“Sebenarnya saya merasa tidak nyaman dengan perlakuan teman-teman saya di kelas. Saya tidak tahu mengapa mereka selalu mengatakan saya bertingkah aneh seperti orang gila. Padahal saya merasa dan selalu berusaha tidak bertingkah aneh seperti orang gila.

Dan saya tahu saya bukan orang yang pandai membaca bahasa tubuh orang lain. Tetapi saya merasa dari bahasa tubuh mereka, mereka begitu jijik setiap bertemu saya,” panjang lebar Hasyi menjawab pertanyaan wali kelas.

Sebenarnya alam bawah sadar Hasyi masih merasa sedih karena baru saja ditinggal selamanya oleh ibunya. Tetapi Hasyi benar-benar kesulitan mengungkapkan seluruh isi hati pada wali kelasnya karena meltdown yang dialaminya. Mungkin Hasyi juga merasa sedikit tidak nyaman dengan suara bising murid-murid lain di kelasnya.

Saat Hasyi sedang sibuk mengungkapkan isi hatinya pada wali kelas, Hasyi tidak menyadari jika wali kelas sedang menjilati dahinya dengan lidahnya yang memanjang. Mulut wali kelas telah berubah menjadi paruh siluman burung hantu. Hasyi merinding karena melihat paruh burung hantu yang cukup tajam tepat di atas kedua matanya.

Hasyi berusaha tetap tenang menghadapi wali kelasnya yang berubah menyeramkan secara tiba-tiba. Ia tak ingin panik karena kepanikanlah yang membuat ibunya meninggal di tangan gangster Aul tempo hari.

Hasyi mencoba menyentuh pundak wali kelasnya agar wali kelas kembali sadar dan melupakan nafsu siluman burung hantunya yang seakan ingin menerkam Hasyi. Hasyi mungkin seperti ulat bulu yang biasa menjadi mangsa burung hantu.

Sebentar lagi seharusnya Hasyi akan berteriak, tetapi sampai saat ini Hasyi tidak tahu apa yang dapat menahan dorongannya untuk tak berteriak. Ia berusaha keras agar tak panik.

“Ups..! Maaf Hasyi, ibu hampir saja ingin menerkam dan menelanmu. Soalnya kamu terlalu imut untuk ukuran anak laki-laki seusiamu...he..he...Jika dimakan rasamu pasti sangat manis seperti permen.”

Wali kelas segera mundur dari dahi Hasyi yang baru saja ia jilati dan mengubah kembali paruh burung hantunya menjadi mulut manusia.

Biasanya saat sedang bahagia, Hasyi memiliki senyuman yang sangat tulus, cenderung bersikap kalem dan malu-malu. Ia juga berbicara dengan halus dan penuh perasaan.

Hasyi juga memiliki kulit yang sangat halus di sekitar matanya, tidak mencerminkan sikap anak laki-laki seusianya.

“Ibu jangan nakut-nakutin saya dong. Ibu tadi sangat menakutkan seperti monster yang ada di dalam buku cerita dongeng,” celetuk Hasyi dengan polosnya sambil memegangi dadanya yang terasa semakin sesak karena masih ketakutan setengah mati.

Hasyi berusaha mengeluarkan suara yang tenang tetapi tegas ketika berbicara dengan gurunya.

“Kalau kau menyebut Ibu ini monster, memangnya kau ini mahluk apa? Kau kan juga manusia keturunan siluman Asura seperti ibu. Kau pasti terlalu banyak membaca buku sejarah sehingga kau mengira dirimu manusia murni dari masa lalu. Sesekali kau pasti juga kan melakukan apa yang baru saja ibu lakukan. Tenang Hasyi, jangan takut, ibu ini nggak jahat kok,” jawab wali kelas sambil mengelus-elus rambut Hasyi mencoba membuat Hasyi tidak takut lagi dengannya.

Saat berbicara dengan Hasyi, wali kelas seakan sedang berbicara dengan seorang anak balita yang lugu dan polos serta tidak mengerti apa-apa. Wali kelas menganggap Hasyi memiliki pikiran yang sangat kekanak-kanakan.

Meskipun ada banyak pemanas ruangan di dalam ruang guru, wali kelas sempat bersin karena udara di dalam ruang itu masih terasa cukup dingin. Di luar, salju masih turun dengan lebat.

“Oh iya jika kau ingin tahu pendapat Ibu mengapa tingkahmu dianggap aneh oleh anak-anak lain? Mungkin itu semua karena kau terlalu terlihat canggung seperti anak culun dan kekanak-kanakan di depan teman-teman sekelasmu.

Mungkin ini memang terdengar agak kejam bagimu tetapi kenyataannya anak yang terlihat canggung bergaul lebih rentan diganggu oleh anak-anak lain karena dianggap aneh. Dan cara terbaik agar tidak terlihat canggung bergaul seperti anak culun adalah berusahalah tidak menangis di depan banyak orang sebesar apapun keinginanmu mengeluarkan air mata.”

Setelah menghela napas yang mengeluarkan embun dingin, wali kelas kembali melanjutkan nasihatnya pada Hasyi.

“Dan yang kedua, kau nampaknya harus membuat wajahmu terlihat lebih dewasa. Seperti yang ibu bilang tadi, wajahmu terlalu imut untuk ukuran remaja seusiamu dan membuatmu terlihat semakin kekanak-kanakan.

Selanjutnya, maaf sebenarnya ibu tidak ingin menghinamu, kau memang sangat tampan dengan kulitmu yang putih bersih dan wajahmu yang imut itu tetapi, sekali lagi maaf, dengan penampilanmu yang terlalu imut itu apalagi dengan tubuhmu yang agak kurus itu kau cenderung terlihat mirip dengan anak yang berusia lima tahun. Mungkin ibu bisa menyarankanmu memotong rambutmu yang agak panjang itu, kalau perlu potong cepak, agar kau lebih terlihat seperti laki-laki dewasa.”

Wali kelas membisikkan semua nasihat itu di telinga Hasyi. Embun dari mulut wali kelas masuk ke telinga Hasyi bersama suara bisikan.

Hasyi memiliki rambut coklat kemerahan yang terlihat natural dan membuat wajahnya terlihat seperti anak kecil dengan hidung yang agak mancung.

“Telinga kelinci di atas kepalamu juga membuat wajahmu terlihat semakin menggemaskan. Ibu belum pernah melihat siluman kelinci sebelumnya,” kembali wali kelas berpendapat soal penampilan Hasyi.

“Saya siluman api, bukan siluman kelinci, Bu. Lihatlah rambut saya mengeluarkan sedikit uap panas!” Hasyi menyela kata-kata wali kelasnya dengan agak berteriak.

Hasyi agak membenci telinga kelinci di kepalanya. Ia terlihat tak akan mau menceritakan bagaimana ia mendapatkan telinga kelinci itu pada gurunya karena ia juga tak tahu sejak kapan telinga kelinci itu menonjol di kepalanya.

Cara menasihati wali kelas Hasyi tidak seperti guru yang sedang menasihati muridnya. Tetapi lebih seperti teman seumuran yang menilai Hasyi dari sudut pandangnya.

“Sabarlah Hasyi, sebentar lagi kau akan lulus dari SMA ini. Seperti yang ibu bilang tadi, kau tak bisa menghindari kenyataan jika dirimu adalah monster, eh siluman... sama seperti ibu. Tapi kau dan ibu bukanlah monster jahat yang bisa kau temui di berbagai macam cerita dongeng. Ibu yakin suatu saat kau bisa belajar untuk menjadi lebih dewasa.”

Wali kelas mengalihkan pandangannya pada perapian yang ada di dekat pintu ruang guru tersebut. Ia berusaha melupakan tubuhnya yang merasa kedinginan dengan membayangkan api di ujung perapian itu.

Setelah berhasil membuat Hasyi merasa lebih tenang, wali kelas mengizinkan Hasyi keluar dari ruang guru. Bersamaan dengan itu, bel jam istirahat berdentang.

Wali kelas memang guru yang sangat baik dan selalu dapat memahami perasaan Hasyi. Karena kebaikan wali kelasnya, Hasyi memiliki cita-cita menjadi seorang guru taman kanak-kanak atau guru apapun yang baik. Seperti wali kelasnya.

Ketika anak-anak lain ke kantin saat jam istirahat, perpustakaaan sekolah menjadi tempat favorit Hasyi menghabiskan waktu istirahatnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama