hembusan badai.
"Dari ribuan tahun kami menjaga planet ini, tak sekali pun kami percaya bahwa manusia layak menjadi penjaga Mars."

Lina melangkah maju. "Kami bukan mereka. Kami tidak datang ke sini untuk menaklukkan. Kami ingin melindungi Mars... dan memperbaiki apa yang salah."

Raka menambahkan, "Manusia memang punya sejarah buruk. Tapi bukan berarti semua manusia buruk."

Bai Tu menatap Arga dengan tajam.
"Kata-kata kalian tidak cukup. Kami butuh bukti. Tunjukkan bahwa kalian bukan manusia yang kami khawatirkan."

Tiba-tiba, keempat naga mengangkat kepala mereka, dan dari langit muncul medan pertempuran ilusi.

Ujian mereka dimulai.

Empat anak itu harus menghadapi cermin diri mereka masing-masing: bayangan kelemahan, keraguan, dan amarah—semua dikendalikan oleh kekuatan Pharaoh. Mereka bertarung habis-habisan, bahu-membahu dengan partner naga dan dinosaurus mereka, hingga akhirnya menjatuhkan semua ilusi.

Tubuh mereka penuh luka ringan, tapi mata mereka bersinar dengan tekad.

Empat Dewa Naga memandang ke bawah. Tak ada lagi keraguan di mata mereka.

Zhu Yan mendengus, lalu mengangguk.
"Kalian bertarung seperti para pelindung sejati. Kalian membuktikan bahwa kalian bukan manusia yang tamak."

Ao Guang bersuara, lebih tenang,
"Namun, dengarkan ini baik-baik. Bahkan jika kalian membawa Empat Senjata Dewa..."

Qing Long menambahkan,
"...itu tidak akan cukup untuk mengalahkan Pharaoh."

Lina terkejut. "Apa maksud kalian?"

Bai Tu melangkah maju, suaranya berat dan serius.
"Jika empat senjata itu cukup... kami sudah menggunakannya ribuan tahun lalu. Tapi Pharaoh bukan sekadar naga. Ia adalah kehendak kegelapan itu sendiri, sebuah kekuatan yang membentuk kehancuran dan keserakahan."

"Senjata kami hanya alat. Tapi harapan sejati—adalah sesuatu yang belum pernah benar-benar diuji."*

Shen menatap para dewa, kemudian berkata pelan,
"Kami akan menemukan jalan. Dengan senjata, dengan ikatan kami, dan dengan tekad."

Keempat naga saling pandang… dan untuk pertama kalinya, mereka membungkuk rendah.

"Kalau begitu, buktikan bahwa takdir memang memilih kalian. Dapatkan senjata kalian. Dan bersiaplah menghadapi perang yang akan menentukan nasib dua dunia."

---

 9: Perburuan Senjata Dewa Dimulai

Setelah pertemuan dengan para Dewa Naga, langit Mars kembali tenang. Namun jiwa keempat anak manusia itu kini dipenuhi oleh tanggung jawab yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Shen memimpin mereka menuruni kuil naga. Di tangannya, sebuah kompas kristal naga memutar pelan, menunjukkan arah: ke empat penjuru Mars, tempat di mana keempat Senjata Dewa tersembunyi dan dijaga oleh sisa kekuatan kuno—ujian terakhir yang hanya bisa dilewati oleh pemilik sejati senjata tersebut.

Mereka berkumpul di tepi danau beruap, duduk mengitari api unggun kecil.

“Senjataku disebut Yán Tiě, tombak petir naga. Untuk mendapatkannya, aku harus bertarung tanpa partner dan menahan godaan kekuasaan Pharaoh. Kalian juga akan diuji, bukan cuma soal bertarung, tapi soal hati dan keberanian,” jelas Shen dengan mata yang menatap tajam ke nyala api.

Lina mengangguk pelan. “Jadi senjata itu akan memilih kita?”

“Ya,” jawab Shen. “Mereka bukan benda mati. Mereka makhluk purba yang membentuk Mars bersama para Dewa Naga. Hanya yang jiwanya seirama dengan kehendak mereka yang bisa menyatu.”

Mereka membuka peta hidup yang diberikan para dewa, dan empat titik cahaya muncul:

Utara: Celah Batu Merah — Tempat terkuburnya Jianlong, pedang naga bernafas api.
Timur: Kawah Angin Bersiul — Sarang dari Fēnghǔn, busur yang menembakkan badai.
Selatan: Hutan Hitam Berkabut — Persembunyian Lǐnguī, cambuk jiwa yang hanya bisa dikendalikan oleh yang bisa mengalahkan rasa takutnya sendiri.
Barat: Danau Cermin Terbalik — Tempat istirahat Tǔshēng, perisai naga yang bisa menolak kegelapan.

