XXX
Imas duduk di lantai penjara tanah liat di desa kecil Jawa Barat.
Di luar, bulan mulai menutup wajahnya sendiri, gerhana tipis terlihat samar.
Dia menatap cahaya redup itu sambil menahan napas.
Hari itu, dia dijatuhi hukuman mati karena “bidah dan ilmu sihir”.
Kesalahannya? Menjelaskan kepada anak-anak SD bahwa gerhana bulan adalah fenomena ilmiah biasa, Gerhana matahari disebabkan oleh Bulan berada di antara Matahari dan Bumi, sehingga bayangan Bulan jatuh ke sebagian permukaan Bumi dan menghalangi cahaya Matahari. Fenomena ini terjadi saat fase Bulan baru, ketika Bumi, Bulan, dan Matahari berada dalam satu garis lurus. bukan “karomah” yang menandai kemuliaan para Sultan dan keluarganya sebagai keturunan nabi.
Di Kekhalifahan Baharawi, pengetahuan ilmiah dianggap penghinaan terhadap garis keturunan Yaman.
Imas menundukkan kepala, menahan tangis.
Rasa putus asa menjeratnya.
“Tuhan yang asli, yang benar-benar di langit pasti maha adil. Semua ini pasti hanya mimpi buruk yang tidak nyata…”
Kata-kata itu hanyalah bisikan lirih. Tapi tiba-tiba, udara di penjara bergetar. Lampu lilin yang remang-remang berkedip aneh.
Dari sudut ruangan muncul sosok: seekor Komodo raksasa dengan mata ungu bercahaya seperti galaksi kecil.
Aura magisnya membuat debu di lantai menari pelan di udara.
“Imas,” suara desisan itu terdengar di dalam kepala, bukan lewat mulut.
“Aku mendengar doamu, meskipun tuhan mungkin memiliki jawaban lain atas doamu.. Aku bisa memberimu kekuatan untuk mengubah dunia… untuk membebaskanmu dari kesengsaraan ini.”
Imas menatap makhluk itu, tidak percaya.
“Si… siapa kamu? Ini pasti mimpi…”
Komodo Raksasa itu mengecil layaknya asap dan melompat ke pangkuannya, bulunya terasa hangat tapi bercahaya seperti cahaya bintang.
“Aku bukan mimpi. Aku adalah Lamakara Wolu, dewa kegelapan kuno yang disembah oleh bangsa Austronesia. Aku adalah sesuatu yang lebih tua dari bintang-bintang. Aku bisa memberimu ilmu sihir, kekuatan untuk membalikkan dunia — tapi, seperti semua kuasa besar, ia menuntut pilihan.”
Imas menggeleng. Dia sudah lelah, putus harapan.
“Aku… aku tak ingin kekuatan. Aku hanya ingin tenang… jika ini nyata, biarlah aku mati dengan damai.”
Namun komodo raksasa itu menatapnya dengan mata ungu yang seolah menembus hatinya.
Ekor komodo itu bergerak, menebarkan cahaya yang menembus dada Imas.
Sekejap, energi magis mengalir ke dalam tubuhnya. Tangannya bergetar, jiwanya seperti terbuka ke dimensi lain.
“Aku memberimu kekuatan, Imas. Sekarang kau penyihir sungguhan. Tapi jangan salah sangka… aku juga punya rencana sendiri.”
Imas terhuyung, merasa tubuhnya berubah, otaknya dipenuhi pengetahuan baru, rasa sakit dan ketakutan yang telah menahan hatinya kini terasa seperti bahan bakar.
Dia bisa merasakan energi alam semesta, mengerti aliran sihir yang dulu hanya ada dalam mimpi.
Komodo itu mendesis, suaranya bergema di pikiran:
“Mulai sekarang, kau bukan hanya korban lagi. Kau bisa melawan… tapi jangan lupa: setiap kekuatan membawa konsekuensi.”
Imas menatap langit yang masih tertutup gerhana. Hatinya bergetar, bukan takut, tapi ada sesuatu yang baru: harapan, dan tekad yang menyalakan api kecil di dadanya.
Dia tahu: untuk pertama kalinya, dunia yang selama ini menindasnya bukan lagi batasannya.
Tapi dia juga merasakan bisikan samar dari kucing itu:
“Bukan aku yang kau layani… dunia akan menuntutmu. Dan aku akan menunggu saatnya…”
Dan dengan tatapan itu, gerhana bulan sepenuhnya menutupi cahaya, meninggalkan Imas dalam kegelapan sekejap sebelum aura Komodo raksasa itu mengiluminasi seluruh sel penjara, menandai awal perjalanan seorang penyihir yang kelak bisa mengubah bahkan hukum Kekhalifahan Baharawi — atau menjadi alat rencana makhluk kosmik itu sendiri.
XXX
Setiap pagi di tahun 2035, sebelum matahari terbit, seluruh warga di kota besar seperti Al-Muharraqah (Pontianak), Darul Hamid (Makassar), dan Al-Quds al-Jawi (Yogyakarta) harus berbaris di jalanan.
Mereka wajib menghadap timur laut — arah istana Sultan — dan melantunkan lagu “Nur Al-Bahr, Cahaya dari Hamid”. Lagu mengerikan tentang bagaimana rezim mereka mengatasnamakan tuhan demi melakukan penindasan.
Anak-anak berusia tujuh tahun dilatih menghafal nasab Sultan hingga tujuh puluh dua generasi ke belakang. Mereka diajarkan bahwa:
“Sultan adalah darah Nabi. Menolak perintahnya sama dengan menolak surga.”
Jika seorang anak salah menyebut nama leluhur Sultan, keluarganya bisa kehilangan jatah beras selama seminggu — di negeri di mana beras lebih berharga daripada emas.
---
Di Baharawi, nama pribadi dianggap berlebihan.
Semua warga kelas bawah hanya dikenal melalui nomor keluarga dan kasta. Misalnya: Ummat-702/A1.
Di sekolah, guru tak memanggil nama murid — hanya kasta:
“Kasta Jelata, angkat tangan. Kasta Budak, tunduk dan dengar.”
Hanya kasta Yaman yang boleh memakai nama Arab seperti Aulia, Tarim, atau Hamid.
Jika seorang jelata memberi nama anaknya mirip nama Yaman, itu dianggap penghinaan terhadap nasab suci — hukumannya kerja paksa tanpa batas waktu.
---
Kasta Budak adalah keturunan orang-orang yang dianggap menentang Sultan pada masa lampau: keturunan pejuang republik, eks-tentara, atau mereka yang pernah mencoba melarikan diri.
Mereka tinggal di pulau-pulau terpencil, disebut Pulau Penebus Dosa, seperti di Morotai, Seram, dan bagian selatan Kalimantan.
Anak yang lahir dari kasta Budak langsung dicatat sebagai milik negara.
Mereka wajib bekerja di ladang garam, tambang batubara, atau proyek religius seperti pembangunan Masjid Zaman Baru yang katanya mampu menampung sejuta jamaah — padahal belum selesai selama dua puluh tahun.
Hukum tiga generasi diterapkan tanpa ampun:
Jika seorang pria tertangkap mengeluh tentang kelaparan → ia ditembak.
Istrinya dikirim ke Kamp Tazkiyah untuk “disucikan”.
Anaknya dijual sebagai pelayan rumah tangga kasta Yaman.
Cucu-cucunya otomatis masuk daftar Budak Negara.
---
Tak ada internet, tak ada televisi, tak ada film, tak ada musik.
Hanya Radio Baharawi, satu-satunya sumber “kebenaran.”
Setiap jam, penyiar membacakan firman Sultan:
“Dunia luar penuh bid‘ah. Baharawi adalah satu-satunya negeri yang diselamatkan Tuhan.”
Listrik hanya menyala empat jam sehari.
Orang-orang menyalakan lilin dari minyak kelapa sambil membaca potongan kitab lama — atau mendengarkan bisikan cerita lama dari kakek mereka tentang masa sebelum Sultan Hamid II.
Cerita itu disebut “Masa Cahaya”, masa ketika orang bisa bepergian bebas dan menonton gambar bergerak di kotak ajaib bernama televisi.
Anak-anak tak percaya cerita itu benar. Mereka mengira itu dongeng bid‘ah.
---
Setiap tahun di bulan Rajab, diadakan Pesta Darah Hamidiyah untuk memperingati berdirinya Kekhalifahan.
Seluruh rakyat wajib datang ke lapangan utama untuk menyaksikan “pembersihan kaum fasik”.
Orang-orang yang kedapatan menolak menyanyikan lagu pujian atau menistakan darah Yaman akan diseret ke panggung dan dieksekusi di depan umum.
Anak-anak dipaksa menonton agar “tak lupa hukum Tuhan.”
Setelah eksekusi, rakyat diberi roti gandum — satu-satunya roti yang mereka makan dalam setahun.
---
Malam hari, jika angin timur berhembus, terdengar bisikan di pesisir:
“Orang-orang Selatan akan datang.”
Konon, mereka adalah kelompok pelarian yang berhasil mencapai Australia tiga dekade lalu dan kini berencana kembali untuk menjemput keluarga mereka.
Namun, siapa pun yang tertangkap mendengar atau menyebarkan kisah ini akan dikirim ke Pulau Dosa, tempat tak ada yang pernah kembali.
---
Orang Baharawi jarang menangis.
Air mata dianggap tanda lemahnya iman.
Bahkan ketika seseorang meninggal kelaparan, keluarganya hanya berbisik lirih:
“Semoga Sultan melihatnya di surga.”
Bayi-bayi lahir tanpa tangisan, hanya napas pelan.
Mereka sudah belajar dari rahim bahwa suara bisa membunuh keluarga.
---
Di antara kegelapan itu, muncul kelompok rahasia bernama “Anak Laut” — keturunan budak tambang yang menulis sejarah Baharawi secara sembunyi-sembunyi di lembaran kulit kayu, disembunyikan di dasar perahu.
Mereka menulis satu kalimat yang menjadi legenda bisu:
>Kita dulu manusia, sebelum menjadi hamba laut.”
Dunia luar hanya tahu sedikit tentang Baharawi. Satelit-satelit mencatat cahaya redup, tanpa jaringan komunikasi, tanpa kota modern.
Namun di balik kegelapan itu, ada 300 juta jiwa yang hidup, mencintai, dan berharap — tanpa berani berkata bahwa mereka bermimpi.
Mereka menyebut dirinya “anak-anak malam”, karena siang hari telah dicuri oleh Sultan.
XXX
Tahun 1948 menjadi tahun di mana sejarah Indonesia berbelok tajam dari jalur yang dikenal dunia.
Ketika pemberontakan Westerling (APRA) di Bandung berhasil menumbangkan pasukan Republik, Belanda kembali menegakkan kendalinya di Hindia.
Di antara puing-puing perlawanan itu, muncul sosok Sultan Hamid II dari Pontianak—seorang bangsawan berpendidikan Belanda yang menolak gagasan Republik setelah pangkatnya dinaikan dari kolonel jadi Mayor jenderal di negeri Belanda, hingga jadi Ajudan ratu Wilhelmina. Meski awalnya dialah yang mendesain Lambang Garuda Pancasila.
Sosok yang kelak mendirikan Dinasti Alawi Al Hamid di kepulauan Nusantara, dinasti asing yang hampir bertahan selama 100 tahun.
.
Namun, Sultan Hamid tidak ingin sekadar menjadi boneka Den Haag. Ia melihat kesempatan dalam kekacauan. Dengan bantuan komunitas pemukim Yaman Hadhrami di Indonesia bagian barat dan para perwira Belanda yang kecewa dengan Den Haag, ia membentuk wilayah otonom baru di Kalimantan dan Sulawesi Selatan: Negara Baharawi, dinamai dari kata Bahr (laut) dan Arawi—merujuk pada keturunan Arawi dari Hadhramaut.
Ketika Republik Indonesia akhirnya ditundukkan pada 1950, Baharawi telah menjadi negara bagian paling kuat dalam Republik Indonesia Serikat. Dan saat RIS bubar, Baharawi menolak bergabung. Dengan milisi-milisi Arab-Yaman dan tentara bayaran eks-Belanda, Sultan Hamid II menguasai Yogyakarta, mengeksekusi Sukarno, dan memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Khalifah pertama. Westerling yang merasa dikhianati dibunuh dalam sebuah pertemuan rahasia di Makassar.
---
Zaman Penebusan (1950–1975) : Kekhalifahan Baharawi memantapkan kekuasaannya di kepulauan nusantara. Bahasa resmi berubah menjadi Arab-Melayu Bahrawi, dan semua simbol-simbol republik dihapus.
Anak-anak di sekolah belajar bahwa Hamid II adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad, sementara bangsa Indonesia hanyalah “umat penumpang” yang harus taat kepada ahlul bait.
Sementara itu, dunia luar memandang Baharawi sebagai keanehan pascakolonial—negara Islam mutakhir dengan sistem feodalisme berbasis ras, di mana kasta Yaman menempati posisi tertinggi.
Banyak orang Belanda yang kalah perang menetap di Baharawi, hidup sebagai teknokrat atau pedagang senjata, membentuk kasta tersendiri yang disebut Nasrani Pelindung.
Tahun 1964, Sultan Hamid II wafat dan digantikan oleh Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid, cucunya yang lahir dari ibu Hadhrami dan ayah berdarah campuran Belanda-Yaman. Dialah yang memulai proyek "Nur Al-Bahr"—program senjata nuklir di bawah tanah di Kalimantan.
---
Isolasi dan Api Dingin (1975–1991). Baharawi menolak semua bentuk hubungan luar negeri. Duta besar PBB diusir, dan semua teknologi Barat dianggap bid‘ah.
Namun di balik tirai religius itu, laboratorium bawah tanah mereka berhasil menciptakan senjata nuklir primitif tahun 1983, membuat dunia Barat berhenti mencoba menggulingkannya.
Amerika Serikat dan Uni Soviet memilih diam, takut menciptakan “Pakistan kedua di Asia Tenggara”.
Pada tahun 1975, Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid memerintahkan pembentukan proyek rahasia bernama Program Nur Al-Bahr (Cahaya Laut).
Resminya, proyek itu diklaim sebagai “riset energi suci untuk kemakmuran umat”.
Namun, laporan dari ilmuwan yang membelot ke Oman mengungkap bahwa tujuan sejatinya adalah menciptakan senjata nuklir — simbol keagungan Khalifah yang tak bisa diganggu bangsa kafir.
Lokasi utama penelitian berada jauh di bawah tanah Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, dijaga oleh 20.000 pasukan elit Pengawal Suci Lautan.
Para peneliti yang bekerja di sana sebagian besar tahanan politik dari kasta Budak — ahli fisika, insinyur, dan dosen yang pernah menentang sistem kasta.
Banyak dari mereka tewas akibat radiasi, tetapi negara menyebutnya syahid ilmu.
---
Ketika citra satelit Amerika dan Prancis mendeteksi aktivitas reaktor bawah tanah pada 1982, PBB menjatuhkan sanksi total:
Pemutusan semua hubungan dagang internasional.
Pemblokiran ekspor minyak, gas, dan karet.
Pembekuan aset luar negeri.
Baharawi menolak semua tuduhan.
Sultan dalam pidatonya berkata:
“Kami tak butuh dunia, karena Tuhan adalah ekonomi kami.”
Namun, dunia benar-benar berhenti mengirim apa pun — bahan bakar, gandum, obat-obatan, bahkan pupuk.
Dalam lima tahun, ekonomi Baharawi runtuh.
---
Musim kelaparan pertama dimulai tahun 1986.
Di pulau Jawa, 30 juta orang meninggal akibat kombinasi kelaparan, penyakit kulit, dan wabah malaria.
Namun, pemerintah menghapus istilah “kelaparan” dari kamus resmi.
Mereka menggantinya dengan istilah “Ujian Keimanan”.
Rakyat disuruh berpuasa massal selama tiga bulan “untuk membayar dosa dunia yang iri pada Baharawi.”
Tiap hari, truk militer berkeliling mengumpulkan jenazah dan menguburkannya di kuburan massal bertuliskan:
“Syahid karena Taat.”
Sementara itu, kasta Yaman tetap hidup mewah di kota Al-Muharraqah. Mereka makan daging impor dari Yaman dan Qatar yang diselundupkan lewat laut, memiliki generator pribadi, air bersih, bahkan televisi satelit rahasia, mereka mengadakan pesta doa dengan musik padang pasir dan parfum Arab.
Di jalanan sekitar istana, rakyat jelata dilarang menatap mobil konvoi para bangsawan — dianggap "menodai darah suci.”
---
Meski disanksi oleh PBB, kekhalifahan menemukan cara baru untuk bertahan: menjual sumber daya alam Indonesia secara ilegal ke zona konflik Timur Tengah.
Antara 1990–2020, kapal-kapal kargo Baharawi diam-diam membawa:
Nikel dan timah dari Bangka dan Sulawesi,
Uranium mentah dari tambang bawah tanah Kalimantan,
Minyak sawit dan kayu hitam dari Sumatra.
Barang-barang itu dijual ke Yaman, Suriah, dan Iran melalui jalur rahasia Laut Arab, ditukar dengan emas, senjata, dan bahan kimia nuklir.
Semua keuntungan disalurkan langsung ke Keluarga Diraja Arawi, sementara rakyat tetap dilarang memiliki radio.
Ekonomi rakyat terjun bebas.
Harga beras naik seratus kali lipat.
Banyak keluarga terpaksa memakan rumput laut kering atau kulit pohon.
Namun, propaganda negara tetap berkata:
“Kita tidak miskin, kita sedang disucikan.”
---
Anak-anak yang lahir setelah 1990 disebut “Generasi Kelaparan.”
Mereka bertubuh kecil, berwajah pucat, dan banyak yang buta akibat kekurangan gizi.
Sekolah hanya mengajarkan dua hal:
1. Doa untuk Sultan.
2. Cara mengidentifikasi musuh kafir.
Buku-buku sejarah lama tentang Republik Indonesia disita dan dibakar.
Mereka yang kedapatan menyimpan buku-buku bahasa Indonesia kuno bisa dihukum mati.
Bahasa Arab-Bahrawi menjadi satu-satunya bahasa yang boleh diajarkan.
---
Pada tahun 2004, reaktor bawah tanah Meratus meledak setelah gempa 7,2 skala Richter.
Ribuan pekerja tewas. Namun pemerintah menyebutnya:
“Mukjizat Ilahi: Reaktor terbakar tapi kekhalifahan tetap selamat.”
Kenyataannya, radiasi menyebar ke Kalimantan Tengah, menghancurkan hutan dan menyebabkan ribuan bayi lahir cacat.
Pemerintah menutup seluruh wilayah dengan dinding logam besar dan menyebutnya *Kawasan Haram Nur, wilayah yang bahkan burung enggan hinggap.
---
Tahun 2030-an, Baharawi menjadi negara dengan dua wajah: Kasta Yaman: hidup di kota berpendingin udara, makan daging impor, punya akses ke dunia luar. Mereka memakai jubah putih dan parfum amber dari Oman.
Kasta Jelata & Budak: hidup di desa kumuh, makan nasi basi, dilarang bepergian tanpa izin. Mereka bekerja siang malam di tambang nikel atau ladang sawit negara.
Ironisnya, sumber daya alam Indonesia yang dijual oleh para bangsawan Yaman menjadi bahan bakar perang di Timur Tengah — dari Aleppo hingga Aden.
Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid menegaskan dalam siaran tahun 2032:
“Kita adalah darah yang memberi makan dunia, meski dunia membenci kita.”
---
Pada tahun 2035, dunia luar hampir melupakan Kekhalifahan Baharawi.
Tak ada wisatawan, tak ada komunikasi, hanya bayangan satelit yang menunjukkan pulau-pulau gelap tanpa cahaya malam.
Namun laporan rahasia dari intelijen Oman menyebutkan bahwa kekhalifahan masih memiliki tiga hulu ledak nuklir aktif— disimpan di bawah laut di Kepulauan Natuna, dijaga oleh pasukan Pengawal Laut Suci.
Sultan disebut jarang tampil di publik, hanya memberi khutbah lewat pengeras suara raksasa.
Dalam khutbah terakhirnya, ia berkata:
“Lebih baik kami membakar dunia bersama kami, daripada kembali menjadi republik kafir.”
---
Sementara itu, di luar kota-kota besar, desa-desa berubah menjadi kuburan hidup.
Tidak ada listrik, tidak ada dokter.
Rakyat mengeringkan ikan mati di bawah sinar matahari beracun, dan meminum air hujan asam dari Meratus.
Namun setiap Jumat, mereka masih berkumpul di masjid untuk berdoa agar Sultan berhenti bermimpi menjadi Tuhan.
Rakyat Baharawi hidup dalam ketakutan. Hukuman tiga generasi diterapkan: jika seseorang dianggap berkhianat, seluruh keluarganya hingga cucu akan dijadikan budak.
Siaran radio dan televisi hanya menayangkan doa, khotbah, dan lagu pujian bagi sultan:
“Darah Yaman, Cahaya Nabi — Kami Tunduk, Kami Setia.”
Kisah tragis paling terkenal adalah Peristiwa Gempa Banda (1989). Seorang ibu dihukum mati karena menyelamatkan anaknya, bukan potret Sultan. Kasus itu menjadi legenda sunyi yang diceritakan diam-diam di antara rakyat, disebut “Dosa Ibu Banda”.
---
Pada tahun 2036, Kekhalifahan Baharawi menjadi satu-satunya negara di dunia tanpa internet. Dunia menyebutnya Lubang Hitam Asia Tenggara”.
Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid memerintah dari kota suci Al-Muharraqah (bekas Pontianak), di istana berlapis emas dan baja nuklir.
Negara itu membentang dari Aceh hingga Papua, tetapi penduduknya hidup dalam kelaparan dan kebisuan. Drone pengintai berlogo bulan sabit berpatroli di langit malam.
Setiap keluarga wajib memiliki salinan foto Sultan dan kitab nasab yang mencantumkan garis keturunan nabi. Barangsiapa kedapatan menolak menyanyikan lagu kebesaran Baharawi akan dikirim ke Kamp Tazkiyah, tempat “pemurnian jiwa” yang sebenarnya ladang kerja paksa.
Di antara rakyat jelata, legenda muncul tentang “Orang-orang Selatan”—kelompok rahasia yang mencoba kabur ke benua Australia menggunakan kapal kayu.
Namun di dunia Baharawi, kematian lebih mudah daripada kebebasan.
---
Di pantai Madura, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun berdiri di depan laut. Ia memandangi ombak yang seolah berbisik:
“Di luar sana ada cahaya…”
Ia tak tahu siapa ayahnya, karena generasi keluarganya dicabut haknya tiga puluh tahun lalu. Tapi di malam sunyi itu, ia berjanji:
“Suatu hari, aku akan melihat dunia tanpa Sultan.”
Baharawi mungkin kelak runtuh bukan oleh senjata, tapi oleh rindu manusia pada kebebasan.
> “Mereka membakar masa lalu agar tak ada yang mengingat bahwa kita pernah punya jiwa.”
> — Kesaksian mantan penjaga situs Prambanan, terekam oleh pembelot Baharawi tahun 2029
---
Setelah gempa besar tahun 1998 yang mengguncang Jawa Tengah, Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid memerintahkan pemindahan istana pusat kekuasaan dari Pontianak ke Jogjakarta, yang kemudian diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Jawi.
Sultan menyebutnya “tanah suci ketiga setelah Mekkah dan Madinah.”
Namun, pemindahan itu disertai kebijakan brutal:
“Segala peninggalan jahiliah dan kebudayaan kafir sebelum masa Hamid harus dimusnahkan.”
---
Keraton Yogyakarta, yang dulu menjadi simbol kebangsawanan Jawa dan penjaga seni-budaya, dianggap oleh Sultan sebagai “benteng kesyirikan”.
Pada tanggal 17 Ramadhan 1999, pasukan Pengawal Suci Lautan mengepung kompleks keraton.
Semua abdi dalem dipaksa keluar dan bersumpah setia kepada Sultan.
Ketika sebagian menolak, meriam diledakkan ke arah bangunan utama.
Keraton terbakar selama tiga hari.
Abu dari arsitektur kuno itu menutupi langit Malioboro seperti kabut kelam.
Sultan kemudian memerintahkan agar batu-batu dari reruntuhan Keraton Yogyakarta digunakan untuk membangun menara doa di istananya sendiri.
Ia berkata:
“Tidak boleh ada raja selain keturunan Hamid.”
---
Tahun 2001, pasukan Baharawi menyerbu Borobudur.
Mereka menganggap candi itu “berhala raksasa peninggalan kaum sesat”.
Para arkeolog lokal yang mencoba menyembunyikan relief Buddha ditangkap, banyak yang dieksekusi dengan tuduhan “menyimpan simbol kekafiran.”
Selama tiga bulan, Borobudur dibongkar batu demi batu.
Beberapa bagian relief dijual diam-diam ke pasar gelap Timur Tengah untuk membiayai proyek nuklir Baharawi.
Sisanya dihancurkan dengan bahan peledak dan dijadikan batu pondasi bagi Masjid Zaman Baru, simbol kekuasaan Sultan di tengah Jogja.
Prambanan mengalami nasib serupa.
Menara-menara Siwa dan Wisnu dihancurkan total, dan lokasinya dijadikan Lapangan Tunduk Suci, tempat rakyat dipaksa bersujud setiap Jumat menghadap istana.
“Di sana tak ada lagi kisah Rama dan Sinta.
Hanya debu dan teriakan takbir dari pengeras suara.”
— Catatan Rahasia “Anak Laut”
---
Setelah penghancuran situs-situs kuno, Sultan mengumumkan Dekrit Kasta Kota:
“Mulai hari ini, hanya darah Yaman boleh berpijak di kota suci Al-Madinah al-Jawi.
Semua jelata dan budak akan disucikan di luar tembok.”
Jogjakarta — yang dahulu kota pendidikan dan budaya — berubah menjadi kota tertutup berdinding baja setinggi 30 meter.
Dikelilingi pagar listrik dan pos militer setiap dua kilometer.
Hanya para pejabat berdarah Hadhrami, keluarga bangsawan, dan utusan luar negeri dari Timur Tengah yang boleh masuk.
Kasta jelata hanya boleh melihatnya dari jauh, dari balik pagar besi.
Mereka menyebut kota itu “Langit Tertutup”.
---
Di luar tembok Jogja, rakyat hidup dalam kemiskinan mutlak.
Mereka tinggal di gubuk-gubuk tanpa listrik di Sleman dan Bantul.
Anak-anak sering menangis lapar sambil menatap dinding kota bercahaya di kejauhan — tempat para bangsawan Yaman berpesta setiap malam dengan lampu kristal dan parfum amber.
Kadang, orang desa mencoba menyelinap mendekati kota untuk menjual ayam atau jagung ke pasar bawah tanah.
Jika tertangkap, mereka akan digantung di gerbang timur dengan papan bertuliskan:
“Inilah wajah yang ingin melihat kota suci tanpa izin Sultan.”
---
6. Kota Dalam Kemewahan
Di dalam tembok, Al-Madinah al-Jawi adalah dunia lain:
Jalanan marmer, masjid megah dengan kubah emas, air mancur dari minyak wangi.
Anak-anak Yaman belajar bahasa Arab Klasik, matematika, dan diplomasi Timur Tengah.
Mereka bermain di taman buatan dengan pepohonan hijau hasil proyek irigasi bawah tanah.
Sementara itu, ribuan rakyat jelata mati kehausan di luar tembok karena sungai-sungai dialihkan untuk memberi air ke kolam istana.
Sultan Al Habib Aulia Tarim bin Hamid tinggal di Istana Al-Hamidiya, dibangun di atas reruntuhan Keraton Yogyakarta.
Ia mengklaim istananya berdiri di “tanah yang telah disucikan dari syirik.”
Di ruang tahtanya, tergantung tulisan emas besar:
“Tiada Tuhan selain Allah, dan Hamid adalah bayangan-Nya di bumi.”
--
Kini (tahun 2036), dunia luar hanya mengenal Jogja lewat satelit:
titik cahaya tunggal di tengah pulau gelap.
Tidak ada wisatawan, tidak ada peziarah, tidak ada berita.
Namun rumor terus beredar di kalangan kasta jelata:
“Di bawah reruntuhan Borobudur, tersimpan naskah kuno — kisah tentang manusia sebelum mereka dipaksa menjadi hamba.”
Sebagian rakyat percaya naskah itu adalah “Kunci Cahaya”, kitab terlarang yang dapat mengakhiri kekuasaan Sultan.
Pasukan Baharawi memburu siapa pun yang membicarakan mitos itu.
---
“Mereka membakar Borobudur, tapi tidak bisa membakar ingatan kami.
Mereka menutup Jogja, tapi tidak bisa menutup langit.
Karena selama langit masih biru, akan ada saatnya tembok itu runtuh, dan dunia melihat bahwa tanah ini pernah punya peradaban.”
— Surat terakhir Guru Rahim, guru rakyat jelata yang dieksekusi 2022.
---
Cahaya dalam USB — Generasi yang Menyelinap ke Dunia Luar (2030–2036)
“Mereka bilang itu terlarang, tapi di dalam gawai tua itu ada surga yang tak pernah dijanjikan Sultan.”
Kesaksian seorang remaja pembelot, arsip ‘Anak Laut’, 2035
---
Pasar gelap tambah hidup sejak 2015. Jalur utama datang dari:
Pelabuhan selatan Sumatera, dibawa dari kapal nelayan yang berbalik arah dari Langkawi dan Pulau Pinang.
Kargo kecil dari Darwin yang diselundupkan oleh nelayan dari Nusa Tenggara.
Relawan diaspora di Melbourne dan Perth yang mengirim “paket harapan” lewat jaringan migrant dan kurir bayaran.
Di pasar malam di tepi kota—di selokan yang samar—ada penjual kecil yang membuka kotak roti berisi USB berlapis plastik: masing-masing berisi ribuan film, serial, game, dan file PDF tentang dunia luar. Mereka dijual dengan harga tinggi: sekarung beras atau beberapa minggu kerja paksa.
---
Isi USB itu bermacam-macam:
Film-film lama Hollywood, anime Jepang, drama Korea, serial Tiongkok.
Game pirated: dari game retro yang bisa dimainkan di emulator lawas hingga game PC yang “dimodifikasi agar berjalan offline” di komputer jadul.
E-book dan ensiklopedia yang berisi sejarah dunia, manual pertanian modern, dan tutorial listrik surya.
Musik pop, video konser, dan potongan dokumenter tentang kebebasan dan hak asasi manusia.
Para pemuda menyebut USB ini “sirah digital”—sebuah kitab suci alternatif yang membuka pikiran.
---
Malamnya mereka berkumpul di gudang kosong, ruang bawah masjid tua, atau di balik bukit:
Seorang “operator” menyalakan proyektor improvisasi—kadang hanya laptop bekas yang diisi baterai solar.
Layar adalah selembar kain putih yang diikatkan di antara tiang bambu.
Penonton duduk berlapis-lapis di lantai, makan singkong rebus, dan menonton film berjam-jam hingga pagi.
Ada juga LAN party ilegal: remaja-remaja menghubungkan komputer-komputer usang melalui kabel panjang, memainkan game beramai-ramai yang menghadirkan pengalaman “dunia lain”.
