XXX
Tahun 2489. Dunia telah sunyi. Kota-kota besar seperti New York, Tokyo, Paris—semuanya kini hanya puing-puing bisu, dihuni oleh makhluk-makhluk yang dulunya manusia. Zombie, hasil mutasi virus buatan yang tersebar tanpa ampun, telah memakan peradaban hidup. Namun, di tengah kehancuran itu, satu negara tetap berdiri: Korea Utara.
Berkat kebijakan isolasi besi yang telah berlangsung lebih dari satu abad, negeri itu terkunci rapat dari dunia luar. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar. Dan ketika virus menguasai dunia, pagar-pagar itu menjadi benteng keselamatan.
Kini, Korea Utara tak lagi sekadar negara. Ia adalah satu-satunya peradaban manusia yang tersisa di bumi. Dan pemimpinnya, Kim Jong Un II, cucu dari pemimpin agung legendaris, telah menobatkan dirinya sebagai Tuhan Hidup.
Selama hampir seribu tahun, dunia telah berubah, begitu pula gadis rubah berekor sembilan ini. Dari hutan yang dulu dipenuhi bunga dan cahaya matahari, hingga reruntuhan kota-kota besar yang kini dipenuhi kesunyian dan kehancuran—ia telah melihat dunia ini berubah, perlahan memudar, dan akhirnya runtuh dalam kegelapan. Namun satu hal tetap abadi dalam hatinya: pencariannya.
Gadis rubah ini, yang berusia 10000 tahun, telah berkelana ke seluruh dunia, melintasi negara-negara yang kini hanya menyisakan kenangan. Ia mencari satu sosok—seorang lelaki yang pernah menjadi cintanya di kehidupan sebelumnya. Lelaki itu, manusia yang melindunginya, yang menyayangi dan memahaminya meskipun dia bukan manusia, adalah segala-galanya baginya.
Namun, dunia tidak pernah memahami mereka. 800 tahun lalu, sebagai siluman rubah berekor sembilan, seorang makhluk yang tak bisa diterima di dunia manusia. Cinta mereka berkembang di tengah kesulitan dan ketakutan, karena manusia takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Mereka hidup dalam bayang-bayang ancaman, hingga akhirnya, lelaki itu, yang telah mengorbankan segalanya untuk melindunginya, dibunuh oleh penduduk desa.
Hari itu adalah hari yang akan ia kenang selamanya. Penduduk desa yang marah dan takut akan keberadaannya, yang menganggapnya sebagai makhluk jahat, mengusir dan membunuh lelaki yang telah menyelamatkannya dari bahaya. Lelaki itu terjatuh di tanah, darahnya mengalir, sementara dia berlutut di sampingnya, tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, dengan suara lemah namun penuh tekad, dia berkata, *"Aku ingin terlahir kembali, bukan sebagai manusia, tapi sebagai siluman rubah... agar kita bisa hidup bersama selamanya. Jangan biarkan aku pergi... Aku akan kembali padamu."
Kata-kata itu menghantui gadis rubah hingga hari ini, meskipun hidupnya telah berlanjut jauh setelah kematian kekasihnya. Ia percaya bahwa lelaki itu benar-benar akan kembali—bahwa takdir akan membawa mereka bersama lagi. Dan dengan keyakinan itu, ia menjelajahi dunia, mencari petunjuk, mencari dia yang akan kembali padanya.
Berkeliling dari hutan ke padang gurun, dari gunung yang tinggi hingga lembah yang dalam, ia tak kenal lelah. Namun, dunia yang ditinggalkannya kini berbeda. Virus buatan telah menyebar, mengubah umat manusia menjadi makhluk zombie yang menyeramkan, sementara yang tersisa hanya reruntuhan dan kehancuran. Dunia yang pernah dikenalnya telah lama hilang. Namun di tengah semua ini, gadis rubah itu merasakan sesuatu—sebuah kekuatan yang aneh namun familiar, seperti angin yang membawa bau yang dikenalnya.
Di balik kemegahan Pyongyang Baru, tersembunyi kegelapan yang lebih dalam dari malam. Kamp-kamp kerja paksa membentang di utara, tempat para tawanan dikurung bukan hanya karena pemberontakan, tetapi karena warisan. Salah satu tahanan itu adalah Ibu Siluman—seorang perempuan bermata emas, cantik namun kelam, yang diketahui adalah Gumiho, makhluk legenda berkekuatan magis, penjaga Daun Keabadian.