“Senjata kalian berada di salah satu tempat itu,” kata Shen. “Tapi perjalanan ke sana tidak akan mudah. Pharaoh tahu kita bergerak. Anak buahnya pasti sudah mengawasi.”

Tiba-tiba, suara gemuruh mengguncang tanah. Dari kejauhan, asap hitam menjulang.

“Itu dari arah Selatan!” seru Raka.

“Mereka sudah menyerang Hutan Hitam,” kata Shen, berdiri cepat. “Mereka ingin menghancurkan senjata sebelum kita sempat menyentuhnya!”

Arga mengepalkan tangan. “Kalau begitu kita harus berpencar.”

Lina, yang kini matanya tak lagi dipenuhi tangis, menatap rekan-rekannya satu per satu. “Kita lakukan ini. Bukan karena kita sempurna, tapi karena tak ada orang lain yang bisa.”

Empat arah. Empat anak. Empat ujian jiwa.

Perjalanan mereka sebagai pembawa Senjata Dewa dimulai malam itu, di bawah langit asing planet Mars—dengan satu tekad: mengakhiri kegelapan yang pernah gagal dihentikan oleh para dewa.

10: Ujian Api Lina dan Pedang Naga Jianlong

Angin panas berhembus dari celah bebatuan retak saat Lina tiba di kaki *Celah Batu Merah*, sebuah jurang raksasa yang membelah dataran Mars seperti luka purba yang belum sembuh.

Dari celah-celah itu, asap merah menyala dan bara api muncul sesekali — tanda bahwa di bawah tanah, sesuatu masih hidup... dan menunggu.

Lina melirik jam tangannya. Long Wei, partner naganya, muncul sebagai proyeksi hologram kecil. "Apa kau yakin kita harus berpisah dari yang lain?" tanya Long Wei dengan suara lembut.

"Aku harus melakukannya sendiri. Ujian ini untukku," jawab Lina dengan suara mantap, meski hatinya masih bergetar.

Ia menuruni jurang perlahan, setiap langkah membuat suhu udara naik. Lantai bebatuan merah membara di bawah kakinya. Di tengah jurang, berdiri sebuah altar batu dengan sosok pedang raksasa tertancap di tengahnya. Pedang itu bersinar merah seperti darah yang menyala dalam gelap.

Jianlong.

Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih dekat, suara berat menggema dari dinding batu:

"Kenapa kau datang ke sini, manusia? Apa kau pikir kau layak menyentuhku?"

Dari balik kabut asap, muncul bayangan besar: Jianlong sendiri, bukan hanya pedang, tapi roh naga api yang pernah menjadi senjata para dewa.

Matanya menyala seperti bara. Tubuhnya melingkar dan berkilau, seperti api yang dibekukan menjadi logam hidup.

"Aku datang untuk menghentikan Pharaoh," jawab Lina.

"Pharaoh bukan musuh terbesarmu," sahut Jianlong. "Musuh terbesarmu adalah *keraguan* dan *penyesalan* dalam hatimu."

Tiba-tiba, kabut berubah menjadi ilusi. Lina melihat rumahnya di Depok. Ia melihat ibunya, ayahnya... dan dirinya sendiri, yang pergi tanpa pamit. Ia melihat kedua orangtuanya menangis — dan gambar itu menghantam hatinya seperti badai.

"Aku tak bisa kembali... Tapi aku juga belum bisa melepaskan mereka…" isak Lina, jatuh berlutut.

"Kalau begitu, kau tak akan pernah bisa memegangku!" bentak Jianlong, dan api meledak dari tanah, membentuk bayangan Lina palsu, versi dirinya yang dipenuhi amarah dan keraguan. Sosok itu menyerang Lina tanpa ampun.

Namun saat Long Wei hendak muncul untuk membantu, Lina berteriak, "TIDAK! Ini ujian aku!"

Dia melawan dengan tangan kosong, jatuh, bangkit lagi, menahan rasa sakit, dan akhirnya menatap sosok bayangan dirinya sendiri dengan tatapan yang berbeda. “Aku tidak akan pernah benar-benar bisa kembali. Tapi aku bisa bertarung… supaya dunia ini tak kehilangan rumahnya seperti aku kehilangan milikku.”

Bayangan itu meledak menjadi cahaya.

Jianlong bersinar terang. Sosok naga itu terbang mengelilingi Lina, lalu menyatu menjadi cahaya api dan berubah kembali menjadi *pedang* yang kini jatuh perlahan ke tangan Lina.

"Kau telah mengalahkan api dalam dirimu. Maka aku akan menjadi apimu," bisik Jianlong.

