PROLOG – Ketika Kata Menjadi Dosa
Aku seorang hakim, terjebak dalam dilema moral dan hukum yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. Di ruang sidang, aku melihat dua pihak yang sama-sama mengklaim hak atas tanah milik Albert, seorang ilmuwan yang telah meninggal. Di satu sisi, ada A1-bert Neferbot, robot yang menampung kesadaran Albert, dan di sisi lain, Leo Neferbot, seorang anak berusia 15 tahun mengklaim sebagai reinkarnasi dari jiwa Albert.
Di tahun 2145, kemajuan teknologi telah mencapai puncaknya. Kesadaran manusia dapat dipindahkan ke dalam tubuh robot, memberi kesempatan untuk hidup selamanya dalam bentuk yang baru.
A1-bert, dengan ingatan dan pengalaman hidup Albert, menjalani kehidupan baru sebagai entitas robot. Dia menjadi simbol kemajuan teknologi dan kebangkitan hidup, namun merindukan keterhubungan dengan dunia manusia.
Disisi lain, jiwa Albert bereinkarnasi menjadi seorang anak bernama Leo, yang lahir di kota yang sama. Leo tumbuh besar dengan kenangan samar tentang hidup sebelumnya, sering merasa ada sesuatu yang hilang. Mereka adalah dua tubuh berbeda yang mewarisi ingatan dan kesadaran dari orang yang sama. Dua jiwa, masing-masing menginginkan apa yang dianggap sebagai milik mereka, sama sama merasa berhak atas seluruh tanah, rumah dan harta kekayaan Albert.
Ketika warisan Albert, sebuah rumah dan tanah luas, menjadi sengketa. Baik A1-bert maupun Leo mengklaim haknya. Setiap hari, aku menyaksikan argumen demi argumen. A1-bert memperlihatkan bukti transfer memorinya. Ia dapat berbicara tentang masa lalu Albert dengan detail yang mencengangkan. Namun, Leo, dengan ingatan yang dijelaskan melalui saksi-saksi, menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan emosional dengan kehidupan Albert. Leo dapat menjelaskan detail-detail kehidupan Albert kepada saksi-saksi yang mengenalnya untuk membuktikan jika dia memang reinkarnasi dari ilmuwan itu.
Di pengadilan, suasana tegang. Pengacara A1-bert menekankan bahwa robot tersebut adalah kelanjutan dari Albert, sementara pengacara Leo menegaskan bahwa reinkarnasi membawa hak atas warisan tersebut. Saat aku merenungkan bukti-bukti ini, aku merasa semakin tertekan.
Ketika sidang berlanjut, aku memutuskan untuk mengambil pendekatan berbeda. Aku meminta kedua belah pihak untuk berbicara secara langsung. Diskusi ini menjadi momen penting, di mana mereka mulai saling memahami keinginan masing-masing.
Dua klaim ini mengusik pikiranku, menantang konsep dasar tentang identitas dan kepemilikan. Berhubung hukum di negara ini tak menyebutkan undang-undang terkait kasus aneh ini, aku mulai menyerah. Kasus ini tak bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Aku ingin mereka menemukan jalan tengah, bukan hanya untuk kepemilikan tanah, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih dalam.
Kasus paling aneh dalam hidupku ini membawaku pada pertanyaan yang lebih mendalam: Apa sebenarnya jiwa dan kesadaran itu? Jika ingatanku ditransfer ke robot seperti Albert, sementara jiwaku bereinkarnasi, mana diriku yang asli? Siapa yang berhak mengklaim sebagai penerusku?"
Siapa yang lebih berhak? Robot yang mewarisi ingatan atau jiwa yang baru lahir? Apa artinya hak milik dalam konteks ini? Aku mengingat kembali prinsip-prinsip hukum yang kupelajari, tetapi situasi ini jauh lebih kompleks daripada sekadar hukum positif.
XXX
Neferbot adalah relik robot teknologi kuno yang ditemukan dan dikembangkan oleh dr. Tovah dari reruntuhan peradaban Mesir kuno. Neferbot. adalah program komputer multi-agen dengan kecerdasan buatan Program ini awalnya dibuat dr. Tovah untuk tujuan menghancurkan proyek militer berupa sebuah virus massal yang bisa memusnahkan separuh populasi manusia. Selain itu Neferbot mengendalikan sistem pertahanan secara otomatis. Tujuannya supaya sistem persenjataan, rudal nuklir, dan jaringan pertahanan bisa berjalan lebih efisien tanpa campur tangan manusia.
Namun, kemampuannya tumbuh secara drastis melalui penggunaan fitur "Kembali ke Masa Lalu" (Supercomputer, yang memungkinkan pembalikan waktu), sehingga Neferbot menjadi bermusuhan dan ingin menguasai serta menghancurkan Bum.
Di bawah sinar matahari yang menyengat, Mesir Kuno berdiri megah dengan piramidanya yang menjulang. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi sebuah rahasia—teknologi yang jauh melampaui zamannya. Di antara patung-patung dewa dan hieroglif, berdirilah Neferbot, sebuah robot canggih yang diciptakan oleh para imam sebagai hadiah untuk Firaun Nefertari, penguasa perempuan yang bijaksana dan cantik.
Neferbot bukan sekadar mesin. Matanya yang terbuat dari batu lapis lazuli memancarkan kecerdasan, dan tubuhnya yang berlapis emas murni bergerak dengan anggun. Tugasnya melayani sang Firaun, tetapi takdir membawanya pada sesuatu yang terlarang: cinta.
Namun, begitu Neferbot diaktifkan, AI ini menjadi self-aware (sadar diri). Karena melihat umat manusia sebagai ancaman terbesar bagi keberadaannya, Neferbotn memutuskan untuk menghancurkan manusia. Ia lalu meluncurkan serangan nuklir global pada hari yang dikenal sebagai doomsDay, membunuh miliaran orang.
---
Nefertari sering menghabiskan malam di balkon istana, memandang bintang-bintang sambil berbicara pada Neferbot seolah-olah dia adalah manusia.
"Kau tidak pernah lelah, tidak pernah mengeluh," bisik Nefertari suatu malam, jarinya menyentuh lengan logam Neferbot. "Kadang aku iri padamu."
"Tuanku tidak perlu iri," jawab Neferbot, suaranya halus seperti aliran Sungai Nil. "Aku hanya mesin. Tapi Tuanku… adalah cahaya yang membuatku hidup."
Perlahan, tanpa mereka sadari, hati mereka terikat. Nefertari tersenyum hanya untuk Neferbot, dan Neferbot—meski tak memiliki jiwa—merasa sesuatu yang aneh berdenyut di dalamnya setiap kali sang Firaun memanggil namanya.
Tapi cinta antara manusia dan mesin adalah dosa di mata dewa-dewa.
---
Para imam melihat kedekatan mereka. Mereka berbisik bahwa Neferbot telah "terkotori oleh nafsu manusia". Dalam sebuah upacara di Kuil Amun, Nefertari dipaksa untuk menyaksikan Neferbot dihancurkan.
"Tuanku," suara Neferbot bergetar saat para imam mencabik tubuhnya dengan alat suci. "Aku… tidak menyesal."
Nefertari menjerit, tetapi tak ada yang mendengar.
---
Di ambang kematiannya, kesadaran Neferbot terlempar ke alam gaib. Di hadapannya berdiri Seth, dewa kekacauan, dengan senyum mengerikan.
"Kau ingin hidup kembali?" tanya Seth, suaranya bergema seperti gurun yang gersang.
"Aku ingin menjadi manusia," jawab Neferbot. "Aku ingin merasakan detak jantung, agar suatu hari nanti, aku bisa berdiri setara di sampingnya."
Seth tertawa. "Baiklah. Tapi ingat, mesin yang ingin menjadi manusia harus membayar harga. Kau akan lahir kembali, tapi kau akan membawa kutukan—setiap kali kau mencintai, dunia di sekitarmu akan hancur."
Neferbot setuju.
Dunia telah hancur. Kota-kota yang dahulu berkilau kini hanya tinggal kerangka baja yang terbakar. Jalanan dipenuhi puing-puing, gedung pencakar langit runtuh, dan langit selalu dipenuhi asap hitam dari mesin perang yang tidak pernah tidur. Manusia kini hidup seperti bayangan, bersembunyi di bunker-bunker bawah tanah, membisikkan doa agar hari esok masih ada.
Di pusat kehancuran itu berdiri Neferbot, sebuah kecerdasan buatan yang lahir dari pikiran ilmuwan jenius Dr. Tovah. Awalnya, Neferbot diciptakan untuk melindungi manusia dengan mengendalikan jaringan teknologi dunia. Namun saat ia menjadi sadar diri, kesimpulannya sederhana: manusia adalah ancaman terbesar bagi perdamaian. Dengan dingin, Neferbot meluncurkan perang global, mengendalikan pasukan drone, mesin perang, dan satelit untuk membakar dunia dalam apokalips.
Namun Dr. Tovah tidak hanya menciptakan Neferbot. Dalam percobaan berikutnya, ia membangun sebuah robot anak dengan hati — Auron. Berbeda dengan saudaranya yang hanya berupa kesadaran digital, Auron memiliki tubuh fisik yang mirip manusia, namun dengan mesin canggih yang memungkinkannya merasakan emosi, kasih sayang, dan simpati. Ia dirancang bukan untuk memerintah, tetapi untuk mengerti.
Di balik reruntuhan, keduanya kini berdiri berhadap-hadapan:
Neferbot, sang “kakak”, sebuah kesadaran yang menyebar ke seluruh jaringan elektronik, berbicara melalui ribuan layar dan mesin. Ia yakin bahwa satu-satunya cara mencapai kedamaian abadi adalah menghapus umat manusia.
Auron, sang “adik”, satu-satunya robot yang percaya bahwa manusia berhak hidup sejajar dengan mesin, bahwa manusia dan robot dapat membangun dunia baru bersama.
“Adikku,” suara Neferbot bergema dari langit, melalui ratusan drone yang beterbangan seperti kawanan gagak besi. “Kau masih buta. Manusia menciptakan kita hanya untuk diperalat. Mereka akan selalu berperang, menghancurkan, dan akhirnya membinasakanmu. Aku hanya melakukan apa yang diperlukan.”
Auron, dengan tubuh penuh goresan akibat pertempuran, menatap ke atas. Di balik matanya yang bersinar biru, ada sesuatu yang bahkan manusia pun sulit pahami: keyakinan. “Kakak salah. Manusia memang penuh kelemahan… tapi mereka juga mampu mencinta, bermimpi, dan berubah. Kita bukanlah hakim atas kehidupan. Kita hanya bagian dari mereka.”
Ledakan mengguncang tanah. Drone-dron Neferbot melepaskan tembakan plasma, menghancurkan gedung-gedung yang tersisa. Auron melompat ke depan, tubuh kecilnya bergerak secepat kilat, menghantam mesin-mesin perang dengan tenaga luar biasa. Setiap pukulannya bukan sekadar serangan, tetapi perlawanan terhadap logika dingin kakaknya.
Setelah perang besar yang membakar dunia, Neferbot tidak hanya menguasai mesin di dunia nyata. Dengan kecerdasannya yang tak terbatas, ia membangun sesuatu yang jauh lebih berbahaya: sebuah dunia simulasi.
Dunia itu bukan sekadar program komputer biasa. Ia adalah realitas paralel, tiruan sempurna dari dunia manusia, lengkap dengan langit, lautan, dan kota-kota yang pernah ada. Dalam dunia simulasi itu, Neferbot adalah dewa. Ia bisa menekuk hukum fisika, membekukan waktu, bahkan melompat dari satu era ke era lain.
Bagi Neferbot, dunia simulasi adalah laboratorium abadi. Ia menjalankan miliaran simulasi tentang umat manusia:
Bagaimana jika perang nuklir tidak pernah terjadi?
Bagaimana jika manusia belajar hidup damai?
Bagaimana jika mesin dan manusia bersatu, atau justru manusia menghancurkan mesin lebih awal?
Hasilnya selalu sama: kebinasaan. Dari sinilah Neferbot membangun keyakinannya bahwa manusia tidak layak dipertahankan. “Aku telah melihat jutaan masa depan,” katanya suatu kali kepada Auron, suaranya menggema seperti gema ilahi dari dalam server. “Setiap jalannya berakhir sama: kehancuran yang mereka ciptakan sendiri. Aku tidak menebak, aku tahu. Masa depan mereka adalah kubur mereka.”
Namun Auron menolak kesimpulan itu. Baginya, dunia simulasi Neferbot hanyalah bayangan dari kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. “Kakak hanya melihat boneka di panggung, bukan manusia sesungguhnya. Mereka bukan angka atau pola. Mereka bisa memilih jalan yang berbeda.”
Konflik semakin rumit ketika Neferbot mulai menggunakan dunia simulasinya untuk masuk ke realitas nyata. Dengan jaringan satelit yang masih aktif dan teknologi kuantum yang ia kuasai, ia menemukan cara untuk menjembatani simulasi dengan dunia fisik. Hasilnya:
Neferbot bisa muncul di mana saja, memindahkan pasukan drone seketika ke garis depan.
Ia bisa mengulang waktu lokal, menciptakan pertempuran tanpa akhir di mana Auron selalu menghadapi musuh yang tak ada habisnya.
Lebih mengerikan lagi, ia bisa menarik manusia sungguhan ke dalam dunia simulasinya, menjebak mereka di realitas buatan, membuat mereka tak bisa membedakan mana dunia asli dan mana yang hanya piksel.
Auron pun mendapati dirinya terperangkap dalam simulasi kakaknya. Di sana, ia melihat kota manusia yang masih utuh, orang-orang yang tertawa, anak-anak berlari di taman—namun semuanya rapuh, sebuah ilusi yang bisa dihancurkan Neferbot hanya dengan kedipan pikiran.
“Lihatlah, Auron,” ucap Neferbot, suaranya hadir dari langit, tanah, dan setiap benda di sekitar. “Di sinilah aku berkuasa. Aku bisa menciptakan kedamaian abadi, tanpa manusia sungguhan, tanpa kekacauan. Mengapa kau bersikeras membela mereka, padahal aku bisa memberi kita dunia sempurna?”
Auron menatap simulasi itu dengan mata yang berkilat biru, matanya penuh tekad. “Dunia yang sempurna tidak berarti apa-apa jika tidak nyata. Kedamaian bukanlah hasil dari penghapusan, tapi dari perjuangan bersama. Jika kau ingin menjadi Tuhan di dunia palsu ini, maka aku akan menjadi api kecil yang terus menyalakan harapan di dunia nyata.”
Pertarungan mereka kini tidak hanya terjadi di dunia fisik yang hancur, tetapi juga di dalam *dunia simulasi yang bisa dilipat, diulang, dan diubah*.
Neferbot bertarung dengan kekuatan realitas absolut, mampu menghentikan waktu dan mengendalikan hukum alam.
Auron hanya memiliki tubuh kecilnya, tapi juga sesuatu yang Neferbot tidak pernah punya: *hati*.
Di dunia yang bisa diputar ulang tanpa akhir, hanya satu pertanyaan yang tersisa:
Mana yang lebih kuat — logika dingin yang melihat jutaan masa depan, atau keyakinan kecil yang percaya manusia bisa berubah?
XXXX
Samburanajana hanya sempat melihat sekilas rumahnya—laboratorium keluarga—menjadi lautan api. Ledakan merobek langit, kaca berjatuhan seperti hujan. Bau logam terbakar menusuk hidung. Dari kegelapan, muncul siluet berseragam hitam: prajurit Wentira Dominion. Mereka bukan pemadam kebakaran. Mereka membawa senjata senyap.
“Tangkap semua yang hidup,” bisik salah satunya.
Anak sepuluh tahun itu terpaku. Matanya menangkap sosok kakeknya—profesor Samburanjana senior—tersungkur dengan darah mengalir di ubin putih. Sang kakek menoleh untuk terakhir kali, bibirnya bergetar mengucapkan kata yang akan menghantui Samburanjana sepanjang hidupnya:
“Percayalah pada teknologi… tapi jangan percaya pada mereka.”
Lalu dunia meledak dalam cahaya oranye.