Kamp kerja paksa tiga generasi di Korea Utara adalah bagian dari sistem penahanan politik paling kejam di dunia, dikenal dengan istilah kwan-li-so (penjara politik). Sistem ini tidak hanya menghukum individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap negara, tetapi juga menghukum hingga tiga generasi keluarganya. Ini berdasarkan prinsip "kesalahan kolektif" (yeon-jwa-je) yang dianut oleh rezim Korea Utara.
"Di mana daun itu?" tanya seorang jenderal dengan suara dingin.
Perempuan itu menatap lurus ke matanya. "Kalau aku memberitahumu, dunia ini tak akan menuju surga... tapi ke neraka yang kekal."
Ia menolak. Maka ia dikutuk. Dibuang ke Kamp Tiga Generasi—tempat para tahanan dan keturunannya hidup dan mati dalam rantai besi tanpa akhir.
Tapi ia hamil.
Di tengah malam yang beku, di barak kayu yang retak, ia melahirkan seorang anak laki-laki. Ia memeluk bayinya yang kecil, yang tubuhnya hangat seperti bara dan matanya bersinar seperti cahaya bulan.
"Aku tak akan membiarkanmu mati di sini," bisiknya. "Kau adalah harapan terakhir dunia."
Sebelum dia akan dibawa untuk menjalani eksekusi mati, dengan air mata yang beku di pipi, ia membungkus anak itu dengan kain merah tua, lalu menghanyutkannya di sungai Taedong yang mengalir melewati reruntuhan kota. Ia berdoa agar air membawanya ke takdir lain.
Takdir itu menjelma dalam sosok yang tak terduga: Istri Kim Jong Un II.
Wanita agung itu, yang tak pernah dikaruniai anak, memaksa untuk mengambil bayi itu saat ditemukan oleh pasukan penjaga. "Lihat matanya," katanya, "Ini pertanda. Anak ini dikirim oleh langit."
Kim Jong Un II mengernyit. "Itu anak siluman."
"Atau malaikat," jawab istrinya tajam.
Pemimpin itu nyaris mengangkat tangan untuk memerintahkan kematian sang bayi. Tapi sesuatu dalam sorot mata anak itu menahannya. Cahaya yang aneh. Kekuatan yang belum ia pahami.
"Baik," katanya akhirnya. "Ia akan hidup. Tapi dalam pengawasanku."
Maka anak itu tumbuh, di istana Tuhan, dikelilingi oleh kemegahan... dan bahaya. Tak tahu bahwa ibunya masih hidup dalam penderitaan. Tak tahu bahwa ia adalah kunci menuju Daun Keabadian.
Dan saat ia mulai bermimpi tentang serigala putih, api abadi, dan suara ibu yang memanggil dari kejauhan, dunia pun bersiap untuk berubah sekali lagi.
XX
Planet Nova Terra, 2323 M
Layar holografik di pusat komando koloni manusia memancarkan gambar Bumi dari satelit yang masih aktif. Permukaannya dipenuhi bangunan-bangunan runtuh, hutan yang telah menjadi liar, dan gerombolan hitam—mayat hidup yang masih bergerak lamban di antara puing-puing peradaban.
"Masih ada aktivitas di sana," bisik Kapten Aria Veyra, matanya menyipit menatap data yang muncul. "Tapi tidak mungkin... Itu sudah 300 tahun. Bagaimana mereka bisa bertahan?"
Sersan Rian menyilangkan tangannya. "Kecuali jika mereka benar-benar mengisolasi diri secara sempurna. Tapi siapa yang bisa melakukan itu selain—"
"Korea Utara," potong Aria, suaranya tegas.
Dinding setinggi 30 meter, diperkuat dengan baja dan kawat berduri, masih berdiri kokoh. Di belakangnya, menara pengawas dengan senjata otomatis terus memindai gerakan apa pun yang mendekat. Di dalam, kota itu hidup—tidak seperti kota mati di luar.
Seorang prajurit Korea Utara dengan seragam usang tapi terawat baik mengangkat teropongnya. Di kejauhan, sekelompok zombie terhuyung-huyung mendekat. Dia tidak khawatir. Tembok itu telah bertahan selama tiga abad.
"Komandan," lapor prajurit itu melalui radio. "Gerombolan ke-17 minggu ini mencoba mendekat. Instruksi?"
Suara berat terdengar di sisi lain. "Hancurkan. Seperti biasa."
Sirene berbunyi, dan senjata otomatis di atas tembok mulai berputar. Satu tembakan, lalu ledakan—zombie-zombie itu berantakan menjadi daging dan tulang yang hancur.
Tapi sesuatu yang tidak biasa terjadi. Di antara mayat-mayat yang bergerak, ada sesuatu... lain.
Seorang manusia.
Dia mengenakan pakaian yang bukan berasal dari zaman ini—jaket kulit sintetis dengan emblem koloni Nova Terra.
Prajurit itu membeku.
"Komandan... Kita punya tamu."
Orang asing itu pingsan, tapi pernapasannya stabil. Di tangannya, tergenggam sebuah perangkat holografik yang memancarkan pesan:
"Kami kembali. Bumi masih milik kita?"
Komandan Park, pemimpin tertinggi Korea Utara yang ke-15 sejak Karantina Besar, mengerutkan kening. Selama 300 tahun, mereka bertahan. Tanpa bantuan. Tanpa kabar dari luar.
Dan sekarang... manusia dari planet lain datang.
Dengan senyum tipis, dia berbisik,
"Selamat datang di bumi, saudara-saudara. Kami masih di sini."
XXX
Bab 3: Kebangkitan Siluman Rubah
Tahun demi tahun berlalu, dan anak yang dulu ditemukan oleh istri Kim Jong Un II tumbuh menjadi remaja yang kuat dan penuh tanda tanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dapat ia jelaskan—sebuah kenangan samar, sebuah suara yang terus memanggil dari kegelapan. Ketika ia beranjak dewasa, mimpi-mimpi aneh mulai menghantuinya. Dalam mimpi itu, ia melihat bayangan seorang wanita dengan mata yang berkilau seperti emas, dan sosok seekor serigala putih yang selalu mengawasinya dari kejauhan.
Suatu malam, saat ia merenung di kamarnya, tatapannya tertuju pada cermin, dan untuk pertama kalinya, ia melihat wajahnya berubah. Ekor panjang dan berbulu muncul di belakang tubuhnya. Matanya berubah menjadi lebih tajam, penuh dengan kekuatan yang tidak ia pahami. Ciri-ciri siluman rubah—gumiho—muncul kembali, membangkitkan ingatan tentang dirinya yang sebenarnya.
"Ini bukan mimpi," bisiknya, sambil menyentuh ekornya yang mulai tumbuh.
Ia menyadari bahwa dirinya bukanlah manusia biasa. Dalam dirinya mengalir darah siluman rubah, makhluk legendaris yang telah lama terpinggirkan oleh peradaban manusia. Secara perlahan, ingatan tentang kehidupannya yang lama mulai kembali. Ia ingat bagaimana ia pernah mencintai seorang lelaki, dan bagaimana dia berjanji untuk terlahir kembali agar dapat bersamanya. Dan sekarang, takdirnya telah membawa dirinya kembali ke titik ini—ke dalam tubuh seorang siluman rubah yang terlupakan.
Namun, di tengah kebingungannya, kenyataan yang lebih besar menantinya.
Pada suatu malam yang kelam, Kim Jong Un II memanggilnya ke ruang singgah pribadinya. Istrinya, dengan tatapan tajam, berdiri di sampingnya, seperti menunggu jawaban dari pertanyaan yang belum diungkapkan.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya," ujar istrinya, suara penuh amarah yang terpendam. "Kau adalah siluman rubah. Anak yang ditemukan di sungai itu adalah satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkan umat manusia. Dan aku ingin tahu di mana letak Daun Keabadian."
Anak itu menatap sang ibu angkat, matanya penuh kebingungan. "Saya tidak tahu apa yang kalian inginkan dengan daun itu. Manusia selalu serakah. Jika daun itu jatuh ke tangan manusia, dunia ini hanya akan hancur lebih cepat."
Kim Jong Un II menyeringai dengan kejam. "Kau berani menentangku? Kita bisa menguasai dunia dengan Daun Keabadian itu! Semua yang ada di sini—aku yang akan mengendalikan segalanya!"
Namun, anak itu tetap menolak. "Kalian tidak tahu apa-apa. Manusia akan menghancurkan segalanya jika mereka mendapatkan kekuatan seperti itu. Saya tidak akan memberitahumu."
Keputusannya membuat Kim Jong Un II marah. Dalam kemarahannya, dia memutuskan untuk mengirim anak itu ke kwan-li-so, kamp konsentrasi yang paling kejam di Korea Utara, di mana ia bisa menderita seumur hidup tanpa bisa mengubah nasibnya.
Di kamp konsentrasi itu, anak itu tidak sendirian. Ia bertemu dengan tiga anak laki-laki yang juga tampak seperti dirinya—berbeda dari manusia biasa. Ketiga anak itu memiliki ekor yang samar, tampak seperti siluman rubah yang terkurung dalam tubuh manusia.
Mereka segera menjalin persahabatan yang erat. Meskipun mereka tidak tahu mengapa mereka berada di sana, mereka merasa ada ikatan yang tak terpisahkan di antara mereka. Mereka tahu bahwa orangtua mereka, yang sebelumnya terlibat dalam pengungkapan rekayasa genetika pemerintah Korea Utara, telah mencoba untuk melawan sistem yang ada. Namun, mereka semua ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke dalam kamp itu.
Suatu hari, keempat anak itu mendengar suara gemuruh yang datang dari luar. Di tengah kabut tebal, muncul sesuatu yang tidak pernah mereka duga: sebuah monster kaiju bernama Pulgasari yang keluar dari fasilitas nuklir Korea Utara. Monster itu sangat suka memakan besi, mengeluarkan napas nuklir yang mematikan dan semakin kuat dan besar setiap dia memakan satu besi, menghancurkan segala yang ada di sekitarnya dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya. Ia semakin kuat dengan setiap serangan, merobek tanah dan bangunan di sekelilingnya.
Gadis rubah yang telah dibebaskan oleh kebangkitan kekuatan monster itu, mengenali kekuatan yang ada. Dia tahu bahwa monster ini, meskipun hancur, memiliki potensi besar. Monster itu tidak hanya akan menghancurkan Korea Utara, tetapi akan membawa mereka ke arah kebebasan—dan ke arah yang lebih besar. Ia berusaha membebaskan seorang remaja laki laki yang merupakan kekasihnya di kehidupan sebelumnya.
"Ayo, kalian semua," katanya pada teman-temannya, "ini adalah kesempatan kita untuk melarikan diri. Kita harus menuju perbatasan di Siberia. Di sana, kita bisa bebas dari kejaran mereka."
Dengan keberanian yang tak terukur, mereka semua melarikan diri, mengikuti monster kaiju yang mengamuk. Kejar-kejaran epik dimulai. Angkatan bersenjata Korea Utara mengejar mereka dengan segala cara—pasukan elit, tank, dan pesawat tempur—tetapi monster itu menghalangi mereka, membalikkan setiap serangan yang diarahkan kepadanya. Sementara itu, keempat anak itu berlari melalui hutan, melintasi tanah tandus, dan mendaki gunung di Siberia yang dingin dan keras.
Di tengah pelarian mereka, di bawah langit yang dingin dan penuh salju, gadis rubah itu akhirnya menjelaskan kepada mereka yang bersama dalam perjalanan ini.
"Kalian semua adalah Gumiho terakhir di bumi ini," katanya dengan suara serak, penuh beban. "Kalian adalah keturunan dari siluman rubah yang telah ada sejak zaman para dewa. Dan kita memiliki misi—misi untuk menemukan Putri Matahari, pelindung para siluman rubah yang akan membimbing kita menuju akhir zaman, menuju surga yang sesungguhnya. Kita juga harus selalu menjaga daun keabadian yang diamanahkan oleh Dewi Kwan IM pada kita, jangan sampai jatuh ke tangan yang salah, jangan sampai ada manusia yang mengetahuinya."
Mereka bertiga hanya bisa terdiam mendengar penjelasan itu. Semua yang mereka tahu tentang diri mereka, tentang dunia ini, tiba-tiba berubah. Mereka bukan hanya anak-anak yang terperangkap dalam dunia yang kacau, tetapi mereka adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang akan membawa mereka ke seluruh dunia, dari Siberia hingga ke ujung dunia yang lain.
Namun, mereka juga harus melawan zombie yang berkeliaran di seluruh dunia, makhluk-makhluk buatan manusia yang kini menjadi ancaman terbesar bagi setiap kehidupan. Namun, dalam perjalanan ini, mereka menemukan lebih dari sekadar perlindungan dan kebebasan—mereka menemukan takdir mereka sebagai pemimpin yang akan melindungi dunia yang semakin rusak ini.
Dengan monster kaiju yang menghancurkan apa pun di jalannya, dan pasukan Korea Utara yang tak henti-hentinya mengejar mereka, perjalanan ini menjadi lebih dari sekadar pelarian—itu adalah perang untuk masa depan.
Dunia yang telah lama hancur, yang telah dipenuhi oleh kematian dan kehancuran, kini mulai menantikan kebangkitan baru. Keempat anak itu, para Gumiho terakhir, adalah satu-satunya harapan yang tersisa untuk mengubah dunia—untuk membawa manusia dan siluman rubah kembali bersama, menuju surga yang jauh di Horizon, dan mengatasi kehancuran yang sudah dekat.
XXX
Pulgasari adalah monster kaiju buatan Korea Utara yang memiliki kemampuan unik dan mematikan. Diciptakan oleh pemerintah Korea Utara sebagai senjata biologis, Pulgasari tumbuh semakin kuat setiap kali memakan besi. Dengan tubuh yang terbuat dari logam dan kemampuan regenerasi luar biasa, monster ini bisa menjadi lebih besar dan lebih kuat seiring waktu, menjadikannya ancaman besar bagi siapa saja yang ada di jalurnya.
Pulgasari adalah monster pemakan logam yang besar, sering digambarkan dengan tanduk dan sisik,wajahnya terlihat seperti banteng pemarah tapi tubuhnya seperti manusia yang kekar dan mampu melakukan kehancuran yang sangat besar. Sosok ini seperti kaiju, berdiri setinggi 164 kaki dan beratnya 3000 ton.
Namun, kehebatan Pulgasari tidak berhenti di situ. Selain kekuatannya yang semakin meningkat, ia juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menembakkan napas atom yang dapat menghancurkan bangunan, kendaraan, dan pasukan dengan mudah. Ketika monster ini meluluhlantakkan Pyongyang, kota ibu kota Korea Utara, kerusakan yang ditimbulkan sangat besar, namun pemerintah Korea Utara berhasil mengendalikannya.
Pulgasari akhirnya diprogram untuk tujuan yang lebih spesifik: mencari daun keabadian, yang dipercaya bisa memberikannya kekuatan yang tak terbatas. Untuk mencapai tujuan ini, monster tersebut diberi misi untuk mengejar para remaja gumiho (makhluk mitologis setengah manusia setengah rubah) yang melarikan diri dari negara tersebut. Para remaja gumiho ini memiliki kekuatan magis yang bisa memberikan akses kepada daun keabadian yang dicari oleh Pulgasari.
Di tengah pengejaran ini, Pulgasari bukan hanya menjadi senjata, tetapi juga simbol dari perjuangan antara kekuatan dunia nyata dan dunia mitos. Pemerintah Korea Utara yang menggunakan Pulgasari berusaha mengendalikan monster ini untuk mencapai kekuasaan abadi, namun monster itu sendiri, dengan kemampuannya yang semakin hebat, menjadi ancaman yang tak dapat diprediksi.
Konflik ini menciptakan ketegangan antara kekuatan militer yang mengendalikan Pulgasari dan ancaman besar yang timbul dari para gumiho yang melarikan diri, serta misteri seputar daun keabadian yang menjadi kunci untuk mendapatkan kekuatan abadi.
XXX
Malam yang dingin menusuk di perbatasan Korea Utara-Rusia. Salju tipis mulai berjatuhan, membekukan tanah yang gelap. Sekelompok bayangan bergerak cepat di antara pepohonan pinus, mata mereka bersinar seperti kunang-kunang dalam kegelapan—sembilan ekor rubah berekor sembilan, para gumiho, menyamar dalam wujud manusia dengan mantel tebal.
Zona demiliterisasi (DMZ) adalah area pemisah antara Korea Selatan dan Korea Utara. Wilayah ini membentang sepanjang 250 kilometer dengan lebar sekitar 4 kilometer dan dijaga ketat oleh kedua negara. Ribuan tentara dari kedua belah pihak ditempatkan di sana.
DMZ dibentuk setelah Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata pada 1953. Melintasi zona ini sangat berisiko bagi warga sipil karena dipenuhi ranjau darat, kawat berduri, kamera pengawasan, dan pagar listrik. Pembelot dari Korea Utara juga menghadapi ancaman tembakan dari tentara mereka sendiri.
Menariknya, beberapa tentara Korea Utara yang bertugas menjaga perbatasan justru menggunakan DMZ sebagai jalan untuk melarikan diri ke Korea Selatan. Misalnya, pada 2012, seorang pembelot bahkan terpaksa membunuh komandannya sebelum melarikan diri.
Korea Selatan ratusan tahun lalu umumnya memberikan kewarganegaraan kepada pembelot Korea Utara untuk mencegah mereka dipulangkan.
Laut Kuning menjadi batas maritim antara Korea Utara dan Korea Selatan, dengan kedua negara saling mengklaim kedaulatan atas perairan tersebut.
Meskipun jaraknya relatif dekat, menyeberangi Laut Kuning sangat berbahaya karena diawasi ketat oleh angkatan laut kedua negara. Militer Korea Utara tidak segan menangkap atau menembak pembelot yang mencoba melarikan diri. Namun, beberapa warga yang mahir berenang berhasil kabur dengan memanfaatkan malam hari sebagai perlindungan.
Selain Laut Kuning, Laut Jepang (Laut Timur) juga menjadi alternatif pelarian ke arah barat Samudra Pasifik. Perairan ini lebih tenang karena dikelilingi daratan—seperti Rusia, Pulau Sakhalin di utara, Semenanjung Korea di barat, serta kepulauan Jepang (Hokkaido, Honshu, dan Kyushu) di timur.
Namun, untuk melarikan diri melalui rute ini, para pembelot memerlukan perahu atau kapal guna menempuh perjalanan panjang menuju Jepang atau Korea Selatan.
Berikut hasil parafrase dari teks yang Anda berikan:
Untuk bisa melarikan diri dari Korea Utara ke China dengan selamat, para pembelot biasanya perlu bekerja sama dengan warga Tiongkok atau orang kepercayaan mereka.
Salah satu yang berhasil adalah Dzhon Khen-mu (nama samaran). Menurut The Guardian, awalnya dia berbisnis di pasar gelap dengan mengimpor pakaian, sepeda, dan berbagai barang dari China.
Khen-mu kemudian sukses secara finansial. Namun justru semakin kaya, dia semakin merasa tidak aman.
Dengan membayar $50, dia membuat dokumen palsu yang menyatakan dirinya telah tewas dalam kecelakaan mobil.
Setelah itu, dia menyebrangi perbatasan ke China dan bersembunyi selama empat bulan sebelum akhirnya meminta suaka di kedutaan Korea Selatan.
"Jika partai mengetahui saya masih hidup dan berada di Korea Selatan, keluarga saya akan mendapat masalah besar. Selama saya 'mati', mereka akan aman. Itu yang selalu saya pikirkan," ujarnya.
Sayangnya, tidak semua pembelot yang sampai ke China beruntung. Kenyataan pahitnya, otoritas China sangat keras terhadap pengungsi dari Korea Utara.
China bekerja sama dengan Korea Utara dalam hal ini dan seringkali mengembalikan para pembelot ke negara asal, di mana mereka akan menghadapi hukuman mati atau dikirim ke kamp kerja paksa.
Cara paling aman kabur dari korea Utara bagi para Gumiho adalah melalui wilayah Siberia.
Haneul, pemimpin mereka, berhenti di balik batang pohon besar. Napasnya membentuk kabut putih.
"Kita hampir sampai ke sungai. Seberangi itu, dan kita akan masuk wilayah Rusia."
Bora, yang paling muda, menggigil. "Apa kita benar-benar aman di sini? Tentara Korut—"
Dae, si pengawal, memotong. "Mereka tidak akan mengejar kita ke Siberia. Wilayah ini terlalu luas, terlalu sepi. Mereka lebih fokus ke perbatasan China."