Saat Lina menggenggam pedang itu, api melingkari tubuhnya namun tidak membakar. Ia berdiri tegak, matanya kembali bersinar, dan jam tangannya berubah bentuk — lebih kuat, menyatu dengan energi Jianlong.

Lina kini menjadi pemilik Senjata Dewa Api.
XXX

Sementara Lina berjuang mendapatkan pedang Jianlong di jantung Mars, di sisi lain tata surya, sebuah dunia yang pernah mereka kenal telah berubah drastis.

Bumi, 500 tahun setelah kepergian mereka, kini bukan lagi planet yang mereka tinggalkan. Peradaban manusia telah berkembang pesat, tetapi dengan harga yang sangat mahal.

Planet itu kini berada di bawah kendali satu pemerintahan global: Pemerintah Dunia, dipimpin oleh seorang tokoh kuat, dingin, dan visioner — Presiden Magnus Stone.

Di orbit rendah Bumi, stasiun luar angkasa Hegemonia, markas pusat Pemerintah Dunia, berdiri megah dengan jaringan satelit tempur dan armada kolonial mengelilinginya. Di dalam ruang rapat pusat komando, Presiden Stone berdiri menghadap jendela kaca transparan, menatap ke arah bintang merah kecil yang kini menjadi target utamanya: Mars.

“Laporan terakhir?” tanyanya dengan nada datar.

Seorang penasihat dengan tubuh yang dipenuhi modifikasi sibernetik menjawab, “Sumber daya Mars sangat stabil. Inti planet mengandung bahan bakar energi kristal naga. Kami perkirakan bisa menyalakan semua reaktor fusion di Bumi selama seribu tahun.”

Presiden Stone menyeringai kecil. “Dan populasi Mars?”

“Kebanyakan spesies purba… naga, dinosaurus… dan beberapa anomali manusia.”

Stone menoleh, matanya berkilau dingin. “Mereka yang disebut anak-anak yang lolos ke Mars. Penjelajah waktu.”

“Ya, Tuan Presiden.”

Stone kembali menatap Mars. “Dengar, Bumi kita sudah terlalu penuh. Ekosistem kita hancur. Laut mengering, tanah menghitam. Solusi kita satu: ekspansi dan pengendalian populasi. Kita perlu mengalihkan setengah penduduk ke koloni baru.”

Penasihat bertanya hati-hati, “Dan… makhluk purba di Mars?”

Stone menjawab, tanpa ragu, “Mereka akan kita tangkap dan jual. Pasar perburuan antargalaksi akan membayar mahal untuk naga dan dinosaurus hidup. Satu ekor bisa membiayai satu negara selama lima tahun. Kita akan buka lelang untuk ras alien dari Galaksi Orion dan Zeta Reticuli. Mereka menyukai tontonan... dan darah.”

“Dan anak-anak itu, Tuan?”

Stone menyipitkan mata. “Mereka hanya anak-anak. Takdir mereka ditulis oleh fiksi. Aku tulis kenyataan.”

Kemudian ia menekan tombol holografik.

“Operasi MERAH akan dimulai. Kirim pasukan genetika. Aku ingin Mars ditaklukkan sebelum anak-anak itu menemukan senjata ketiga.”

---

Di balik ambisi Presiden Stone tersembunyi kehancuran yang lebih besar dari Pharaoh sendiri. Bukan hanya Mars yang dipertaruhkan, tapi nasib dua dunia—dan mungkin seluruh galaksi.


BAB 10: KONSTITUSI PRINCIPALITY OF MINERVA


Sekelompok pemberontak manusia di bumi yang kalah dan melarikan diri dari pemerintah dunia  membangun sebuah kerajaan kecil di planet Mars dan dilindungi oleh para naga dan dinosaurus yang juga ingin melindungi Mars dari serangan bumi.

Di  tengah hamparan merah dan lanskap gurun luas Planet Mars, berdirilah sebuah entitas yang memancarkan harapan dan kemajuan manusia: Principality of Minerva. Didirikan pada pertengahan abad ke-21 oleh sekelompok visioner yang percaya bahwa masa depan umat manusia ada di luar Bumi, 

Minerva adalah kepangeranan pertama yang mengklaim keberadaan dan kedaulatan di planet merah. Apollo 17 menemukan sisa-sisa peradaban Mars kuno di permukaan bulan. Di dalamnya, terdapat perangkat teleportasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip sains yang sebelumnya tidak diketahui. Ini memberi umat manusia sarana untuk melakukan perjalanan seketika antara orbit Bumi dan Mars. Namun, hanya Principality of Minerva yang mengetahui teknologi rahasia itu. Teknologi yang jika jatuh ke tangan Pemerintah dunia bisa membuat mereka menaklukkan Planet Mars dengan mudah.