Saat bermain, mereka menjerit, tertawa, dan memanggil nama karakter yang sama sekali tak terkait dengan dunia mereka — sebuah kata yang membuat mereka merasa manusia lagi.
--
USB bukan sekadar hiburan. Lewat subtitle dan potongan berita, mereka belajar:
Bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Korea—kata demi kata, percakapan demi percakapan.Konsep kebebasan, hak asasi, organisasi sipil, dan demokrasi. Teknik bertani modern, cara membuat filter air sederhana, tutorial memperbaiki panel surya.
Seorang pemuda bernama Rafi (19) mulai mengajari teman-temannya membuat sistem pelepas air sederhana setelah menonton tutorial “DIY water filter” dari luar.
Seorang gadis bernama Laila (17) mencatat lirik lagu-lagu bebas dan menerjemahkan pesan marah dari penyanyi Amerika menjadi sajak pemberontakan kecil.
---
Mendapat USB adalah taruhan nyawa. Pemerintah Baharawi memiliki jaringan kontraktor intelijen lokal:
Anjing pelacak elektronik di pasar. Sensor logam di pos pemeriksaan. Pengkhianatan oleh tetangga yang berharap mendapat prioritas pangan.
Jika ketahuan USB disita; pemilik dan penjual langsung diadili. Hukuman: kerja paksa seumur hidup atau eksekusi publik bila kontennya “sangat berbahaya” (mis. dokumenter hak asasi atau film tentang revolusi). Kadang keluarga turut dihukum—anak-anak disekap di kamp “rehabilitasi”.
Namun itu tak menghentikan mereka. Sistem keamanan bawah tanah belajar:
USB sering disamarkan sebagai kabel charger atau pemantik rokok.
Mereka memakai “drop points” tempat di mana USB ditanam di botol plastik di akar pohon, lalu diambil oleh pembeli dengan sandi rahasia.
File ter-enkripsi, dipakai bersama melalui flash-drive yang dipecah-pecah menjadi potongan kecil agar jika tertangkap, tidak semua konten terungkap.
---
Perlahan, budaya berubah:
Lagu-lagu Barat menjadi lagu-lagu pemberontakan rahasia.
Meme dan potongan film dipotong menjadi klip-klip pendek yang mengolok-olok propaganda khalifah.
Remaja mulai menulis puisi yang disisipkan dalam subtitle film—sebuah bahasa sandi baru.
Kelompok kecil mulai mengorganisir klub baca malam, membaca e-book tentang sejarah dunia, bertukar interpretasi, dan menulis surat-surat yang disamarkan sebagai catatan doa.
---
Banyak remaja terpecah antara cinta keluarga dan rindu kebebasan.
Laila misalnya, selalu pulang sebelum fajar karena takut ibu kandungnya—anggota milisi lokal—menaruh kecurigaan. Ia menyimak film tentang perempuan yang memilih hidup merdeka, lalu pulang mencuci panci sambil menyanyikan nada yang tak berbahaya — sebuah lagu pengantar tidur yang juga berfungsi sebagai penutup kebohongan.
Rafi, di sisi lain, mulai merancang jaringan kecil untuk menyebarkan tutorial pertanian modern. Ia tahu jika ketahuan, keluarganya akan menderita. Namun melihat adik-adiknya yang kelaparan membuatnya tetap mencoba.
USB menjadi simbol. Di antara mereka berkembanglah ikonografi baru:
Sebuah gambar stik USB kecil digoreskan di dinding sebagai tanda “aman”.
Tato kecil pada pergelangan: sebuah garis horisontal dengan titik — menandakan seseorang memiliki akses ke materi luar.
Suatu malam, sebuah proyektor menayangkan film bisu asing di depan gerbang istana lama — sebuah aksi teatrikal yang membuat beberapa penjaga panik, meski aksi itu hanya berlangsung lima menit. Tindakan itu menjadi legenda: “Malam Layar”, ketika sejenak warga kota melihat dunia yang dilarang.
---
Dalam lima sampai sepuluh tahun, USB-USB itu menabur benih:
Beberapa generasi muda mulai mempertanyakan legitimasi Sultan.
Dialog bawah tanah muncul, perencanaan kecil untuk akses air bersih, pendidikan rahasia dimulai.
Paling penting: kesadaran bahwa ada dunia lain — bukan hanya legenda, tetapi nyata, berwarna, dan lebih manusiawi.
Bagi Baharawi, perang tidak selalu datang lewat artileri; ia datang lewat kilobyte—potongan-potongan data yang mengubah cara orang bermimpi.
XXX

Posting Komentar