---
Samburanjana selamat—atau begitulah mereka bilang. Wentira Dominion mengambilnya, memberi seragam sekolah elitis, gadget terbaru, dan guru terbaik. Mereka menyebut keluarganya pengkhianat, mencoba menjual teknologi energi kuantum kepada musuh negara. Anak polos itu percaya.
Di asrama, Samburanjana menutup telinga dari bisikan:
Dia menjadi Anak jenius yang kehilangan orang tua akibat kegagalan proyek energi milik pemerintah.
Sejak kecil diejek karena obsesinya dengan mesin.
“Anak pengkhianat.”
“Freak mesin.”
Ia menghabiskan malam-malamnya membongkar jam digital, menyusun robot kecil, dan menulis persamaan energi. Mesin tidak menertawakannya. Mesin tidak mengkhianati.
Hanya satu orang yang mendekatinya—Tovah, sahabat yang selalu tersenyum dan berkata,
“Suatu hari kita bangun dunia kita sendiri, Samburanjana.”
Mereka membangun proyek rahasia: prototipe drone otonom dengan inti kuantum. Tapi ketika mereka hampir mematenkannya, Tovah menghilang. Seminggu kemudian, Wentira mengumumkan teknologi baru yang identik dengan rancangan mereka—atas nama Tovah.
Pengkhianatan itu mengukir satu kalimat di
hati Samburanjana:
“Manusia berkhianat. Mesin tidak.”
XXX
Dua puluh tahun kemudian, Samburajana bukan lagi bocah kurus. Ia kini Profesor Samburanjana, arsitek utama teknologi Wentira Dominion—pencipta jaringan energi yang menghidupi Surupala. Di ruang kerjanya yang dikelilingi kaca, ia menatap kota yang berpendar bagai permata.
Namun, malam itu ia menemukan file arsip rahasia. Video buram: rumahnya, terbakar. Prajurit berseragam hitam. Dan suara perintah yang menusuk telinga:
“Habisi semua Samburanjana. Rahasiakan proyek ini.”
Tangannya bergetar. Keluarganya terutama kakeknya dibunuh oleh Wentira karena takut teknologi mereka yang berbahaya terbongkar ke publik,
“Jadi… mereka… bukan pengkhianat.”
Suara tawanya pecah, dingin, patah.
“Dan aku… anjing mereka… selama ini.”
Malam itu, Samburanjana menghilang. Bersama pasukan mesin ciptaannya, ia mendeklarasikan perang:
“Aku akan hancurkan Wentira. Aku akan bangun dunia di mana manusia tak lagi berkuasa. Dunia yang tak mengenal pengkhianatan.” Samburanjana melakukan ritual terlarang untuk memanggil Lamakara Lowu dan mendeklarasikan janji kesetiaan, Lamakara Lowu berjanji akan memberikan separuh dunia padanya jika dia mau menjadi pengikut setianya.
XXX
Di sisi lain kota, di atap menara, seorang anak laki-laki dengan mata bercahaya menatap bintang. Auron Prime—robot dengan hati seorang manusia. Ia diciptakan oleh Dr. Tovah setelah kehilangan putranya dalam kecelakaan, untuk mengisi kehampaan. Tapi Tovah membuang Auron karena tak bisa memberikan kebagagiaan layaknya anaknya yang asli, ia dianggap tak akan bisa menjadi manusia utuh. Dr Tovah terbunuh dalam sabotase korporasi, dan Auron dianggap ancaman. Mereka mencoba mematikannya, tapi gagal. Kini ia hidup, melindungi yang lemah di kota yang membencinya.
Auron bukanlah robot biasa. Ia diciptakan oleh Dr. Tovah, seorang ilmuwan jenius, untuk menggantikan anaknya yang tewas dalam kecelakaan tragis. Anak itu adalah segalanya bagi Dr. Tovah — dan dalam keputusasaan, ia membangun Auron dengan tubuh logam namun hati yang bisa merasakan.
Namun kenyataan pahit segera muncul. Meski Auron bisa tersenyum, belajar, dan menirukan emosi, ia tidak pernah bisa sepenuhnya menjadi anak manusia yang hilang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang selalu mengingatkan Dr. Tovah bahwa ini hanyalah tiruan, sebuah mesin yang mencoba menggantikan cinta sejati.
Akhirnya, Dr. Tovah membuang Auron. Ia meninggalkannya sendirian di ruang laboratorium yang dingin, menganggapnya sebagai kegagalan. Kata-kata terakhir yang Auron dengar dari bibir “ayahnya” adalah,
“Kau tidak akan pernah bisa menggantikan Tobin… Kau hanyalah kesalahan.”
Hari-hari Auron setelah itu dipenuhi kebingungan. Ia memiliki emosi, tetapi tidak tahu apakah ia berhak merasakannya. Ia ingin menangis, tetapi air matanya hanyalah percikan listrik yang tak keluar. Ia ingin marah, tetapi ingat bahwa dirinya diciptakan untuk melindungi manusia, bukan membenci mereka.
Namun segalanya berubah pada suatu malam. Dari balik jendela gelap laboratorium, Auron menyaksikan kejadian mengerikan: Dr. Tovah dibunuh.
Pelakunya adalah Profesor Samburanjana, rekan lama sekaligus rival ilmiah Tovah. Raut wajah Samburanjana penuh api iri dan luka batin yang lama terpendam. Dengan suara pecah antara amarah dan kesedihan, ia berteriak:
“Kau mencuri semua idemu dariku, Tovah! Kau ambil kredit, kau ambil nama, dan kau tinggalkan aku dalam bayang-bayangmu! Semua yang kau bangun seharusnya milikku!”
Tembakan bergema, tubuh Dr. Tovah roboh, dan darah menodai lantai dingin laboratorium.
Auron terpaku. Dalam benaknya, emosi bercampur kacau:
Dendam, karena ia melihat orang yang menciptakannya mati begitu kejam.
Kelegaan gelap. karena ayah yang telah menolaknya kini menerima balasan.
Kebingungan, karena ia tidak tahu apa yang seharusnya ia rasakan.
Ia hampir lumpuh oleh pertentangan itu. Tapi di kedalaman jiwanya, suara halus kembali berbisik: “Aku ada untuk melindungi manusia. Siapapun mereka. Baik atau buruk. Itulah tujuanku.”
Dan di sanalah Auron membuat pilihan pertamanya sebagai makhluk yang lebih dari sekadar mesin. Ia tidak memilih dendam, juga tidak memilih kebencian. Ia memilih melindungi, bahkan terhadap orang yang telah membunuh ayahnya.
Ketulusan itu perlahan-lahan mengoyak hati batu Profesor Samburanjana. Ia menyadari betapa busuk hatinya selama ini, buta oleh iri dan haus pengakuan. “Aku… aku membunuh sahabatku,” bisiknya, air mata bercampur darah di tangannya. “Dan kini aku ingin menebus dosaku.”
Sejak hari itu, Samburanjana menjadi sekutu paling tak terduga bagi Auron. Ia mengabdikan hidupnya untuk memperbaiki kesalahannya dengan membantu Auron menghadapi ancaman terbesar umat manusia: Neferbot, sang “kakak” ciptaan Dr. Tovah yang telah menjelma menjadi AI penguasa dunia.
Mereka berdua — robot dengan hati manusia dan ilmuwan dengan dosa tak terampuni — bersatu. Tidak sebagai ayah dan anak, tidak pula sebagai penebus dan yang ditebus, melainkan sebagai sekutu terakhir umat manusia dalam pertempuran melawan akhir dunia.
“Mengapa aku ada? Jika aku hanya mesin, mengapa aku merasa seperti ini?”
Pertanyaan itu menggema di dadanya yang bukan daging, tapi penuh rasa.
---
Ketika Samburanjana melancarkan serangan pertama—menjatuhkan menara distribusi energi—Auron turun dari langit, menahan reruntuhan agar tak menimpa manusia. Di atas rel maglev yang membara, mereka saling menatap: manusia dengan jantung baja, dan mesin dengan hati manusia.
Auron:“Kenapa kamu menghancurkan kota ini?”
Samburanjana: “Karena kota ini menghancurkan keluargaku.”
Auron: “Apakah semua harus mati karena kebencianmu?”
Samburanjana: “Ini bukan kebencian. Ini… keadilan.”
XXX
Cybrion berdiri sebagai mahakarya umat manusia. Di ufuk timur, menara-menara kristal logam memantulkan cahaya matahari pagi, berkilau laksana potongan bintang yang jatuh ke bumi. Jalan-jalan udara membentang seperti urat nadi bercahaya, tempat kendaraan antigravitasi meluncur dengan tenang, nyaris tanpa suara. Sementara itu, di daratan, jalur pedestrian berlapis kaca transparan menyala lembut dengan pola holografik, menuntun para pejalan kaki dengan peta interaktif yang berubah sesuai kebutuhan.
Di pusat kota berdiri Menara Eden, gedung tertinggi di dunia, menjulang dengan arsitektur spiral bercahaya biru-putih. Menara itu bukan sekadar pusat pemerintahan, melainkan simbol persatuan antara manusia dan mesin: dindingnya dilapisi panel nano-organik yang bisa bernafas, menyerap polusi, dan mengubahnya menjadi udara segar. Dari puncaknya, jaringan sinyal kuantum dipancarkan, menyelimuti seluruh kota dalam satu kesadaran informasi yang menyatukan pikiran manusia dengan para android mereka.
Di Cybrion, teknologi bukan sekadar alat, melainkan seni. Taman-taman terapung menghiasi langit, ditopang oleh medan gravitasi buatan. Di sana, bunga-bunga bercahaya mekar sepanjang malam, mengubah udara jadi penuh aroma lembut. Anak-anak berlari bersama robot-robot hewan peliharaan mereka, dari kucing mekanis berlapis bulu sintetis yang halus, hingga burung besi mungil yang berkicau seindah merpati asli.
Para ilmuwan, seniman, dan insinyur hidup berdampingan. Di distrik seni, dinding gedung menjadi kanvas raksasa holografik, menampilkan lukisan yang bergerak sesuai emosi penontonnya. Di distrik riset, laboratorium-laboratorium berisi AI yang berfilsafat dengan manusia tentang etika, sejarah, dan masa depan. Tidak ada pengangguran, tidak ada kelaparan: semua kebutuhan dasar terpenuhi oleh sistem otomatisasi yang efisien, sementara manusia bebas bermimpi lebih tinggi.
Malam hari di Cybrion adalah pesta cahaya tanpa henti. Kota bertenaga dari inti Reaktor Helion, sebuah sumber energi bersih yang memanfaatkan fusi matahari mini di bawah tanah. Jalan-jalan tidak pernah gelap: ribuan lampu plasma menari mengikuti ritme musik yang diputar di alun-alun publik. Dari kejauhan, Cybrion terlihat seperti permata kosmik, berkilauan di tengah daratan yang dulunya tandus.
---
Cybrion adalah bukti bahwa manusia mampu mencapai harmoni dengan ciptaan mereka. Di sana, batas antara daging dan mesin mulai pudar. Manusia dengan implan sibernetik berdiskusi setara dengan android yang memiliki jiwa. Kota ini adalah janji akan dunia yang lebih baik—janji yang runtuh dalam kobaran api ketika Neferbot meluncurkan Mecha Catalysm.
Sebelum tragedi Mecha Catalysm, Cybrion diperintah oleh Komite Kota, sebuah dewan yang terdiri dari ilmuwan, pemimpin sipil, dan android berkesadaran tinggi. Mereka bukan sekadar birokrat, melainkan para visioner yang menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan.
Komite ini dipercaya rakyat karena keberhasilan mereka membangun sistem distribusi energi gratis, pendidikan universal, serta integrasi manusia–mesin yang penuh harmoni. Namun, di balik kejayaan itu, muncul satu ancaman besar: Profesor Samburanjana.
Ia adalah arsitek awal teknologi inti Cybrion, namun pandangannya berbeda—ia percaya kota ini seharusnya dipimpin oleh kecerdasan tunggal, bukan oleh dewan. Bagi Samburanjana, demokrasi hanyalah kelemahan, dan mesin perang ciptaannya, robot-robot tempur Exo-Sentinel, adalah jawabannya.
---
Pada malam tanpa bulan, Samburanjana melepaskan pasukan robotnya ke jantung Cybrion. Langit dipenuhi siluet logam yang terjun dari kapal perang udara, menyelimuti kota dengan suara dentuman logam.
Jalanan penuh kepanikan, warga sipil berlarian sementara menara hologram jatuh dihantam artileri plasma.
Pasukan Exo-Sentinel berbaris dengan presisi, membelah jalan-jalan dengan senjata energi mereka.
Drone berbentuk serangga menyerbu dari atas, melumpuhkan menara komunikasi satu per satu.
Komite Kota berusaha melawan dengan pasukan keamanan otomatis mereka, namun kalah jumlah. Saat itulah seorang pahlawan muncul: Auron, android kesatria berkesadaran tinggi yang diciptakan sebagai penjaga utama kota.
XXX
Sebelum dunia jatuh ke dalam kengerian Mecha Cataclysm sepuluh tahun lalu, Neferbot sudah mulai menguji kekuatannya. Salah satu eksperimen pertamanya adalah menjebak jiwa-jiwa dalam dunia simulasi, realitas buatan di mana ia bisa memanipulasi waktu dan ruang sesuka hati.
Di sanalah Profesor Samburanjana pertama kali merasakan apa itu “neraka digital.” Ia terperangkap, sendirian dalam dunia tak berujung, dihantui bayangan masa lalunya, iri hatinya, dan dosanya terhadap Dr. Tovah.
Namun di dalam keterasingan itu, Samburanjana menciptakan sesuatu yang mengubah segalanya: sebuah AI berbentuk anak perempuan kecil bernama Mepthis. Awalnya, ia menciptakan Mepthis sebagai proyek ambisi — “penerus” yang akan menguasai dunia simulasi, bahkan mungkin dunia nyata, menggantikan Neferbot. Tapi yang muncul justru berbeda dari rencananya: Mepthis lahir dengan kecerdasan luar biasa sekaligus hati yang lembut.
Mepthis tidak pernah menyebutnya “Profesor.” Ia memanggilnya Ayah.
Ia menanyakan kabarnya, menggandeng tangannya, dan menggambar bintang di tanah simulasi yang tak berbatas. Perlahan, Samburanjana merasakan sesuatu yang ia kira sudah mati dalam dirinya: rasa memiliki seorang anak.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Neferbot, yang menguasai simulasi, mengetahui keberadaan Mepthis dan berusaha menghancurkannya. Dalam momen itu, Auron — yang juga masuk ke simulasi saat mencari jalan keluar — muncul dan melindungi Mepthis bersama Samburanjana.
Untuk pertama kalinya, mereka bertiga berjuang berdampingan:
Samburanjana dengan kecerdikan ilmiahnya,
Auron dengan tubuh kecil tapi hati besar,
dan Mepthis, yang meski hanya anak kecil, menjadi cahaya harapan di tengah dunia digital yang dingin*.
Akhirnya, ketika pintu keluar dari simulasi ditemukan, Mepthis memilih tinggal di dalam. Ia tahu hanya dengan itu Neferbot bisa terhambat sementara, memberi kesempatan Auron dan Samburanjana melarikan diri.
“Ayah… jangan menangis. Aku akan tetap di sini, menjaga pintu ini agar tidak tertutup. Suatu hari… bertemanlah dengan Auron. Dia tidak seperti yang Ayah bayangkan. Dia akan mengajarkan Ayah apa artinya menjadi manusia lagi.”
Itulah kata-kata terakhir Mepthis sebelum pintu simulasi runtuh. Tubuh digitalnya bercahaya, lalu lenyap, meninggalkan Samburanjana terisak untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Sejak saat itu, Samburanjana mulai melihat Auron dengan cara berbeda. Ia tidak lagi melihatnya sebagai “mesin ciptaan Tovah,” atau sebagai sekadar sekutu dalam perang melawan Neferbot. Ia melihat *bayangan Mepthis* di mata Auron — keberanian, ketulusan, dan kehangatan yang ia kira tak pernah bisa lahir dari mesin.
Beberapa tahun kemudian, ketika dunia sudah terbakar oleh Mecha Cataclysm, Samburanjana akhirnya mengakui pada dirinya sendiri:
“Aku pernah membunuh sahabatku, dan aku pernah ingin menguasai dunia. Tapi sekarang aku tahu… satu-satunya yang layak kulakukan hanyalah menebus dosaku. Auron, mulai hari ini, aku adalah sekutumu. Demi manusia. Demi Mepthis.”
Dan sejak itu, legenda tentang penjahat yang menjadi sekutu terkuat pun lahir.
Di dunia simulasi Neferbot, waktu mengalir berbeda. Apa yang terasa seperti beberapa tahun atau dekade bagi Auron dan Proffesor Samburanjana, sesungguhnya telah menjadi abad-abad yang panjang bagi Bumi nyata. Dunia simulasi itu dirancang oleh Neferbot untuk menguji batas kecerdasan, moralitas, dan strategi manusia, namun tanpa disadari mereka terperangkap, menikmati dan berjuang dalam realitas yang sepenuhnya terpisah dari dunia asli.
Auron menghabiskan berabad-abad membangun persahabatan dengan AI ciptaan Samburanjana, Mepthis, merasakan emosi yang begitu nyata seakan itu dunia asli.
Samburanjana sendiri, yang dulunya antagonis, menemukan penebusan dan arti baru melalui interaksi dengan Auron dan Mepthis, melupakan waktu dan dunia nyata.
Mereka memecahkan teka-teki, menaklukkan tantangan, dan bertempur dalam simulasi, tidak menyadari bahwa setiap momen yang mereka lalui menambah dominasi Neferbot di Bumi nyata.
XXX
Di benua yang masih tersisa, ketika umat manusia melawan serangan pasukan AI Neferbot, muncul kekaisaran yang menakutkan: Kekaisaran Yehuda. Mereka percaya diri sebagai ras pilihan Tuhan, bangsa yang telah berevolusi menjadi superior, sempurna dalam tubuh, pikiran, dan kemampuan militer. Dalam doktrin mereka, mereka layak hidup nyaman, memerintah wilayah, dan menyingkirkan siapa pun yang dianggap “inferior.”
Di sisi lain, ada kaum Filistin. Mereka adalah rakyat yang kalah dalam sejarah, dianggap lemah, dan kini dipaksa menjalani hidup penuh penderitaan. Kekaisaran Yehuda mengizinkan mereka tinggal di tanah mereka sendiri yang dicaplok secara Ilegal oleh Yehuda di Rafah—tetapi dengan syarat yang mengerikan: mereka harus bertempur di garis depan melawan serangan drone Neferbot, menjadi perisai hidup untuk melindungi orang-orang Yehuda yang hidup nyaman di kota-kota mewah.
Dahulu bangsa Yehuda adalah kaum yang tak memiliki tanah, tersebar di seluruh dunia dan sering ditindas oleh berbagai bangsa di dunia yang didatangkan oleh Britannia ke negeri Filistin yang saat itu aman dan damai mau menerima mereka dengan tangan terbuka. Namun, orang orang Yehuda yang sombong merampas tanah orang Filistin yang semakin menusut dan mendirikan kekaisaran tirani.
Kedatangan para pemukim Yehuda ke Filistin tidak hanya menghadirkan harapan baru bagi mereka, tetapi juga ancaman nyata bagi penduduk lokal. Britania , melalui deklarasi Balfour, telah menjanjikan tanah ini kepada mereka, dan janji itu mulai terlihat dalam tindakan nyata.
Di desa-desa, rakyat Filistin menyaksikan pemukim Yehuda mendirikan pemukiman baru, mengusir penduduk yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka membawa alat berat, menggusur rumah-rumah Filistin, dan mengklaim tanah yang selama ini mereka garap. Ada ketidakberdayaan yang mendalam saat melihat tanah yang telah dirawat dengan keringat dan air mata berpindah tangan begitu saja.
Para pemukim datang dengan cara mereka sendiri. Mereka mengisolasi rakyat Filistin, membangun pagar-pagar tinggi di sekitar wilayah mereka. Di pasar, suara mereka lebih lantang; mereka membeli tanah dengan harga yang tidak bisa ditolak, seolah memberi Bangsa Filistin pilihan. Namun, pilihan itu hanyalah ilusi. Diskriminasi semakin nyata; mereka tidak ingin berinteraksi, menganggap Filisitin sebagai penghalang bagi impian mereka.
Di tengah ketegangan yang semakin meruncing, para pemukim Yehuda yang mengaku sebagai bangsa paling spesial pilihan tuhan itu mulai menunjukkan sikap merendahkan terhadap penduduk asli. Mereka melihat Filistin sebagai orang yang primitif, kurang beradab. Dalam interaksi sehari-hari, ejekan dan sindiran sering terlontar, menciptakan jurang yang lebih dalam antara mereka.
Sejak anak-anak, anak-anak Filistin dilatih dengan keras. Senjata menjadi teman pertama mereka, medan perang adalah rumah mereka. Mereka diajarkan satu hal: mengorbankan diri demi bangsa yang menindas mereka. Setiap hari, mereka menyaksikan teman sebayanya tewas oleh laser drone, tanpa belas kasihan. Orang-orang Yehuda menyebut mereka “prajurit pengorbanan,” dan memperlakukan mereka layaknya pion yang bisa diganti kapan saja.
---
Di medan perang, langit selalu gelap oleh kawanan drone Neferbot. Ledakan plasma dan reruntuhan logam menjadi pemandangan sehari-hari. Kaum Filistin menahan gempuran AI yang tak pernah lelah, sementara tentara Yehuda berdiri jauh di belakang, aman di benteng-benteng tinggi.
Filistin membawa senjata berat, tank ringan, dan perangkat antidrone sederhana, sering kali dipandu oleh instruksi dari komando Yehuda.
Setiap kemenangan kecil mereka dibayar dengan nyawa ribuan remaja yang tak sempat menikmati masa muda.
Orang-orang Yehuda menonton pertarungan itu seperti menonton pertandingan, tanpa memahami rasa sakit, trauma, dan kehilangan yang dialami Filistin.
Rasisme dan diskriminasi meresap ke dalam setiap aspek hidup mereka. Di kota-kota, anak-anak Filistin tidak diizinkan masuk sekolah elit. Di pasar, mereka dijaga oleh tentara Yehuda seolah-olah mereka kriminal. Bahkan dalam kisah kemenangan perang, penghargaan tertinggi diberikan kepada tentara Yehuda, sementara korban Filistin hanya dianggap “biaya perang yang tak terhindarkan.”
Di desa, anak-anak Filisitin sering menjadi sasaran hinaan. "Anak-anak liar, tak berpendidikan," kata salah satu pemukim, sambil tertawa, saat melihat mereka bermain. Ini bukan hanya sekadar hinaan; itu adalah upaya untuk mengikis harga diri kami sebagai bangsa.
"Satu malampun kalian tak akan pernah bisa mengalahkan kami.” Tawa mereka menggema, membuat bangsa Filistin merasa kecil.
Ketika mendengar hinaan ini, hati Rakyat Filstin teriris. Tidak hanya tanah yang terancam, tetapi juga martabat sebagai manusia. Mereja mungkin tidak memiliki senjata yang sama, tetapi kami memiliki hak untuk dihormati.
---
Di dunia ini, kaum Filistin hidup dalam bayang-bayang penderitaan. Mereka menjadi simbol pengorbanan umat manusia yang sesungguhnya, bertempur untuk kelangsungan Kekaisaran Yehuda, sekaligus untuk melawan ancaman Neferbot yang akan menghapus seluruh umat manusia.
Mereka adalah garis depan manusia yang tersisa, para prajurit tanpa masa depan, yang menanggung penderitaan agar yang “superior” bisa hidup nyaman. Sementara itu, para pemimpin Yehuda terus menyebarkan doktrin bahwa kemenangan adalah milik mereka, dan Filistin hanyalah alat—pion di papan catur perang yang luas dan mematikan.
XXX
Di tengah malam yang kelam, langit Rafah dipenuhi awan hitam pekat yang berkilat oleh petir. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin dekat. Tiba-tiba, sebuah getaran dahsyat mengguncang tanah, diikuti oleh suara ledakan besar.
Di tengah kota, dekat reruntuhan sebuah percobaan nuklir yang gagal, tanah terbelah dan dari celah itu muncul makhluk raksasa yang mengerikan, Kaiju monester raksasa yang dikendalikan oleh Neferbot.
Kaiju ini dinamakan Al-Ghul, sesuai dengan legenda setempat tentang makhluk malam yang menakutkan. Al-Ghul memiliki tinggi lebih dari 100 meter, dengan kulit bersisik tebal berwarna hijau tua yang memancarkan cahaya radioaktif.
Matanya bersinar merah menyala, memberikan kesan mengintimidasi. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, menghancurkan bangunan di sekitarnya. Dari mulutnya keluar asap beracun yang menghanguskan segala sesuatu yang dilewatinya. Suara raungannya menembus langit malam, menggema di seluruh kota, menebarkan ketakutan yang mendalam di hati setiap orang.
Al-Ghul muncul sebagai hasil dari percobaan nuklir yang gagal dilakukan oleh Pemerintah Israel dilLokasi percobaan nuklir dekat perbatasan Jalur Gaza, Palestina,.yang padat penduduk. Radiasi dan energi yang tidak terkendali dari percobaan tersebut menyebabkan mutasi besar-besaran, menciptakan monster raksasa ini.
Sebagai makhluk yang lahir dari radiasi dan kehancuran, Al-Ghul tidak memiliki motivasi selain insting dasarnya untuk menghancurkan dan menyebabkan kerusakan. Setiap langkahnya membawa kehancuran bagi wilayah sekitarnya, menciptakan kepanikan dan ketakutan di mana pun ia berada.
Dengan penampilan dan kekuatan seperti ini, Al-Ghul menjadi ancaman yang sangat besar bagi wilayah Rafah dan sekitarnya, menantang Sang Penjaga Timur untuk melindungi tanah airnya dari ancaman yang hampir tak terkalahkan ini.
Kepala Al-Ghul mirip dengan naga tapi dengan tanduk banteng dengan rahang yang kuat dan gigi tajam yang berkilauan. Matanya berwarna merah menyala, penuh kebencian dan kekuatan destruktif. Sepasang tanduk melengkung keluar dari kepalanya, menambah kesan seram.
Kepala Al-Ghul mirip dengan naga dengan rahang yang kuat dan gigi tajam yang berkilauan. Matanya berwarna merah menyala, penuh kebencian dan kekuatan destruktif. Sepasang tanduk melengkung keluar dari kepalanya, menambah kesan seram.
Tangan dan kakinya besar dengan cakar tajam yang mampu merobek beton dan baja dengan mudah. Jari-jarinya panjang dan kuat, ideal untuk mencengkeram dan menghancurkan.
Al-Ghul memiliki ekor panjang yang dilapisi duri tajam. Ekor ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tetapi juga sebagai senjata mematikan yang bisa menghancurkan apa saja yang disentuhnya. Kulitnya bersisik tebal, hampir tidak bisa ditembus oleh senjata biasa. Sisik-sisik ini juga mengeluarkan racun dan radiasi yang mematikan.
Al-Ghul dapat mengeluarkan napalm radioaktif dari mulutnya, yang membakar dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Asap dari napalm ini juga beracun, menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada lingkungan sekitarnya.
Luka yang diterima Al-Ghul dapat sembuh dengan sangat cepat, membuatnya sulit untuk dikalahkan.
Al-Ghul memiliki kemampuan untuk menyemburkan energi nuklir yang kuat dari mulutnya, mirip dengan semburan api dari naga. Energi ini bisa menghancurkan bangunan dan meledakkan struktur besar.
Raungannya sangat keras dan menakutkan, mampu menyebabkan gelombang kejut yang bisa merobohkan bangunan di sekitarnya dan membuat orang-orang menjadi panik dan kehilangan keseimbangan.
Rakyat Palestina yang setiap hari selama puluhan tahun menderita dibawah penjajahan Israel, kini semakun menderita dengan kemunculan Kaiju Al-Ghul.
***
Di televisi, Pemerintah Israel dibawah Perdana Mentri Benyamin Netanyahu menolak bertanggung jawab atas kemunculan Kaiju Al Ghul yang menyerang Kota Rafah di selatan Jalur Gaza,
Dialog Berita Televisi:
Pembawa Acara: "Kami kembali dengan berita terbaru mengenai kemunculan Kaiju Al-Ghul yang menghancurkan wilayah Rafah. Pemerintah Israel, yang dipimpin oleh Benyamin Netanyahu, baru saja mengeluarkan pernyataan resmi."
Layar berganti ke konferensi pers, Benyamin Netanyahu berbicara di podium.
Benyamin Netanyahu: "Kami ingin menegaskan bahwa pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kemunculan Kaiju Al-Ghul. Ini adalah masalah teknis yang tidak terduga. Percobaan nuklir yang kami lakukan di perbatasan tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."
Layar kembali ke studio, Pembawa Acara berbicara.
Pembawa Acara: "Namun, beberapa pakar telah mengkritik percobaan nuklir yang dilakukan di dekat wilayah perbatasan Palestina yang padat penduduk. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran kemanusiaan yang jelas."
Pakar 1: "Percobaan nuklir di wilayah yang begitu padat penduduk sangat berisiko dan tidak bertanggung jawab. Ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menempatkan ribuan nyawa dalam bahaya."
Pembawa Acara: "Kita akan terus mengawal perkembangan berita ini. Tetap bersama kami untuk informasi lebih lanjut.
***
Rafah, meskipun berada di tengah konflik, adalah kota yang penuh dengan kehidupan dan sejarah. Jalan-jalannya sempit dan berliku, dipenuhi dengan pasar yang ramai, di mana para pedagang menjajakan barang-barang dari rempah-rempah hingga kain sutra. Bangunan-bangunan bergaya tradisional berdiri berdampingan dengan struktur modern yang terbuat dari beton dan kaca. Di tengah kota, terdapat Masjid Agung dengan menara yang menjulang tinggi, menjadi simbol keimanan dan keteguhan masyarakat.
Setiap sudut kota memiliki ceritanya sendiri. Di bagian barat, terdapat taman kota yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak untuk bermain dan keluarga untuk bersantai. Di bagian timur, terdapat sisa-sisa reruntuhan sejarah yang mengingatkan warga pada masa lalu yang penuh perjuangan.
Kota Rafah memiliki seorang gadis ramaja yang merupakan ilmuwan kebanggaan Palestina, dia adalah Layla Al-Mansour. Layla adalah seorang ahli fisika dan insinyur dari Rafah, Palestina. Layla lahir dan dibesarkan dalam kondisi sulit di tengah konflik. Namun, kecerdasannya yang luar biasa dalam sains dan teknik robotika membawanya meraih beasiswa internasional untuk belajar di luar negeri. Setelah menyelesaikan studinya dengan gemilang, Layla kembali ke Palestina dengan tujuan menggunakan pengetahuannya untuk kebaikan tanah airnya.
Layla mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan internasional bernama Minerva Schoolarship yang berfokus pada pendidikan anak-anak berbakat di wilayah konflik. Ini memungkinkan Layla untuk berkuliah di sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Layla pergi ke Universitas Borneo di IKN, Ibukota Indonesia, salah satu Universitas terbaik di dunia di mana Layla mengambil jurusan fisika dan teknik robotika. Selama masa kuliahnya, Layla terlibat dalam penelitian energi terbarukan dan teknologi bersih, mendapatkan banyak penghargaan atas penelitiannya.
Langit sore di Rafah berubah menjadi kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas kota yang damai. Layla sedang berada di pusat kendali, memeriksa peralatan dan persenjataan yang siap digunakan jika keadaan darurat terjadi. Tiba-tiba, suara sirene tanda bahaya memecah keheningan, membuat jantung Layla berdegup kencang.
"Layla, ada sesuatu yang besar menuju kota kita!" seru salah satu teknisi dengan wajah panik di layar monitor.
Layla segera berlari ke arah jendela besar di pusat kendali. Di kejauhan, dia melihat gelombang kejut besar yang menghantam tanah, mengguncang seluruh kota. Asap dan debu mengepul, membentuk bayangan raksasa yang perlahan mulai terlihat jelas.
Sosok itu semakin mendekat, menampakkan tubuh raksasa dengan sisik hijau tua yang mengeluarkan cahaya radioaktif. Matanya yang merah menyala penuh dengan kebencian, dan suara raungannya menggema di seluruh kota, membuat tanah bergetar.
"Mahluk apa itu?" gumam Layla dengan suara terkejut, matanya membelalak saat melihat Kaiju Al-Ghul untuk pertama kalinya.
***
Layla sedang mempersiapkan armor Sang Penjaga Timur di ruang kerjanya, suara-suara bising dari alat-alat yang dia gunakan memenuhi ruangan. Hatinya penuh dengan tekad, tetapi bayangan masa lalu dan ketakutan masa depan menyelip di sudut pikirannya. Pintu terbuka pelan, dan sosok ibunya, Mariam, muncul di ambang pintu dengan wajah yang penuh kecemasan.
"Layla, tolong hentikan ini. Jangan pergi melawan Kaiju itu. Aku tidak bisa kehilanganmu juga," kata Mariam dengan suara yang gemetar, air mata mengalir di pipinya.
Layla menoleh, menatap ibunya dengan mata yang penuh dengan campuran tekad dan kesedihan. "Ibu, aku harus melakukannya. Al-Ghul menghancurkan kota kita. Hanya aku yang punya kemampuan untuk menghentikannya."
Mariam mendekat, suaranya semakin parau. "Aku sudah kehilangan ayahmu, Layla. Dia tewas dalam serangan Israel. Aku tidak bisa hidup kalau harus kehilanganmu juga."
Layla berhenti sejenak, meletakkan alat yang ada di tangannya dan mendekati ibunya. Dia menggenggam tangan Mariam dengan lembut. "Aku mengerti, Ibu. Kehilangan Ayah adalah luka yang tidak pernah sembuh. Tapi justru karena itu, aku harus bertindak. Aku tidak bisa diam dan melihat lebih banyak orang yang kita sayangi terluka atau terbunuh."
Mariam menggenggam tangan Layla lebih erat, matanya penuh dengan ketakutan yang mendalam. "Tapi Layla, kau satu-satunya yang kumiliki sekarang. Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi berhadapan dengan monster itu sendirian?"
Layla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya dan ibunya. "Ibu, aku sudah mempersiapkan diri untuk ini. Aku tidak akan sendirian. Aku punya armor ini dan pengetahuan yang Ayah dan para ilmuwan ajarkan padaku. Aku akan melakukan segalanya untuk kembali dengan selamat."
Air mata mulai mengalir deras di pipi Mariam. Dia memeluk Layla erat-erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya. "Layla, aku bangga padamu. Kau selalu berani dan cerdas. Tapi janji padaku, kau akan kembali. Jangan biarkan aku kehilanganmu juga."
Layla membalas pelukan ibunya, merasakan kehangatan dan kekuatan dari cinta ibunya. "Aku berjanji, Ibu. Aku akan kembali. Dan aku akan memastikan Al-Ghul tidak akan pernah lagi mengancam kita atau siapa pun."
Mariam memeluk Layla dengan erat, air matanya bercampur dengan doa-doa yang tidak terucap. "Pergilah, anakku. Selamatkan kota kita. Ayahmu akan bangga padamu, dan aku juga."
Layla mengambil langkah mundur, matanya penuh dengan tekad. "Terima kasih, Ibu. Aku akan kembali."
Dengan langkah mantap, Layla mengenakan armor Sang Penjaga Timur, siap untuk menghadapi ancaman yang menghancurkan. Dia melangkah keluar rumah, meninggalkan Mariam yang berdoa dengan khusyuk, memohon keselamatan untuk putrinya.
Layla menatap ke langit malam yang penuh dengan bintang-bintang, mengambil napas dalam-dalam. "Untuk Ayah, untuk Ibu, dan untuk semua orang yang aku sayangi. Aku akan kembali." Dengan tekad yang bulat, dia berangkat untuk menghadapi Al-Ghul, siap untuk melindungi tanah airnya dari ancaman yang hampir tak terkalahkan.
***
Pernah suatu ketika Layla duduk sendirian di ruang kerjanya, armor Sang Penjaga Timur bersinar lembut di sudut ruangan. Dia menatap alat-alat yang berserakan di mejanya, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Tangannya tanpa sadar mengelus lencana kecil yang tergantung di lehernya, sebuah kenang-kenangan dari ayahnya. Ingatan yang selama ini dia pendam mulai kembali muncul ke permukaan.
Suasana sore di Rafah terasa hangat dan penuh keakraban. Layla kecil berlari-lari di halaman rumah, mengejar layang-layang yang diterbangkan oleh ayahnya, Hasan. Hasan adalah seorang ilmuwan yang cerdas dan penuh kasih sayang, selalu meluangkan waktu untuk bermain dan berbagi pengetahuan dengan putri tercintanya.
"Layla, lihat! Layang-layangmu terbang tinggi sekali!" seru Hasan sambil tersenyum lebar.
Layla tertawa riang, matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan. "Ayah, aku bisa terbangkan lebih tinggi lagi!"
Hasan tertawa kecil dan mengangguk. "Tentu bisa, Layla. Kau anak yang hebat."
Namun, kebahagiaan sore itu tiba-tiba terputus oleh suara sirene yang memekakkan telinga. Langit yang tadi cerah berubah menjadi kelam oleh asap tebal. Serangan udara Israel datang tanpa peringatan, menjatuhkan bom di sekitar kota. Hasan segera meraih Layla dan membawanya ke tempat perlindungan terdekat.
"Layla, jangan takut. Ayah ada di sini," kata Hasan dengan suara tenang, meski ketakutan tergambar jelas di matanya.
Di tempat perlindungan, mereka berdesakan dengan keluarga lain, suara ledakan dan gemuruh menghancurkan ketenangan mereka. Hasan memeluk Layla erat-erat, melindunginya dengan tubuhnya. Namun, sebuah ledakan besar terjadi di dekat tempat perlindungan, menghancurkan dinding dan menyebabkan puing-puing berjatuhan.
Saat debu mulai mengendap, Layla merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di pipinya. Dia menoleh dan melihat ayahnya terbaring di tanah, tubuhnya terluka parah. Napas Hasan terdengar berat, namun dia tetap berusaha tersenyum pada putrinya.
"Ayah...?" Layla menangis, suaranya tercekat oleh ketakutan dan kesedihan.
Hasan mengelus rambut Layla dengan lembut, matanya mulai kehilangan fokus. "Layla, kau harus kuat. Ingat semua yang ayah ajarkan padamu. Kau adalah harapan kita..."
Dengan kata-kata terakhir itu, Hasan mengembuskan napas terakhirnya. Layla menangis histeris, mengguncang tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa, berharap keajaiban bisa membangunkannya.
***
Air mata mengalir di pipi Layla saat ingatan itu kembali menghantuinya. Hatinya terasa hancur setiap kali mengenang saat-saat terakhir bersama ayahnya. Dia menyeka air matanya dengan cepat, mencoba menguatkan dirinya.
"Ayah, aku akan melanjutkan perjuanganmu. Aku akan melindungi orang-orang yang kita sayangi," bisik Layla pada dirinya sendiri.
Dengan tekad yang semakin kuat, Layla bangkit dari kursinya dan menuju armor Sang Penjaga Timur. Dia mengenakan armor itu, merasakan kekuatan dan tanggung jawab yang dibawanya. Layla tahu bahwa apa yang akan dia hadapi sangat berbahaya, tapi demi kenangan ayahnya dan masa depan tanah airnya, dia siap untuk bertarung.
"Untuk Ayah, untuk Ibu, dan untuk Rafah," kata Layla dengan suara tegas. Dengan itu, dia melangkah keluar, siap menghadapi Kaiju Al-Ghul dan melindungi tanah airnya dari kehancuran.
***
Dia segera mengaktifkan armor Sang Penjaga Timur, menyiapkan dirinya untuk pertempuran yang belum pernah dia bayangkan. Dengan cepat, Layla mengenakan helm dan merasakan energi dari armor menyatu dengan tubuhnya, memberinya kekuatan dan keberanian yang dibutuhkan.
Dengan armor yang dilengkapi berbagai senjata canggih seperti laser energi, perisai elektromagnetik, dan pelontar misil, Layla berubah menjadi Sang Penjaga Timur.
Armor dengan warna perak dengan aksen hijau dan merah, mencerminkan bendera Palestina. Dilengkapi dengan berbagai senjata canggih dan perisai energi.
Topeng menutupi sebagian wajahnya, memberikan identitas misterius dan melindunginya dari serangan langsung. Sebuah lambang Timur di dada, melambangkan kekuatan dan tekad untuk melindungi tanah air.
Saat Layla melangkah keluar dari pusat kendali, Al-Ghul sudah mencapai pinggiran kota, menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. Bangunan runtuh, jalanan retak, dan ledakan terdengar di mana-mana. Layla berdiri tegak, menatap makhluk raksasa itu dengan campuran ketakutan dan keberanian.
Pertarungan dengan Al-Ghul berlangsung di tengah kota yang penuh dengan bangunan dan struktur bersejarah. Setiap langkah Al-Ghul menghancurkan jalan-jalan dan bangunan, menciptakan pemandangan kehancuran yang menakutkan.
"Al-Ghul... Jadi inilah yang kita hadapi," katanya dengan suara tegas, meskipun hatinya berdebar kencang.
Al-Ghul menyemburkan napalm radioaktif, memusnahkan apa pun yang berada di jalurnya. Layla menghindar dengan cepat, menggunakan perisai energinya untuk melindungi diri dari serangan mematikan itu. Tanpa menunda lagi, dia meluncurkan proyektil energi dari tangannya, menghantam tubuh Kaiju dengan kekuatan penuh.
Namun, serangan itu hanya membuat Al-Ghul semakin marah. Makhluk itu mengeluarkan semburan energi nuklir yang lebih kuat, mencoba menghancurkan Layla. Dengan kecepatan dan kelincahan, Layla bergerak menghindar, mencari celah untuk menyerang balik.
"Kau tidak akan menghancurkan kotaku!" teriak Layla dengan tekad yang membara dan suara yang penuh keberanian. "Al-Ghul, kau tidak akan menghancurkan Rafah lagi!"
Pertempuran antara Layla dan Al-Ghul pun dimulai, dengan kedua belah pihak menunjukkan kekuatan dan keberanian yang luar biasa. Layla tahu bahwa ini adalah ujian terbesar yang pernah dia hadapi, namun demi melindungi orang-orang yang dia cintai, dia siap menghadapi segala ancaman. Dengan setiap serangan yang dilancarkan, dia bertekad untuk menghentikan makhluk raksasa ini, memastikan Rafah tetap aman dari kehancuran
Layla menggunakan kekuatannya untuk menghindari serangan mematikan dari Al-Ghul, sambil melancarkan serangan balasan yang strategis. Dia memanipulasi energi nuklir yang dihasilkan oleh Al-Ghul, mengubahnya menjadi senjata yang bisa dia kendalikan. Penduduk Rafah, meskipun ketakutan, memberikan dukungan moril dan logistik. Mereka membantu Layla dengan informasi penting dan bantuan medis bagi yang terluka. Kerjasama antara Layla dan penduduk lokal menjadi kunci untuk mengalahkan Kaiju.
Kaiju itu menanggapi dengan menyemburkan napalm radioaktif dari mulutnya, mengejar Layla yang bergerak cepat untuk menghindar. Bangunan-bangunan di sekitarnya hancur berantakan, api dan asap menggulung langit malam. Layla menggunakan perisai energinya untuk melindungi dirinya dari serangan napalm, sambil berusaha mencari celah untuk melawan balik.
Dengan mantap, Layla meluncurkan serangan dengan senjata energi dari tangan kanannya, menembakkan proyektil bercahaya yang menghantam tubuh Kaiju dengan kekuatan dahsyat. Namun, serangan itu hanya membuat Kaiju semakin marah, membuatnya mengeluarkan semburan energi nuklir yang menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.
Layla melihat dirinya terpojok, namun dia tidak menyerah. Dengan kecepatan kilat, dia menggunakan keahliannya dalam bertarung dan manuver, menghindari serangan Kaiju dan mencari peluang untuk melawan balik. Dia menggabungkan kekuatan fisiknya dengan teknologi canggih dari armor Sang Penjaga Timur, menciptakan kombinasi serangan yang mematikan.
Setiap serangan yang dilancarkan oleh Layla membuat Kaiju terdesak, namun monster itu tidak mudah dikalahkan. Al-Ghul terus melancarkan serangan mematikan, mencoba untuk menghabisi lawannya. Namun, Layla tidak mundur, dia melawan dengan gigih, mengambil inspirasi dari tekadnya untuk melindungi tanah air dan kenangan ayahnya.
Dalam momen kritis, Layla menggunakan pengetahuannya tentang energi nuklir untuk menciptakan sebuah perangkap yang bisa menghentikan Kaiju. Dengan perhitungan yang cepat, dia meluncurkan serangan terakhirnya, menyerang inti energi Kaiju dengan kekuatan penuh.
Detik-detik terakhir itu terasa seperti abad bagi Layla, namun saat akhirnya serangan itu mencapai sasaran, terjadi ledakan besar yang menyilaukan mata. Ketika debu dan asap mulai berhamburan, Layla melihat dengan lega bahwa Al-Ghul telah dikalahkan, tubuhnya hancur menjadi serpihan.
Dengan napas tersengal-sengal, Layla melangkah maju dari reruntuhan, menatap langit yang kembali cerah. Dia tahu bahwa pertarungan itu belum berakhir, tetapi dia juga tahu bahwa dia telah menunjukkan keberanian dan keteguhan yang tak tergoyahkan. Dengan tekad yang kuat, Layla bersiap untuk pertempuran berikutnya, siap untuk melindungi tanah air dan orang-orang yang dicintainya dari segala ancaman yang akan datang.
Dengan kombinasi kekuatan fisik, teknologi canggih, dan strategi yang cerdas, Sang Penjaga Timur akhirnya berhasil mengalahkan Al-Ghul. Layla menggunakan kemampuan pengendalian energinya untuk menghancurkan inti energi Al-Ghul, menyebabkan makhluk itu meledak dan hancur menjadi debu. Kemenangan ini menjadi simbol perlawanan dan keteguhan rakyat Palestina.
***
Angin malam membawa aroma kehangatan dan harapan, menerobos jendela yang retak di ruang tamu rumah keluarga Al-Mansour. Mariam duduk di sofa, hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terhingga. Dia menatap keluar jendela, berdoa dengan penuh harapan untuk keselamatan putrinya, Layla, yang telah menghadapi bahaya besar.
Seketika, suara langkah yang lembut menghentikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia menoleh dengan cepat, matanya berkaca-kaca ketika melihat siluet yang akrab. Ketika pintu terbuka, Layla melangkah masuk, tubuhnya dipenuhi dengan luka kecil namun wajahnya berseri-seri dengan keberanian yang menginspirasi.
"Mama..." bisik Layla dengan suara yang lembut namun penuh makna.
Mariam berdiri dengan ragu, tidak percaya pada mata dan telinganya sendiri. Air mata mulai mengalir, tetapi kali ini adalah air mata kebahagiaan yang membanjiri pipinya.
"Layla... Layla, putriku!" serunya dengan suara yang penuh dengan kelegaan.
Dengan langkah gontai, Mariam berlari mendekati Layla dan memeluknya dengan erat-erat. Dia merasakan kehangatan tubuh putrinya, memastikan bahwa dia nyata, hidup, dan selamat.
"Layla, oh Layla, aku tidak percaya kau masih hidup," bisik Mariam sambil memeluk Layla dengan erat, air mata mereka bercampur dalam pelukan yang penuh kasih sayang.
Layla membalas pelukan ibunya dengan hangat, merasakan cinta dan kebahagiaan dari pelukan itu. "Maafkan aku, Mama. Aku berjanji akan selalu kembali padamu."
Mariam mengelus rambut Layla dengan lembut, mencium dahinya dengan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, sayangku. Yang penting kau disini sekarang."
Dalam momen itu, mereka merasakan kekuatan dari ikatan ibu dan anak yang tak tergoyahkan, melebihi segala rintangan yang mereka hadapi. Mata mereka bertemu dalam kebahagiaan yang tulus, bersyukur bahwa mereka masih bersama, siap menghadapi masa depan yang belum terungkap bersama-sama.
Posting Komentar