Tiba-tiba, sorot lampu senter menyapu dari kejauhan. Suara derap sepatu bot di atas salju.
"Patroli!" Jin mendesis, telinga rubahnya nyaris muncul karena panik.
Haneul mengangkat tangan—cakar panjangnya mengkilat. "Jika terpaksa, kita serang. Tapi ingat, jangan bunuh. Cukup buat mereka lari ketakutan."
Para gumiho bersiap, mata mereka berubah merah. Saat tentara mendekat, Bora mengeluarkan suara melengking—gema gaibnya memecahkan kaca di helm tentara. Yang lain mengibaskan ekor mereka, menciptakan ilusi bayangan serigala besar mengaum.
Tentara-tentara itu berteriak, mundur kalang-kabut.
"Sekarang, lari!" Haneul memimpin mereka melompati sungai beku. Di seberang, taiga Siberia membentang—hutan tanpa akhir yang akan menyembunyikan mereka.
Dae tersenyum getir. "Korut mungkin punya senjata, tapi mereka tidak siap menghadapi makhluk mitos."
[Di kejauhan, bulan purnama menyinari jejak kaki mereka yang perlahan tertutup salju. Mereka bebas—untuk sekarang.]
XXX
Setelah manusia meninggalkan Bumi 300 tahun lalu, alam mulai mengambil alih. Tanpa polusi, radiasi, dan perusakan ekosistem oleh manusia, makhluk-makhluk yang tersisa berevolusi dengan kecepatan yang luar biasa. Di hutan-hutan Eropa yang kini telah menjadi raksasa, sekelompok serangga—khususnya kupu-kupu, capung, dan kumbang—mengalami mutasi genetik yang aneh.
Lambat laun, mereka mengembangkan kecerdasan, postur tegak, dan bentuk tubuh yang menyerupai manusia—namun dengan keindahan yang nyaris tidak wajar. Kulit mereka berkilau seperti permata, mata mereka besar dan berwarna-warni seperti kristal, dan sayap transparan mereka memancarkan cahaya pelangi ketika terbang. Mereka menyebut diri mereka Alfhaim, yang berarti "Anak-anak Cahaya".
Mereka mendirikan sebuah kerajaan megah di tengah hutan purba Eropa, dengan istana-istana yang terbuat dari kristal organik dan tumbuhan hidup. Teknologi mereka bukanlah mesin, melainkan bio-simbiosis—setiap alat, senjata, bahkan bangunan terhubung dengan alam dan memiliki kesadaran sendiri.
Mereka memiliki kitab suci yang disebut "Lumina Silvarum", yang menceritakan bahwa Bumi dulunya dikuasai oleh makhluk jahat bernama "Manus" (manusia). Menurut kepercayaan mereka, Manus adalah iblis yang rakus, menghancurkan hutan, meracini langit, dan akhirnya melarikan diri ke bintang-bintang setelah menciptakan wabah zombie sebagai kutukan terakhir mereka.
Di dalam kitab mereka, manusia digambarkan sebagai makhluk tanpa sayap, dengan kulit pucat dan mata tajam yang penuh nafsu. Mereka percaya bahwa zombie adalah jiwa-jiwa manusia yang terkutuk, terus berkeliaran sebagai hukuman karena dosa-dosa mereka.
Namun, ada juga legenda tentang "Para Penipu"—beberapa manusia yang berhasil lolos dari kehancuran dengan menyamar sebagai makhluk lain. Salah satunya adalah Gumiho, rubah berekor sembilan yang konon pernah hidup bersama manusia.
Sebelum manusia menghilang, para Gumiho menyimpan rahasia umur panjang—"Daun Seribu Tahun", yang tumbuh hanya di tempat-tempat suci. Ketika Alfhaim bangkit, mereka menemukan harta ini dan menyimpannya di kuil tertinggi mereka.
Hanya Ratu Alfhaim yang diperbolehkan mengonsumsinya, memberinya usia panjang untuk memimpin kerajaan. Namun, ada desas-desus bahwa beberapa Gumiho masih hidup, bersembunyi di kegelapan, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kembali apa yang menjadi milik mereka.
Posting Komentar