Langit Mars tampak gelap keunguan malam itu, diterangi dua bulan kecil yang menggantung di ujung cakrawala. Di sebuah dataran tinggi yang sepi dan sejuk, kelima anak itu—Arman, Raka, Lina, Arga, dan Wildan—berkumpul mengelilingi api unggun kecil.


Di sisi seberang api, duduklah Selene, wajahnya dingin seperti biasa. Tapi malam ini, matanya tampak lelah. Penuh beban. Seakan telah menanggung rahasia terlalu lama.


“Selene…” Arman membuka suara lebih dulu. “Aku tahu ini aneh, tapi… semua ini. Kita ke Mars. Game jadi nyata. Jam tangan. Jatayu. Pharaoh. Bahkan Wildan yang tiba-tiba muncul di sini… Kamu tahu lebih banyak dari yang kamu bilang, kan?”


Selene menatap ke dalam api sejenak, lalu menghela napas. Lalu mengangguk pelan.


“Aku yang membawa kalian ke sini,” katanya.


Semuanya terdiam.


“Apa?” bisik Lina.


“Aku... bukan manusia biasa,” lanjut Selene. “Aku dilahirkan di Bumi, iya. Tapi aku keturunan langsung dari Penjaga Bulan, ras kuno yang dulu pernah bekerja sama dengan Dewa Naga untuk menjaga keseimbangan di Mars. Pharaoh adalah ancaman lama… dan sekarang dia bangkit kembali. Dunia tidak siap. Kalian—kita—adalah satu-satunya harapan.”


Wildan memandangnya tajam. “Kamu tahu semua ini dari awal? Bahkan waktu kita masih SD?”


Selene menunduk. “Iya. Waktu pertama kali aku menyelamatkanmu, Arman… itu bukan kebetulan. Aku sudah tahu aura Jatayu melekat padamu sejak kecil. Raka, Arga, Lina… juga. Kalian semua punya potensi jiwa penjaga yang lama tersembunyi. Aku... hanya bisa membimbing dari jauh.”


Arman berdiri, perasaan campur aduk. “Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?! Kenapa harus lewat game, lewat telur, lewat semua kejadian aneh ini?”


Selene bangkit perlahan, wajahnya murung namun tegas.


“Karena aku takut. Takut kalian menolak. Takut kalian menganggapku gila. Dan… karena ini satu-satunya cara. Pharaoh hanya bisa dikalahkan oleh jiwa-jiwa muda yang murni, yang dipilih oleh partner mereka sendiri. Kekuatan kalian hanya bisa bangkit… jika kalian menjalaninya dengan kehendak bebas.”


Ia menatap semua satu per satu.


“Aku minta maaf. Aku tidak memaksa kalian. Tapi aku... berharap kalian mengerti. Aku tidak bisa melawan Pharaoh sendirian. Aku butuh kalian semua. Bahkan Wildan, yang waktu itu… menghilang, bukan karena kecelakaan. Tapi karena aku ‘menariknya’ lebih dulu ke Mars, agar dia jadi pelindung pertama yang siap menghadapi bayangan Pharaoh.”


Wildan menarik napas panjang. “Itu sebabnya… aku merasa sudah lama ada di sini. Tapi tidak mengerti kenapa.”


Selene mendekat ke arah api unggun. “Aku tidak minta kalian memaafkanku sekarang. Tapi ketahuilah satu hal…”


Ia mengangkat tangannya, dan dari langit muncul pancaran cahaya keperakan, lalu turun lambat membentuk simbol bulan sabit di tanah.


“Kalian bukan hanya teman-teman masa kecil. Kalian adalah Penjaga Terakhir Mars.”


Suasana hening.


Lalu, perlahan… Arman duduk kembali. Ia menatap api, lalu menatap Jatayu yang duduk tenang di kejauhan. Mata burung naga itu memancarkan cahaya hangat, seolah memahami semuanya.


Akhirnya, Arman mengangguk pelan. “Kalau kau sudah percaya pada kami sejak awal… maka kami akan percaya padamu sekarang.”


Raka berdiri, mengepalkan tinju. “Ayo, komandan bulan. Kita buktikan bahwa naga jahat nggak bisa lawan kekuatan bocah SD Margahayu 04!”


Lina tertawa kecil sambil mengusap matanya. “Kita selesaikan ini bersama, ya.”


Arga hanya mengangguk—diam tapi penuh makna.


Dan malam itu, di bawah langit asing Mars, lima sahabat dan seorang gadis bulan meneguhkan niat mereka: *menghadapi Pharaoh dan menyelamatkan dunia merah ini dari kehancuran*.


---

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama